Jumat, 29 Oktober 2010

STUDI BANDING ETIKA BAGI DPR, MENGAPA TIDAK?

Oleh Yosafati Gulo

Sejauh ini, rencana anggota BK DPR untuk studi banding etika ke Yunani masih ditentang publik. Banyak yang sinis atas rencana itu. Bahkan dinilai sebagai rencana tak beretika. Sebab di kala bangsa kita masih berjuang menurunkan jumlah orang miskin, anggota DPR justru dinilai berfoya-foya. Biaya studi banding yang 2,2 milyar dianggap terlalu besar. Tak sebanding dengan manfaat yang diperoleh kelak. Dari sisi ini, alasan para penentang bisa dipahami. Karena uang sebanyak itu lebih urgen dipakai untuk program penguatan ekonomi masyarakat miskin.

Persoalannya, mengapa biaya yang 2,2 milyar itu dinilai terlalu besar? Ukurannya apa? Bukankah nilai itu justru terlalu kecil untuk sebuah akibat yang lebih besar kelak?

Mengubah Paradigma

Menurut hemat saya, kita perlu mengubah paradigma dalam menilai anggota DPR, temasuk anggota BK. Selama ini, kita cenderung melihat anggota-anggota DPR sebagai pribadi-pribadi unggul di berbagai aspek, termasuk aspek etika. Atas anggapan itu, kita lantas memberikan tuntutan, harapan, atas pribadi dan kerja DPR lebih tinggi dari rata-rata anggota masyarat. Akibatnya, di kala anggota DPR tidak tampil dan bekerja sesuai dengan harapan, masyarakat jadi kecewa dan marah.

Anggota DPR, memang, seharusnya mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat. Dari sisi pendidikan, pengetahuan, wawasan, visi, dan pengalaman, mereka mestinya di atas rata-rata. Bukan saja karena DPR adalah personifikasi dari seluruh anggota masyarakat. Melainkan tuntutan tugasnya sebagai penentu arah kebijakan pemerinyah, hidupan bangsa, dan negara mengharuskannya demikian.

Soal etika, DPR juga seharusnya bukan hanya tahu dan paham etika. Malahan etikanya lebih tinggi dari sekadar etika yang dipraktekkan oleh masyarakat. Baik menyangkut etika umum maupun politik, dan etika lain terkait tugas mereka di DPR. Nyatanya, tidak begitu. Anggota BK DPR sendiri sangat sadar hal tersebut. Itulah sebabnya mereka menilai perlu dan mendesak melakukan studi banding.

Alasan anggota BK DPR sebetulnya tidak mengada-ada. Logis, simpel, dan mudah dipahami. Masa jabatan di DPR ada lima tahun. Yang sudah dijalankan baru setahun. Sisanya, masih empat tahun lagi. Dalam penilaian mereka, tentu, pekerjaan selama setahun yang lalu banyak yang dilaksanakan tanpa atau kurang beretika.

Kalau ada anggota DPR yang memaki-maki sesama anggota dewan, mengantuk dan dibiarkan pulas selama sidang, membuat program-program aneh yang jauh dari logika umum, menguapnya kasus bank Century dsb., tentu dapat dipahami sebagai akibat dari ketiadaan atau kurangnya etika tersebut.

Bagi anggota BK DPR –dan pasti semua setuju– peristiwa-peristiwa tersebut tak boleh berketerusan. Dalam sisa waktu empat tahun ke depan, kerja DPR perlu dilaksanakan dalam koridor etika. Tujuannya, tentu, agar penampilan dan kerja mereka benar, sehingga uang negara yang dapat diselamatkan kelak lebih besar dari 6,7 triliyun (kasus bank Century) atau 2,2 milyar yang diributkan itu. Pada saat sidang, mereka juga bisa tampil sopan, tidak lagi memaki-maki, selalu hadir dalam kondisi prima, dan anggota DPR yang melanggar dikenakan hukuman sesuai aturan sidang. Dengan cara berpikir seperti ini, rencana studi banding etika anggota BK DPR patut dipertimbangkan dan didukung.

Jangan Jual Diri

Menentang rencana belajar etika oleh DPR yang telah menilai dirinya belum beretika, agaknya bukan cuma tak beretika. Tapi kejam. Sama halnya orang tua yang melarang anaknya belajar sopan santun agar bisa hidup secara sopan. Orang tua semacam ini tidak bertanggung jawab dan jahat.

Jika kondisi DPR dinilai parah, maka titik soalnya tidak terletak pada diri mereka semata. Mereka duduk di lembaga itu, bukan melulu karena keinginan mereka. Lebih besar karena faktor masyarakat sendiri. Semua sudah tahu bahwa begitu banyak anggota DPR yang terpilih bukan karena keunggulan pengetahuan, integritas pribadi, komitmen atau prestasi. Tetapi karena mampu “membeli”, dan anggota masyarakat juga mau “menjual” diri dengan harga 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, atau 100 ribu rupiah saat pemilihan legislatif.

Mempersoalkan kondisi anggota DPR saat ini, bukanlah saat yang tepat. Terlambat! Yang diperlukan ialah menolong mereka agar benar-benar bisa tampil sebagai wakil rakyat secara wajar. Dan itu, hanya dimungkinkan mereka diberi kesempatan untuk belajar. Tempatnya, bisa saja tidak ke Yunani. Yang penting dirundingkan bersama. Bukan asal tentang dan larang. Kalau sepakat umpamanya, apa salahnya kalau mereka diminta ditraining oleh Mario Teguh barang seminggu atau lebih. Bila perlu, diberi juga uang saku, representasi, uang hadir, jaminan asuransi, dst., sesuai ketentuan keuangan negara. Tidak masalah bukan?

Kalau pada periode berikut bangsa kita menghendaki adanya anggota DPR yang wajar, maka syarat utamanya adalah jangan mau menjual diri. Jangan melacurkan diri dengan uang 100 ribu atau jutaan sekalipun dalam pemilihan leislatif. Ini, hanya dimungkinkan kalau kita memiliki sebuah sistem pemilihan legislatif yang mengedepankan prestasi, integritas dan akuntabilitas pribadi. Inilah tugas kita yang lebih penting ke depan. ***

Tidak ada komentar: