Oleh Yosafati Gulo
Pada peringatan hari
jadi ke-66 TNI di Markas Besar TNI Cilanggap, Jakarta, Rabu, 05-10-2011, Kepala
Negara yang sekaligus Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono, kembali menegaskan
perlunya kerja sama banyak pihak untuk memberantas
terorisme. Dikatakannya,
“Aksi teroris, benturan masyarakat, dan gerakan bersenjata kaum separatis,
harus dicegah dan dihentikan”. Ini tidak hanya tanggung jawab Polisi. Tetapi
juga TNI perlu turut mencegah aksi-aksi terorisme yang membahayakan hudip
masyarakat tak berdosa, tegas beliau (Analisa on line, 6 Oktober 2011)
|
Ilustrasi tindakan ngawur |
Pertanyaannya ialah
bagaimana cara mewujudkannya? Pertanyaan ini muncul karena pelaksanaan himbauan
Presiden butuh rambu-rambu yang jelas-tegas. Tidak asal bertindak. Ini perlu bagi
TNI atau para penegak hukum dapat bertindak tidak ngawur. Tanpa rambu-rambu yang tegas, mereka akan ragu. Sebab himbauan ragu yang dilaksanakan dengan ragu
oleh orang yang ragu-ragu, hasilnya tidak hanya meragukan. Pasti ngawur! Dan
ini bukan cuma hukuman jabatan menunggu, tetapi ancaman pelanggaran HAM bisa
menghadang.
Benar bahwa kita sudah
memiliki Perpu No 1 tahun 2002 yang dikukuhkan menjadi UU melalui UU No 15
tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, namun yang diatur dalam ketentuan itu barulah tindakan yang muncul. Ia belum mengatur tindakan pencegahan. Tulisan
berikut bermasud mengungkapkan salah satu kelemahan Perpu dan UU tersebut dan
menawarkan alternatif solusi.
Rumusan Lemah
Bunyi pasal 6 Perpu No 1
tahun 2002 yang ditetapkan menjadi Undang-undang melalui UU No 15 tahun 2003 tentang
pemberantasan terorisme, mengidentifikasikan tindakan terorisme dengan rumusan: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional,...”.
"Sebab himbauan ragu yang dilaksanakan dengan ragu
oleh orang yang ragu-ragu, hasilnya tidak hanya meragukan. Pasti ngawur!"
Entah disadari atau
tidak, rumusan itu sangat lemah. Pertama,
tindakan terorisme tidak dilihat utuh sebagi sebuah sistem. Yang dilihat hanya
letupan, tindakan yang sudah dilakukan dan menimbulkan kerusakan atau suasana
teror. Ini baru satu mata rantai dari serangkaian mata rantai kegiatan
terorisme. Serangkaian mata rantai tindakan lainnya, mulai dari masa persiapan
sampai pada tindakan teror, terlewatkan. Padahal justru di situlah letak
kekuatan terorisme: kematangan persiapan sebelum beraksi. Mestinya, orang yang
terlibat pada kegiatan persiapan itu turut dijaring sebagai teroris.
Peledakan bom di gedung
atau bom bunuh diri hanyalah sebuah titik kulminasi. Jauh-jauh hari sebelum itu,
ada serangkain kegiatan yang pasti dilakuan teroris. Mulai dari sosialisasi ide
secara langsung atau dengan menggunakan media seperti selebaran, jejaring
sosial di internet, pelatihan-pelatihan, diskusi, kegiatan “pencucian otak” berkedok
pengajian, rekrutmen calon “pengantin”, perakit bom, penyediaan bahan dan dana,
dst. Semua kegiatan itu mustahil bisa dijaring dengan bunyi pasal 6 tersebut.
Kedua, dengan rumusan itu pula aparat penegak hukum, utamanya
polisi, Densus 88, atau TNI, tak bisa berbuat banyak. Mereka seolah-olah
disuruh duduk manis menunggu adanya peledakan bom atau perusakan gedung dulu,
baru boleh bertindak. Kendati di depan mata ada gejala yang menjurus pada
tindakan terorisme, mereka tidak berkewenangan menindak, menangkap, atau
menahan pelaku.
Menerapkan Hukum Secara Kreatif
Kelemahan itu tampak makin
lengkap bila dikaitkan dengan sikap para penegak hukum terhadap ketentuan hukum.
Kebanyakan penegak hukum cenderung memahami hukum apa adanya, yang tertulis.
Mereka meneropong hukum hanya dari kaca mata preskriptif. Sebatas apa yang
tersurat dan rumusan pasal atau ayat-ayat. Aspek filosofi dan sosial yang ada
di belakang rumusan pasal dan ayat ogah dipahami dan dipakai sebagai acuan
kreatifitas.
Dalam Perpu No 1 tahun
2002 dan UU No 15 tahun 2003, aspek filosofi dan sosial sudah tertulis jelas.
Hal ini dapat dibaca dari butir a – f pada konsideran
menimbang Perpu dan butir a-e pada UU tersebut. Antara lain disebutkan
bahwa pemberantasan terorisme merupakan upaya untuk “a. ...mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..., d. bahwa pemberantasan
terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional...”.
Dua frase kunci dalam konsideran itu
semestinya dimaknai sebagai acuan kreatifitas para penegak hukum dalam
mewujudkan amanat Presiden. Yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia...” dan
“komitmen nasional”. Dengan frase itu aparat kepolisian atau Densus 88 atau TNI
dapat bertindak secara kreatif. Manakala mengetahui adanya gejala teror aparat harus
segera bertindak. Tak perlu menunggu ada bom bunuh diri atau pembakaran dulu baru
bergerak.
Kreatifitas seperti itu sudah dipraktekkan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ketika mengesahkan penggunaan KTP serta paspor untuk pemilih yang tak
terdaftar pada Pemilu di Yakuhimo, Papua pada Pemilu 2009. Menurut UU
Pemilu, KTP dan Pasror bukan merupakan tanda sah. Namun, MK melakukan itu
karena membaca filosofi sebagai latar UU Pemilu.
Mengidentifikasi Gejala
Dalam kerangka berpikir
seperti itu, mestinya aparat kepolisian atau TNI perlu mengidentifikasi gejala sosial
berbau terorisme. Umpamanya saja, orang yang mengelu-elukan dan menyebut Amrozi
dkk. sebagai pahlawan usai dieksekusi mati beberapa tahun lalu perlu dicurigai
dan diperiksa. Kendati belum tentu sepaham dengan Amrozi, tapi bukan tidak
mungkin ada di antaranya pendukung, calon pelaku, dan atau turut memfasilitasi
terorisme.
Dalam kasus-kasus pidana
perampokan atau pembuhan, tindakan seperti itu sudah diterapkan. Orang yang
melihat atau berada di dekat perampok atau pembunuh, walaupun tidak terlibat
atau malah hanya bengong, biasanya turut diperiksa oleh polisi menjadi saksi
atau bahkan menjadi tersangka jika terbukti bersengkongkol dengan pelaku.
Inilah yang mestinya diterapkan dalam mendeteksi calon-calon “pengantin”
teroris.
Contoh lain ialah beberapa pelaku bom bunuh diri sudah
diketahui sebagai mantan murid terdakwa teroris Abu Bakar Ba'asyir.
Termasuk Pino Damayanto alias Ahmad Yosepa Hayat, pelaku bom Bunuh diri di GBIS,
Kepunton,
Solo itu. Demikian pula ratusan bahkan ribuan orang yang selalu gegap
gempita menyambut Abu Bakar Ba’asyir setiap kali menghadiri sidang sampai
dijatuhi vonis oleh
hakim di PN Jaksel bulan Juni 2011. Seharusnya, orang-orang semacam itu dapat
dianggap terindikasi sebagai (calon) teroris.
Inilah antara lain yang
mendesak dilakukan aparat kepolisian, Densus 88 atau TNI untuk mencegah makin
liarnya para teroris. DPR juga bisa menolong dengan melakukan revisi rumusan
pasal-pasal yang tampak lemah dalam Perpu dan UU tersebut guna memberikan dasar
hukum tindakan aparat penegak hukum. Urusan ini,
nampaknya jauh lebih urgen daripada bikin masalah dengan KPK. Pertanyaannya,
apakah polisi dan DPR mau? Mestinya ya! ***