Rabu, 28 September 2011

MAKIN LIARNYA IDEOLOGI SATU WARNA


Oleh Yosafati Gulo

Bom bunuh diri yang kembali terajadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah pukul 10.15 Wib, 25 September 2011, dapat menunjukkan kepada kita banyak hal.



Di antaranya, pertama, pemerintah Indonesia gagal melindungi kehidupan warganya. Di berbagai kasus, dan kali ini kembali terjadi di Solo, pemerintah hanya mampu mengeluarkan pernyataan prihatin atau mengecam, lalu menghimbau rakyat agar tidak cemas. Setelah menyatakan prihatin, kasus kriminal itu dianggap selesai. Pemerintah tak berbuat apa-apa lagi.

Ketika sekelompok massa menyerbu warga Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Indah Timur, Bekasi, Agustus 2010, atau pemantaian warga Ahmadiyah, atau serangkaian pembakaran terhadap rumah ibadah di depan mata petugas Polisi, memberi bukti bahwa warga masyarakat dibiarkan. Para pembantai dan pembakar rumah ibadah dibiarkan bertindak sesukanya. Dan warga sasaran yang anggotanya dibunuh dan rumah ibadahnya dibakar, juga dibiarkan menderita.

Kalau sebuah pemerintah hanya mampu menghimbau, menyatakan prihatin, apakah pemerintah semacam itu masih perlu? Bukankah dalam kenyataannya rakyat, utamanya yang sering jadi sasaran, berjuang sendiri tanpa atau dengan minimnya bantuan pemerintah?

Ideologi Satu Warna
Kedua, berulangnya kasus bom bunuh diri di Solo, menunjukkan makin liarnya ideologi satu warna di negara ini. Secara hukum, ideologi itu memang tidak dikenal. Ia tidak dicatatkan di Departemen Hukum dan HAM. Ia juga tak terbuka seperti ideologi Pancasila dengan rumusan-rumusan formal. Ia telah dibungkus dan disebar rapi di kalangan penganutnya saja.

Presiden SBY
Pengaruh ideologi itu tampak sangat kuat. Jauh lebih kuat dari pengaruh Pancasilan dalam diri kebanyakan warga Indonesia. Ideologi itu telah merasuk jauh ke dalam sanubari para penganutnya. Hal ini Nampak pada sikap para penganutnya dalam menghadapi kehidupan. Mereka tidak mau hidup lama –sampai akhir hayat–  bersama orang lain yang tak seideologi. Yang tidak seideologi bagi mereka, dinilai tidak layak hidup. Nilai hidup yang lain setara dengan virus atau bibit penyakit yang harus dibabat dan dienyahkan dari bumi Indonesia.

Siapa saja mereka? Rasanya ada di mana-mana. Respon-respon yang memosisikan Amrozi, Imam Samudra, dst., sebagai pahlawan ketika dimakamkan usai dieksekusi mati beberapa tahun lalu menunjukkan kepada kita betapa besarnya jumlah penganut ideologi itu di tengah-tengah masyarakat. Mereka tersebar di berbagai pelosok, dan bahkan mungkin ada di antara anggota keluarga para pejabat.

Gerakan NII yang sempat mengguncang nurani kita beberapa waktu lalu, merupakan upaya melanggengkan indeologi satu warna itu di Indonesia. Penganut ideologi ini mengklaim bahwa merekalah satu-satunya pemilik bumi Indonesia dan berhak hidup di atasnya. Orang yang berwarna lain bagi mereka disetarakan dengan virus, musuh, yang harus dibasmi, dan dienyahkan.

Jika pemerintah masih mau mengakui bahwa negara ini milik bersama dan segala kemajemukan dipahami sebagai anugerah, maka tidak ada jalan lain selain mencegah makin liarnya ideologi satu warna. Pada sisi ini, presiden SBY perlu belajar dari cara kerja mantan Presiden Soeharto (alm). Dalam menangani kasus-kasus rumit, Soeharto tak pernah memelas, curhat. Paling banter ia senyum dengan senyuman The Smiling Jendral-nya yang terkenal itu. Setalah itu, beliau langsung susun strategi dan menanganinya sampai tuntas. Saya kira, dengan cara kerja the Soeharto, maka kasus bom, pembantaian penganut agama lain, dan pembakaran rumah-rumah ibadah berlatarbelakang ideologi satu warna itu, bisa ditangani dalam hitungan bulan.

Tidak Fair

Kalau ada yang mengeritik Polisi dengan berkata bahwa terulangnya kasus bom di GBIS adalah kegagalan Polisi mendeteksi gerak-gerik jaringan terorisme, jelas tidak fair. Dengan kuatnya jaringan mereka di berbagai tempat dan kalangan, plus rapinya mereka berkamuflase, mustahil bisa dideteksi oleh siapa pun. Termasuk Polisi. Apalagi kalau di antara petugas Polisi ada yang mendukung ideologi mereka.
Mantan Presiden Suharto
Kemustahilan mendeteksi mereka, telah terbukti di beberapa kasus di waktu-waktu yang lalu. Banyak warga yang kaget mendengar berita bahwa pelaku bom bunuh diri di banyak tempat ternyata tetangganya sendiri yang sehari-harinya sangat alim, rajin beribadah, ramah, dermawan.

Himbauan agar masyarakat menginformasikan kepada Polisi bila melihat gejala atau orang yang dicurigai sebagai calon pelaku bom, juga tak terlalu berguna. Sebab, calon pelaku bom bunuh diri bisa saja ada di mana-mana bahkan bergaul akrab dengan siapa saja. Hari ini ia tampil sangat baik dengan berbagai kamuflase, besok ia sudah meledakkan diri. Lagi pula, meskipun Polisi memenjarakan seratus orang calon pelaku bom, tindakan itu mustahil berakhir sepanjang ideologi satu warna terus dibiarkan berkembang di samping ideologi Pancasila. Ideologi mereka telah menerjemahkan secara baik Motto “Mati Satu Tumbuh Seribu”.

Maka, sekali lagi, kalau pemerintah masih mau mengakui makna Bhineka Tunggal Ika di atas bumi Indonesia, tindakan yang disarankan ialah memberantas ideologi satu warna itu. Tidak sekadar mengejar pelaku atau memenjarakan mereka. Pertanyaannya, apakah pemerintah mau? Jawaban ini seharusnya keluar dari pernyataan Presiden SBY, bukan? ***