Minggu, 15 Juli 2012

Ada Apa Dengan Posisi Tawar Masyarakat Nias?


oleh Yosafati Gulo
Dalam akun Face Book Forum Nias Barat, bung Nefos Daeli (ND) bilang begini, “Komunitas Nias belum menjadi kekuatan untuk position of bargaining dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, paling tidak untuk di Provinsi Sumatera Utara.”
Saya tergelitik membaca pernyataan tersebut karena dalam diskusi selanjutnya terkesan makin menjauh dari pokok diskusi. Ada yang menanggapinya dalam skopa nias dan ada yang sekadar Nias Barat. Ada yang meninjaunya melulu dari aspek geografi, kualitas SDM, dan ada juga yang melihatnya sebagai konsekuensi belum optimalnya perhatian Gereja dan Pemerintah Daerah di Nias.
Saya kira yang hendak diangkat ND adalah posisi tawar masyarakat Nias dalam “pertarungan” politik guna memengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan mengambil keputusan-keputusan politik (kebijakan) atas pembangunan masyarakat. Jangankan secara nasional, di tingkat Sumatera Utara pun masyarakat Nias belum bisa bicara.  Belum memiliki posisi tawar (bargaining position).
Persoalan geografis dan SDM, sempat ditangkis ND.  Dengan mengambil contoh daerah lain (walaupun tidak disebut daerah mana), yang letak geografisnya “jauh” dan SDM biasa-biasa, mereka toh memiliki posisi tawar, tulis ND. Dengan pernyataan tersebut, tentu saja ND tidak bermaksud memutlakkan aspek geografis sebagai satu-satunya faktor penentu. Sebab untuk mendapatkan sebuah posisi tawar dalam menentukan keputusan politik, pastilah banyak faktor yang jalin-menjalin menjadi sebuah kekuatan.
Rupa-rupa Potensi
Untuk memengaruhi keputusan politik, saya kira sangat ditentukan oleh rupa-rupa potensi yang ada di tiap daerah. Bisa aspek geografisnya yang strategis dalam percaturan politik dunia atau nasional, kualitas SDM, kekompakan masyarakatnya yang tinggi, sumber daya alam potensial, sikap para pemimpin dalam lembaga-lembaga publik atau perpaduan semuanya.
Kendati demikian, daerah yang memiliki potensi tinggi walaupun hanya satu-dua aspek, cenderung memiliki posisi tawar dalam pengambilan keputusan politik. Ia akan diperhitungkan baik-baik oleh pemerintah dan DPR. Lebih-lebih kalau potensi tersebut memmiliki efek yang terkait erat terhadap ekonomi negara atau isu yang sedang menjadi perhatian dunia.
Sekadar contoh kita bisa lihat posisi tawar masyarakat Papua yang walaupun masih tersendat-sendat, namun karena potensi sumber daya alamnya yang amat besar, tidak dengan mudah disepelekan oleh pemerintah pusat dalam mengambil keputusan politik. Kebijakan pembangunan yang selama beberapa Pelita Orde baru terlalu memihak pada masyarakat Indonesia Bagian Barat, dewasa ini mau tidak mau ditinjau karena berbagai protes masyarakat Papua dan daerah-daerah lain di Indonesia Timur. Keputusan-keputusan politik yang sebelumnya cenderung memosisikan Papua, Kalimantan, sebagai objek untuk sekadar mendapatkan uang, belakangan mulai dikoreksi karena tuntutan-tuntutan masyarakat.
Contoh lain adalah keputusan DPR dan Pemerintah ketika membuat UU No 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Di tangan DPR, pembahasan UU ini memakan waktu sekitar lima tahun. Di satu sisi ada tekanan-tekanan politik dari partai politik yang dikuasai oleh golongan agama tertentu, tapi di sisi lain ada perlawanan dari berbagai komponen masyarakat. UU itu memang berhasil diteken Presiden SBY tanggal 28 November 2008 dan ada juga yang dipejara dari jeratannya. Tetapi secara keseluruhan, UU itu tidak dapat dilaksanakan secara konsisten.
Lihat saja hura-hura pornografi dan pornoaksi di sekitar kita. Makin hari makin subur. Apalagi di dunia maya. Sekalipun Kemenkominfo telah menyatakan tekadnya memblokir ribuan situs porno tiap bulan, kenyatanya  belum memberikan hasil memadai. Gambar-gambar yang merangsang syahwat masih saja berseliweran di berbagai jaringan internet.
Barangkali itulah yang mendorong Presiden SBY untuk menerbitkan Perpres No 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi tanggal 2 Maret 2012. Dengan anggota 11 Menteri plus Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Ketua lembaga sensor film, dan dikomandoi oleh Menko bidang Kesra dan Ketua Harian Menteri Agama, Presiden SBY beranggapan bahwa pornografi dan pornoaksi dapat dicegah.
Selain UU itu tak berkutik, posisi tawar masyarakat Bali terhadapnya, jelas tampak. Sekalipun sudah diundangkan, Bali tak mudah mengiyakan. Ia sangat sadar bahwa bila hal itu diterapkan, para turis asing akan enggan datang ke Bali. Karena potensi wisata Bali cukup besar, maka negara pun tidak bisa berbuat banyak, bukan? Padahal kalau undang-undang itu diterapkan secara konsisten, maka siapa pun yang melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi di bumi Indonesia akan dihukum.
Contoh lain, kita bisa medilihat posisi tawar pengusaha ketika serikat pekerja dan berbagai organisasi buruh ribut soal rendahnya upah minimum. Kendati secara faktual upah minimum tidak mencukupi kebutuhan normal, pemerintah dan DPR tidak bisa sesukanya membuat regulasi. Posisi tawar pengusaha cukup tinggi untuk melahirkan keputusan politik mengenai upah buruh.
Posisi Tawar Masyarakat Nias
Menyimak contoh-contoh di atas, nampak bahwa lemahnya posisi tawar masyarakat Nias bisa dimaklumi. Ditinjau dari aspek kandungan bumi dan kontribusinya bagi perekonmian nasional, secara alami turut melemahkan posisi itu. Aspek pariwisata yang seharusnya dapat dijadikan andalan, juga belum disentuh secara sungguh-sungguh. Yang terjadi adalah adanya kesan pembiaran keberlangsungan pariwisata Nias secara alami.
Menjadikan aspek pariwisata sebagai andalan, pada hemat saya harus dilakukan secara sistemik. Semua aspek yang terkait dengan pariwisata perlu dikembangkan secara terstruktur. Sebab pada saat kita menata daerah tujuan wisata, tentu harus diperhitungkan faktor infrastruktur jalan, penginapan, kebutuhan-kebutuhan dasar wisatawan, paket kegiatan, dst. Paket-paket wisata di Bali dan Lombok, nampaknya perlu dipelajari.
Dalam Lokakarya Pengembangan Ekonomi Lokal Kepulauan Nias 2012-2016 di Hotel JW Marriott, Medan, beberapa waktu lalu, Purwoko, salah seorang Consultant UNDP bilang, “Orang berbicara bahwa Nias itu sangat bagus, tetapi road map-nya? Kalau orang mau bepergian, dalam 1 jam apa yang dilihat, dalam 3 jam apa yang dilihat, dalam 1 hari itu apa yang dilihat, 7 hari apa yang dilihat, itu belum ada road map-nya. Ini yang harus dibuat,” kata Purwoko.
Ini artinya, pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama pembangunan masyarakat Nias perlu memiliki program yang terstruktur. Entah itu jangka pendek, menengah, ataupun jangka panjang. Salah satu yang pokok menurut saya adalah pengadaan tenaga ahli. Mustahil kita mendapatkan hasil yang optimal bila aspek periwisata ditangani oleh orang yang tidak memiliki spesialisasi di bidang itu.
Secara instan, tenaga ahli itu bisa saja didatangkan dari luar Nias, di-hire. Tapi itu, tidak menjawab persoalan dasar. Hanya bermanfaat untuk keperluan sesaat. Untuk jangka panjang, adalah menyiapkan tenaga-tenaga ahli dari Nias melalui pendidikan formal. Pemerintah daerah perlu menyekolahkan siswa berprestasi dan berminat di bidang itu. Mereka inilah kelak yang diharapkan melakukan pembenahan yang lebih sistematis sampai Nias menjadi daerah wisata berkelas.
Bersamaan dengan itu, perlu pula diadakan program yang bermuara pada pengembangan aspek lain seperti pertanian dan industri rumah tangga, kerajinan yang belum digarap. Dengan cara ini, suatu saat kita berharap hasil-hasil pertanian, hasil kerajinan, industri rumah tangga dapat disandingkan dengan produk-produk daerah lain yang memiliki nilai untuk dipakai atau dijadikan cindera mata oleh siapa saja yang berkunjung ke Nias. Menurut saya, inilah salah satu cara ampuh untuk mengkonstruksi posisi tawar masyarakat Nias secara nasional dan paling sedikit di tingkat Sumatera Utara seperti yang diimpikan oleh ND.
Pada sakala lebih kecil, tiap Kabupaten perlu melakukan pendekatan serupa. Dalam terminologi pembangunan hal ini dikenal dengan sebutan produk unggulan daerah. Produk unggulan inilah yang perlu dikembangkan secara fokus. Perlu diingat bahwa mengerjakan semua bidang secara serempak cenderung memberikan hasil minimal. Berkembang banyak, tapi dengan hasil sedikit-sedikit. Tapi bila fokus pada satu bidang unggulan dan bidang itu maju, langsung atau tidak, ia akan mengimbas pada bidang lain ***
 
Artikel terkait:
Pendekatan Ekowisata Tepat Diterapkan di Pulau Nias