Oleh Yosafati Gulo
Sebuah
PTS yang pernah punya nama besar karena banyak dosen dan mahasiswanya sering
mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah, nampak sangat bersemangat membuat sejarah.
Tapi kali ini, bukan hal hakiki. Hanya menyangkut pembagian tahun akademik dari
dua semester menjadi trimester. Melalui sebuah Surat Keputusan, Rektor (katakanlah
bernama X) di PTS tersebut menetapkan Peraturan Penyelenggaraan Kegiatan
Akademik Dalam Sistem Kredit Semester, seluruh fakultas diwajibkan untuk
menerapkan model tersebut mulai tahun akademik 2012/2013.
Sebelumnya,
hanya 21,4 % dari seluruh fakultas di PTS itu yang menerapkan trimester. Yang 78,6%,
menerapakan pembagian tahun akademik atas dua semester pertahun seperti di
PTN-PTS lain di Indonesia.
Keinginan
Rektor X itu sebetulnya sudah dilontarkan lama. Sejak ia menjadi Rektor periode
sebelumnya yang sempat diselingi satu periode oleh Rektor lain. Sayangnya beliau
gagal meyakinkan Dirjend Dikti dan
Kopertis tempatnya bernaung. Al hasil, gagasan itu ditolak. Malahan setelah ia
turun dari jabatan Rektor, PTS bersangkutan pernah ditegur oleh Dirend Dikti
dan Koordinator Kopertis.
|
Illustrasi, sumber : http://ma1annuqayah.sch.id/berita-205-inovasi-pendidikan.html |
Di
kampus itu, sistem tersebut sempat menimbulkan kisruh. Gelombang protes mahasiswa
sempat mewarnai kampus selama beberapa tahun. Tentu, mengganggu perkuliahan.
Maka, Rektor sesudahnya (katakanlah bernama Y),
mau tidak mau menempuh jalan kompromi. Tiap fakultas boleh memilih model
dua semester atau trisemester. Hasilnya, ya, itu tadi. Lebih banyak yang
memilih semesteran. Tapi ini tidak
dilaporkan kepada Dirjend Dikti atau Kopertis. Yang dilaporkan, juga kalau ada
tim akreditasi, adalah bahwa PTS tersebut sudah kembali menerapkan model semesteran.
Tidak Terang-terangan
Koordinator
Kopertis sebenarnya sudah tahu. Namun, karena pertimbangan resiko bagi lembaga
dan mahasiswa, Koordinator Kopertis pura-pura tidak tahu seraya tetap
mengingatkan PTS bersangkutan agar segera kembali menerapkan sistem semesteran.
Tapi, peringatan tersebut tidak dihiraukan.
Terutama setelah Rektornya kembali dijabat X. Beliau yakin bahwa gagasan
trimester tidak melanggar hukum. Lebih-lebih setelah terbitnya PP No 17 Tahun
2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Rektor X kian yakin bahwa model
trimester sudah memiliki payung hukum.
Herannya,
model itu tidak terang-terangan ditulis dalam peraturan akademik. Secara
malu-malu dibungkus rapi dengan mengakali istilah “semester antara” dalam PP. Caranya?
Tahun akademik ditulis terdiri atas dua semester yaitu semester genap dan gasal.
Namun, dalam kalender akademik, jadwal registrasi mata kuliah, dan jadwal
pembayaran uang kuliah mahasiswa, wajah yang muncul adalah trimester dengan
predikat semester gasal, semester genap, dan semester antara. Waktu tatap muka
ketiganya dipukul-rata 14 minggu dan banyaknya beban studi mahasiswa tiap
trimester dipatok antara 12-18 SKS.
Bercermin
pada ketentuan PP No 17, tahun akademik di PTS itu tampak aneh. Ayat (2) pasal
87 menyatakan, “Tahun akademik dibagi dalam 2 (dua) semester yaitu semester
gasal dan semester genap yang masing-masing terdiri atas 14 (empat belas)
sampai 16 (enam belas) minggu.” Kata “yaitu” (dari kata ya+itu) dalam ayat ini
jelas merupakan penegasan bahwa satu tahun akademik hanya ada dua semester (1
semester= 6 bulan).
|
Illustrasi, sumber : http://www.smartnewz.info/2012/03/6-ciri-orang-yang-tidak-pede.html |
Ayat (3)
menyatakan, “Di antara semester genap dan semester gasal, perguruan tinggi
dapat menyelenggarakan semester antara untuk remediasi, pengayaan, atau
percepatan.” Kata “dapat” dalam rumusan ini mengandung dua makna. Satu, semester antara tersebut tidak
diwajibkan. Sifatnya opsional. Ia boleh diadakan, boleh juga tidak. Dua, jika diadakan, maka tujuan pelaksanaannya,
ya, optional juga. Bisa untuk remediasi saja bagi mahasiswa yang mengulang satu-dua
mata kuliah yang bernilai jelek pada semester sebelumnya. Bisa untuk pengayaan bagi
mahasiswa yang mau memerdalam ilmunya. Atau bisa untuk percepatan bagi mahasiswa
yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dengan mengambil satu-dua atau lebih mata
kuliah. Jadi, semester antara tidaklah
sama dengan semester genap dan gasal. Ia hanya perlu diadakan bagi mahasiswa
yang butuh remidiasi, atau pengayaan, atau percepatan. Di PTN dan PTS lain, hal
itu dikenal dengan semester pendek.
Argumen
hukumnya ialah jika makna istilah semester gasal = semester genap = semester
antara, maka rumusan ayat (2) tidak begitu. Rumusan yang pas adalah: “Tahun
akademik dibagi 3 (tiga) semester yaitu semester gasal, semester genap, dan
semester antara”. Nyatanya tidak
demikian. Pembuat PP paham bahwa waktu setahun hanyalah 12 bulan. Argumen ini
diperkuat oleh ketentuan ayat (4) pasal 87 PP No 17: “Ketentuan lebih lanjut
mengenai semester antara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri” (Permen).
Ini
artinya “semester antara” memang memiliki makna khusus, sehinga perlu diatur
lebih lanjut dengan PerMen. Dengan kata lain, sebelum ada PerMen, ketentuan
ayat (3) tersebut belum dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu, bila PT (N/S) ingin
menyelenggarakannya, Rektor tak perlu memaksakan penafsiran tunggalnya sebagai
kebenaran mutlak. Sebelum ada PerMen, tak patut bagi PTS memaksakan pemahaman bahwa
semester antara = semester gasal =
semester genap.
Pilot Proyek
Melakukan
innovasi tentu saja baik. Membuat sejarah sebagai innovator juga baik. Tapi,
mengapa harus terburu-buru? Mengapa konsep innovasi tidak dimatangkan lebih
dahulu? Di 21,4% fakultas tersebut di atas mungkin lebih baik dijadikan pilot
proyek dulu. Lalu dalam kurun waktu tertentu dievaluasi, diperbaiki yang kurang
dan disempurnakan yang sudah baik. Hasil evaluasi nantinya dipakai untuk mematangkan konsep lewat seminar yang
melibatkan para ahli pendidikan.
Tanpa
proses semacam itu, saya tidak melihat hal esensial dalam trimester. Teman saya
bilang, identik dengan kebiasaan makan saja. Ada orang yang suka makan dua kali
dalam sehari dengan porsi jumbo dan ada yang suka makan tiga kali denga porsi
lebih kecil. Hasil akhirnya sama. Dua kali atau tiga kali makan dalam sehari
tidak mengubah kualitas makanan yang dimakan. Juga tidak meningkatkan kualitas orang
yang makan.
Kalau
mau dikenal sebagai innovator, dicatatkan diri dalam sejarah, lebih terpuji
jika dilakukan dengan cara-cara wajar. Yakinkanlah dunia akademik melalui
tulisan dan seminar. Tunjukkan keunggulan proses pelaksanaanya di 21,4% fakultas
yang sudah melaksanakannya. Cara seperti inilah yang sesuai dengan dunia
akademik yang lebih patut daripada cara-cara militer dengan sistem komando.
|
Illustrasi, sumber: http://admissions.umm.ac.id/id/Informasi%20Umum-Tentang%20UMM-Penelitian%20dan%20Pengabdian.html |
Dunia
akademik memang beda dari dunia militer. Perbedaan pendapat di dunia akademik
adalah wajar dan dihargai. Sebelum sebuah innovasi diterima, mungkin ia menjadi
bahan perdebatan panjang yang melelahkan. Bahkan kecaman dan cemoohan. Baik
secara lisan maupun tertulis. Tapi innovator sejati tidak mudah menyerah, putus
asa, apalagi kalap.
Mahasiswa Diajak Tarung
Contoh sikap
kalap ialah respon seorang pejabat struktural di PTS tersebut ketika menghadapi
protes mahasiswa pada bulan Agustus 2012. Mahasiswa protes karena dinilai tidak
sesuai dengan program studi mereka. Menanggapi protes mahasiswa, pejabat itu bilang,
“Ini sudah menjadi keputusan rapat pimpinan. Kalau ada yang memermasalahkan
secara hukum, kami siap 100 persen. Kalau merasa ini ilegal, kami siap menghadapi
di pengadilan sekalipun,” tegasnya tanpa malu menantang mahasiswanya.
"Ini sudah menjadi keputusan rapat pimpinan. Kalau ada yang memermasalahkan
secara hukum, kami siap 100 persen. Kalau merasa ini ilegal, kami siap menghadapi
di pengadilan sekalipun"
Respon
tersebut jelas janggal dalam dunia akademik. Protes seharusnya ditanggapi
dengan argumen ilmiah. Proters terhadap peraturan akademik seharusnya direspon
dengan paparan dan penalaran. “Senjata” untuk memenangkan ide seharusnya kajian
ilmiah dengan dukungan bukti empirik. Bukan dengan mengajak mahasiswa
berkonflik atau tarung di pengadilan, Sebab dosen bukan preman pasar. Lagi pula, itu tak mendidik. Respon itu tak
lebih dari unjuk arogansi kuasa.
Menanggapi
cara penanganan protes tersebut, banyak alumni dari PTS bersangkutan kaget.
Mereka katakan bahwa lembaga mereka itu dulu dikenal sangat demokratis. Sangat
menghargai perbedaan pendapat. Tapi, sekarang malah memasung perbedaan pendapat, membunuh demokrasi.
Para pejabatnya serem-serem. Lebih cocok disebut militer daripada dosen. Orang
yang berbeda pendapat dianggap musuh. Cara berpikir yang dikonstruksi mirip
doktrin militer yang hanya membagi manusia atas dua kategori : kawan dan lawan!
Saya
jadi bertanyatanya, ada apa dengan para
pejabat di PTS tersebut? Hal yang kulit-kulit kok dijadikan pokok,
sementara yang pokok tidak disentuh?
Artikel terkait: