Oleh Yosafati Gulo
Korupsi di Indonesia tak ubahnya amuba yang terus membelah
diri atau kanker ganas yang terus merambat menggerogoti tubuh bangsa. Gencarnya
media cetak dan elektronik memberitakan para pejabat seperti Gubernur,
Bupati/Walikota dan anggota DPR/DPRD yang dibui karena tersangkut pidana
korupsi sepertinya tak cukup menyurutkan niat banyak orang untuk melakukan
korupsi.
Seiring dengan itu, semangat memberantas korupsi juga terus
dipacu. Diundangkannya UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang
kemudian diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, disusul UU No 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan wujud kesungguhan
pemerintah untuk memberantas korupsi.
Anehnya upaya tersebut seperti tak punya taji. Hal ini
nampak dari makin meningkatnya jumlah pejabat yang terjerat korupsi. Data yang
dilansir oleh situs Kementerian Dalam Negeri misalnya mencatat sampai tahun 2012 ini ada 173 Kepala Daerah dari berbagai
daerah di tanah air telah tersangkut berbagai kasus korupsi. Status mereka
macam-macam. Mulai dari saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpindana (http://www.setkab.go.id). Kompas.com mencatat, dari jumlah tersebut ada setidaknya 17 orang
dari 33 Gubernur dan 138 orang Bupati/Walikota dari total 497 Bupati/Walikota
di seluruh Indonesia dinyatakan terlibat korupsi.
Yang menarik, dalam kebanyakan --kalau tidak dikatakan
setiap-- kasus, para penegak hukum cenderung menjerat terdakwa dengan dalih kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kasus-kasus kontrak konstruksi
atau pengadaan barang.jasa pemerintah, kasus kredit macet, atau pemberian
pinjaman kepada perusahaan yang dinilai mengarah pada wanprestasi (ingkar
janji) atau kredit macet cenderung dijerat dengan pasal-pasal dalam UU No. 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 2 ayat (1) UU No 31 tahun 1999 jo
UU No 20 tahun 2001 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001
tersebut dan sejumlah UU lain terkait dengan keuangan negara.
Pemaksaan Konsep
Yang nampak kemudian adalah terus bermunculannya
dakwaan Jaksa dan keputusan hakim terhadap terdakwa secara tendensius. Semua
pelanggaran dalam berbagai kegiatan pembangunan, kegiatan perbankan atau
yayasan seolah dipaksa untuk dipahami hanya sebagai tindak pidana korupsi yang
melulu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Konsep Wanprestasi
dalam kontrak, kesalahan prosedur, atau konsep resiko bisnis dalam sebuah perseroan
hampir selalu diartikan sebagai tindakan korupsi yang merugikan keuangan
negara.
Kasus kegagalan bangunan karena ketidaksesuaian
spesifikasi dalam kontrak dengan hasil konstruksi cenderung dijadikan sebagai
tindak pidana korupsi. Kasus Aulia Pohan yang menggnakan dana sengembangan
Perbankan Indonesia (YPPI) untuk memberikan bantuan hukum kepada empat mantan
Direksi BI yang tersandung masalah hukum dijerat dengan UU No 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Kasus pemberian kredit Bank Mandiri oleh Neloe dan
kawan-kawan juga dijerat dengan UU yang sama selain pasal-pasal UU tentang Pemberantasan
Korupsi.
Dasar dakwaan jaksa dan putusan hakim secara sepintas memang
bisa dibenarkan. Didukung oleh rumusan pasal 1 angka 1 UU No 17 tahun 2003 yang
berbunyi, “Keuangan Negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”
Dikatikan dengan
wilayah keuangan negara sebagaimana dirumuskan pada pasal 2 UU No 17, konsep
keuangan negara sebagai dasar para jaksa dan hakim dalam menangani perkara
tampak mudah tapi sekaligus membingungkan. Disebut demikian, karena wilayah
keuangan negara makin diperlebar sampai pada kekayaan pihak lain seperti milik
perusahaan atau yayasan (lihat Pasal 2 huruf g, h.i UU No 17 tahun 2003).
Akibatnya para
penegak hukum bisa dengan leluasa menjerat siapa saja dalam kasus apa saja yang
terindikasi atau mengarah pada kerugian keuangan negara, sekalipun hal itu
terjadi di luar wilayah kekuasaan pemerintah seperti dalam perseroan atau
yayasan. Senjata mereka umumnya adalah rumusan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3
ayat (1) UU No 31 tahun 1999 jo 20/01. Pasal 2 ayat (1) berbunyi : “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).”
Pasal 3 ayat (1) berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Dengan rumusan kedua
pasal itu, sekalipun seseorang belum melakukan tindakan korupsi yang merugikan
uang negara ia toh bisa dijerat. Istilah “melawan hukum” dan “dapat” sebelum
frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam rumusan di atas
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal dan material.
Artinya, meskipun
perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan per-UU-an, namun apabila perbuatan
itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
dalam kehidupan sosial oleh Jaksa atau hakim, atau meskipun seseorang belum
melakukan tindakan korupsi asalkan sudah memenuhi unsur delik formal maka
perbuatan itu dapat dipidana (Nindyo Pramono, 2010:8). Akibatnya ialah, selain
penerapan hukum terkesan asal-asalan, rasa keadilan dalam menerapkan hukum
terabaikan.
Penataan Hukum keuangan
Untuk mengatasi kekacauan di atas, saran Arifin P.
Soeria Atmadja (2009), nampaknya perlu dipertimbangkan secara serius. Beberapa
di antaranya ialah, pertama, adanya kesepahaman mengenai konsep negara dan
daerah sebagai badan hukum publik yang
pada saat yang sama dapat berperan sebagai badan hukum privat. Sebagai badan hukum publik keuangan
negara yang dikelola oleh negara dan daerah tunduk pada peraturan perundang-indangan
yang berlaku di negara dan daerah. Keuangan negara dalam bentuk ABPN dan APBD
tunduk pada UU APBN dan Perda. Keuangan negara yang dipisahkan dan dipakai
untuk mendirikan usaha seperti PT umpamanya harus tunduk pada UU No 40 tahun
2007 tentang Persoroan Terbatas. Demikian pula keuangan badan atau lembaga
negara yang dipisahkan untuk mendirikan yayasan, harus tunduk pada UU No 16
tahun 2001 tentang Yayasan dan UU No 28 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No
16 tahun 2001 tentang Yayasan, dst.
Kedua, adanya kesepahaman mengenai konsekuensi hukum
atas tindakan pemerintah pusat dan daerah ketika memisahkan uang negara
berdasarkan peraturan pemerintah mengenai penyertaan modal negara (PMN) atau
daerah dalam bentuk keputusan gubernur atau bupati/walikota dan ketika uang
yang sudah dipisahkan itu ditempatkan menjadi saham dalam mendirikan sebuah
perseroan terbatas. Tindakan memisahkan uang negara atau daerah menunjukkan status pemerintah
sebagai badan hukum publik, sementara tindakan menempatkan uang yang dipisahkan
itu dalam bentuk saham menunjukkan status pemerintah sebagai badan hukum
privat. Sebagai yang demikian, konsekuensi hukum atas tindakan “memisahkan” dan
“menempatkan” tersebut, termasuk jika ada pelanggaran, merupakan konsekuensi
hukum publik dan privat.
Berdasarkan jalan pikiran di atas, maka kasus Aulia
Pohan atau Neloe dan kawan-kawan, seharusnya tidak termasuk kerugian keuangan
negara. Penggunaan uang YPPI oleh Aulia Pohan sebagai salah seorang pengurus
YPPI bukanlah penggunaan uang negara, melainkan penggunaan uang yayasan;
pemberian pinjaman kredit oleh Neloe dan kawan-kawan kepada CGN bukanlah
meminjamkan keuangan negara, melainkan uang PT Bank Mandiri. Oleh sebab itu,
jika mereka dinilai salah, maka takaran yang tepat adalah aturan hukum mengenai
yayasan dan perseroan terbatas.
Ketiga, adanya tekad pemerintah dan DPR untuk meninjau
kembali ketentuan perundang-undangan mengenai konsep kerugian keuangan negara.
Sebab memasukkan kerugian swasta atau badan hukum privat seperti PT atau
yayasan sebagai kerugian keuangan negara hanya karena pihak swasta menggunakan
fasilitas pemerintah (lihat huruf i pasal 2 UU No 17 tahun 2003) adalah konsep
yang bisa membahayakan negara dan menghambat perkembangan dunia usaha. Sebab
dengan konsep itu, negara turut bertanggung jawab atas kekayaan swasta yang
memeroleh fasilitas pemerintah. Jika pihak swasta mengalami pailit, negara
turut bertanggung jawab menanggung utang pihak sawsta yang telah menggunakan
fasilitas pemerintah.
Pada hemat saya, hanya dengan penataan tersebut
dimungkinkan adanya kejelasan batasan keuangan negara dan keuangan swasta
sehingga penanganan pelanggaran yang timbul di dalamnya sekaligus merupakan
upaya menegakan hukum secara tertib. Oleh sebab
itu, upaya pemberantasan korupsi tidak merusak ketetiban dalam menegakan
hukum.***