Senin, 27 Desember 2010

STATUS BANTUAN RUMAH PANGERAN ALBERT II dan AUSTRALIAN RED CROSS DI SIROMBU

Oleh Yosafati Gulö

Pada edisi ke-3, Desember 2010, Mingguan Jarak Pantau memuat berita berjuudul “700 Rumah Bantuan Tsunami di Nias Barat Tidak Jelas Kepemilikan”. Dinyatakan bahwa status kepemilikan rumah yang dibangun bagi para korban tsunami di Desa Sirombu, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias Barat hingga saat ini belum jelas. Rumah dan pertapakan masih dibawah pengendalian “bos” Posko Delasiga Fonaziduhu Marundruri. Bahkan beredar MoU yang menyatakan bahwa status kepemilikan rumah adalah hak pinjam pakai.

Setelah membaca berita tersebut, hati kecil saya bertanya apa benar demikian? Bukankah Pangeran Albert II dari Monaco dan Palang Merah Australia sudah menyerahkan rumah bantuan mereka tersebut kepada korban Tsunami tahun 2006 lalu? Lalu mengapa hal itu dikatakan belum jelas status kepemilikannya?

Untuk mencegah munculnya anggapan-anggapan yang tak objektif, saya lantas membuka-buka dokumen. Termasuk berita banyak media tentang perumahan di Sirombu pasca Tsunami 26 Desember 2004 dan Gempa 28 Maret 2005 sebagaimana tertuang pada tulisan berikut.

Laporan UID dan ARC

Menurut Laporan UID (United In Diversity atau Yayasan Untuk Indonesia Damai) dan Palang Merah Australia (Australian Red Cross, ARC) pada RAN Data Base BRR, perumahan di Sirombu pasca Tsunami dan Gempa dibangun oleh Yayasan Zero Two One dari Asutralia. Yayasan ini berfungsi sebagai kontraktor. Biaya pembangunan sepenuhnya didanai oleh MAS (Monaco Asia Society) dari sumbangan Pangeran Albert II dari Monaco --yang juga Ketua Kehormatan MAS-- dan ARC. Laporan ini sudah dirilis beberapa harian Nasional, antara lain, Kompas, 4 Desember dan Sinar Harapan, 6 Desember 2006.

Total dana yang dikucurkan masig-masing sebesar USD 1,851,852 oleh MAS dan USD 1,500,000 oleh ARC. Dana ini setara dengan Rp 17.553.703.686 dan Rp 14,218,500,000 pada saat itu.

Dana dari MAS dialokasikan untuk membangun 239 rumah, 1bangunan SD, beasiswa untuk 282 siswa dari tingkat SD sampai SMA di Sirombu pada T.A. 2005-2006, kapal nelayan 60 buah lengkap dengan peralatan penangkapan ikan, dan 1 kapal motor berbobot 10 ton. Sementara dana dari ARC dialokasikan untuk membangun 254 rumah selain 9 jembatan dan 3 sistem air bersih.

Dalam kunjungannya ke Nias 3 Desember 2006 saat meresmikan bantuan kemanusiaan tersebut, Pangeran Albert II dari Monaco menegaskan bahwa bantuan tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada korban Tsunami. Hal serupa ditegaskan oleh Robert Tickner, Ketua Eksekutif Palang Merah Australia, ketika menyerahkan kunci rumah kepada Yosua, istrinya Rosinta dan tiga anak-anaknya untuk rumah baru mereka sebagai simbol penyerahan awal dari keseluruhan rumah yang dibangun ARC pada Juli 2005 (http://www.ifrc.org).

Dari laporan tersebut, jelas bahwa status kepemilikan rumah bantuan korban Tsunami dan gempa bukan hak pinjam pakai. Tetapi hak milik. Bahwa saat itu tidak ada surat penyerahan dari pemberi kepada para korban, tidak dengan sendirinya mengubah status bantuan menjadi pinjam pakai.

Andaikata pinjam pakai pun, siapa yang menempati posisi pemilik setelah masa pinjam pakai selesai? Pangeran Albert II dari Monaco? MAS? ARC? YCAB? Ataukah Föna Marundrury? Rasanya Pangeran Albert II dari Monaco dan ARC yang juga memberikan bantuan serupa di berbagai negara sebagai bagian dari kegiatan sosial mereka tidak akan melakukan hal itu. Sebab mereka memberi, menolong korban Tsunami dan gempa, melulu dimotivasi oleh rasa kemanusiaan. Bukan motivasi lain.

Persoalan setifikat kepemilikan, memang seharusnya diurus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tapi biaya pengurusan ini (kalau ada) tidak semestinya dibebankan kepada para korban. Seharusnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Anggaplah hal itu merupakan kontribusi Pemda bagi korban. Karena itu, perlu diberikan cuma-cuma juga.

Faktor UID-Cherie Nursalim

Tergeraknya Pangeran Albert II membantu, bukanlah tanpa alasan. Selain biasa beliau lakukan di berbagai negara, faktor UID merupakan faktor inti. Disebut demikian, karena lembaga inilah pemrakarsa inisiatif pemberian bantuan bagi para korban atas dorongan anggota Dewan Pembina IUD, Cherie Nursalim (CN). CN sendiri tergerak bukan karena dimotivasi pamrih atau karena adanya hubungan lahiriah dengan para korban di Sirombu. Ia malah tidak mengenal para korban secara pribadi. CN nampaknya didorong oleh panggilan empati manusiawinya sebagai seorang ilmuwan dan aktivis sosial.

Panggilan tersebut tampak menggebu setelah tahu bahwa sekitar dua bulan setelah Tsunami, perhatian dunia dan Pemerintah Indonesia terhadap korban di Sirombu sangatlah minim. Sebagai aktivis sosial, termasuk memprakasai pemberantasan penyakit AIDS HIV di Indonesia, hati penerima beberapa pengharagaan atas karya ilmiah dan kegiatan sosial ini gelisah. Minimnya informasi dari liputan media tentang kondisi Sirombu tidak membuatnya surut. Keterbatasan data, informasi, diatasinya dengan jejaring sosial.

Kabar tentang keparahan kondisi para korban diperloleh CN dari sahabatnya Veronica Colondam, CEO Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) yang sudah lebih dulu berada di Nias. Dari informasi ini, CN kemudian menggerakkan UID untuk melakukan survey lapangan pada bulan Februari 2005 bersama YCAB dan Posko Delasiga pimpinan Föna Marundrury yang juga putra daerah asal Sirombu.

Hasil survey itulah yang dipakai CN untuk meyakinkan pihak Mas. Keputusan Mas sebagai lembaga yang dipercaya Pangeran Albert II mengelola dana makin solid karena adanya hubungan baik CN dengan Mr Francesco Bongiovanni, Presiden MAS.

Kini, rumah sudah selesai dan ditempati para korban hampir 5 tahun. Beberapa sarana umum, pemberdayaan ekonomi dan sosial sudah diberikan kepada yang dinilai berhak saat itu. Apakah pantas bila bantuan itu diambil kembali oleh pihak lain untuk maksud di luar niat baik inisiator (Cherie Nursalim) dan Pangeran Albert II dan ARC sebagai pemberi? ***

Senin, 22 November 2010

MEWASPADAI PEMILIHAN CALON BUPATI NIAS BARAT

Oleh Yosafati Gulo

Pemilihan calon Bupati Nias Barat sudah di depan mata. Ada tiga pasangan calon yang sudah mendaftarkan diri di KPU, yaitu pasangan Faduhusi Daeli-Sinar Abdi Gulo, A.A. Gulo-Hermit Hia, Yupiter Gulo dan Raradodo Daeli.

Sama seperti Pilkada di daerah-daerah lain di Indonesia, dengan tampilnya ketiga pasangan itu sekaligus berakibat munculnya polarisasi kelompok pendukung dalam masyarakat. Entah itu berdasarkan latar belakang desa, hubungan kekerabatan/persaudaraan, keyakinan agama, maupun ideologi. Tiga aspek yang disebut terdahulu, merupakan perekat kelompok yang bisa saling tali menali dan saling menguatkan. Sementara aspek terakhir, ideologi, kelihatannya belum memberi pengaruh cukup kuat.

Rekatan karena aspek desa, hubungan keluarga, dan agama dapat spontan menguat. Mereka yang sedesa, ada hubungan keluarga, atau seagama dengan calon tampaknya mulai merapatkan diri. Selain untuk saling menguatkan, mengkosolidasikan diri, mereka juga berusaha mempengaruhi anggota kelompok lain. Sasaran utamanya mereka adalah anggota masyarakat yang dinilai tak ada faktor perekatnya dengan sang rival. Anggota masyarakat dalam kelompok ini dapat dikatakan merupakan wilayah rebutan para calon dan pendukungnya. Tiap pasangan calon dan pendukungnya pastilah berjuang menanamkan pengaruh guna mendapatkan dukungan dari anggota masyarakat tersebut.

Dalam politik, peristiwa semacam itu bukan barang terlarang, tabu. Sudah merupakan sebuah konsekuensi logis dari demokrasi yang perlu diterima secara wajar oleh siapa pun.

Pertanyaannya, aspek mana yang paling berpengaruh di antara ketiganya? Adakah aspek lain yang perlu diwaspadai sebagai penguat atau malah sebaliknya, sebagai perusak?
Faktor Desa dan Kekerabatan

Faktor desa dan kekerabatan nampaknya merupakan perekat cukup kuat di Nias Barat. Sementara faktor agama, menurut saya, bisa ya bisa tidak. Artinya kesamaan agama antara pemilih dengan calon tidak otomatis menjadi penentu pilihan. Kendati agamanya sama, jika tidak didukung faktor lain, termasuk desa asal dan hubungan kekerabatan, bukan tidak mungkin si pemilih justru memilih calon yang agamanya berbeda karena rekatan faktor desa dan kekerabatan. Bahkan faktor lain, katakanlah faktor X, bisa lebih kuat rekatannya daripada faktor agama (hal ini akan dibahas pada bagian akhir). Dikatakan demikian karena politisasi agama di kalangan calon pemilih, Nias Barat, tidak setajam di tempat lain yang agama antar pemilih lebih bervariasi seperti di Jawa dan Sumatera.

Dapat dikatakan bahwa sang calon yang sedesa atau memiliki hubungan persaudaraan dengan pendukung akan mendapatkan dukungan habis. Tanpa atau dengan alasan logis golongan ini cenderung memilih calon yang sedesa atau memiliki hubungan kekerabatan.
Tentu saja bisa diurai mengapa mereka menjatuhkan pilihan pada sang calon. Boleh jadi karena merasa bahwa sang calon pantas, patut, berkualifikasi, memiliki integritas pribadi tinggi, bertanggung jawab, dan jujur sehingga mereka matian-matian memperjuangkannya menjadi Bupati.

Bisa juga karena pertimbangan sedesa, saudara, atau adanya hubungan kekerabatan semata. Tanpa embel-embel lain atau pertimbangan logis-kritis tentang sang calon. Bahkan mereka tidak peduli bagaimana kerja sang calon kelak manakala sudah jadi Bupati. Apakah akan membawa perbaikan dan kemajuan Nias Barat, jalan di tempat, atau malah makin mundur, mereka tak peduli.

Bisa Merupakan Pilihan Tepat

Apakah ini salah? Tentu tidak. Ini bukan soal salah atau benar. Ini persoalan hak dan pilihan untuk menggunakan hak. Tentu tidak mudah mengatakan bahwa Bupati yang terpilih dengan cara ini buruk. Bisa saja merupakan pilihan tepat karena memiliki sejumlah keunggulan pribadi. Baik aspek wawasan, pengetahun, kepemimpinan, manejerial, maupun integritas pribadi yang melebihi calon lain. Karena itu, dalam kepemimpinannya kelak, yang bersangkutan bukan hanya mampu mengangkat harkat desa dan saudara-sudaranya menjadi lebih terhormat. Tapi, benar-benar membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Nias Barat secara adil.

Dan yang lebih penting ialah karena keunggulannya itu, ia berhasil memotong “lingkaran setan” korupsi yang sudah lama merasuki sendi-sendi kepemimpinan sebelumnya. Entah itu di Nias Barat, Nias pada umumnya, maupun di tempat lain di Indonesia. Selain itu, ia juga mampu meletakkan dasar-dasar pemerintahan Kabupaten Nias Barat di atas aturan hukum secara tegas atas bimbingan etika dan moral sehingga kepemimpinan selanjutnya menjadi lebih mudah dalam upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan menuju masyarakat sejahtera-adil-makmur.

Yang jadi soal, adalah kalau yang terpilih justru yang sebaliknya. Mungkin karena kepribadiannya yang selfish, desa oriented, saudara oriented, dan sejumlah egoisme lainnya mengakibatkan kepemimpinannya terjerumus ke dalam pengulangan keburukan yang pernah terjadi. Mungkin pula karena sempitnya wawasan, pengetahuan, atau rendahnya kemampuan kepemimpinan dan manejerial mengakibatkan kepemimpinannya terjerumus pada pengambilan kebijakan tak terarah.

Lebih mengkuatirkan ialah Bupati semacam itu cenderung berputar-putar pada kepentingan dan kesenangan diri sendiri, desa sendiri, saudara sendiri, tanpa atau dengan sendikit memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Nias Barat secara keseluruhan. Contoh-contoh pejabat seperti ini cukup banyak, untuk tidak menyebut seluruhnya, di Indonesia. Di antaranya ada puluhan yang sedang di penjara karena penyelewengan dan korupsi. Latar belakang mereka beragam. Terbanyak Bupati dan Walikota, menyusul Gubernur dan anggota DPRD dan DPR. (silahkan baca di sini: http://kasus-korupsi.com/).

Para pemilih tentu tidak mengharapkan hal tersebut terjadi kepada orang sedesa atau saudaranya. Sebab, apa artinya menikmati keceriaan sehari jika harus menerima imbalan penderitaan bertahun-tahun di penjara. Belum lagi sanksi sosial dan efek psikologi terhadap anak-anaknya, saudaranya, dan orang sedesanya secara turun-temurun.

Faktor X

Selain dua perekat yang disebutkan di muka, ada faktor lain yang juga memiliki daya rekat. Mungkin karena teman sekolah, rekan kerja, sesama anggota organisasi, pernah menerima bantuan dalam bentuk apa pun, pernah menyaksikan apa yang pernah dilakukan sebelumnya, atau faktor kekaguman atas keunggulan pada aspek tertentu, atau paling sedikit pernah mendengarkan dari orang lain tentang diri sang calon, dsb. Faktor-faktor ini bisa menjadi penentu pilihan terhadap calon. Ini artinya, sang calon yang memiliki banyak relasi, banyak keunggulan, dikenal, dapat merupakan modal untuk merebut hati para calon pemilih.

Daya rekat ini dapat setara dengan daya rekat faktor desa dan kekerabatan. Calon pemilih yang tidak mengenalnya sekalipun bisa saja memutuskan memilih calon tertentu apabila ada teman atau kenalan yang memberi informasi tentang sang calon. Terutama di daerah yang merupakan wilayah di luar faktor desa dan kekerabatan.

Tapi ada faktor lain yang sering tak terduga. Sebelumnya saya sebut sebagai faktor X. Sejak sistem Pemilu langsung, baik legislatif maupun eksekutif, diberlakukan di Inedonesia, pengaruh faktor X tersebut menempati posisi terdepan. Pengaruhnya bahkan sangat kuat dalam merebut hati para pemilih. Sekalipun antara pemilih dan calon tidak saling kenal sebelumnya, bahkan berseberangan sekalipun, namun karena faktor X ini hubungannya bisa tiba-tiba berubah jadi akrab seperti teman kental yang sudah bergaul bertahun-tahun. Itulah sebabnya orang sering bilang bahwa dalam politik, tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan. Manakala kepentingan bertemu, meskipun hanya sesaat, maka segalanya bisa berubah.

Masih ingat Ruhut Sitompul, bukan? Dulu ia aktivis gigih dari Partai Golkar. Sekarang? Tahu sendiri bagaimana ia mengelu-elukan pemimpin dan Partai Demokrat karena faktor X tersebut.

Faktor X ini bisa banyak rupa. Bisa sangat halus, tak kasat mata dan bisa juga fulgar. Secara halus, sering tampil dalam bentuk pemberian bantuan bagi desa, gereja, kegiatan sosial, dsb. Secara fulgar, biasanya berupa uang cash, atau berupa janji-janji jabatan, kesempatan berusaha, proyek, atau jaminan sosial tertentu. Mana yang lebih berpengaruh? Tentu tergantung sasaranya. Jika sasarannya orang desa, maka kecenderungan yang lebih berpengaruh adalah pemberian bantuan atau uang cash. Siapa yang bisa memberi banyak, peluangnya untuk dipilih lebih besar. Konon di Nias saat ini ada istilah: “yang sehari milikku, yang lima tahun milikmu. Aku tak peduli idealisme dan sejumlah jargon pembangunan. Kalau mau bayar, aku pilih, kalau tidak, ya, go to hell!”

Kalau sasarannya pegawai, pejabat, pengusaha, maka bantuk faktor X bisa tampil dalam bentuk janji-janji jabatan, kesempatan, atau proyek. Ini artinya, calon yang berani memberi janji sesuai kebutuhan sasaran, peluangnya untuk dipilih makin besar. Lebih-lebih karena sasaran tersebut umumnya memiliki pengaruh di kalangan masyarakat desa. Dengan kelincahan mereka berkata-kata, mereka dapat menambah keyakinan calon-calon pemilih untuk memilih sang calon. Dan ini, bisa menambah bargaining position mereka di depan calon, si pemberi janji.

Apakah ini Salah?

Jelas salah! Dari sisi apa pun, cara-cara meraih suara pemilih dengan faktor X tidak dapat dibenarkan. Bukan cuma melanggar hukum, etika, dan moral. Tapi efeknya ke depan pasti buruk. Baik bagi masyarakat maupun calon itu sendiri. Logikanya bukan lagi logika pelayanan kepada kepentingan masyarakat, sebagaimana seharusnya tugas seorang Bupati atau pejabat apa pun, tapi logika dagang, logika untung rugi.

Ini tentu bisa dimengerti. Karena calon yang mengeluarkan uang banyak ketika pemilihan, target utamanya adalah mencari pengganti. Lebih-lebih kalau uang yang dipakai itu adalah pinjaman atau “sumbangan” berpamrih. Itu artinya bahwa selama menjadi Bupati, isi hati dan pikirannya bisa amat jauh dari memikirkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Nias Barat, melainkan membayar utang dulu baru kemudian mencari untung.

Pertanyaannya, jika hal ini terjadi, adakah di antara kita yang diuntungkan? Untuk kepentingan sesaat, barangkali ada. Tapi untuk jangka panjang, tidak. Malahan ancaman keterpurukan bisa makin parah dan sang Bupati kelak, bukan tidak mengkin akan menyusul rekan-rekannya pejabat yang saat ini berada di balik teralis besi. Inikah yang kita mau? ***

Jumat, 29 Oktober 2010

STUDI BANDING ETIKA BAGI DPR, MENGAPA TIDAK?

Oleh Yosafati Gulo

Sejauh ini, rencana anggota BK DPR untuk studi banding etika ke Yunani masih ditentang publik. Banyak yang sinis atas rencana itu. Bahkan dinilai sebagai rencana tak beretika. Sebab di kala bangsa kita masih berjuang menurunkan jumlah orang miskin, anggota DPR justru dinilai berfoya-foya. Biaya studi banding yang 2,2 milyar dianggap terlalu besar. Tak sebanding dengan manfaat yang diperoleh kelak. Dari sisi ini, alasan para penentang bisa dipahami. Karena uang sebanyak itu lebih urgen dipakai untuk program penguatan ekonomi masyarakat miskin.

Persoalannya, mengapa biaya yang 2,2 milyar itu dinilai terlalu besar? Ukurannya apa? Bukankah nilai itu justru terlalu kecil untuk sebuah akibat yang lebih besar kelak?

Mengubah Paradigma

Menurut hemat saya, kita perlu mengubah paradigma dalam menilai anggota DPR, temasuk anggota BK. Selama ini, kita cenderung melihat anggota-anggota DPR sebagai pribadi-pribadi unggul di berbagai aspek, termasuk aspek etika. Atas anggapan itu, kita lantas memberikan tuntutan, harapan, atas pribadi dan kerja DPR lebih tinggi dari rata-rata anggota masyarat. Akibatnya, di kala anggota DPR tidak tampil dan bekerja sesuai dengan harapan, masyarakat jadi kecewa dan marah.

Anggota DPR, memang, seharusnya mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat. Dari sisi pendidikan, pengetahuan, wawasan, visi, dan pengalaman, mereka mestinya di atas rata-rata. Bukan saja karena DPR adalah personifikasi dari seluruh anggota masyarakat. Melainkan tuntutan tugasnya sebagai penentu arah kebijakan pemerinyah, hidupan bangsa, dan negara mengharuskannya demikian.

Soal etika, DPR juga seharusnya bukan hanya tahu dan paham etika. Malahan etikanya lebih tinggi dari sekadar etika yang dipraktekkan oleh masyarakat. Baik menyangkut etika umum maupun politik, dan etika lain terkait tugas mereka di DPR. Nyatanya, tidak begitu. Anggota BK DPR sendiri sangat sadar hal tersebut. Itulah sebabnya mereka menilai perlu dan mendesak melakukan studi banding.

Alasan anggota BK DPR sebetulnya tidak mengada-ada. Logis, simpel, dan mudah dipahami. Masa jabatan di DPR ada lima tahun. Yang sudah dijalankan baru setahun. Sisanya, masih empat tahun lagi. Dalam penilaian mereka, tentu, pekerjaan selama setahun yang lalu banyak yang dilaksanakan tanpa atau kurang beretika.

Kalau ada anggota DPR yang memaki-maki sesama anggota dewan, mengantuk dan dibiarkan pulas selama sidang, membuat program-program aneh yang jauh dari logika umum, menguapnya kasus bank Century dsb., tentu dapat dipahami sebagai akibat dari ketiadaan atau kurangnya etika tersebut.

Bagi anggota BK DPR –dan pasti semua setuju– peristiwa-peristiwa tersebut tak boleh berketerusan. Dalam sisa waktu empat tahun ke depan, kerja DPR perlu dilaksanakan dalam koridor etika. Tujuannya, tentu, agar penampilan dan kerja mereka benar, sehingga uang negara yang dapat diselamatkan kelak lebih besar dari 6,7 triliyun (kasus bank Century) atau 2,2 milyar yang diributkan itu. Pada saat sidang, mereka juga bisa tampil sopan, tidak lagi memaki-maki, selalu hadir dalam kondisi prima, dan anggota DPR yang melanggar dikenakan hukuman sesuai aturan sidang. Dengan cara berpikir seperti ini, rencana studi banding etika anggota BK DPR patut dipertimbangkan dan didukung.

Jangan Jual Diri

Menentang rencana belajar etika oleh DPR yang telah menilai dirinya belum beretika, agaknya bukan cuma tak beretika. Tapi kejam. Sama halnya orang tua yang melarang anaknya belajar sopan santun agar bisa hidup secara sopan. Orang tua semacam ini tidak bertanggung jawab dan jahat.

Jika kondisi DPR dinilai parah, maka titik soalnya tidak terletak pada diri mereka semata. Mereka duduk di lembaga itu, bukan melulu karena keinginan mereka. Lebih besar karena faktor masyarakat sendiri. Semua sudah tahu bahwa begitu banyak anggota DPR yang terpilih bukan karena keunggulan pengetahuan, integritas pribadi, komitmen atau prestasi. Tetapi karena mampu “membeli”, dan anggota masyarakat juga mau “menjual” diri dengan harga 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, atau 100 ribu rupiah saat pemilihan legislatif.

Mempersoalkan kondisi anggota DPR saat ini, bukanlah saat yang tepat. Terlambat! Yang diperlukan ialah menolong mereka agar benar-benar bisa tampil sebagai wakil rakyat secara wajar. Dan itu, hanya dimungkinkan mereka diberi kesempatan untuk belajar. Tempatnya, bisa saja tidak ke Yunani. Yang penting dirundingkan bersama. Bukan asal tentang dan larang. Kalau sepakat umpamanya, apa salahnya kalau mereka diminta ditraining oleh Mario Teguh barang seminggu atau lebih. Bila perlu, diberi juga uang saku, representasi, uang hadir, jaminan asuransi, dst., sesuai ketentuan keuangan negara. Tidak masalah bukan?

Kalau pada periode berikut bangsa kita menghendaki adanya anggota DPR yang wajar, maka syarat utamanya adalah jangan mau menjual diri. Jangan melacurkan diri dengan uang 100 ribu atau jutaan sekalipun dalam pemilihan leislatif. Ini, hanya dimungkinkan kalau kita memiliki sebuah sistem pemilihan legislatif yang mengedepankan prestasi, integritas dan akuntabilitas pribadi. Inilah tugas kita yang lebih penting ke depan. ***

Sabtu, 23 Oktober 2010

MEMPERBAIKI SITUASI

(sebuah renungan)

Oleh Yosafati Gulo

“Janganlah jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” Galatia: 6:9

Orang sering berpikir, mungkin termasuk kita, bahwa berbuat baik itu ada batasnya. Memperjuangkan pebaikan bagi diri sendiri, orang lain, teman, kenalan, lembaga, atau pihak lain yang tidak kenal, masyarakat pada umumnya, mustahil dilakukan terus-menerus. Lebih-lebih kalau sudah melakukan berbagai upaya sebelumnya, namun hasil yang diharapkan belum juga muncul, maka yang sering dikemukakan ialah, “Ah, saya capek. Saya tidak mau mati konyol . Yang lain tidak mendukung. Situasi sudah parah, orang yang berada dalam situasi malahan tak perduli. Jadi, ya, terserah. Mau jadi apa, saya sudah tak peduli lagi.”

Ada setidaknya tiga hal yang perlu dicermati dalam cara berpikir tersebut. Pertama, diri sendiri sebagai pelaku dan peristiwa atau kejadian; Kedua, daya jangkau pengaruh dari pelaku atau kontrol atas kejadian; Tiga, sikap pelaku terhadap upaya yang ingin dicapai.

Dua Wilayah

Manakala kita berhadapan atau mengalami sebuah situasi, peristiwa, pada saat itu sebenarnya ada dua wilayah yang saling bersentuhan. Keduanya bisa saling berhadap-hadapan dan bisa saling mempengaruhi. Wilayah itu ialah diri kita sendiri dan kejadian atau peristiwa yang tengah dihadapi.

Sering tidak disadari bahwa kedua wilayah itu punya batas. Ada semacam tembok pemisah, antara diri kita dengan situasi atau kejadian yang dihadapi. Karena itu kita tidak bisa bergerak leluasa dalam kedua wilayah yang ada, kecuali dalam wilayah kita. Diri kita sendiri! Sementara kejadian yang dihadapi merupakan wilayah lain. Wilayah itu, selain bukan merupakan bagian dari diri kita, ia juga tak tergantung pada kita. Oleh karena itu, ia sulit bahkan tidak bisa ditembus sesuka hati.

Sikap anak yang malas belajar, masyarakat yang apatis terhadap rejim yang korup, sikap oportunis dalam Pilkada, Pimpinan yang otoriter dan hanya mementingkan diri sendiri, adalah sekelumit contoh atas situasi yang tiap hari kita hadapi. Situasi tersebut, terkadang membuat kita marah dan berkeinginan memperbaikinya ke arah yang benar. Karena tampak bengkok, menyimpang, kita lalu mau meluruskannya ke arah yang kita anggap benar menurut aturan yang ada, maupun kondisi ideal.

Memperbaiki situasi tersebut, pastilah tak gampang. Sebab kita keluar dari wilayah kita dan memasuki wilayah lain di luar diri kita. Mungkin kita bermaksud mendorong anak menjadi rajin belajar, menganjurkan masyarakat agar turut memberantas tindakan korupsi dan seterusnya. Kita lantas berusaha dengan berbagai cara. Mungkin dengan membujuk, memberi pencerahan, mengancam, menggugah kesadaran iman, dan sebagainya. Tapi setelah berusaha cukup lama dan belum tampak adanya tanda-tanda perubahan, kita merasa capek dan akhirnya mengucapkan kata-kata seperti disebutkan di bagian awal sebagai wujud rasa frustrasi.

Daya Jangkau

Mengapa gagal? Nampaknya, kesalahannya terletak pada cara pandang terhadap diri kita dan situasi yang kita hadapi. Kita tidak sadar bahwa daya jangkau dan kontrol kita di kedua wilayah yang ada sangat terbatas. Kekuatan pengaruh kita hanya terbatas dalam lingkup diri sendiri. Itu pun tidak sepenuhnya. Memperbaiki keburukan diri sendiri saja, terkadang bukan cuma sulit. Tapi sering gagal kita lakukan. Itulah sebabnya mengubah situasi yang letaknya di luar diri kita mustahil dilakukan.
Memperbaikinya secara paksa, bisa saja berhasil. Tapi itu tidak pernah permanen. Hanya sementara. Yang muncul biasanya terbatas pada perbaikan kulit luar. Bukan pada inti masalah. Buktinya, manakala kekuatan kita memaksa berkurang, situasi yang pernah ada kembali muncul.

Itulah sebabnya mengubah anak malas menjadi rajin belajar, masyarakat apatis menjadi optimis dan proaktif, pimpinan yang korup, otoriter, menjadi jujur dan demokratis tak ubahnya upaya mejaring angin. Pasti gagal. Mengubah manusia, tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Ia tidak sama seperti benda mati. Memperbaiki pakaian yang salah ukuran atau model, bisa dilakukan dengan meminta jasa tukang jahit atau memperbaikinya sendiri. Sebagai benda mati, pakaian tidak pernah berbuat lain di luar apa dikehendak pemilik atau penjahit.

Jika demikian, apakah kita tak perlu berbuat apa-apa? Tentu tidak. Malahan kita harus melakukan banyak hal. Harus berjuang. Tapi, bukan mengubahnya dengan cara kita seperti yang biasa atau pernah kita lakukan atas diri sendiri. Sebab orang lain itu, bukan diri kita. Oleh karena itu, kemungkinan yang perlu kita lakukan ialah sebatas diri sendiri dulu. Kita perlu terus-menerus memperbaiki diri sendiri. Cara berpikir, bersikap, cara pandang atas masalah, dst. Kedua, secara terus-menerus berupaya memperluas daya jangkau pengaruh atau kontrol kita atas situasi. Ini pun tidak dengan paksa. Istilah kerennya, kita hanya perlu menciptakan situasi, yaitu “Janganlah jemu-jemu berbuat baik” seperti saran Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia.

Menunjukkan Contoh

Itu artinya bahwa mengubah anak malas menjadi rajin belajar, bukanlah dengan menyuruh, memerintah, atau memaksanya membuka buku atau mengerjakan tugas sekolah. Tak perlu kita terus berkata, “Hei jangan malas-malasan! Untuk menjadi orang besar, kamu harus rajin belajar,” yang terkadan disertai sejumlah petunjuk dan contoh orang sukses. Melainkan cukup dengan menunjukkan tingkah laku rajin. Memraktekkannya terus-menerus setiap hari di depan si anak. Mungkin dengan membaca buku, majalah, koran secara teratur dan terjadwal tiap hari. Atau belajar tentang apa saja yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup. Bisa saja menyangkut pengetahuan umum atau yang berkaitan dengan pekerjaan.

Di samping itu, bisa ditambah dengan membuat kesepakatan-kesepakatan dengan si anak. Tentang cita-cita dan kegiatan yang perlu dilakukan guna mewujudkan atau memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan diri sendiri dan keluarga. Juga tentang kesediaan menerima masukan, kritik terhadap diri, sikap, cara berpikir, dan konsistensi dalam melakukan apa yang telah disepakati, dsb.

Manakala anak melanggar atau melakukan sesuatu menurut caranya sendiri di luar kesepakatan, kita tak perlu cepat-cepat menyalahkan, menghakimi. Kita harus sadar bahwa diri kita dan cara yang baik bagi kita tidak selalu sama dengannya. Perlu diinsafi pula bahwa di balik cara dan tingkah lakunya yang tampak ada sejumlah faktor pendorong yang ada dalam dirinya yang kita tidak tahu. Begitu banyak fakta tersembunyi di balik fakta yang tampak. Maka, sepanjang tindakannya masih berada pada arah yang diharapkan, kita tak perlu memaksakan satu cara yang menurut kita benar, termasuk yang telah disepakati. Sebab hal itu bisa saja kurang tepat, bahkan salah. Kuncinya ialah kita perlu selalu terbuka dan berusaha memahami si anak dari berbagai posisi cara pandang.

Lalu bagaimana dengan sikap masyarakat yang apatis? Rejim yang korup atau pimpinan yang otoriter? Jawabnya sama. Jangan pernah bermimpi mengubah mereka. Sebab hal itu merupakan sesuatu yang mustahil. Mereka hanya mungkin berubah, kalau mereka sendiri memutuskan untuk mengubah diri mereka ke arah yang benar.

Jangan ceramahi mereka tentang kebaikan. Itu mereka sudah tahu, hanya saja belum mau melakukannya. Jangan ajar mereka tentang kebenaran, kejujuran, perhatian terhadap sesama dan keadilan. Itu juga mereka paham, cuma masih ogah mempraktekkannya.

Kalau mau mereka berubah, mari kita tolong mereka dari sisi diri sendiri. Caranya? Cukup dengan membangun persahabatan, bukan peperangan, tanpa mengikuti kebiasaan mereka. Mendekati mereka, bukan menjauhi. Pada saat yang sama, secara konsisten dan terus-menerus, kita memraktekkan tingkah laku yang benar, jujur dan adil, walaupun hidup ditengah-tengah ketidakjujuran dan ketidakadilan. Karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Menuai berarti mendapatkan hasil. Tapi, ini, ada catatannya : JIKA KITA TIDAK MENJADI LEMAH.

Sekali lagi, jika kita tidak menjadi lemah! Nah...siapkah?

Rabu, 18 Agustus 2010

KETIKA BALIHO BERTUTUR TENTANG INDONESIA

Oleh : Yosafati Gulo

Kompas edisi 13 Juli 2010 memuat potret jitu sebuah baliho di jalan Notoprajan, Yogyakarta. Tiang pancang baliho itu, tampaknya terambil dari bambu kering. Salah satu tiangnya dipancang berdempetan dengan tiang listrik sehigga tampak kokoh. Tepat di depan baliho turut terpotret pengendara sepeda motor. Dikemudikan oleh seorang ibu muda dengan dua anak kecil di boncengan. Ketiganya tidak memperhatikan tulisan di baliho. Tapi dua anak kecil di belakang si pengendara serentak memegang jidatnya dengan tangan kanan.

Di seberang jalan, membelakangi kamera, samar-samar terlihat dua pejalan kaki berpapasan dengan pengendara motor. Sepertinya mereka berjalan pelan menyambilkan diri membaca tulisan di baliho yang disablon dengan huruf-huruf kapital: “KORUPTOR LEBIH BERBAHAYA DARIPADA TERORIS, KORUPTOR MENJARAH MASA DEPAN ANAK BANGSA”.

Sepintas, potret baliho itu biasa. Namun, kalau dicermati serius dan direnungkan ternyata ia mengandung sejumlah makna dan pesan. Bukan saja pada makna kata-kata di baliho, tetapi melalui penampilan baliho itu sendiri si wartawan Kompas telah bertutur banyak tentang makin gilanya korupsi di Indonesia.

Pesan Tulisan

Rasanya tidak harus jadi ilmuwan, sarjana, DPR, atau pejabat. Asal bisa baca, pesan tulisan di baliho pasti dimengerti. Pembaca akan paham bahwa teroris dan koruptor punya kesamaan. Dua-duanya berbahaya, mengancam, bahkan menghancurkan kehidupan.

Kendati ada kesamaan, cara tampil dan misi keduanya beda. Teroris cenderung tampil vulgar, kasar, dan keras. Tapi, sasarannya selektif. Tidak asal babat.

Teroris mengancam, merusak, hanya pada sasaran tertentu. Ia fokus menghancurkan sebuah ideologi dan penganutnya yang diposisikan sebagai musuh sekaligus memperjuangkan ideologi yang diyakininya benar.

Dalam usahanya itu, teroris tampil dalam rupa-rupa kekerasan. Membunuh satu orang atau masal. Mengebom gedung, pesawat, kapal atau fasilitas-fasilitas umum. Tujuannya jelas : melumpuhkan kelompok, negara atau ideologi yang bertentangan dengannya guna memenangkan ideologinya.

Sebelum beraksi, para teroris sulit diidentifikasi. Dengan gaya hidup yang santun dan taat beribadah, mereka tampak seperti orang beriman. Masyarakat terkadang baru tahu ketika menyaksikan tindakan brutal atau bahkan menjadi sasaran pengeboman, pembunuhan.

Motivasi Dasar Koruptor

Koruptor lain. Dalam beraksi ia sangat halus, tidak vulgar. Cuma, sasarannya sembarangan. Tidak fokus seperti teroris. Bisa mengarah teman sendiri, kelompok sendiri, lembaga negara, swasta, saudara sendiri, atau siapa pun. Motivasi dasarnya bukan membunuh secara langsung. Tapi, mengejar materi.

Dalam bahasa kasar, motivasi, cita-cita, dan tindakan koruptor berpusat pada isi perut dan dompet. Membuncitkan perut dan mempertebal ini dompet! Intinya, duit, duit, dan duit!
Perbedaannya lainnya dengan teroris, koruptor tidak memosisikan orang lain sebagai musuh. Orang lain baginya adalah “kawan” atau dijadikan “kawan” agar ia bisa leluasa mendapatkan materi yang memiliki nilai ekonomi. Gayus dan beberapa pejabat termasuk beberapa anggota DPR yang kini tengah menikmati “penginapan” gratis di penjara telah menerapkan secara jitu cara-cara berkawan seperti itu.

Dalam aksinya, koruptor tidak mengenal istilah halal dan haram. Semua hal bisa ia dihalalkan. Jika ia pejabat, maka posisinya selalu dimanfaatkan “seproduktif” mungkin demi duit. Ia tidak pusing apakah itu merugikan orang banyak, masyarakat, dan negara. Bagi koruptor, siapa pun dan lembaga apa pun merupakan alat transportasi untuk mencapai singgasana kelimpahan materi.

Untuk memuluskan aksinya, koruptor juga tampil santun. Tutur katanya ramah dan memikat hati. Ia murah senyum dan terkesan penuh perhatian terhadap kebutuhan orang lain. Dalam menjerat mangsa, cara kerjanya halus. Mula-mula menciptakan citra dirinya sebagai dermawan, beritegritas diri tinggi, dan terpecaya. Tapi awas! Setelah dia tahu Anda yakin, ia pasti menancapkan taringnya di hati Anda guna mengeruk sebanyak mungkin materi untuk setiap urusan.

Tapi dari gaya hidup, koruptor bisa diketahui. Lebih-lebih kalau ia pejabat negara. Dalam kedudukan dan posisi dapat diperkirakan penghasilannya perbulan. Dengan gaji antara 2 juta sampai 12 juta umpamanya (seperti Gayus) mustahil bisa membangun rumah dengan nilai milyaran rupiah setelah menjadi pegawai negeri dalam beberapa tahun. Mustahil pula ia, istri atau suami dan anak-anaknya memiliki mobil mewah kalau hanya dari gaji.

Menjarah Masa Depan

Akibat ulah teroris dan koruptor tidak bisa dinilai secara matematis. Sebab tidak melulu benda bernilai ekonomi, tetapi juga nyawa dan masa depan manusia. Penabrakan pesawat di gedung WTC di Washington, Amerika Serikat, bom Bali I dan II, dan Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta beberapa waktu lalu adalah sekelumit contoh yang tidak bisa dirupiahkan dari ulah teroris dengan dampak multi dimensi.

Bagaimana dengan koruptor? Nampaknya tulisan baliho benar. Akibatnya jauh lebih berbahaya. Tidak saja mengancam kehidupan sekelompk orang atau lembaga dalam waktu tertentu. Tapi untuk seluruh anggota masyarakat, bahkan bangsa, dan negara dalam waktu yang lebih lama.

Pemberian ijin mengalihkan fungsi hutan lindung dan sawah-sawah produktif menjadi area usaha bagi pemodal oleh pejabat berwenang karena diberi segepok uang untuk membuncitkan perut telah menjarah kepentingan masa depan banyak generasi. Penilapan milyaran bahkan triliyunan rupiah pajak oleh beberapa orang yang seharusnya digunakan untuk membangun berbagai fasilitas`umum, termasuk lembaga pencerdas bangsa, lembaga pendidikan, jelas-jelas menjarah kesejahteraan masyarakat dan masa depan banyak generasi.

Coba saja hitung apa yang bisa dilakukan untuk kepentingan bangsa dari nilai korupsi sebesar Rp 1,1 triliyun di Jawa Timur sebagaimana dilansir oleh Jaringan Kerja Anti Korupsi di Jawa Timur (JKAKJ) sampai akhir tahun 2009 (Sriwijaya Post - Rabu, 9 Desember 2009). Atau uang negara sebesar Rp 444 triliyun yang diselewengkan pada tahun 2004 yang melebihi APBN sebesar Rp 370 trilyun tahun yang sama seperti dikemukakan Kwik Kian Gie, yang kemudian dirujuk oleh Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi, ketika menjadi keynote speech pada seminar nasional dan workshop antikorupsi ''Melanjutkan Dialog Menuju Indonesia Bersih'' yang diselenggarakan oleh BEM KM UGM di auditorium MM UGM Yogyakarta beberapa waktu lalu (CyberNews, 17-02-2006).

Dengan uang itu, puluhan juta anak Indonesia miskin bisa disekolahkan tanpa bayar sepeser pun atau puluhan juta pengusaha kecil bisa diberdayakan dengan latihan ketrampilan dan pemberian modal cuma-cuma oleh negara demi masa depan bangsa yang adil.

Belum lagi kalau ditambahkan nilai korupsi yang lebih kecil tapi toh bermilyar-milyar seperti diungkap media. Di Jateng, dari 2007 hingga Mei 2009, jumlah kerugian negara Rp181,5 miliar dan 5,6 juta dolar AS (Antara News, 5 Juni 2009). Yang terbaru, korupsi Kepala Kantor Wilayah Pajak Sulawesi Selatan, Barat, Tenggara Edi Setiadi sebesar Rp 2,55 miliar (Jawa Pos,28 Juli 2010). Atau ratusan milyar yang ditilap Gayus H Tambunan, termasuk yang 2 juta dollar AS yang diakui diserahkannya kepada Haposan untuk dibagi-bagikan kepada jaksa, penyidik, hakim, dan tim pengacara (Kompas com, 3-8-2010)

Jumlah tersebut makin besar bila turut dijejer nilai berbagai KKN para pejabat lain. Sebutlah misalnya yang melibatkan 6 orang Gubernur, 4 anggota DPR RI, dan 12 orang Bupati berlatar belakang Partai Golkar; 1 orang Gubernur, 3 aggota DPR RI, dan 5 Bupati berlatarbelakang Partai Demokrat; 2 Gubernur, 1 anggota DPR RI, dan 5 orang Bupati berlatarbelakang PDI Perjuangan; 4 orang anggota DPR RI berlatar belakang Partai Persatuan Pembangunan; 2 anggota DPR RI dan 2 Bupati berlatar belakang Partai Amanat Nasional, dll dengan nilai bervariasi antara ratusan juta sampai milyaran rupiah (http://kasus-korupsi.com/).

Menurut pengamatan Prof Dr Sofian Effendi, merebaknya kasus-kasus korupsi merupakan akibat dari debirokratisasi dan desentralisasi pemerintahan yang berlangsung cepat sejak bergulirnya gerakan reformasi. Tapi yang lebih merisaukan adalah apa yang dikemukakan mantan Ketua MPR RI M Amien Rais lewat bukunya berjudul “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia” (BPOST,13-05-2008). Menurut Amien Rais, pusat korupsi bahkan sarang korupsi terbesar di Indonesia adalah Istana Negara.

Lha, kalau sudah begini, lalu siapa yang diharapkan bisa mengendalikan pemberantasan penjarahan masa depan anak-anak bangsa? Presiden? Mustahil! Pusat dan sarangnya kan di Istana! Dan ini sudah terbukti. Ketika hasil kerja Pansus kasus Bank Century di DPR RI yang semula berapi-api di gedung DPR tapi berbalik 180 derajat bak es cream setelah sampai di tangan Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono.

Berharap kepada DPR RI, DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Kepala-Kepala Dinas? Rasanya sama dengan mengharapkan matahari terbit dari barat. Mustahil juga. Sebab semua lembaga itu merupakan jaring-jaring dari Istana Negara: pusat dan sarang korupsi.

Pesan Baliho

Pada titik ini, kita disadarkan oleh baliho. Baliho itu ternyata potret bangsa dan negara kita. Ia memberi pesan sempurna dalam mempersonifikasi negara, para pejabat, dan rakyat Indonesia. Tiang penyangga yang tampak kokoh menyimbolkan para pejabat mulai dari Presiden sampai pejabat paling bawah. Kokoh di penampilan dan kata-kata, tapi loyo di tindakan.

Pengendara motor dan dua anak kecil di boncengan menyimbolkan sikap kebanyakan kita yang cuek pada apa yang terjadi, kendati kita sakit kepala melihat keadaan negara. Ini disimbolkan oleh seorang anak yang memegang jidatnya di boncengan.

Pejalan kaki yang menyempatkan diri mengamati baliho menyimbolkan sikap kita yang terus terheran-heran pada ulah pejabat yang koruptor dan koruptor yang pejabat.

Ini artinya bahwa memberantas korupsi mustahil dilakukan dengan sistem yang ada. Kekuatan KPK sebagai lembaga super body dalam menangani korupsi, ICW, pers, dan LSM-LSM yang peduli akan terus jadi bulan-bulanan para pejabat di lembaga-lembaga negara lain plus pengusaha yang merasa nyaman dengan korupsi.

Alternatif yang paling mungkin menyegerakan penerapan hukuman mati bagi para koruptor. Nampaknya ini solusi terakhir. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap?

Sabtu, 07 Agustus 2010

MENYOAL UNDANGAN CAMAT KEDIRI TIMUR

Oleh Yosafati Gulo

Tadi pagi (Sabtu, 7-8-2010), saya menerima SMS dari teman. Isinya, menginfomasikan sekaligus minta dukungan doa atas Surat Dinas dari Camat Kediri Timur, Jawa Timur, kepada salah seorang Pendeta. Surat Dinas itu tenyata undangan untuk mempertemukan Sang Pendeta dengan warga sekitar yang keberatan atas ibadah di tempat Pendeta.

Mengapa SMS ini menarik? Pertama, temanya kurang lazim. “Bermusyawarah dengan warga desa perihal keberatan warga desa setempat atas dipakainya rumah tinggal Pendeta yang bersangkutan sebagai tempat beribadah.” Kedua, pemilihan waktu dan tempat pertemuan tampak janggal. Dilaksanakan pada hari Minggu, 8 Agustus 2010, pukul 19.00 Wib di Balai Desa setempat, bukan di kantor Camat. Ketiga, peserta pertemuan cenderung menimbulkan kecurigaan. Sebab, bukan cuma Camat, Kepala Desa, Tokoh masyarakat, dan Pendeta. Tetapi melibatkan seluruh warga di desa setempat.

Usai membaca SMS, di benak saya langsung mencuat sederetan pertanyaan. Bagaimana memusyawarahkan sebuah keberatan? Apakah keberatan warga masih dinilai simpang siur tak karuan sehingga perlu dirumuskan melalui musyawarah? Yang disoal toh sudah jelas. Warga desa setempat keberatan atas pemakaian rumah tinggal sebagai tempat ibadah. Tapi, mengapa hal ini depermasalahkan? Apakah ini musyawarah betulan atau jangan-jangan “pengadilan” jalanan terhadap Pendeta oleh warga desa tersebut atas dukungan Camat?

Karena tidak mengerti, saya lalu berusaha menduga-duga. Dugaan kesatu, bahwa keberatan tersebut pasti tidak muncul dari semua warga desa setempat. Hanya muncul dalam kalangan saudara-sudara penganut agama lain di luar warga yang beragama Kristen. Ini pun tidak semua. Kemungkinan besar hanyalah dari kalangan saudara-saudara penganut agama Islam. Alasannya ialah bahwa penduduk di sekitar tempat Pendeta sebagian besar beragama Islam. Hindu, Budha, Konghucu, atau agama lain, hampir tak ada atau malah tidak ada sama sekali.

Dugaan kedua, istilah bermusyawarah dalam konteks di atas sebetulnya bukan musyawarah. Tapi, sekadar kesempatan untuk mempertegas keberatan atas pelaksanaan ibadah di rumah tinggal. Kalaupun ada upaya mencari solusi, saya kuatir bahwa solusi itu berwujud pelarangan, yang –semoga saja tidak—disertai ancaman. Solusi seperti ini pastilah hanya terasa sejuk dan nyaman bagi pihak tertentu, dan sebaliknya bagi yang lain.

Kalau benar dimikian –moga-moga tidak-- apakah peristiwa ibadah sedemikian kacaunya, ramai, berisik, sehingga mengganggu warga lain di luar jemaat Kristen? Ataukah warga tersebut memang keberatan bila orang Kristen beribadah? Atau keberatannya melulu pemakaian tempat tinggal sebagai tempat beribadah? Atau hanya karena nyanyian (dan barangkali dengan tepuk tangan) warga jemaat saat beribadah terlalu keras?

Alasan Keberatan

Belajar dari peristiwa-peristiwa serupa di berbagai tempat pada masa lalu, saya menduga –semoga saya salah—bahwa keberatan tersebut bukan karena kacaunya atau berisiknya ibadah. Ibadah jemaat Kristen tidak pernah kacau atau hiruk-pikuk seperti di terminal bus, stasiun kereta, atau pelabuhan udara, kecuali pada saat ada masalah. Juga bukan karena kerasnya suara nyanyian jemaat. Sekeras-kerasnya suara nyanyian jemaat Kristen tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kerasnya suara yang memakai pengeras suara dari Mesjid atau langgar pada saat saudara-saudara Islam beribadah.

Lagi pula, nyanyian pada ibadah Kristen kedengaranya merdu dan enak didengar. Pada jemaat tertentu, kebanyakan berirama klasik, dan sebagian lainnya berirama pop. Dijamin, tidaklah kalah dari lagu-lagu pop yang dinyanyikan Anang dan Syahrini, Afgan, Viera, Anggun C. Sasmi, Agnes Monica, Melly Guslow, dan seterusnya, atau dangdut yang dinyanyikan Rhoma Irama, Inul Daratista, dan lainnya kegemaran kebanyakan anggota masyarakat.

Jika demikian –semoga saya salah lagi—maka keberatan warga desa setempat mudah ditebak. Melulu pada kehadiran ibadah Kristen di tempat tersebut! Kalaulah pemakaian tempat tinggal diangkat sebagai soal, menurut saya tak lebih dari sekadar dalih, agar ada alasan saja, supaya mereka tidak disebut melanggar HAM, Pancasila, dan UUD 1945.

Kalau mau jujur, tentu bagi yang mau, suara yang memakai pengeras suara di Masjid atau Langgar jauh lebih mengganggu. Lebih-lebih bagi warga yang dekat dengan Mesjid atau langgar. Entah dia orang Kristen, Islam, Hindu, Budha, Aliran Kepercayaan, maupun yang tidak beragama sekalipun. Bayangkan saja, saat masih enak-enak tidur sebelum subuh, tiba-tiba dikejutkan oleh kerasnya suara beduk dan azan. Bagi orang sakit atau yang masih butuh istrirahat karena capek kerja seharian sampai larut malam kejutan itu tidaklah menyenangkan.Tapi ini tidak diprotes warga karena dinilai sebagai hak dasar saudara-saudara Islam dalam beribadah.

Ibadah Orang Kristen di Mesjid. Mungkinkah?

Dijatuhkannya waktu pertemuan pada hari Minggu, pukul 19.00 Wib, jelas menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa bukan pada hari-hari kerja? Apakah Camat sedemikian sibuknya sehingga dari Senin Sampai Jumat tidak ada waktu sama sekali? Jika ya, mengapa bukan pada hari Sabtu saja? Sebab, Sabtu adalah hari prei bagi Sang Camat.
Perlu dicatat bahwa hari Minggu pada jam tersebut merupakan waktu ibadah bagi warga jemaat Pendeta yang bersangkutan. Ini artinya undangan tersebut sulit disebut undangan. Sisi luarnya memang undangan. Tapi sisi dalamnya, yang tak terlihat, adalah gangguan nyata bagi warga Kristen yang beribadah oleh seorang Camat.

Pertanyaannya, dapatkah hal ini ditoleransi karena pelakunya adalah Camat, penguasa di tingkat Kecamatan? Seharusnya tidak. Tapi apakah di negara ini ada kekuatan untuk menyoal penguasa yang salah setelah Gus Dur wafat? Moga-moga masih ada. Ironisnya, Si Camat mengajak warga bermusyawarah soal keberatan demi kenyamanan warga, sementara dia sendiri menganggu kenyamanan warganya yang beribadah.

Seharusnya Pendeta memiliki hak untuk menolak menghadiri undangan tersebut. Alasannya pada saat itu Pendeta memimpin ibadah untuk warga jemaatnya. Tapi apakah hal ini dapat diterima dan mau dimengerti oleh Camat? Rasanya sulit. Ada kemungkinan, Si Camat malah mengahrapkan kejadian tersebut. Dengan begitu, Si Camat memiliki alasan kuat untuk turut memojokkan Pendeta dan ibadah warga jemaatnya? Ujung-unjungnya, mudah ditebak. Melarang ibadah orang Kristen di desa bersangkutan.

Jika ini yang terjadi, kita pasti bertanya lagi. Mengapa warga (dan Camat?) tersebut begitu gelisah pada ibadah orang Kristen? Apanya yang salah dengan Ibadah orang Kristen? Apakah dalam ibadah Kristen ada upaya mengumpulkan kekuatan untuk melakukan pembunuhan masal atau pembakaran? Ataukah orang Kristen sebaiknya tidak usah beribadah? Atau ibadahnya tidak usah dilakukan di gereja atau di rumah, tapi di Mesjid atau di Langgar saja? Tapi apa boleh?

Jika jawabnya ya, tentu sebuah terobosan luar biasa dalam sebuah negara berlatar belakang multi kemajemukan. Ini dapat membawa banyak nilai positip. Bukan cuma dalam meningkatkan rasa persaudaraan antar umat Kristen dan Islam. Dalam pembangunan rumah-rumah ibadah pun dijamin akan lebih lancar. Karena dibangun bersama dengan sumber dana bersama. Secara teknis, cara ini bisa diwujudkan. Sebab jam-jam ibadah orang Kristen biasanya tidak bersamaan dengan jam-jam ibadah umat Islam.

Di tempat-tempat tertentu yang tidak ada Mesjid atau langgar, bisa dilakukan hal sebaliknya. Umat Islam beribadah di Gereja. Soal terkadang bertabrakannya waktu ibadah seperti pada acara-acara Natal yang kebanyakan pada malam hari saat Shalat Isha pastilah dapat dibicarakan dengan musyawarah. Yang jadi soal, barangkali, adalah keyakinan akan doktrin ibadah. Yang satu mungkin menganggapnya bisa, tapi yang lain menganggapnya haram. Tentu kalau sampai ke soal ini, mustahil dicapai titik temu. Kendati demikian, saya harap, Si Camat dapat mempertimbangkan usul ini sebagi bagian dari musyawarah. Biarlah kota Kediri menjadi contoh indah bagi Indonesia dan dunia Internasional.

Musyawarah = duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi

Dari sisi peserta, musyawarah itu jelas tidak berimbang. Seorang Pendeta diperhadapkan dengan massa. Yang dikuatirkan ialah pembicaraan cenderung bermuara pada pemojokan Pendeta. Dalam suasana seperti itu pastilah psikologi massa yang main. Ketika seseorang bicara dalam nada mendukung pendapat massa, walaupun salah, pastilah disambut gegap gempita. Sebaliknya, bila bernada menengahi apalagi yang berseberangan, pastilah disambut dengan cemoohan. Bukan tidak mungkin pula akan muncul suara-suara provocatif dengan teriakan-teriakan yang menjurus pada kerusuhan. Apakah Camat sudah memperhitungkan kemungkinan ini? Semoga ya.

Musyawarah seharusnya berupaya mencari solusi yang baik bagi siapa pun. Mencapai ini, tentu tidak semudah mengatakannya. Terutama bila ada yang apriori menempatkan diri dan pendapatnya sebagai paling benar, dan karena itu harus diikuti. Sebuah musyawarah hanya dimungkinkan bila semua yang hadir mampu dan mau menerapkan filosofi “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”. Artinya, gagasan yang dillontarkan seseorang perlu ditempatkan bernilai setara dengan gagasan siapa pun. Harus diposisikan sebagai gagasan yang dapat saja benar, bernilai, dan tepat, dan dapat juga sebaliknya. Dengan cara ini, pengambilan keputusan harus didasarkan pada menelusuran secara hati-hati nilai-nilai positip yang memberi bermanfaat bagi semua atas persetujuan semua peserta musyawarah.

Jika hal ini dapat dilakukan, ketidakseimbangan jumlah peserta, tentu tidak jadi masalah. Sebab, gagasan yang dimenangkan bukanlah gagasan yang didukung banyak peserta walaupun salah, tetapi gagasan yang dinilai bersama sebagai terbaik oleh dan untuk bersama dalam suasana bebas tanpa tekanan. Pak Camat, bisakah?

Selasa, 03 Agustus 2010

MENCOBA MEMAHAMI KEMATIAN

(Tulisan ini dibuat pada hari Jumat, 30 Juli 2010. Pada hari yang sama sudah dipublikasikan di face book. Kalau hari ini muncul pada web ini semata-mata karena memang baru ada kesempatan. Jadi kalau membaca kata ‘tadi pagi’, jangan diartikan sebagai waktu pada saat Anda membaca. Tetapi diartikan sebagai pagi hari Jumat yang tersebutkan sebelumnya)

Oleh Yosafati Gulo

Tadi pagi, saya menghadiri kebaktian pemakaman Pak Arif Andreyana di Tiong Ting Salatiga. Pak Arif (demikian beliau biasa dipanggil) adalah suami Bu Raema, dosen JPBS (sekarang FBS) UKSW Salatiga. Kebaktiannya dipimpinan seorang Pendeta muda GKI Salatiga, Pdt Yefta. Tema kotbah, diangkat dari peristiwa kematian seorang anak Raja Daud yang dilahirkan Batsyeba, mantan istri Uria. Diceritakan bahwa Daud sangat sayang terhadap anak itu. Tapi karena ia lahir dari sebuah persitiwa nista di mata Tuhan, anak itu lalu ditulahi Tuhan sehingga akhirnya ia mati.

Dikisahkan bahwa sebelum mati, anak tersebut sakit parah. Daud memohon kesembuhan kepada Tuhan dengan berpuasa secara tekun selama tujuh hari. Bahkan semalam-malaman Daud tidur di lantai sebagai ungkapan penyesalannya atas dosanya kepada Tuhan. Sampai hari ketujuh, anak itu mati. Mulanya para pegawai istana takut memberitahukannya kepada Daud. Mereka kuatir Daud akan mencelakakan dirinya karena rasa kehilangan.

Dugaan pegawai Istana ternyata meleset. Setelah mengetahui bahwa anak itu telah mati, Daud tidak mencelakakan dirinya seperti dugaan pegawai Istana. Malahan ia langsung bangun dari lantai, mandi dan bertukar pakaian, lantas masuk ke rumah Tuhan untuk menyembah. Sesudah itu ia pulang ke rumahnya, lalu makan roti permintaannya.

Bagi pegawai Istana, respon Daud itu aneh. Tidak kemakan logika. Dengan sedikit takut-takut, mereka lalu bertanya, “Apakah artinya hal yang kauperbuat ini? Oleh karena anak yang masih hidup itu, engkau berpuasa dan menangis, tetapi sesudah anak itu mati, engkau bangun dan makan!” tanya mereka penuh rasa penasaran.

Apa jawab Daud? “Selagi anak itu hidup, aku berpuasa dan menangis, karena pikirku: siapa tahu TUHAN mengasihani aku, sehingga anak itu tetap hidup. Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku.”

***

Kisah di atas nampaknya mengajak kita untuk mengoreksi cara-cara kita merespon peristiwa kematian. Banyak orang sering tenggelam dalam perkabungan setelah ditinggal orang yang dikasihi. Bukan cuma menangisi berhari-hari, berminggu, berbulan, bahkan tahunan. Tapi sampai-sampai ada yang tidak memperhatikan dirinya sendiri dan akhirnya jatuh sakit.

Peristiwa kematian, memang menyedihkan. Siapa sih yang bersuka ria kalau orang yang dikasihi pergi untuk selamanya? Tentu tidak ada. Tapi mengapa harus menambah kesusahan diri berketerusan? Bukankah yang mati tetap tidak bisa kembali? Cara berpikir Daud, agaknya patut diperhitungkan. Yang mati tidak mungkin kembali. Kitalah, yang hidup, yang akan pergi menuju ke kematian.

Nampaknya perlu disadari bahwa persitiwa kematian adalah sebuah proses alami. Suatu tahap yang, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dilalui oleh setiap orang yang pernah lahir. Ada semacam siklus alami yang tidak bisa dicegah atau dihindari. Lahir dan mati adalah dua ujung pembatas dan pasti terjadi pada kehidupan. Dari sisi ini, kita, semua manusia sama. Tidak lagi ada orang Yunani atau Yahudi, beragama A atau B, berpendidikan C atau D, berambut lurus atau keriting, orang kota atau desa, dst. Yang berbeda hanyalah caranya datang dan kapan waktunya dalam hidup kita masing-masing.

Saat ini Bapak Arif Andreyana telah sampai pada ujung terakhir. Kita yang masih hidup, sesungguhnya sedang antri menuju ke arah yang sama. Tak ubahnya ketika mengantri di depan loket bank atau mengantri menunggu panggilan pemeriksaan di ruangan tunggu praktek dokter. Dalam antrian itu, saya harap semua sabar dan tertib dalam garis antrian. Jangan ada di antara kita yang main terobos, salip-salipan seperti para pengendara di jalan raya.

Selain itu, peristiwa kematian nampaknya merupakan pembuktian bahwa manusia tidak memiliki kuasa apa pun atas kehidupannya, apa lagi kehidupan orang lain. Manakala kematian menjemput, kita tidak bisa menolak. Juga tidak bisa menawarkan tebusan bagi yang lain. Atau memohon penangguhan seperti penangguhan penahanan yang biasa dilakukan kepada seseorang yang ditahan oleh polisi atau jaksa.

Dengan demikian, kematian adalah sebuah peringatan bagi kita yang masih antri. Pertama-tama agar kita terus awas bahwa apa yang kita alamai dan kita sebut hidup adalah sebuah jangka waktu. Terbatas. Berawal dan berakhir. Dalam rentang kedua ujung itu, kita perlu melakukan sesuatu yang berkmakna. Bermakna kepada siapa? Bisa saja kepada siapa saja dan untuk kehidupan.

Kedua, bahwa hidup yang ada pada kita saat ini berada di luar kendali kita. Ia bukan sebagai milik yang bisa kita atur dan rencanakan. Hidup yang saat ini ada pada diri kita adalah milik Sang Pemilik Kehidupan. Bagi yang percaya, silahkan sebut : Tuhan. Itu artinya, kalau kita masih hidup pastilah bukan karena kuasa kita atau program kita. Semata-mata karena kemurahan Sang Pemilik Kehidupan. Karena Ia masih berkenan mempercayakan, menitipkan, kepada kita sebuah kehidupan. Tiap orang diberi-Nya sama dan hanya satu.

Mau lebih dari satu? Tidak bakalan dikasih-Nya. Bukan apa-apa. Tuhan (barangkali) berpikir, ngapain dikasih dua, satu saja manusia tidak bisa urus. Tidak digunakan untuk membangun kehidupan. Malahan ada yang memakainya untuk memeras kehidupan yang lain untuk kesenangannya sendiri. Mau menyogok Tuhan? Oh oh jangan coba-coba. Tuhan tidak bisa diajak kompromi atau ber-KKN seperti para pejabat di negara kita.

Kalau demikian, selama masa mengantri ini apa yang seharusnya dilakukan? Jawabannya tentu berbeda bagi tiap orang. Nasehat untuk ini juga sudah banyak kita dengar atau baca. Karena itu saya tidak memasuki wilayah ini. Saya hanya mau mengajak kita untuk melakukan satu hal, yaitu setiap orang perlu terus mengajukan pernyataan mengapa Sang Pemilik Kehidupan, Tuhan, masih mau mempercayakan kepadaku dan kepadamu sebuah kehidupan? Apa yang Dia maui kita lakukan dalam kerangka horinzontal dan vertikal? Apa yang Tuhan kehendaki kita lakukan bagi sesama dan bagi DIA?

Dengan alur berpikir ini saya setuju dengan Paulus ketika ia berkata dalam suratnya kepada Jemaat di Roma, Roma 12 : 1, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”

Mengacu pada nasehat itu, saya setuju bahwa hidup ini tidak pantas dipakai sembarangan. Tubuh ini jangan dipakai suka-suka. Apalagi sebagai pejabat, penguasa, pemodal, lalu memakai hidupnya untuk menjarah harta bangsa dan negara yang seharusnya perlu untuk melayakkan kehidupan orang banyak. Yakinlah, itu tak perlu. Sedikitpun tidak akan mampu memperpanjang masa antrian menuju ujung kehidupan.

Paulus bilang, jadikanlah hidupmu sebagai persembahan. Ops! Tapi, jangan kepada roh-roh jahat atau nafsu-nafsu duniawi dan sejumlah keinginan daging. Bagi Paulus, ukurannya jelas: sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah!

Tentu saja bukan maksudnya tubuh kita dibakar sebagai korban seperti konsep persembahan yang sering disalahpahami. Mempersembahkan tubuh (baca:kehidupan) berarti mengelola kehidupan dalam segala aktivitasnya menjadi sesuatu yang perlu bagi yang lain. Ya sesama manusia, ya kehidupan yang lain. Karena ukurannya jelas, maka setiap kita beraktivitas, pertanyaan yang harus selalu diajukan ialah apakah aktivitas ini kudus dan berkenan kepada Allah?

Dalam pekerjaan pada posisi apa pun, kita harus selalu koreksi dengan pertanyaan tersebut. Sebelum mengeluarkan kebijakan, tanya dulu apakah kebijakan itu kudus dan berkenan kepada Allah? Kalau berniat menilap uang rakyat, me-mark up nilai proyek, mengajar asal-asalan, memberi nilai (maha) siswa, memberi tugas karyawan, dst., tanya dulu apakah tindakan itu kudus dan berkenan kepada Allah. Jika jawabnya ya, lakukanlah! Tapi kalau tidak, ada baiknya berhenti karena apa pun yang diperoleh dalam aktivitas itu tak akan pernah punya nilai sebagai sebuah persembahan yang kudus dan berkenan kepada Allah, Sang Pemilik Kehidupan.

Saya berpendapat, bahwa Pak Arif Andreyana telah berusaha melakukan hal tersebut selama hidup dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Kalau saat ini beliau kita sebut mati, pastilah bukan karena rencana atau pilihan beliau. Kemungkinan besar (saya terpaksa menguda-duga lagi karena memang tidak pernah tahu persis) karena Tuhan, Sang Pemilik hidup pak Arif menilai bahwa tugas-tugas kehidupannya sudah cukup.

Tugas yang masih sisa adalah untuk orang lain. Tugas Anda dan saya. Oleh karena itu, rasa-rasanya tak ada alasan untuk tidak merelakannya pergi. Atau memintanya kembali. Atau terus memohon agar Tuhan menahannya dalam garis antrian. Itu di luar kehendak Sang Pemberi Hidup. Yang perlu kita lakukan ialah mempersiapkan diri sebaik mungkin semasih berada dalam garis antrian. Targetnya ialah hidup kita memiliki makna sebagai persembahan kudus dan berkenan kepada Allah. Moga-moga, dengan upaya tersebut kita bisa melangkah dengan kepala tegak menemui Sang pemilik Hidup, ketika berada pada garis terdepan antrian.

Selamat Jalan Pak Arif.

Kamis, 25 Maret 2010

BERGURU PADA AIR (2)

Oleh Yosafati Gulo

Coba bayangkan betapa hebatnya kehidupan jika masing-masing manusia mau memakai tekad yang diajarkan air. Dalam bekerja, berusaha, belajar mustahil muncul istilah mengeluh. Tidak ada istilah menyerah apalagi menyalahkan pihak lain atau mencari kambing hitam. Ketika berhadapan dengan masalah, bahkan hambatan, yang dilakukan ialah terus berusaha mencari celah-celah “bumi” untuk mencapai “lautan” target seperti yang dilakukan air.

Diyakini bahwa sebesar dan sekeras apa pun masalah, hambatan, pasti ada sisi solusi. Inilah yang dilakukan air ketika ia dibendung di bendungan atau batu-batu besar menghambat alirannya di atas atau di bawah permukaan bumi. Secara perlahan ia terus, tanpa henti, menyusuri pori-pori bumi dan batu untuk mendapatkan tempat yang lebih rendah. Laut.

Itulah yang dilakukan nenek moyang manusia pada zaman dulu sebelum ada korek api. Mereka menggosokkan batu dengan batu sampai mendapatkan api untuk keperluan memasak. Itu pula yang dilakukan Hermawan Kartajaya ketika keluar dari PT Sampoerna dan memulai usaha Mark Plus Profesionalnya di Surabaya.

Saat mulai membangun usahanya ada sejumlah masalah menghadang. Ia tidak serta merta diterima dan diakui oleh dunia bisnis. Ia terhambat oleh bayang-bayang orang-orang tenar di bidang marketing sebelumnya. Menembus bayang-bayang itu, Hermawan tidak menyerang “lawan”, atau mengeluh atau mencari kambing hitam. Ia merasa perlu membangun sendiri image perusahaannya. Meyakinkan publik bahwa gagasannya jauh dahsyat.

Alternatif yang dia pilih adalah menulis di harian jawa pos --karena pada saat itu harian Kompas yang dianggap lebih berpengaruh sering ogah memberi tempat tulisannya—untuk memperkenalkan gagasan-gagasan marketing brilian itu. Selain itu, ia terus membangun jaringan lewat teman-temannya di Rotary Club dan berbagai organisasi yang dimasukinya dengan menawarkan diri menjadi pembicara gratis alias tidak usah dibayar pada seminar-seminar.

Dengan terus menulis dan menjadi pembicara gratis, Hermawan Kartajaya ternyata sukses. Gagasannya lewat Mark Plus Profesional bukan cuma dikenal. Malahan menjadi kiblat dunia bisnis dewasa ini. Ilmu air yang digunakannya, entah disadari atau tidak, membuatnya mampu menembus “batu-batu” besar, para penulis kenamaan, pembicara tenar, yang sebelumnya menghambat diri dan gagasannya untuk dikenal.

Airkah yang Kotor dan Berbau?

Mau belajar dari air sungai atau air sumur galian dari bawah tanah? Boleh juga. Tinggal pilih jenis sungai yang ada. Mau sungai dari celah gunung, karang, pebukitan yang jernih, atau air sungai yang tampak kotor dan berbau karena telah membersihkan kotoran-kotoran manusia, limbah pabrik, semuanya pasti baik.

Hal utama yang dilakukan air adalah terus bergerak dan mengalir. Ia terus mencari tempat yang lebih rendah. Tapi, itu, tidak untuk dirinya sendiri. Bersamaan dengan pencarian yang tak henti, ia membawa sertanya pasir atau partikel-pertikel tanah. Karena itu ia sering tampak keruh, kotor. Tapi, semua bawaannya ini, ternyata perlu bagi manusia. Entah untuk memangun rumah, kantor, hotel, jembatan, atau bertani di area yang disuburkan di sekitar muara.

Sebagian lainnya tidak membawa apa-apa. Yang ini tampak jernih. Sebelum mencapai tujuan akhir, air ini mampir di rumah-rumah, hotel, restaurant, pabrik, atau beraneka kandang milik manusia. Yang lain, malahan mampir diperut manusia atau hewan atau batang rumput dan pohon. Dalam proses persinggahan, semua air ini menghasilkan efek yang sangat diperlukan. Ia memberi efek kebersihan dan memperpanjang kehidupan. Setelah itu, ia kemudian dibuang atau keluar sendiri lewat proses penguapan. Wujudnya kini ada yang keruh, kotor, dan bau.

Tapi apakah air memang keruh, kotor, dan bau? Nyanya tidak. Yang keruh, kotor, dan bau, adalah limbah manusia atau hewan. Air tetap mempertahankan identitasnya. Ia pasti memisahkan dirinya dengan kotoran sampai kembali ke wujudnya yang asli: bersih, bening, dan tak berbau. Memang tidak selalu cepat menurut ukuran manusia. Sebab, prosesnya butuh waktu. Sebagian dengan masuk kembali ke pori-pori tanah dan sebagian lagi dengan proses penguapan atas bantuan panas sinar matahari.

Target Diri dalam Rangka Bersama

Peristiwa itu mengajarkan kepada manusia banyak hal. Dalam mengejar target-target hidup secara individu, entah posisi, kuasa, kekayaan, atau pengaruh, manusia tak perlu egois alias hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Bersamaan dengan pencarian dan pencapaian target individual, si manusia perlu memberi makna, nilai, bagi kelangsungan hidup yang lain. Baik sesama manusia maupun makhluk lain.

Makin tinggi kedudukan, pengaruh dalam masyarakat, efeknya dalam upaya memperbaiki kehidupan yang lain makin nesar. Makin besar kekayaan seseorang dari dunia usaha, maka jumlah jumlah manusia yang diberdayakan makin banyak juga. Itu artinya target individualnya tercapai dan kebahagiaan, kesejahteraan sesamanya juga meningkat. Barangkali, inilah salah satu makna pepatah, “Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”.

Dengan cara ini banyak manfaat yang dapat dipetik. Pertama, persahabatan antar manusia makin terjalin erat. Manusia tidak lagi terkotak-kotak atas dasar primordialisme. Kedua, makna kehadiran di bumi tidak hanya dirasakan oleh keluarga dan orang-orang terdekat. Tapi semua orang, tanpa batas. Itu artinya kehadiran kita sebagai manusia makin terasa. Tidak sekadar ada seperti angin lalu bagi yang lain. Tetapi sesuatu yang turut menunjang kehidupan bersama. Ketiga, dorongan untuk saling melindungi, saling memberi rasa aman, muncul secara otomatis. Si miskin tidak bakalan iri kepada si kaya atau si tersisih kepada si penguasa. Mereka jadi sadar bahwa kekayaan dan kuasa siapa pun berguna bagi mereka juga.

Nampaknya, inilah yang mendasari kata-kata bijak: “Barang siapa memberi akan mendapatkan. Barang siapa tidak memberi akan kehilangan.” Mengapa demikian? Karena makin memberi perhatian, perlindungan, pertolongan kepada yang lain, mereka juga terbeban untuk menjaga, mendukung, melindungi kedudukan, jabatan, pengaruh, harta, dan apa pun kepunyaan Anda. Sebaliknya, bila hanya menonjolkan egoisme, kepentingan sendiri, maka semua orang di sekitar merasa tidak nyaman dengan kehadiran Anda. Maka, baik halus maupun terang-terangan, mereka cenderung menggerogoti apa yang Anda punya. Nah, Kehilangan kan?

Kata-kata bijak lain berkata: “Barang siapa sayang pada nyawanya, akan kehilangan nyawa. Barang siapa merelakan nyawanya bagi orang banyak, akan melindungi nyawanya sendiri.” Maknanya, mirip dengan kata-kata bijak sebelumnya. Jika terus berjuang untuk mempertahakan posisi, jabatan, kuasa, kekayaan tapi sekaligus menyejahterakan orang-orang disekitar, desa, kota, bahkan negara tempat Anda hidup serta alam sekitar, maka semua berjuang mati-matian untuk mendukung perjuangan Anda. Nah, memperpanjang “nyawa” kan?

Pertanyaannya, apa yang Anda pilih? Sepenuhnya terserah Anda saja. ***

Minggu, 21 Maret 2010

BERGURU PADA AIR (1)

Oleh Yosafati Gulo

Air adalah salah satu anugrah Sang Pencipta dalam kehidupan manusia dan alam. Dalam wikipedia disebutkan 71% dari bumi diisi air. Terbanyak ada di laut. Lainnya, di danau, rawa, sungai, dan di bawa permukaan bumi. Wujudnya ada tiga. Bentuk cair, es, dan uap. Es dan uap berasal dari air juga. Yang satu adalah air yang mengeras dan lainnya adalah gas. Keduanya berubah karena faktor udara. Pada titik tertentu, baik es maupun gas selalu kembali pada wujudnya semula, cair.

Salah satu sifat mutlak dari air adalah mengalir. Terkadang berbelok-belok dan terkadang lurus. Tapi tujuannya jelas. Ia pasti menuju ke tempat yang lebih rendah, laut, untuk bergabung - menyatu ke sesama air. Mustahil ada air yang mengalir ke atas, ke arah bukit atau gunung. Memang ada juga air yang mampir di danau. Ada dari sungai atau hujan. Tapi itu hanya sementara. Bukan tujuan akhir. Manakala danau penuh atau meluap karena banjir, air akan meninggalkan danau menuju laut. Dalam kondisi normal pun, ia terus bergerak. Terus berusaha menelusur celah-celah bumi untuk mencapai laut.

Di laut, semua air dari berbagai latar belakang bertemu. Ada air hujan, air jernih dari sumber pebukitan atau celah-celah batu, air sungai keruh penuh lumpur yang dibawa banjir, air kotor dan bau dari limbah industri, dan lainnya. Semuanya bercampur baur. Menyatu. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri. Tidak ada yang mengangggap diri paling air di antara air. Atau paling berkuasa di antara para air. Semua saling menerima dan memosisikan diri sama. Mereka tinggal bersama di tempat yang sama dengan penuh kedamaian, kerukunan, dan keharmonisan.

Dalam keberagaman, mereka menemukan jati diri dan hakekatnya sebagai air. Yang satu tampak jernih, bening, karena ia murni keluar dari perut bumi dan belum tercemari. Karena itu ia baik untuk diminum oleh manusia. Yang lain tampak kotor dan berbau karena ia datang bersama limbah pabrik atau lumpur. Sebenarnya, ia tidak beda dengan air jernih. Aslinya, ia tidak kotor dan berbau. Cuma, sebelum sampai di laut, ia sempat mampir di pabrik untuk membantu produksi keperluan manusia atau di rumah-rumah manusia untuk membersihkan pakaian kotor dan keringat diri setelah lelah bekerja. Semua penampilan fisik itu, tidak dipersoalkan. Warna-warni latar belakang dan atribut-atribut alami dipahami sebagai sebuah keindahan dan keajaiban karya tangan Sang Pencipta.

Manusia Semestinya Malu

Sebagai makhluk yang berakal, semestinya manusia malu terhadap air. Manusia berakal, tapi tindakan, pikiran, peruatan, dan kecenderungan hatinya sering melawan akalnya. Bukannya mencari dan rindu menyatu dengan sesamanya. Tapi, justru sibuk memisahkan diri, menjauh atau mencutkan diri ke atas untuk hanya memenuhi hasrat-hasrat individualnya.

Jika sudah berposisi tinggi, kaya, berpengaruh, manusia seolah lupa pada hakekatnya sebagai manusia. Bukannya tinggal dan berusaha menyatu dengan sesamanya lalu memikirkan cara-cara mengangkat harkat hidup sesama manusia. Yang dilakukan justru sebaliknya. Mencari untungan sebanyak-banyak dan sebesar-besarnya dari manusia lain untuk makin mengokohkan posisi, kuasa, dan pengaruhnya demi kepentingan dirinya, keluarganya, kelompoknya, dan orang-orang yang sepaham dengannya.

Dalam posisi itu sebetulnya, si manusia bisa melakukan banyak hal bermakna bagi kehidupan. Ia bisa membantu meningkatkan kualitas hidup sesamanya melalui berbagai cara. Memaknai kekayaan, kuasa, pengaruh yang dimilikinya sebagai alat untuk membangun kehidupan bersama. Terutama bersama mereka yang masih berkerumun di lautan manusia yang kehidupannya belum layak.

Bisa saja dengan menciptakan lapangan kerja bagi yang menganggur. Bisa juga memberi modal usaha secara cuma-cuma. Membiayai sekolah anak-anak miskin. Membuka kursus-kursus ketrampilan yang dapat dimasuki oleh orang-orang miskin tanpa harus menarik biaya. Targetnya, tak usah muluk-muluk. Yang penting, sebagian dari keuntungan usaha dan kekayaan dianggarkan secara bersinambungan untuk membantu sesama. Coba bayangkan betapa mudahnya membangun bangsa ini, kalau 1000 saja orang kaya masing-masing memodali 5 orang tiap tahun atau menyekolahkan 10 orang tiap tahun.

Modalnya juga bisa macam-macam. Mulai dari memodalinya dengan sebuah ketrampilan, disusul dengan modal usaha sesuai kemampuan dan ketrampilannya, dan seterusnya. Demikian pula soal sekolah. Bagi yang berpotensi dapat disekolahkan sampai sarjana bahkan doktoral. Kalau kemampuannya pas-pasan, ya, sampai sekolah menengah atau sesuai kemampuannya. Bagi yang berpotensi, sangat dimungkinkan bahwa sebelum menyelesaikan doktoralnya ia bisa mencari biaya sendiri bahkan bisa membantu yang lain secara estafet.

Klaim-Kalim Manusiawi

Aneh bin tidak masuk akal. Manusia berakal ini masih rajin membuat klaim-klaim yang tak masuk akal atas kehidupan yang mengenai sesamanya. Karena merasa kuat, berkuasa, maka kebenaran dilkaim sebagai miliknya. Yang disebut benar hanyalah yang dikatakannya benar. Lainnya tidak. Bumi dan segala isinya diklaim sebagai miliknya karena ia merasa sebagai penduduk paling asli.

Soal agama dan kepercayaan sama saja. Apa yang dianutnya dianggap paling benar. Semua anutan lain yang berbeda, dianggapnya salah. Karena itu harus dibasmi. Warna-warni kehidupan tidak dipahami sebagai wujud keagungan karya Sang Pencipta.

Lucunya, keyakinannya terus menerus mengajarkannya tentang keberbagaian. Semua yang ada adalah ciptaan Tuhan yang dipuja-pujinya. Di satu sisi ia rajin menyembah Tuhannya. Tapi di sisi lain ia juga rajin menentang kebebaran buah karya Tuhannya. Ia tidak mau sadar bahwa Tuhan memang sengaja membuat keberbagaian guna memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia yang memang diciptakan dalam keberbagaian. ***

Rabu, 03 Maret 2010

MEMPERJUANGKAN PLURALISME

Oleh Yosafati Gulo

Pemaksaan uniformitas oleh rezim pada masa lalu merupakan kesalahan besar dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Peristiwa itu tentu tidak muncul tiba-tiba. Ia mengemuka karena adanya dorongan dahsyat dari golongan sangat kuat di Tanah Air, yaitu mereka yang merasa diri paling asli dan paling berhak atas Negara dan bangsa yang namanya Indonesia. Dengan berbagai strategi golongan ini berhasil “mendikte” kekuasaan untuk menentukan warna Indonesia.

Bagi penguasa, yang memang butuh dukungan kuat saat itu, tuntutan tersebut menjadi klop. Warna-warni bangsa yang sebelum merdeka telah menjadi warna nyata Indonesai merdeka, dibabat habis. Apa yang dikenal dengan sebutan pluralisme, Bhineka Tunggal Ika, ditebas dengan ketentuan hukum. Wawasan bernegara, berbangsa, bermasyarakat, dan bahkan ber-Tuhan dipaksa menjadi sewarna sesuai sudut padangan yang dilegalkan.

Ogah dihiraukan bahwa tindakan itu melawan kodrat, karya maha agung Sang Pencipta. Tak digubris bahwa Tuhan sendiri menciptakan bumi dan segala isinya dalam aneka rupa dan warna. Majemuk! Tujuan Tuhan pastilah baik. Agar manusia bisa membedakan mana rumput dan hewan. Mana makanan dan bahan bangunan. Mana dirinya, diri istri/suami, anak sendiri, anak tetangga, anak hewan, ibu-bapak, kakek-nenek, dst. Dengan begitu, identitasnya sebagai manusia, sebagai Si A, Si B, menjadi jelas. Ia tidak sama dengan rumput atau hewan. Ia beda dengan SI C atau Si D, dst.

Coba bayangkan betapa kacaunya hidup ini kalau segala isi dunia hanya satu bentuk dan warna. Pada saat memotong ayam jadi lauk-pauk, yang dipotong ternyata bukan ayam, tetapi anaknya sendiri. Ketika membangun rumah, yang dicampur dengan semen ternyata bukan pasir dan kerikil tapi kotoran kerbau dan kambing. Ketika memenuhi hasrat manusiawi, yang dirangkul, sicumbui si suami ternyata bukan istrinya tetapi ibu sendiri, istri saudara, tetangga, atau malahan anaknya sendiri. Dan… silahkan teruskan sendiri.

Faktor Sleeping Giant

Manusia, memang beda dengan benda. Benda bisa diatur sesuka hati. Pohon kelapa yang ditanam di tempat tertentu, akan tetap tinggal dan hidup di tempat itu sampai ia mati. Ia tak berkemampuan mengolah tempatnya yang tandus menjadi subur. Mustahil baginya berpindah tempat untuk mencari makanan bergizi. Di mana ia ditanam dan apa pun yang terjadi di tempat itu ia terima seumur hidup tanpa embel-embel protes atau mencari solusi yang lebih baik.

Manusia, tidak demikian. Fisiknya bisa saja dikurung dalam penjara baja berlapis-lapis. Juga gerak lahirianhya dibatasi dalam wilayah sempit. Tapi bagaimana dengan otaknya? Benda kecil itu ternyata punya kekuatan maha dahsyat melebihi apa yang dapat dilakukan manusia secara fisik. Ia bisa terus bergerak “liar” ke mana pun ia mau. Menembus tembok-tembok penjara baja yang berada di bawah tanah sekalipun, bukalah hal sulit baginya untuk beraktivitas dan melahirkan karya-karya besar.

Nampaknya, kondisi itulah yang dialami kaum minoritas pada masa yang lalu. Ia dipenjara dalam wilayah sempit. Dihanyakan tinggal dan hidup dalam wilayah bisnis. Identitasnya dicopot dan diharuskan memakai identitas lain. Tapi ia bukan pohon kepala yang pasti pasrah pada situasi. Sebagai manusia, ia memiliki faktor “sleeping giant”. Manakala ditekan, dipojokkan, atau dipaksa, maka sleeping giantnya segera bangun. Faktor inilah yang membuatnya mampu mangolah lahan sempit dan dianggap tandus menjadi lahan subur. Bukan cuma agar bisa hidup. Tetapi, hidup yang berbuahkan kelimpahan.

Dari wilayah sempit itu, kini, ia sudah jadi “raksasa”. Kemampuannya dahsyat. Ia telah menjadi faktor kunci bagi perekonomian Indonesia. Dari wilayah itu, ia bisa mendikte arah ekonomi nasional yang barang tentu kait-mengait dengan kehidupan bangsa dan Negara. Maka, rasa was-was pun muncul di berbagai kalangan, termasuk penguasa yang sebelumnya menjadikannya sapi perah.

Akibatnya, di kalangan masyarakat tertentu muncul protes. Baik terang-terangan maupun bisik-bisik. Golongan minoritas lantas dinilai mengkhianati bangsa. Isi otaknya dituduh hanya mengumpulkan harta lalu melarikannya ke luar negeri atau ke Negara asalnya. Padahal yang melakukan itu hanya beberapa orang yang memang berwatak kotor. Tidak semua. Lagi pula, watak kotor serupa ada di mana-mana, di kalangan mana saja dengan latar belakang apa saja di indonesia.

Kalau kemudian mereka menjadi raksasa ekonomi, tentu bukan salah mereka. Itu, kesalahan Kebijakan penguasa dan kesalahan pihak-pihak yang mendorong terbitnya kebijakan tersebut.

Faktor Gus Dur

Syukur bahwa bangsa ini masih memiliki seorang Gus Dur. Dalam dua tahun menjadi Presiden, walaupun dengan keterbatasan fisik, beliau berhasil mendobrak berbagai hal yang dianggap tabu, yang tidak berani disentuh oleh pemimpin sebelumnya. Salah satunya adalah pencabutan PP No 14 tahun 1967 yang melarang kaum Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat di depan umum dan hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga.

Pencabutan PP No. 14 Tahun 1967 –yang kemudian dikukuhkan oleh Megawati Sukarno Putri melalui Keppres No 19/2002– pada masa pemerintahannya, dapat dikatakan hanya secuil dari apa yang dicita-citakan Gus Dur. Melalui tulisan, pidato, ceramah, atau komentar-komentarnya, yang sering jadi berita hangat di media, dapat diketahui betapa besar dan banyaknya opsesi Gus Dur untuk terus menegakkan hak-hak hidup manusia Indonesia.

Bagi Gus Dur, kehidupan manusia merupakan faktor sentral. Melebihi kepentingan atas dasar apa pun yang sifatnya sampiran, predikat-predikat kehidupan. Oleh karena itu, jangan hanya karena warna kulit, etnisitas, bahasa, bahkan agama, maka kehidupan dikorbankan. Cara pandang itulah yang menempatkan Gus Dur sebagai pemimpin besar, sekaligus unik. Benar-benar tidak ada duanya. Ia adalah “bapak” segala suku dan etnis, “bapak” segala agama dan kepercayaan, “bapak” bagi yang ditindas dan dipinggirkan, “bapak” pluralisme, “bapak” demokrasi, dan “bapak” besar bagi Indonesia.

Dari pemberitaan media diketahui bahwa dobrakan Gus Dur tidak mulus diterima. Nada sinis, olok-olok, dan menentang dari pihak-pihak yang tidak setuju begitu gencar diarahkan kepada beliau saat itu. Namun, Gus Dur tetap tegar. Sedikitpun tak tampak keraguan apalagi gugup saat mengambil keputusan.

Alasan Gus Dur, sebenarnya, begitu gamblang, mudah dipahami oleh siapa pun. Pertama, beliau sepenuhnya sadar bahwa bumi ini, termasuk Indonesia, adalah milik Sang Pencipta, yang diberikan kepada manusia untuk mempertahankan kehidupan dengan segala aspeknya. Boleh saja Negara menerbitkan rupa-rupa aturan hukum untuk mengatur tatanan hidup warga, namun jika hal itu mengerdilkan kehidupan, memangkas hak-hak hidup sebagian warganya, maka aturan tersebut harus dicabut.

Kedua, hak-hak hidup seseorang bukanlah pemberian siapa pun. Tapi, pemberian langsung Sang Pencipta. Hak tersebut diberikan sama bagi setiap orang. Karena itu, tak boleh ada yang –karena kuasa,pengaruh, atau merasa kuat– menebas hak orang atau golongan tertentu. Menebas hak-hak hidup orang lain, dan memperbesar hak-hak hidupnya sendiri di atas bumi yang sama, sama halnya meyetarakan diri sendiri dengan Sang Pencipta. Dan ini, dinilai Gus Dur berbahaya!

Sejatinya, apa yang diperjuangkan Gus Dur, bukan “barang” asing. Apalagi beraroma “Barat” seperti sering dituduhkan kepadanya. Ini, benar-benar produk dalam negeri. Asli Indonesia yang telah didokumentasikan dalam apa yang kita sebut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itu artinya bahwa apa yang dilakukan Gus Dur jauh dari nyeleneh. Semata-mata merupakan usaha konkret-nyata mengembalikan keindonseiaan Indonesia pada rel cita-cita bangsa dan Negara.

Gampang-gampang Susah

Mempertahakan dan menyuburkan penerimaan pluralisme di berbagai aspek kehidupan dapat dikatakan gampang-gampang susah. Gampang, apabila para pemimpin yang ada, baik di lembaga pemerintahan maupun yang lain terus memperjuangkan cita-cita Proklamasi sebagaimana telah dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Susah, manakala para pemimpin yang ada, dan akan ada, masih terus mengotak atik cita-cita Proklamasi dari sudut kepentingan tertentu dan membuat penafsiran-penafsiran yang cenderung keluar rel.

Pengakuan atas hak hidup beragama, berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu, merupakan contoh yang terus diutak-atik. Hanya karena kepentingan tertentu, maka sebagian warga bangsa Indonesia terus dipojokkan. Bukan cuma menyangkut ruang gerak yang cukup untuk beribadah secara wajar. Tetapi hak hidup keberagamaan dan berkepercayaan mereka terus-terusan dikerdilkan.

Dari waktu ke waktu, kita terus disuguhi penghakiman atas agama dan kepercayaan tertentu. Dengan pongah selalu ada yang berkata bahwa agama ini atau itu salah, oleh karena itu harus dilarang.

Pertanyaannya, apakah Tuhan tidak tertawa terbahak-bahak menyaksikan perbuatan seperti ini? Apakah Tuhan tidak berkata, “Lho…! kamu kok berani bilang bahwa yang itu salah dan ini benar, padahal Aku sendiri belum pernah berkata seperti itu dalam Firman-Ku?”

Menurut saya, apa yang dilakukan Gus Dur perlu diperjuangkan terus. Kita tak boleh diam atau hanya menunggu datangnya “dewa” pengganti Gus Dur. Gantinya adalah kita semua, cara pandang dan semangat kita memperjuangkan pengejawantahan Pancasila dan UUD 1945 dalam berbangsa dan bernegara. Itu saja!