Sabtu, 01 Desember 2012

RESIKO KULIAH PADA PROGRAM STUDI DI LUAR DOMISILI PTS



Oleh Yosafati Gulo

Makin tingginya gairah lulusan SMA-SMK di kepulauan Nias untuk kuliah pada pergurun tinggi (PT) tiap tahun tentu bagus. Merupakan indikasi kian tingginya  kesadaran masyarakat Nias tentang pentingnya peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup. Banyak siswa belum puas bila hanya lulus SMA atau SMK. Orang tua juga begitu. Mereka berusaha keras agar si buah hati bisa sekolah di PT dan meraih gelar sarjana.

Dengan berbagai pertimbangan, para lulusan SMA-SMK yang jumlahnya lebih dua ribuan tiap tahun, hanyalah ratusan yang bisa masuk PT bermutu di Sumatera atau di Jawa. Ribuan di antaranya tinggal di Nias. Sementara IKIP Gunungsitoli, STIE Pembangunan dan beberapa PTS lain yang berijin tak mampu menampung lulusan SMA-SMK tersebut.

Keadaan itu menarik minat banyak PTS dari luar Nias untuk membuka program studi yang dinilai prospektif. Beberapa di antaranya ialah Sekolah Tinggi Teknik (STT) Poliprofesi, Politeknik Poliprofesi, Akademik Manajemen dan Teknik Informatika (Amik) Universal, STT Universal, dan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Apignosis (NBC,9/9/2011).

Niat Baik

Katakanlah para lulusan SMA-SMK itu ingin belajar di program studi tertentu karena dorongan meningkatkan kualitas diri. Katakan pula bahwa PTS yang membuka program studi tersebut memiliki niat baik untuk berpartisipasi mencerdaskan anak-anak bangsa di Nias. Lalu dengan niat baik itu, kendati belum punya gedung sendiri, dan dosen berkualifikasi secara memadai mereka “mengabdikan diri” untuk bersusah-susah meninggalkan kenyamannya di Medan.

Namun dengan sedikit mengintip berbagai ketentuan penyelenggaraan pendidikan di PT, kita perlu bertanya apakah niat baik dari para pihak itu sudah cukup? Apakah niat baik itu kelak akan berakhir dengan kebahagiaan bagi para pihak (lulusan dan PTS penyelenggara)? Atau jangan-jangan sebaliknya, berujung pada penyesalan?

Untuk menjawab soal-soal itu, mari kita soroti dari sisi ketentuan hukum yang berlaku di PT di Negara RI. Sebut misalnya beberapa ketentuan dalam PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan jo PP 66 Tahun 2010 tentang perubahan PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, kemudian PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendikbud No 20 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Program Studi di Luar Domisili PT.

Dalam Peraturan di atas, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh sebuah PTS yang hendak menyelenggarakan pendidikan tinggi di luar domisili (kampus induknya). Pasal 89 PP No 17 membolehkan PT membuka program studi di luar domisili. Tapi ini tidak boleh suka-suka atau berdasarkan niat baik saja. Pasal 2 dan 3 Permendikbud  No 20 Tahun 2011 telah menetapkan sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi.

Beberapa hal perlu disebutkan di sini. Pasal 2 ayat (1) menyasaratkan adanya akuntabilitas publik perguruan tinggi dengan mutu setara dengan program studi yang sama di domisili perguruan tinggi tersebut. Ayat (2) menekankan kemampuan dan komitmen perguruan tinggi untuk mempertanggungjawabkan kegiatan tridharma perguruan tinggi kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) menekankan perbandingan ratio dosen-mahasiswa, kapasistas sarana-prasarana, larangan komersialisasi, laporan keuangan yang transparan dan diaudit oleh akuntan publik, dst.

Pada Pasal 3 ketentuannya lebih rinci lagi. Ada 17 butir ketentuan yang harus dipenuhi oleh PTS. Di antaranya, harus ada ijin Dikti dan telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis 5 (lima) tahun perguruan tinggi penyelenggara, didukung oleh Pemerintah Daerah, jumlah dosen berkualifikasi S2 minimal 6 (enam) orang, kurikulumnya sama dengan di kampus induk, status akreditasi Program Studi penyelenggara harus A, memiliki kampus sendiri baik milik sendiri maupun sewa selama minimal lima tahun dengan ukuran rata-rata 2m2 ruang belajar per mahasiswa dan ruangan dosen 4 m2 perorang, dan seterusnya.

Dengan ketatnya ketentuan tersebut, maka Universitas Negeri terbaik di tanah air pun tidak banyak yang membuka program studi di luar domisilinya. Mereka sadar bahwa pembukaan program studi di luar domisili sama halnya mendirikan perguruan tinggi baru dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.

Resiko Bagi Lulusan

Herannya, beberapa PTS yang disebutkan di muka cukup berani menyelenggarakan program studi di Nias. Dibandingkan dengan USU Medan, Unimed, atau UI, ITB, UGM dan seterusnya, status akreditasi PTS-PTS tersebut agaknya tidaklah sebaik PTN di atas. Data PTS Wilayah I Medan yang bersumber dari Dirjen Dikti, Badan Akreditasi Nasional PT (http://www.pts.co.id), menyebutkan dari lima program studi yang diselenggarakan Politeknik Poliprofesi (Teknik Informatika, Teknik Komputer, Manajemen Informatika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris), hanya Program Studi Bahasa Inggris berakreditasi B, Teknik Komputer belum terakreditasi, sementara lainnya hanya C.

Bagaimana dengan STT Poliprofesi? Ternyata sama saja. Tiga program studi STT Poliprofesi di Medan (Teknik Elektro,Teknik Industri, dan Teknik Informatika), hanya Teknik Informatika yang berakreditasi C. Dua lainnya belum terakreditasi.  Teknik AMIK Universal, juga demikian. Dua program studi (Teknik Informatika dan Manajemen Informatika) AMIK hanya terakreditasi C. Dan, yang lebih merisaukan ialah dua PTS lain yang beroperasi di Nias : STT Universal dan STIMIK Apignosis tidak tercatat di data Dikti.

Pertanyaannya, apa resiko kalau para mahasiswa nekat sekolah di PTS tersebut? Apakah kesepakatan dengan mahasiswa seperti yang dibuat oleh Yayasan Poliprofesi bisa memberikan jaminan? Menurut Pasal 86 ayat (1), (2), (3), Pasal 87 ayat (2) serta Pasal 94 huruf b PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kesepakatan tersebut tidak memiliki nilai apa-apa. Yang penting baginya ialah keharusan akreditasi. Dan karena program studi itu di luar domisili, maka akreditasi yang dituntut haruslah A.


apakah para mahasiswa di PTS tersebut hanya sekedar sekolah untuk sebuah gelar? Ataukah ada niat mengunakan ijazahnya kelak untuk mendapatkan efek sipil dalam mencari kerja? 


Kalau nekat, tentu saja PTS bisa mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Tapi ini bukan tanpa resiko. Dirjen Dikti telah menegaskan melalui surat edarannya kepada seluruh PTN-PTS No 2428/D/T/2008 dan surat Badan Kepegawaian Negara No K 26-30/V 97-8/57 tahun 2004 yang menegaskan dua hal. Pertama, ijin menyelengarakan program studi dari Dikti merupakan pengakuan sahnya program studi. Kedua, lulusan dari program studi yang tak terakreditasi tidak memiliki efek sipil (sah) dari ijazah yang diperoleh. Ini artinya bahwa sekalipun mahasiswa lulus dengan cumlaude dari sebuah PTS tak terakreditasi, ijazahnya tidak diakui oleh Dikti dan Badan Kepegawaian Negara.

PTS yang nekat melangar ketentuan tersebut, tentu memiliki sanksinya sendiri dari Dikti. Bisa berupa pencabutan ijin operasional, dihentikannya berbagai bantuan, sampai pada penutupan bila tetap bandel.
Pertanyaan saya, apakah para mahasiswa di PTS tersebut hanya sekedar sekolah untuk sebuah gelar? Ataukah ada niat mengunakan ijazahnya kelak untuk mendapatkan efek sipil dalam mencari kerja? ***

Minggu, 21 Oktober 2012

HATI-HATI MENGGUNAKAN GELAR AKADEMIK



Oleh Yosafati Gulo

Di Indonesia, kegandrungan menggunakan gelar akademik seperti tak terbendung. Utamanya di kalangan pegawai negeri. Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst. 

Tentu saja kalau yang bersangkutan telah belajar di UT (Universitas Terbbuka) bisa dimaklumi. Tapi kalau di UT tidak, Perguruan Tinggi reguler juga tidak, lalu dari mana gelar itu? Apa tidak malu menggunakan gelar akademik tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi (PT) apa pun?

MEMPERTANYAKAN SEMANGAT BELAJAR DI PT DI NIAS



Oleh Yosafati Gulo

Belakangan diketahui adanya beberapa lembaga pendidikan di Nias yang dinilai tidak legal. PTS Poliprofesi adalah salah satunya. Lembaga yang beralamat di Medan itu, membuka cabang di Gunungsitoli Nias tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan Dirjen Dikti. Entah karena dinilai berkualitas atau karena promosinya yang bagus,banyak lulusan SMA dan SMK Nias mempertaruhkan masa depannya di lembaga itu
Illustrasi; sumber : http://www.terbaca.com/2011/11/7-penyebab-mahasiswa-kuliah-tidak.html

Larangan kegiatan yang disampaikan Dikti beberapa waktu lalu, tidak mengendurkan semangat PTS tersebut untuk terus menyelenggarakan pendidikan dan menerima mahasiswa baru. Lulusan SMA dan SMK Nias yang memiliki semangat besar belajar di Perguruan Tinggi (PT) juga tidak mau tahu. Mungkin karena tak memiliki peluang studidi PT yang diakui Dikti, baik di Nias maupun di luar Nias, mereka seolah ogah peduli.Yang penting bagi mereka adalah terdaftar sebagai mahasiswa dan kuliah.
Niat studi, tentu saja baik. Memintarkan diri, mencerahkan hati melalui pendidikan, sangatlah terpuji. Yang jadi soal ialah mengapa mereka, yang nota bene adalah calon-calon pemimpin masa depan Nias, tak mau tahu peringatan Dikti. Apakah ini merupakan bukti bahwa anak-anak Nias tak terlalu butuh legalitas? Benarkan merekahanya ingin studi di PT karena dorongan pengembangan diri, pencerdasan otak dan hatitanpa keinginan untuk memanfaatkan ijazahnya kelak, dalam mencari kerja misalnya?

Hakekat Belajar


Jika memang demikian, tentu tak ada persoalan kelak. Anak-anak muda Nias yang demikian malahan perlu diacungi jempol. Mengapa? Karena mereka berdiri dan bersikap murni di atas dan berdasarkan sebuah hakekat: hakikat belajar. Salah satu hakekat hidup adalah belajar. Belajar di sini semata-mata untuk mencerdaskan diri dan hati tanpa dibebani tujuan lain yang sifatnya fungsional. Ini dilakukannya sejak lahir sampai ajal menjemput. Belajar semacam ini tidak harus di lembaga pendidikan. Bisa dimana saja dan kapan saja. Kalau pun si manusia belajar di lembaga pendidikan, iamelakukannya sebagai pelengkap atau karena dianggap menyempurnakan apa yang dilakukannya sendiri di luar lembaga pendidikan.
Orang semacam mereka, tentu saja tergolong langka. Umumnya orang belajar melaluisekolah sampai di PT, selain memintarkan diri, mencerahkan otak dan hati, mereka menghendaki agar tanda lulus, ijazah mereka kelak dapat dipakai untuk mencari kerja. Golongan orang semacam ini malahan lebih banyak. Ada di antaranya yang hanya butuh ijazah untuk memburu posisi sebagai PNS atau keperluan jabatan. Mereka rela membayar selembar ijazah dengan jutaan rupiah walaupun sesungguhnya tidak pernahsekolah di PT secara faktual.
Illustrasi; Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/21/mahasiswa-kuliah-organisasi-kerja-main/

Bagi mereka, pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang seharusnya dimiliki sebagai prasyarat diterbitkannya ijazah dianggap bukan hal pokok. Yang mereka pentingkan ialah diterima menjadi pegawai negeri atau ijazahnya diakui untuk kepentingan kenaikan golongan. Kecenderungan inilah yang biasanya ditangkap oleh orang-orang yang juga tak jujur. Mereka melihatnya sebagai sebuah kesempatan mendulang "harta karun". Soal tanggungjawab edukatif, moral, atau hukum adalah soal nanti. Dengan kiat"sumut" (semua urusan mesti uang tunai) hal tersebut dianggap tidak menjadi masalah.Dengan uang, semua hal toh bisa diatasi.
Dalam konteks itulah berlaku hukum ekonomi. Ada supply ada demand dan sebaliknya.Apa yang anda butuh, kami sediakan. Dalam bentuknya yang lebih canggih, supplier (penyedia jasa) malahan menciptakan kebutuhan pengguna jasa dalam bidang apa pun.Tak terkecuali bidang pendidikan tinggi di PT. Pertanyaan yang muncul adalah adakah pencerahan otak dan jiwa di situ? Apakah model pendidikan yang demikian akan menghasilkan orang-orang berjiwa edukatif, bermoral, dan menjunjung tinggi hukum?Saya sendiri ragu.

Peran Pemerintah

Di sinikah sebenarnya letak fungsi dan tugas pemerintah. Upaya pencerdasan bangsa pertama-tama adalah tanggung jawab pemerintah, dari Pusat ke Daerah. PembukaanUUD 1945 telah memberikan mandat itu di pundak pemerintah. Dalam hal ini Presiden, Gubernur, Bupati/walikota sampai kepala desa. Juga perangkat pemerintah seperti DPR, DPRD dan para kepala dinas SPKD.
Seharusnya semua lembaga pendidikan diadakan dan diurus oleh pemerintah. Namun karena keterbatasannya dalam banyak hal, maka berbagai UU dalam bidang Pendidikan,UU Yayasan memberi peluang adanya partisipai masyarakat dalam upaya pencerdasan bangsa tesebut. Tapi ini tidak boleh dilakukan suka-suka. Pemerintah perlu terus mengontrol dan membina agar dalam mencapai tujuan baik dilaksanakan dengan baikpula. Untuk mewujudkan manusia-manusia jujur harus dilakukan cengan cara-cara jujurpula. Demikian seterusnya.
Tentu saja banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengontrol partisipasi masyarakat tesebut. Utamanya dalam pendirian lembaga dan penyelenggaraan pendidikan. Di daerah, tentu peran itu terletak di pundak Bupati dan Walikota. Dengan berbagai sumber daya yang ada, para bupati dan walikota di Nias dapat melakukan pembinaan dan pengarahan. Tujuannya, paling tidak, agar lembaga-lembaga pendidikantetap berada di atas koridor kaidah moral dan hukum serta mencerminkan pengejawantahan nilai-nilai edukasi.
Jika ada lembaga pendidikan yang masih bandel, tentu saja pemerintah dapat melakukan tindakan tegas. Bisa dengan menghentikan paksa kegiatan, bisa dengan menutup paksa lembaga, atau cara-cara lain yang sesuai dengan kewenangannya. Agar tidak terjadi salah paham dengan masyarakat, pemerintah juga perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Kita tentu tidak menghendaki agar anak-anak muda Nias itu kelak menjadi korban ketidaktahuan, korban hukum ekonomi yang terkadang amat kejam, korban semangat belajar di  luar cara dan jalur yang diakui oleh pemerintah. ***

-------------------
Tulisan di atas ditayangkan di Majalah online NBC, tanggal 1 Oktober 2012. Dapat dibaca pada link ini

JOKOWI-AHOK, SIMBOL KEMENANGAN KREATIVITAS



Oleh Yosafati Gulo

Pikada Gubernur (Pilgub) DKI barusan saja usai. Nampaknya perhitungan cepat tidak meleset. Sebentar lagi, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahya Purnama (Jokowi-Ahok) sebagai pemenang Pilgub dikukuhkan secara legal berdasarkan fakta. 

Yang menarik, perhatian masyarakat terhadap Pilgub itu begitu besar. Bukan cuma di DKI, tapi nyaris di seluruh Indonesia. Dibandingkan dengan Pilgub di tempat lain, perhatian terhadap Pilgub DKI dapat dikatakan istimewa. Mirip dengan perhatian masyarakat terhadap pemilihan presiden. Hal tersebut dapat diketahui melalui berita di berbagai media online dan media cetak di Tanah Air. Banyak yang menulis, menganalisis, tentang dua pasangan yang bersaing di putaran kedua. Sampai ke desa-desa di berbagai wilayah juga menjadi bahan obrolan. Tapi simpati terbesar tertuju pada pasangan Jokowi-Ahok.

13486624232005965332
Jokowi-Ahok (sumber: http://gosipindonesia.com/pilgub-dki-lagu-indonesia-raya-bergema-di-markas-kemenangan-jokowi-ahok/)
 
Mengapa bisa begitu? Ada banyak sebab. Beberapa di antaranya, ialah, fenomena Jokowi-Ahok yang hanya didukung oleh dua Parpol versus Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang didukung segerombolan partai besar memang menarik perhatian. Banyak yang ingin tahu strategi apa yang diterapkan Jokowi-Ahok dalam pertarungan tak seimbang itu.  Sama seperti pertaruangan Daud dan Goliat. 

Kedua, kesadaran politik masyarakat makin maju. Anggota masyarakat kian paham calon-calon pemimpin ideal, yang dapat dipercaya mewakili diri dan kepentingannya. Umbar janji, sudah tak mempan lagi. Isu Sara (Suku Agama Ras dan Antargolongan) yang coba digaungkan ternyata tak bertaji lagi. Masyarakat sadar bahwa yang dipilih bukanlah pimpinan etnis atau agama, tapi pimpinan untuk semua dalam konteks negara pluralis.

Ketiga, penilaian terhadap calon sudah bergeser. Saat ini, masyarakat tidak melihat figur dari apa yang diomongkan. Entah itu janji masa depan yang indah atau prestasi yang dipoles narasi. Masyarakat lebih melihat fakta dan rekam jejak sang calon, cara-cara sang calon dalam menyikapi dan merespon masalah yang timbul selama skampanye, dan cara mereka menyosialisasikan diri kepada masyarakat. 

Tiga Titik Kemenangan

Rekam jejak, cara merespon masalah, dan cara sosialisasi diri nampaknya merupakan tiga titik kemenangan Jokowi-Ahok. Mereka tak perlu teriak siapa mereka, apa yang sudah dilakukan, atau apa yang akan mereka berikan kepada rakyat DKI. Prestasi mereka sebelumnya sebagai walikota dan Bupati sudah menjawab semuanya. 

Tanpa Jokowi teriak, “saya memerhatikan kepentingan rakyat,” dari berita prestasinya di Solo orang tahu dan percaya bahwa Jokowi memang begitu. Ia tak perlu bilang, “saya memerhatikan nasib PKL,” sebab fakta atas sistem kerjanya menata PKL di solo yang semula semrawut menjadi rapi lebih nyaring dari bunyi sirene atau suaranya yang ngebas.

Ahok juga begitu. Ia tak perlu teriak, “Saya anti rasialis!,” sebab fakta tindakannya di Belitung telah menjadi spanduk hidup yang terbentang sampai ke Jakarta. Tak perlu disembunyikan fakta bahwa ia memang etnis Cina dan beragama Kristen, sebab ia sudah tunjukan bahwa etnisitas dan agamanya tak pernah menghambatnya untuk memosisikan siapa pun secara terhormat sama seperti dirinya. Ia sadar poll bahwa yang namanya manusia pasti punya rasa dan kebutuhan nyata: Sakit kalau dicubit, sedih kalau dihina, lapar kalau tidak makan, atau lega kalau diberi minum.

Maka, kampanye bagi pasangan ini tidak seperti pasangan lain. Mereka tidak memerlukan spanduk atau baliho. Mereka hanya butuh menunjukkan wajah dan baju kotak-kotak. Nama mereka sudah lama dikenal. Itulah sebabnya selama kampanye, mereka ogah melakukan pendekatan top-down atau pendekatan partai yang sudah lazim. 

Mereka memilih menemui rakyat di pasar atau di daerah-daerah kumuh. Mereka tak gentar menghadapi rival yang didukung banyak partai. Sebab mereka tahu bahwa partai itu benda mati yang tak punya suara. Yang punya suara adalah individu. Dalam konteks pemilihan langsung, nilai suara setiap individu sama. Entah ia tukang sapu, pesuruh, pedangan asongan, maupun artis atau Presiden sekalipun.
Atas pandangan itu, Jokowi-Ahok merasa yakin menang kontes. Sekalipun seribu partai bersekutu menghadang, tapi kalau semua individu anggota partai memilih mereka, partai toh tak beda dengan macan ompong.

Kreativitas

Beda dengan pasangan lain, pasangan Jokowi-Ahok ditandai dengan baju kotak-kotak yang khas. Banyak yang  tak mengira bahwa baju sederhana itu mampu bicara” banyak. Sederhana tapi sakti sebagai sebuah simbol kreativitas. Ia bukan cuma mampu mendongkak popularitas Jokowi-Aho di mata pemilih. Ia malah menjadi sebuah simbol filosogi dan gerakan ekonomi kerakyatan.

Efek baju ini sendiri tidak melulu untuk Jokowi-Ahok. Selama masa kampanye, kehadiran baju itu, ternyata memberikan efek ekonomi secara nyata. Pabrik kain mendapat peningkatan produksi kain kotak-kotak. Para agen, penjual kain meteran, para sales, tukang jahit, dan banyak lagi, ternyata mendapat peningkatan order, dan tentu saja rejeki. Ini pun tidak hanya di DKI. Turut menjalar juga di seantero negeri, bahkan sampai di manca negara.

Teman saya bilang, “Selain Dahlan Iksan, Jokowi-Ahok adalah fenomena kreativitas. Baru menjadi peserta Pilgub saja, mereka mampu menggebrak dua hal penting. Mengoyak kebuntuan “ideologi” SARA dan memberi ilustrasi kreatif dalam membangun ekonomi. Apalagi nanti kalau sudah menjabat, peluang mereka berbuat banyak hal di DKI lebih besar.” Mendengar ini, saya hanya mangut-manggut.

Yang jelas, fenomena tersebut menurut hemat saya, adalah sebuah pelajaran yang patut ditiru secara kreatif. Kalau hendak menjadi pemimpin, lakukan persiapan dengan kerja baik, jujur, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Sebab anda menjadi pemimpin berarti anda memimpin kepentingan rakyat, bukan kepentingan anda sendiri seperti banyak kita saksikan selama ini. ***

Tulisan di atas ditayangkan di Kompasiana.com tanggal 26 September 29012. Dapat dibaca pada link ini.

Jumat, 10 Agustus 2012

Cagub DKI Yang Lebih Berkualitas


Oleh Yosafati Gulo

Bukan main gemparnya respon atas isu SARA yang dicuatkan Rhoma Irama pada ceramah tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012). Rupa-rupa pendapat yang berseliweran beberapa hari terakhir mengerucut pada dua kubu pendapat yang berseberangan. Kubu yang setuju menilai bahwa dakwah Rhoma sudah benar. Sesuai dengan pesan agama. Kubu seberang berkata tidak. Isu SARA tidak benar. Yidak fair dan tidak memberikan pembelajaran politik yang sehat bagi masyarakat. 

Apa yang salah? Jika ukurannya adalah dasar pikiran masing-masing, tentu tak ada yang salah. Semua benar berdasarkan konstruksi argumen yang dibangun. Sebuah kebenaran behadapan dengan kebenaran yang lain, yang kalau hanya dilihat dari sudut pandangan masing-masing, maka akan berakhir pada konflik pandangan yang tak ada ujung.

Lalu, pandangan mana yang seharusnya dijadikan acuan? Tulisan berikut mencoba mendudukkan peristiwa ceramah tarawih Rhoma dalam kaitannya dengan Pilgub DKI putaran kedua September 2012.

Tidak Berdiri Sendiri

Isu SARA dalam dakwah sebetulnya bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Anjurannya memilih orang yang seiman menjadi pimpinan adalah gejala umum yang dapat dilakukan oleh siapa saja. JimlyAshiddiqie bilang, “Isu SARA ini bersifat netral. Kalau sekadar informatif untuk transparansi, tidak apa-apa," katanya. Tetapi justru di sinilah letak masalah. Pihak pendukung Jokowi-Ahok merasa dakwah tersebut tidak berdiri sendiri. Tidak sekadar dakwah. Ia dilontarkan dalam kaitannya dengan Pilgub DKI putaran kedua.

Karena terkait dengan Pilgub DKI, maka dakwah tersebut mengandung setidaknya dua hal yang dinilai di luar  kepatutan hukum dan moral. Pertama, Bung Rhoma dinilai curi star kampanye untuk mengegolkan pasangan yang didukungnya, Foke-Nara. Dalam pandangan pendukung Jokowi-Ahok, hal tersebut tidak fair. Bahkan melanggar UU Pemilikada. Itulah sebabnya mereka mengadukan Bung Rhoma ke Panwaslu.

Kedua, memunculkan faktor SARA dalam memilih pimpinan daerah dinilai berpotensi menganggu keutuhan masyarakat Jakarta. Potensinya untuk menyulut perpecahan masyarakat sangat besar. Anggapan ini bertolak dari pengalaman bahwa sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan yang pernah terjadi di Indonesia sering berakhir dengan kerusuhan dan pembantaian. Inilah yang tidak diharapkan oleh kubu Jokowi-Ahok, dan barangkali sebagian besar masyarakat Indonesia.

Dikaitkan dengan upaya memenangkan calon pasangan tertentu, faktor SARA memang sangat tidak relevan. Sebab yang hendak dipilih kelak, bukan pemimpin untuk orang Islam saja, atau Kristen Saja, atau Hindu saja, atau Budha saja, atau suku Jawa saja, atau Betawi saja, atau Cina saja, dst., melainkan pimpinan untuk semua orang yang ada di DKI Jakarta dengan rupa-rupa latar belakanganya.

Sekalipun sang calon beragama Islam dan dari suku Betawi atau Jawa, ketika ia menjadi gubernur, tidaklah patut baginya bila memosisikan diri hanya sebagai pemimpin untuk penganut agama Islam dan/atau suku Betawi atau Jawa. Secara hukum dan moral Ia berkeharusan memosisikan diri sebagai pemimpin untuk semua penganut agama dan suku yang ada di DKI. Tidak patut pula bila pendukung yang seagama atau sesuku dengannya mengungkung gubernur tersebut sebagai pemimpin mereka saja dan mengondisikannya untuk lebih memberi perhatian bagi mereka melebihi perhatian bagi penganut agama atau suku lain.

Membangun Kebersamaan

Sebagai pemimpin bagi semua, sudah tentu materi kampanye atau dakwah yang lebih tepat semestinya menyangkut aspek kualitas pribadi serta visi dan program yang mereka tawarkan sebagai calon gubernur. Aspek-aspek inilah yang dianggap lebih fair. Sebab perlu disadari bahwa gubernur yang dipilih karena alasan agama dan suku, tak pernah mampu menjamin 
keberhasilannya memimpin pemerintahan dan menyejahterakan masyarakat DKI.

Kalau mau maju, masyarakat DKI dan bangsa kita secara keseluruhan perlu segera membangun budaya modern dalam memilih pemimpin. Kebiasaan memilih pemimpin yang seagama atau sesuku dengan harapan agar ia lebih memerhatikan kepentingan agama dan sukunya perlu ditinggalkan. Terlalu naif pula kalau kita terus mengondisikan pimpinan daerah atau nasional agar terus memenjarakan  dirinya dalam ruang sempit primordialisme. Sebab pemimpin semacam itu mustahil bisa menjawab permasalahan masyarakat yang majemuk.

Sudah saatnya kaum terdidik berjuang mendorong munculnya para pemimpin yang berpandangan nasionalis, berwawasan mondial, mampu membangun kebersamaan, dan lebih fokus pada penyejahteraan kehidupan bersama. Calon-calon pemimpin semacam ini, antara lain, dapat dideteksi dari rekam jejaknya serta visi dan programnya sebagaimana dikemukakan selama kampaneye.

Kalau ternyata visi dan program Foke-Nara kelak dinilai lebih baik bagi masyarakat DKI, ya silahkan pilih. Demikian pula kalau visi dan program Jokowi-Ahok dinilai lebih baik, perlu diakui juga. Memilih pasangan dengan alasan “pokoknya”, dan menjatuhkan saingannya dengan cara-cara tidak fair yang menyulut perpecahan bukanlah sikap orang dewasa dan cerdas. ***

Minggu, 15 Juli 2012

Ada Apa Dengan Posisi Tawar Masyarakat Nias?


oleh Yosafati Gulo
Dalam akun Face Book Forum Nias Barat, bung Nefos Daeli (ND) bilang begini, “Komunitas Nias belum menjadi kekuatan untuk position of bargaining dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, paling tidak untuk di Provinsi Sumatera Utara.”
Saya tergelitik membaca pernyataan tersebut karena dalam diskusi selanjutnya terkesan makin menjauh dari pokok diskusi. Ada yang menanggapinya dalam skopa nias dan ada yang sekadar Nias Barat. Ada yang meninjaunya melulu dari aspek geografi, kualitas SDM, dan ada juga yang melihatnya sebagai konsekuensi belum optimalnya perhatian Gereja dan Pemerintah Daerah di Nias.
Saya kira yang hendak diangkat ND adalah posisi tawar masyarakat Nias dalam “pertarungan” politik guna memengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan mengambil keputusan-keputusan politik (kebijakan) atas pembangunan masyarakat. Jangankan secara nasional, di tingkat Sumatera Utara pun masyarakat Nias belum bisa bicara.  Belum memiliki posisi tawar (bargaining position).
Persoalan geografis dan SDM, sempat ditangkis ND.  Dengan mengambil contoh daerah lain (walaupun tidak disebut daerah mana), yang letak geografisnya “jauh” dan SDM biasa-biasa, mereka toh memiliki posisi tawar, tulis ND. Dengan pernyataan tersebut, tentu saja ND tidak bermaksud memutlakkan aspek geografis sebagai satu-satunya faktor penentu. Sebab untuk mendapatkan sebuah posisi tawar dalam menentukan keputusan politik, pastilah banyak faktor yang jalin-menjalin menjadi sebuah kekuatan.
Rupa-rupa Potensi
Untuk memengaruhi keputusan politik, saya kira sangat ditentukan oleh rupa-rupa potensi yang ada di tiap daerah. Bisa aspek geografisnya yang strategis dalam percaturan politik dunia atau nasional, kualitas SDM, kekompakan masyarakatnya yang tinggi, sumber daya alam potensial, sikap para pemimpin dalam lembaga-lembaga publik atau perpaduan semuanya.
Kendati demikian, daerah yang memiliki potensi tinggi walaupun hanya satu-dua aspek, cenderung memiliki posisi tawar dalam pengambilan keputusan politik. Ia akan diperhitungkan baik-baik oleh pemerintah dan DPR. Lebih-lebih kalau potensi tersebut memmiliki efek yang terkait erat terhadap ekonomi negara atau isu yang sedang menjadi perhatian dunia.
Sekadar contoh kita bisa lihat posisi tawar masyarakat Papua yang walaupun masih tersendat-sendat, namun karena potensi sumber daya alamnya yang amat besar, tidak dengan mudah disepelekan oleh pemerintah pusat dalam mengambil keputusan politik. Kebijakan pembangunan yang selama beberapa Pelita Orde baru terlalu memihak pada masyarakat Indonesia Bagian Barat, dewasa ini mau tidak mau ditinjau karena berbagai protes masyarakat Papua dan daerah-daerah lain di Indonesia Timur. Keputusan-keputusan politik yang sebelumnya cenderung memosisikan Papua, Kalimantan, sebagai objek untuk sekadar mendapatkan uang, belakangan mulai dikoreksi karena tuntutan-tuntutan masyarakat.
Contoh lain adalah keputusan DPR dan Pemerintah ketika membuat UU No 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Di tangan DPR, pembahasan UU ini memakan waktu sekitar lima tahun. Di satu sisi ada tekanan-tekanan politik dari partai politik yang dikuasai oleh golongan agama tertentu, tapi di sisi lain ada perlawanan dari berbagai komponen masyarakat. UU itu memang berhasil diteken Presiden SBY tanggal 28 November 2008 dan ada juga yang dipejara dari jeratannya. Tetapi secara keseluruhan, UU itu tidak dapat dilaksanakan secara konsisten.
Lihat saja hura-hura pornografi dan pornoaksi di sekitar kita. Makin hari makin subur. Apalagi di dunia maya. Sekalipun Kemenkominfo telah menyatakan tekadnya memblokir ribuan situs porno tiap bulan, kenyatanya  belum memberikan hasil memadai. Gambar-gambar yang merangsang syahwat masih saja berseliweran di berbagai jaringan internet.
Barangkali itulah yang mendorong Presiden SBY untuk menerbitkan Perpres No 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi tanggal 2 Maret 2012. Dengan anggota 11 Menteri plus Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Ketua lembaga sensor film, dan dikomandoi oleh Menko bidang Kesra dan Ketua Harian Menteri Agama, Presiden SBY beranggapan bahwa pornografi dan pornoaksi dapat dicegah.
Selain UU itu tak berkutik, posisi tawar masyarakat Bali terhadapnya, jelas tampak. Sekalipun sudah diundangkan, Bali tak mudah mengiyakan. Ia sangat sadar bahwa bila hal itu diterapkan, para turis asing akan enggan datang ke Bali. Karena potensi wisata Bali cukup besar, maka negara pun tidak bisa berbuat banyak, bukan? Padahal kalau undang-undang itu diterapkan secara konsisten, maka siapa pun yang melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi di bumi Indonesia akan dihukum.
Contoh lain, kita bisa medilihat posisi tawar pengusaha ketika serikat pekerja dan berbagai organisasi buruh ribut soal rendahnya upah minimum. Kendati secara faktual upah minimum tidak mencukupi kebutuhan normal, pemerintah dan DPR tidak bisa sesukanya membuat regulasi. Posisi tawar pengusaha cukup tinggi untuk melahirkan keputusan politik mengenai upah buruh.
Posisi Tawar Masyarakat Nias
Menyimak contoh-contoh di atas, nampak bahwa lemahnya posisi tawar masyarakat Nias bisa dimaklumi. Ditinjau dari aspek kandungan bumi dan kontribusinya bagi perekonmian nasional, secara alami turut melemahkan posisi itu. Aspek pariwisata yang seharusnya dapat dijadikan andalan, juga belum disentuh secara sungguh-sungguh. Yang terjadi adalah adanya kesan pembiaran keberlangsungan pariwisata Nias secara alami.
Menjadikan aspek pariwisata sebagai andalan, pada hemat saya harus dilakukan secara sistemik. Semua aspek yang terkait dengan pariwisata perlu dikembangkan secara terstruktur. Sebab pada saat kita menata daerah tujuan wisata, tentu harus diperhitungkan faktor infrastruktur jalan, penginapan, kebutuhan-kebutuhan dasar wisatawan, paket kegiatan, dst. Paket-paket wisata di Bali dan Lombok, nampaknya perlu dipelajari.
Dalam Lokakarya Pengembangan Ekonomi Lokal Kepulauan Nias 2012-2016 di Hotel JW Marriott, Medan, beberapa waktu lalu, Purwoko, salah seorang Consultant UNDP bilang, “Orang berbicara bahwa Nias itu sangat bagus, tetapi road map-nya? Kalau orang mau bepergian, dalam 1 jam apa yang dilihat, dalam 3 jam apa yang dilihat, dalam 1 hari itu apa yang dilihat, 7 hari apa yang dilihat, itu belum ada road map-nya. Ini yang harus dibuat,” kata Purwoko.
Ini artinya, pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama pembangunan masyarakat Nias perlu memiliki program yang terstruktur. Entah itu jangka pendek, menengah, ataupun jangka panjang. Salah satu yang pokok menurut saya adalah pengadaan tenaga ahli. Mustahil kita mendapatkan hasil yang optimal bila aspek periwisata ditangani oleh orang yang tidak memiliki spesialisasi di bidang itu.
Secara instan, tenaga ahli itu bisa saja didatangkan dari luar Nias, di-hire. Tapi itu, tidak menjawab persoalan dasar. Hanya bermanfaat untuk keperluan sesaat. Untuk jangka panjang, adalah menyiapkan tenaga-tenaga ahli dari Nias melalui pendidikan formal. Pemerintah daerah perlu menyekolahkan siswa berprestasi dan berminat di bidang itu. Mereka inilah kelak yang diharapkan melakukan pembenahan yang lebih sistematis sampai Nias menjadi daerah wisata berkelas.
Bersamaan dengan itu, perlu pula diadakan program yang bermuara pada pengembangan aspek lain seperti pertanian dan industri rumah tangga, kerajinan yang belum digarap. Dengan cara ini, suatu saat kita berharap hasil-hasil pertanian, hasil kerajinan, industri rumah tangga dapat disandingkan dengan produk-produk daerah lain yang memiliki nilai untuk dipakai atau dijadikan cindera mata oleh siapa saja yang berkunjung ke Nias. Menurut saya, inilah salah satu cara ampuh untuk mengkonstruksi posisi tawar masyarakat Nias secara nasional dan paling sedikit di tingkat Sumatera Utara seperti yang diimpikan oleh ND.
Pada sakala lebih kecil, tiap Kabupaten perlu melakukan pendekatan serupa. Dalam terminologi pembangunan hal ini dikenal dengan sebutan produk unggulan daerah. Produk unggulan inilah yang perlu dikembangkan secara fokus. Perlu diingat bahwa mengerjakan semua bidang secara serempak cenderung memberikan hasil minimal. Berkembang banyak, tapi dengan hasil sedikit-sedikit. Tapi bila fokus pada satu bidang unggulan dan bidang itu maju, langsung atau tidak, ia akan mengimbas pada bidang lain ***
 
Artikel terkait:
Pendekatan Ekowisata Tepat Diterapkan di Pulau Nias