Sumber gambar : http://jopinusramlisaragih.blogspot.co.id/p/profil.html |
Setelah ditetapkan menjadi tersangka pemalsuan legalisasi
Ijazah dan tanda tangan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Sopan
Andrianto, Calon Gebernur Sumatera Utara (Sumut) periode 2018-2023, Jopinus
Ramli (JR) Saragih berbicara kepada para pendukungnya dari atas podium. Dengan
nada sedih beliau menyatakan sudah selesai diperiksa. Setelah itu, ia
menyatakan akan kembali bekerja seperti biasa sebagai Bupti Simalungun.
Sepertinya kasus ini ringan. Hanya berekor pada gagalnya pasangan
JR Saragih-Ance Selian bersaing dengan dua pasangan lain sebagai calon gubernur
Sumatera Utara. Namun, kalau ditelusuri lebih jauh tampak bahwa kasus tersebut
mengandung konsekuensi hukum serius dan melibatkan banyak pihak pula.
Pertama, ketika
beliau memasuki Sekolah Perwira Prajurit Karier (Sepa PK) yang dinyatakan lulus
pada tahun 1998, sudah pasti ada penelitian tentang ijazah. Tanpa menunjukkan foto
copy ijazah yang sudah dilegalisasi oleh dinas pendidikan pada saat itu,
mustahil ia diterima menjadi Sepa PK di TNI AD. Nyatanya, bukan cuma diterima,
tetapi ia bisa lulus.
Kedua, ketika mencalonkan
diri menjadi Bupati Simalungun pada periode 2010-2015, kemudian 2016-2021, kemudian
terpilih, KPUD Sumut pasti telah memeriksa kelengkapan administrasi, termasuk
foto copy Ijazah SMA sebagai syarat. Hal tersebut sudah ditegaskan pada Pasal
58 huruf c dan n, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Juga ketentuan Pasal 13
huruf c UU No 22 Tahun 2014 tentang Pilkada, kemudian diatur lagi pada Pasal
7 ayat (2) huruf c, Pasal 45 ayat (2)
huruf a dan huruf d 1, UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Kalau para pihak di atas menemukan kejanggalan atau tidak
sahnya ijazah JR Saragih, bisa dipastikan beliau tidak dapat menjadi Sepa PK
TNI AD, juga sebagai calon Calon Bupati Simalungun pada tahun 2010 dan 2016. Dalam
salah syarat penerimaan siswa Sepa PK berbunyi “Warga negara Indonesia, berusia
26 tahun bagi yang berijazah D-3, 30 tahun bagi yang berijazah S-1/D-4 dan 32
tahun bagi yang berijazah S-1 Profesi”, memang tidak menyebutkan ijazah SMA
tetapi pada umumnya keaslian ijazah sebelumnya selalu diteliti.
Hal serupa berlaku bagi KPUD Sumut. Ketentuan Pasal 48 UU No
10 Tahun 2016 mengharuskan KUPD melakukan verifikasi dokumen para calon kepala
daerah Bupatii/Walikota dan gubernur. Apabila calon berasal dari partai atau
gabungan partai politik, maka sebelum mendaftarkannya KPUD Sumut, mereka wajib
meneliti kelengkapan administrasi calon sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat
(5) huruf j.
Lalai atau Permainan
Berjamaah?
Jika semua lembaga itu telah melakukan tugasnya berdasarkan
ketentuan hukum tetapi hasilnya tidak benar sudah pasti memunculkan setidaknya
dua dugaan. Pertama, kemampuan oknum,
patugas, yang dipercayakan untuk meneliti dokumen, termasuk ijazah, di bawah
standar. Mungkin kurang teliti, tidak hati-hati, salah menafsirkan syarat, atau
mungkinn karena malas, terlalu sibuk, sehingga dokumen JR Saragih tak
terverifikasi sebagaimana mestinya.
Dari sisi hukum, keadaan tersebut tidak dapat ditoleransi. Tindakan
mereka merupakan tetap merupakan pelanggaran hukum. Pelanggaran yang mengakibatkan
JR Saragih diuntungkan berupa mendapat kesempatan menjadi siswa Sepa PK dan
menjadi Bupati Simalungun dua periode.
Konsekuensinya, oknum-oknum tersebut di TNI AD, partai
politik pengusungnya, dan KPUD Sumut perlu diberikan sanksi hukum. Sebab,
sengaja atau tidak, mereka telah memberikan kesempatan kepada JR untuk
menikmati status yang seharusnya bukan haknya.
Bagi JR Saragih sendiri, selain ancaman pidana pemalsuan ijazah
SMA atau pemalsuan legalisasi ijazah dan tanda tangan Kepala Dinas Pendidikan
DKI, ijazah yang bersangkutan dari Sepa PK dan status Bupati Simalungun periode
2010-2015 dan periode 2016-2021 bisa dicabut. Malahan ia bisa dikenakan sanksi
hukum atas berbagai keuntungan yang didapatkannya pada status yang bukan
haknya, baik sebagai lulusan Sepa PK maupun Bupati Simalungun selama dua
periode.
Kedua, kebalikan
dari hal pertama, petugas yang dipercayakan meniliti dokumen JR Saragih berkualitas,
memenuhi standar. Pada saat meneliti dokumen sangat mungkin mereka mengetahui
bahwa ijazah SMA JR Saragih tidak ada atau diragukan atau dokumennya tidak
lengkap, namun karena sesuatu yang kita tidak tahu mereka meloloskannya juga.
Jika ini yang terjadi, sudah pasti memunculkan dugaan bahwa
proses penerimaannya menjadi siswa Sepa PK maupun penetapannya menjadi calon
Bupati Simalungun yang berhasil dia menangkan dua periode berturut-turut ada
permainan berjamaah di kalangan para pihak yang terkait. Boleh jadi ada
permainan kong kali kong antara JR Saragih dengan oknum petugas penerimaan
siswa Sepa PK, partai politik pengusung, KPUD Sumut, Bawaslu Sumut, dan Dinas
Pendidikan Sumut pada saat itu.
Permainan itu bisa saja sogok-menyogok atau janji-janji
tertentu yang pemenuhannya sebelum atau sesudah menjadi siswa Sepa PK dan
menjadi Bupati Simalungun. Inilah antara lain yang perlu ditelusuri oleh polisi
dan Jaksa yang menangani perkara JR Saragih.
Ancaman Pidana
Jika para pihak terbukti melakukan “permainan” tersebut,
maka mereka dapat diancam pidana penjara berdasarkan ketentuan yang berlaku sesuai
dengan posisinya masing-masing. Untuk JR Saragih misalnya bisa dijerat dengan
ketentuan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dengan ancaman pidana penjara
palibg lama enam tahun. Bisa juga dijerat dengan ketentuan Pasal 115 ayat (3) UU
No 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Ancaman pidana menurut ketentuan ini ialah
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan
paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Namun, ancaman itu bisa bertambah dengan ketentuan Pasal 119,
yang menyatakan bahwa jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh
penyelenggara atau pasangan calon terhadap ketentuan Pasal 115, juga Pasal 116,
dan Pasal 117, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang
diatur dalam pasal yang dilanggar tersebut.
Ancaman idana serupa bisa menjerat oknum penerima siswa Sepa
PK, anggota Bawaslu, KPUD Sumut, maupun partai politik pengusung. Persamaan di
antara mereka adalah turut memalsukan dokumen.
Itu artinya, proses penanganan kasus JR Saragih tak
sepatutnya difokuskan kepada beliau. Pihak-pihak yang terkait perlu diperiksa,
diselidiki, diproses agar penegakkan hukum yang menggambarkan keadilan bisa
dicapai.
***
Catatan: Artikel ini sudah dimuat di harian Analisa Medan pada tanggal 23 Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar