Oleh : Yosafati Gulo
Illustrasi Kekuatan/sumber google |
“Satu rupiah saja Anas korupsi
Hambalang, gantung Anas di Monas,” jawab Anas ketus kepada wartawan yang
mewawancarainya atas tuduhan ketrlibatannya pada kasus dugaan korupsi pada
Proyek Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Olahraga di Hambalang. “KPK
tak perlu repot-repot mengurus Hambalang. Hal itu, kan, asalnya dari ocehan
yang tak jelas. Ngapain repot-repot,” paparnya kepada pers sambil berlalu.
Jika jawaban itu serius keluar
dari sikapnya yang sesungguhnya, maka ada beberapa hal yang janggal. Pertama,
sebagai pribadi dan Ketua sebuah Partai, Anas menerima, atau setidaknya tak
keberatan, bila ada orang yang bicara sesukanya di negeri ini yang sifatnya
menuduh, memojokkan, tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sikap itu sama halnya
melegitimasi bolehnya orang berbicara tanpa etika dan norma moral. Oleh karena
itu ketika dirinya dituduh terlibat korupsi, ia pun tidak keberatan.Tidak
menganggapnya sebagai masalah hukum, fitnah, atau tindakan tak menyenangkan
yang dapat dituntut secara hukum.
Kedua, Anas telah merendahkan dan
menciutkan nilai dirinya di bawah nilai manusia umumnya. Sebab, jangankan Ketua
sebuah Partai besar, anak kecil pun kalau dituduh, difitnah, pasti akan protes.
Jika hal itu terjadi di sekolah, maka si anak akan mengadukannya kepada guru karena
ia merasa difitnah. Anas, tidak demikian.
Karena nilai dirinya lebih
rendah dari seorang anak kecil, maka ia pun menerima dengan rela hati pernyataan-pernyataan
Muhamad Nazarrudin, Mindo Rosalina, Yulianis, Muhajiddin Hasyim adik Muhamad Nazaruddin, Gerhana Sianipar di depan
pengadilan yang menuturkan keterlibatannya pada Proyek Hambalang.
Pertanyaannya saya, apa benar begitu? Saya sendiri tidak percaya. Orang
terdidik dan berjabatan seagai pimpinan Partai seperti dia sewajarnya memiliki
harga diri besar melebihi manusia Indonesia umumnya.
Tapi mengapa dia membiarkan dirinya difitnah? Nampaknya, cara pandang
Anas berbeda dengan saya. Ia justru merasa dirinya sangat besar dan memiliki
nilai amat besar sehingga tuturan-tuturan keterlibatannya pada duagaan korupsi
Hambalang dianggap hal sangat kecil yang tak perlu direspon. Bagi dia, hal yang
lebih besar adalah mengurus Partai Demokrat dan Negara. Tak peduli apakah
Partai dan Negara yang ia maksud perlu bagi sebagian besar Masyarakat
Indonesia. Ini hal ketiga.
Keempat, ialah dengan besarnya dirinya, ia yakin bahwa KPK tak bakalan
mampu menyentuhnya pada dugaan korupsi. Keyakinannya itu tentu diwarnai oleh
pengalaman sebelumnya. Sebutlah misalnya kasus Andi Nurpati yang memalsukan
surat MK. Secara hukum, hal itu salah besar. Jika diproses secara hukum, maka Andi
Nurpati semestinya sudah dibui. Tapi itu tidak terjadi.
Kelima, Anas sangat sadar bahwa orang Indonesia belum siap menerima
resiko kalau ia dijadikan tersangka, apalagi sampai diputus bersalah dan masuk
bui. Sebab manakala KPK nekat, ia akan “bernyanyi” senyaring-nyaringnya sampai kata
terakhir. Kalau hal itu ia lakukan, maka bisa dipastikan syair-syair dalam
nyanyiannya akan menyentuh tempat-tempat sensitif yang merangsang puncak-puncak
hasrat kekuasaan.
Ia paham bahwa hal itu mustahil.
Sebab selain lembaga-lembaga negara, banyak kaum intelektual yang sepakat
(walaupun diam-diam) jangan sampai terjadi prosesi kekuasaan sebelum Pemilu
tahun 2014. Prosesi kepemimpinan negara perlu dipertahankan secara normal. Dengan
kekuatan yang ada di DPR, ia begitu yakin bahwa nasib Sukarno dan Gus Dur tak bakalan
mewarnai Indonesia lagi.
Pertanyaan saya, apakah KPK juga
memiliki sikap seperti Anas? Apakah para penegak hukum setuju diizinkannya
orang berbicara sesukanya tentang siapa pun tanpa harus
memertanggungjawabkannya secara hukum? ***