Rabu, 20 Februari 2013

Menelisik Kedudukan Organ Yayasan (1)



Oleh Yosafati Gulo

Dengan terbitnya UU Yayasan (UUY)[1], keberadaan Yayasan di Tanah Air menjadi kokoh karena memiliki landasan hukum yang jelas. Dengan begitu, pendirian dan pengelolaan Yayasan diharapkan menjadi tertib dan pengelolanya tidak lagi berlindung di balik badan hukum Yayasan untuk tujuan-tujuan di luar misi sosial, keagamaan dan kemanusiaan

Hal itu sudah ditegaskan dalam Penjelasan UU No. 16 Tahun 2001 UUY. Dijelaskan bahwa UUY dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang  benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Sabtu, 16 Februari 2013

Anggota Legislatif di Negara Antah Brantah


Oleh Yosafati Gulo


Di sebuah Negara antah brantah, ada segerombolan lagislatif yang tidak puas pada sebuah UU yang baru mereka setujui secara aklamatif tentang  Ketentuan Pemilihan Presiden di Negara itu. Setelah keluar ruang sidang, satu persatu mengirimkan surat kepada Presiden yang isinya melarang Presiden menjalankan apa yang diatur dalam UU.

Gayung pun bersambut. Sang Presiden segera mengirim surat kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Negeri. Isinya meminta semua bawahannya agar tidak menjalankan UU yang baru di wilayahnya masing-masing.

Legislatif lain dan sebagian besar penduduk negeri heran. Mereka tak habis pikir mengapa Presidennya yang selalu menganjurkan rakyat taat hukum tiba-tiba menyuruh penduduk negeri melawan hukum. Mereka kuatir kalau-kalau Sang Presiden sedang sakit kesadaran.

Sabtu, 09 Februari 2013

Trimester Malu-malu dan Pembunuhan Demokrasi



Oleh Yosafati Gulo

Sebuah PTS yang pernah punya nama besar karena banyak dosen dan mahasiswanya sering mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah, nampak sangat bersemangat membuat sejarah. Tapi kali ini, bukan hal hakiki. Hanya menyangkut pembagian tahun akademik dari dua semester menjadi trimester. Melalui sebuah Surat Keputusan, Rektor (katakanlah bernama X) di PTS tersebut menetapkan Peraturan Penyelenggaraan Kegiatan Akademik Dalam Sistem Kredit Semester, seluruh fakultas diwajibkan untuk menerapkan model tersebut mulai tahun akademik 2012/2013. 

Sebelumnya, hanya 21,4 % dari seluruh fakultas di PTS itu yang menerapkan trimester. Yang 78,6%, menerapakan pembagian tahun akademik atas dua semester pertahun seperti di PTN-PTS lain di Indonesia.
Keinginan Rektor X itu sebetulnya sudah dilontarkan lama. Sejak ia menjadi Rektor periode sebelumnya yang sempat diselingi satu periode oleh Rektor lain. Sayangnya beliau gagal meyakinkan Dirjend Dikti  dan Kopertis tempatnya bernaung. Al hasil, gagasan itu ditolak. Malahan setelah ia turun dari jabatan Rektor, PTS bersangkutan pernah ditegur oleh Dirend Dikti dan Koordinator Kopertis.

Illustrasi, sumber : http://ma1annuqayah.sch.id/berita-205-inovasi-pendidikan.html
Di kampus itu, sistem tersebut sempat menimbulkan kisruh. Gelombang protes mahasiswa sempat mewarnai kampus selama beberapa tahun. Tentu, mengganggu perkuliahan. Maka, Rektor sesudahnya (katakanlah bernama Y),  mau tidak mau menempuh jalan kompromi. Tiap fakultas boleh memilih model dua semester atau trisemester. Hasilnya, ya, itu tadi. Lebih banyak yang memilih semesteran.  Tapi ini tidak dilaporkan kepada Dirjend Dikti atau Kopertis. Yang dilaporkan, juga kalau ada tim akreditasi, adalah bahwa PTS tersebut sudah kembali menerapkan model semesteran.

Tidak Terang-terangan

Koordinator Kopertis sebenarnya sudah tahu. Namun, karena pertimbangan resiko bagi lembaga dan mahasiswa, Koordinator Kopertis pura-pura tidak tahu seraya tetap mengingatkan PTS bersangkutan agar segera kembali menerapkan sistem semesteran. Tapi, peringatan tersebut tidak dihiraukan.  Terutama setelah Rektornya kembali dijabat X. Beliau yakin bahwa gagasan trimester tidak melanggar hukum. Lebih-lebih setelah terbitnya PP No 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Rektor X kian yakin bahwa model trimester sudah memiliki payung hukum.

Herannya, model itu tidak terang-terangan ditulis dalam peraturan akademik. Secara malu-malu dibungkus rapi dengan mengakali istilah “semester antara” dalam PP. Caranya? Tahun akademik ditulis terdiri atas dua semester yaitu semester genap dan gasal. Namun, dalam kalender akademik, jadwal registrasi mata kuliah, dan jadwal pembayaran uang kuliah mahasiswa, wajah yang muncul adalah trimester dengan predikat semester gasal, semester genap, dan semester antara. Waktu tatap muka ketiganya dipukul-rata 14 minggu dan banyaknya beban studi mahasiswa tiap trimester dipatok antara 12-18 SKS.

Bercermin pada ketentuan PP No 17, tahun akademik di PTS itu tampak aneh. Ayat (2) pasal 87 menyatakan, “Tahun akademik dibagi dalam 2 (dua) semester yaitu semester gasal dan semester genap yang masing-masing terdiri atas 14 (empat belas) sampai 16 (enam belas) minggu.” Kata “yaitu” (dari kata ya+itu) dalam ayat ini jelas merupakan penegasan bahwa satu tahun akademik hanya ada dua semester (1 semester= 6 bulan).

Illustrasi, sumber : http://www.smartnewz.info/2012/03/6-ciri-orang-yang-tidak-pede.html
Ayat (3) menyatakan, “Di antara semester genap dan semester gasal, perguruan tinggi dapat menyelenggarakan semester antara untuk remediasi, pengayaan, atau percepatan.” Kata “dapat” dalam rumusan ini mengandung dua makna. Satu, semester antara tersebut tidak diwajibkan. Sifatnya opsional. Ia boleh diadakan, boleh juga tidak. Dua, jika diadakan, maka tujuan pelaksanaannya, ya, optional juga. Bisa untuk remediasi saja bagi mahasiswa yang mengulang satu-dua mata kuliah yang bernilai jelek pada semester sebelumnya. Bisa untuk pengayaan bagi mahasiswa yang mau memerdalam ilmunya. Atau bisa untuk percepatan bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dengan mengambil satu-dua atau lebih mata kuliah.  Jadi, semester antara tidaklah sama dengan semester genap dan gasal. Ia hanya perlu diadakan bagi mahasiswa yang butuh remidiasi, atau pengayaan, atau percepatan. Di PTN dan PTS lain, hal itu dikenal dengan semester pendek.

Argumen hukumnya ialah jika makna istilah semester gasal = semester genap = semester antara, maka rumusan ayat (2) tidak begitu. Rumusan yang pas adalah: “Tahun akademik dibagi 3 (tiga) semester yaitu semester gasal, semester genap, dan semester antara”.  Nyatanya tidak demikian. Pembuat PP paham bahwa waktu setahun hanyalah 12 bulan. Argumen ini diperkuat oleh ketentuan ayat (4) pasal 87 PP No 17: “Ketentuan lebih lanjut mengenai semester antara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri” (Permen).

Ini artinya “semester antara” memang memiliki makna khusus, sehinga perlu diatur lebih lanjut dengan PerMen. Dengan kata lain, sebelum ada PerMen, ketentuan ayat (3) tersebut belum dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu, bila PT (N/S) ingin menyelenggarakannya, Rektor tak perlu memaksakan penafsiran tunggalnya sebagai kebenaran mutlak. Sebelum ada PerMen, tak patut bagi PTS memaksakan pemahaman bahwa semester antara  = semester gasal = semester genap.

Pilot Proyek

Melakukan innovasi tentu saja baik. Membuat sejarah sebagai innovator juga baik. Tapi, mengapa harus terburu-buru? Mengapa konsep innovasi tidak dimatangkan lebih dahulu? Di 21,4% fakultas tersebut di atas mungkin lebih baik dijadikan pilot proyek dulu. Lalu dalam kurun waktu tertentu dievaluasi, diperbaiki yang kurang dan disempurnakan yang sudah baik. Hasil evaluasi nantinya dipakai untuk  mematangkan konsep lewat seminar yang melibatkan para ahli pendidikan.

Tanpa proses semacam itu, saya tidak melihat hal esensial dalam trimester. Teman saya bilang, identik dengan kebiasaan makan saja. Ada orang yang suka makan dua kali dalam sehari dengan porsi jumbo dan ada yang suka makan tiga kali denga porsi lebih kecil. Hasil akhirnya sama. Dua kali atau tiga kali makan dalam sehari tidak mengubah kualitas makanan yang dimakan. Juga tidak meningkatkan kualitas orang yang makan.
Kalau mau dikenal sebagai innovator, dicatatkan diri dalam sejarah, lebih terpuji jika dilakukan dengan cara-cara wajar. Yakinkanlah dunia akademik melalui tulisan dan seminar. Tunjukkan keunggulan proses pelaksanaanya di 21,4% fakultas yang sudah melaksanakannya. Cara seperti inilah yang sesuai dengan dunia akademik yang lebih patut daripada cara-cara militer dengan sistem komando.

Illustrasi, sumber: http://admissions.umm.ac.id/id/Informasi%20Umum-Tentang%20UMM-Penelitian%20dan%20Pengabdian.html
Dunia akademik memang beda dari dunia militer. Perbedaan pendapat di dunia akademik adalah wajar dan dihargai. Sebelum sebuah innovasi diterima, mungkin ia menjadi bahan perdebatan panjang yang melelahkan. Bahkan kecaman dan cemoohan. Baik secara lisan maupun tertulis. Tapi innovator sejati tidak mudah menyerah, putus asa, apalagi kalap.

Mahasiswa Diajak Tarung

Contoh sikap kalap ialah respon seorang pejabat struktural di PTS tersebut ketika menghadapi protes mahasiswa pada bulan Agustus 2012. Mahasiswa protes karena dinilai tidak sesuai dengan program studi mereka. Menanggapi protes mahasiswa, pejabat itu bilang, “Ini sudah menjadi keputusan rapat pimpinan. Kalau ada yang memermasalahkan secara hukum, kami siap 100 persen. Kalau merasa ini ilegal, kami siap menghadapi di pengadilan sekalipun,” tegasnya tanpa malu menantang mahasiswanya.

"Ini sudah menjadi keputusan rapat pimpinan. Kalau ada yang memermasalahkan secara hukum, kami siap 100 persen. Kalau merasa ini ilegal, kami siap menghadapi di pengadilan sekalipun"

Respon tersebut jelas janggal dalam dunia akademik. Protes seharusnya ditanggapi dengan argumen ilmiah. Proters terhadap peraturan akademik seharusnya direspon dengan paparan dan penalaran. “Senjata” untuk memenangkan ide seharusnya kajian ilmiah dengan dukungan bukti empirik. Bukan dengan mengajak mahasiswa berkonflik atau tarung di pengadilan, Sebab dosen bukan preman pasar.  Lagi pula, itu tak mendidik. Respon itu tak lebih dari unjuk arogansi kuasa.

Menanggapi cara penanganan protes tersebut, banyak alumni dari PTS bersangkutan kaget. Mereka katakan bahwa lembaga mereka itu dulu dikenal sangat demokratis. Sangat menghargai perbedaan pendapat. Tapi, sekarang malah memasung perbedaan pendapat, membunuh demokrasi. Para pejabatnya serem-serem. Lebih cocok disebut militer daripada dosen. Orang yang berbeda pendapat dianggap musuh. Cara berpikir yang dikonstruksi mirip doktrin militer yang hanya membagi manusia atas dua kategori : kawan dan lawan!

Saya jadi bertanyatanya, ada apa dengan para  pejabat di PTS tersebut? Hal yang kulit-kulit kok dijadikan pokok, sementara yang pokok tidak disentuh?

Artikel terkait:

Selasa, 05 Februari 2013

Memahami Otonomi Perguruan Tinggi



Oleh Yosafati Gulo

Belakangan ini, di sebuah kampus PTS  yang cukup dikenal di Indonesia sering melontarkan wacana dikotomistik bahwa urusan akademik adalah urusan rektor dan urusan non akademik adalah urusan yayasan. Pembina atau Pengurus Yayasan tak perlu mengintervensi urusan akademik karena hal itu merupakan kewenangan rektor. Wacana ini dilontarkan oleh pejabat struktural dan beberapa anggota pembina di yayasan tersebut.

Pertanyaannya apa yang dimaksudkan dengan urusan akademik dan non akademik? Apa benar bahwa semua hal yang berbau akademik adalah urusan rektor sehinga Yayasan atau Pembina atau Pengurus sama sekali tak punya kewenangan?

Mencegah diri terjerumus dalam generalisasi yang keliru, tulisan berikut berusaha mengemukakan ketentuan hukum yang mengatur tentang urusan akademik dan non akademik tersebut. Acuan bahasan adalah UU No 12 Tahun 2012 dan PP No 66 Tahun 2010 tentang perubahan PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengaraan Pendidikan.

Otonomi Pengelolaan

Ada tujuh pasal dalam UU No 12 Tahun 2012 yang mengatur tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi (PT), yaitu Pasal 62 sampai pada Pasal 68. Pasal 62 menyebutkan bahwa perguruan tinggi (PT) memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Hal ini dilaksakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PT, yang dilaksanakan secara mandiri berdasarkan Peraturan Menteri.

Konsep kunci dalam pasal itu ialah PT memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya. Otonomi dimaksud disyaratkan oleh tiga hal, kesesuaian dengan dasar PT, tujuan PT, serta kemampuan PT dalam melaksanakan otonomi. Asumsi di belakang konsp itu ialah bahwa hanyalah PT tertentu yang boleh melaksanakan otonomi, yaitu yang memenuhi tiga syarat di atas.

Terlepas dari setuju atau tidak, dalam bahasa negatif, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi nampaknya menegaskan bahwa tidak semua PT memiliki kemampuan dalam melaksanakan otonomi atau tidak semua PT dibolehkan melaksanakan otonomi bila tidak sesuai dengan dasar dan tujuan PT. Takaran yang dipakai untuk menilai hal itu adalah Peraturan menteri[1] tentang otonomi perguruan tinggi.Otonomi dimaksud (Pasal 64 ayat (1)) terdiri atas otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik. 

Otonomi pengelolaan di bidang akademik meliputi penerapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma (lihat Pasal 64 ayat (2)), sedangkan otonomi di bidang non akademik meliputi penerapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana (Pasal 64 ayat (3)).

Syarat Otonomi               

Pemberian otonomi itu, tidak bersifat gebyah uyah atau pukul rata bagi semua PTN. Pasal 65 ayat (1) menegaskan, “Penyelenggaraan otonomi PT sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilan Pendidikan Tinggi yang bermutu.” PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan (lihat Pasal 65 ayat (2)).

Pertanyaannya, norma apa yang diterapkan oleh PTN secara mandiri dalam mengelola lembaganya? Pasal 68 menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan PT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah itulah norma yang diterapkan oleh setiap PTN.

Dengan penegasan-penegasan di atas nampak bahwa untuk menilai mampu tidaknya sebuah PTN menyelengarakan otonomi sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PTN adalah ditakar dengan Peraturan Menteri, sedangkan norma yang harus dijadikan patokan dalam menyelenggarakan otonomi adalah Peraturan Pemerintah.

Babagaimana halnya dengan PTS? Sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia, PTS berkeharusan menaati pengaturan dalam Peraturan Menteri dan Peraturan Pemerintah (yang akan terbit) itu. Selain itu, PTS berkeharuan menaati Pasal 67 UU No 12 Tahun 2012 yang menyatakan demikian: “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas kiranya dapat dipahami bahwa otonomi pengelolaan PT di bidang akademik dan bidang non akademik mengandung beberapa makna. Pertama, bahwa tidak semua PTN berkewenangan menyelenggarakan otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik. PT yang berwenang adalah PTN yang dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN.

Kedua, kewenangan yang diberikan kepada PTN terbatas pada penerapan norma atau ketentuan khusus tentangnya. Hal ini diatur secara khusus dan detail  dalam Peraturan Pemerintah seperti ditegaskan pada Pasal 98 UU No 12 Tahun 2012 di atas.

Ketiga, bahwa PTS apa pun sebagai bagian dari Pendidikan Tinggi di Indonesia dan diakui oleh, serta mengakui,  hukum Indonesia juga memiliki otonomi sebagaimana halnya PTN. Dalam menyelenggarakan otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik itu, semua PTS berkeharusan mendasarkan diri pada dua ketentuan, yaitu ketentuan-ketentuan Pemerintah seperti UU, PP, PerMendikbud, dan ketentuan dari badan penyeleggara atau yayasan atau perkumpulan badan hukum penyelenggara pendidikan tinggi (lihat Pasal 67 jo Pasal 64 UU No 12. Tahun 2012).

Berdasarkan pemahaman di atas, nampak bahwa PTN pun tidak semua dan tidak otomatis berhak mendapatkan otonomi. Yang lebih beruntung adalah PTS. Dengan diakuinya Yayasan sebagai badan hukum, secara otomatis ia mendapatkan hak otonomi oleh ketentuan UU. Namun, ia tidak bisa sesukanya juga. UU menuntutnya menjalankan otonomi pengelolaan akademik dan non akademik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Yayasan, Badan Penyelenggara, atau Perkumpulan di mana PTS bersangkutan bernaung. Ini artinya bahwa keterlibatan Yayasan, atau Pembina atau Penggurus dalam menetapkan norma otonomi pengelolaan akademik dan non akademik bagi PTS sama sekali bukan intervensi, melainkan keharusan yang didelegasikan UU. 

Dengan demikian, jika ada pimpinan PTS yang mengatakan bahwa keterlibatan Yayasan atau Pembina atau Pegurus dalam mengatur otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi di bidang akademik adalah sebuah intervensi, nampaknya merupakan kekeliruan pemahaman terhadap perintah UU No 12 Tahun 2012. Itu menurut saya! ***


[1] Sampai tulisan ini dibuat, Peraturan Menteri tentang Otonomi Perguruan Tinggi belum terbit. Pasal 98 ayat (1) UU No 12 Tahun 2012 menyatakan bahwa “Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Berarti paling lambat tanggal 10 Agustus 2014. Dari 100 Pasal UU No 12 Tahun 2012 ada 39 pasal yang pelaksanaannya akan diatur dalam bentuk peraturan Menteri sebanyak 28 pasal dan Peraturan pemerintah sebanyak 11 pasal.