Oleh Yosafati Gulo
Pikada Gubernur (Pilgub) DKI barusan saja usai. Nampaknya
perhitungan cepat tidak meleset. Sebentar lagi, pasangan Joko Widodo-Basuki
Tjahya Purnama (Jokowi-Ahok) sebagai pemenang Pilgub dikukuhkan secara legal
berdasarkan fakta.
Yang menarik, perhatian masyarakat terhadap Pilgub itu
begitu besar. Bukan cuma di DKI, tapi nyaris di seluruh Indonesia. Dibandingkan
dengan Pilgub di tempat lain, perhatian terhadap Pilgub DKI dapat dikatakan istimewa.
Mirip dengan perhatian masyarakat terhadap pemilihan presiden. Hal tersebut
dapat diketahui melalui berita di berbagai media online dan media cetak di
Tanah Air. Banyak yang menulis, menganalisis, tentang dua pasangan yang
bersaing di putaran kedua. Sampai ke desa-desa di berbagai wilayah juga menjadi
bahan obrolan. Tapi simpati terbesar tertuju pada pasangan Jokowi-Ahok.
|
Jokowi-Ahok (sumber: http://gosipindonesia.com/pilgub-dki-lagu-indonesia-raya-bergema-di-markas-kemenangan-jokowi-ahok/) |
Mengapa bisa begitu? Ada banyak sebab. Beberapa di
antaranya, ialah, fenomena Jokowi-Ahok yang hanya didukung oleh dua Parpol versus
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang didukung segerombolan partai besar memang
menarik perhatian. Banyak yang ingin tahu strategi apa yang diterapkan
Jokowi-Ahok dalam pertarungan tak seimbang itu. Sama seperti pertaruangan Daud dan Goliat.
Kedua, kesadaran politik masyarakat makin maju. Anggota
masyarakat kian paham calon-calon pemimpin ideal, yang dapat dipercaya mewakili
diri dan kepentingannya. Umbar janji, sudah tak mempan lagi. Isu Sara (Suku
Agama Ras dan Antargolongan) yang coba digaungkan ternyata tak bertaji lagi.
Masyarakat sadar bahwa yang dipilih bukanlah pimpinan etnis atau agama, tapi
pimpinan untuk semua dalam konteks negara pluralis.
Ketiga, penilaian terhadap calon sudah bergeser. Saat ini,
masyarakat tidak melihat figur dari apa yang diomongkan. Entah itu janji masa
depan yang indah atau prestasi yang dipoles narasi. Masyarakat lebih melihat fakta
dan rekam jejak sang calon, cara-cara sang calon dalam menyikapi dan merespon
masalah yang timbul selama skampanye, dan cara mereka menyosialisasikan diri
kepada masyarakat.
Tiga Titik Kemenangan
Rekam jejak, cara merespon masalah, dan cara sosialisasi
diri nampaknya merupakan tiga titik kemenangan Jokowi-Ahok. Mereka tak perlu
teriak siapa mereka, apa yang sudah dilakukan, atau apa yang akan mereka
berikan kepada rakyat DKI. Prestasi mereka sebelumnya sebagai walikota dan
Bupati sudah menjawab semuanya.
Tanpa Jokowi teriak, “saya memerhatikan kepentingan rakyat,”
dari berita prestasinya di Solo orang tahu dan percaya bahwa Jokowi memang
begitu. Ia tak perlu bilang, “saya memerhatikan nasib PKL,” sebab fakta atas
sistem kerjanya menata PKL di solo yang semula semrawut menjadi rapi lebih
nyaring dari bunyi sirene atau suaranya yang ngebas.
Ahok juga begitu. Ia tak perlu teriak, “Saya anti
rasialis!,” sebab fakta tindakannya di Belitung telah menjadi spanduk hidup
yang terbentang sampai ke Jakarta. Tak perlu disembunyikan fakta bahwa ia
memang etnis Cina dan beragama Kristen, sebab ia sudah tunjukan bahwa etnisitas
dan agamanya tak pernah menghambatnya untuk memosisikan siapa pun secara
terhormat sama seperti dirinya. Ia sadar poll bahwa yang namanya manusia pasti
punya rasa dan kebutuhan nyata: Sakit kalau dicubit, sedih kalau dihina, lapar
kalau tidak makan, atau lega kalau diberi minum.
Maka, kampanye bagi pasangan ini tidak seperti pasangan
lain. Mereka tidak memerlukan spanduk atau baliho. Mereka hanya butuh menunjukkan
wajah dan baju kotak-kotak. Nama mereka sudah lama dikenal. Itulah sebabnya
selama kampanye, mereka ogah melakukan pendekatan top-down atau pendekatan partai yang sudah lazim.
Mereka memilih menemui rakyat di pasar atau di daerah-daerah
kumuh. Mereka tak gentar menghadapi rival yang didukung banyak partai. Sebab mereka
tahu bahwa partai itu benda mati yang tak punya suara. Yang punya suara adalah
individu. Dalam konteks pemilihan langsung, nilai suara setiap individu sama. Entah
ia tukang sapu, pesuruh, pedangan asongan, maupun artis atau Presiden sekalipun.
Atas pandangan itu, Jokowi-Ahok merasa yakin menang kontes.
Sekalipun seribu partai bersekutu menghadang, tapi kalau semua individu anggota
partai memilih mereka, partai toh tak beda dengan macan ompong.
Kreativitas
Beda dengan pasangan lain, pasangan Jokowi-Ahok ditandai
dengan baju kotak-kotak yang khas. Banyak yang
tak mengira bahwa baju sederhana itu mampu bicara” banyak. Sederhana
tapi sakti sebagai sebuah simbol kreativitas. Ia bukan cuma mampu mendongkak
popularitas Jokowi-Aho di mata pemilih. Ia malah menjadi sebuah simbol filosogi
dan gerakan ekonomi kerakyatan.
Efek baju ini sendiri tidak melulu untuk Jokowi-Ahok. Selama
masa kampanye, kehadiran baju itu, ternyata memberikan efek ekonomi secara
nyata. Pabrik kain mendapat peningkatan produksi kain kotak-kotak. Para agen,
penjual kain meteran, para sales, tukang jahit, dan banyak lagi, ternyata
mendapat peningkatan order, dan tentu saja rejeki. Ini pun tidak hanya di DKI.
Turut menjalar juga di seantero negeri, bahkan sampai di manca negara.
Teman saya bilang, “Selain Dahlan Iksan, Jokowi-Ahok adalah fenomena
kreativitas. Baru menjadi peserta Pilgub saja, mereka mampu menggebrak dua hal
penting. Mengoyak kebuntuan “ideologi” SARA dan memberi ilustrasi kreatif dalam
membangun ekonomi. Apalagi nanti kalau sudah menjabat, peluang mereka berbuat
banyak hal di DKI lebih besar.” Mendengar ini, saya hanya mangut-manggut.
Yang jelas, fenomena tersebut menurut hemat saya, adalah
sebuah pelajaran yang patut ditiru secara kreatif. Kalau hendak menjadi
pemimpin, lakukan persiapan dengan kerja baik, jujur, dan berorientasi pada
kepentingan rakyat. Sebab anda menjadi pemimpin berarti anda memimpin
kepentingan rakyat, bukan kepentingan anda sendiri seperti banyak kita saksikan
selama ini. ***
Tulisan di atas ditayangkan di Kompasiana.com tanggal 26 September 29012. Dapat dibaca pada link ini.