Oleh Yosafati Gulo
Bukan main gemparnya respon atas isu SARA
yang dicuatkan Rhoma Irama pada ceramah tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Duren,
Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012). Rupa-rupa
pendapat yang berseliweran beberapa hari terakhir mengerucut pada dua kubu
pendapat yang berseberangan. Kubu yang setuju menilai bahwa dakwah Rhoma sudah
benar. Sesuai dengan pesan agama. Kubu seberang berkata tidak. Isu SARA tidak
benar. Yidak fair dan tidak memberikan pembelajaran politik yang sehat bagi
masyarakat.
Apa yang salah? Jika ukurannya
adalah dasar pikiran masing-masing, tentu tak ada yang salah. Semua benar berdasarkan
konstruksi argumen yang dibangun. Sebuah kebenaran behadapan dengan kebenaran yang
lain, yang kalau hanya dilihat dari sudut pandangan masing-masing, maka akan
berakhir pada konflik pandangan yang tak ada ujung.
Lalu, pandangan mana yang
seharusnya dijadikan acuan? Tulisan berikut mencoba mendudukkan peristiwa
ceramah tarawih Rhoma dalam kaitannya dengan Pilgub DKI putaran kedua September
2012.
Tidak Berdiri Sendiri
Isu SARA dalam dakwah sebetulnya
bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Anjurannya memilih orang yang seiman
menjadi pimpinan adalah gejala umum yang dapat dilakukan oleh siapa saja. JimlyAshiddiqie bilang, “Isu SARA ini bersifat netral. Kalau sekadar informatif
untuk transparansi, tidak apa-apa," katanya. Tetapi justru di sinilah
letak masalah. Pihak pendukung Jokowi-Ahok
merasa dakwah tersebut tidak berdiri sendiri. Tidak sekadar dakwah. Ia
dilontarkan dalam kaitannya dengan Pilgub DKI putaran kedua.
Karena terkait dengan Pilgub DKI,
maka dakwah tersebut mengandung setidaknya dua hal yang dinilai di luar kepatutan hukum dan moral. Pertama, Bung Rhoma
dinilai curi star kampanye untuk mengegolkan pasangan yang didukungnya,
Foke-Nara. Dalam pandangan pendukung Jokowi-Ahok, hal tersebut tidak fair.
Bahkan melanggar UU Pemilikada. Itulah sebabnya mereka mengadukan Bung Rhoma ke
Panwaslu.
Kedua, memunculkan faktor SARA
dalam memilih pimpinan daerah dinilai berpotensi menganggu keutuhan masyarakat
Jakarta. Potensinya untuk menyulut perpecahan masyarakat sangat besar. Anggapan
ini bertolak dari pengalaman bahwa sentimen suku, agama, ras, dan antar
golongan yang pernah terjadi di Indonesia sering berakhir dengan kerusuhan dan
pembantaian. Inilah yang tidak diharapkan oleh kubu Jokowi-Ahok, dan barangkali
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dikaitkan dengan upaya
memenangkan calon pasangan tertentu, faktor SARA memang sangat tidak relevan.
Sebab yang hendak dipilih kelak, bukan pemimpin untuk orang Islam saja, atau
Kristen Saja, atau Hindu saja, atau Budha saja, atau suku Jawa saja, atau
Betawi saja, atau Cina saja, dst., melainkan pimpinan untuk semua orang yang
ada di DKI Jakarta dengan rupa-rupa latar belakanganya.
Sekalipun sang calon beragama Islam
dan dari suku Betawi atau Jawa, ketika ia menjadi gubernur, tidaklah patut
baginya bila memosisikan diri hanya sebagai pemimpin untuk penganut agama Islam
dan/atau suku Betawi atau Jawa. Secara hukum dan moral Ia berkeharusan
memosisikan diri sebagai pemimpin untuk semua penganut agama dan suku yang ada
di DKI. Tidak patut pula bila pendukung yang seagama atau sesuku dengannya
mengungkung gubernur tersebut sebagai pemimpin mereka saja dan mengondisikannya
untuk lebih memberi perhatian bagi mereka melebihi perhatian bagi penganut
agama atau suku lain.
Membangun Kebersamaan
Sebagai pemimpin bagi semua,
sudah tentu materi kampanye atau dakwah yang lebih tepat semestinya menyangkut
aspek kualitas pribadi serta visi dan program yang mereka tawarkan sebagai
calon gubernur. Aspek-aspek inilah yang dianggap lebih fair. Sebab perlu
disadari bahwa gubernur yang dipilih karena alasan agama dan suku, tak pernah mampu
menjamin
keberhasilannya memimpin pemerintahan dan menyejahterakan masyarakat
DKI.
Kalau mau maju, masyarakat DKI
dan bangsa kita secara keseluruhan perlu segera membangun budaya modern dalam
memilih pemimpin. Kebiasaan memilih pemimpin yang seagama atau sesuku dengan harapan
agar ia lebih memerhatikan kepentingan agama dan sukunya perlu ditinggalkan. Terlalu
naif pula kalau kita terus mengondisikan pimpinan daerah atau nasional agar terus
memenjarakan dirinya dalam ruang sempit
primordialisme. Sebab pemimpin semacam itu mustahil bisa menjawab permasalahan masyarakat
yang majemuk.
Sudah saatnya kaum terdidik
berjuang mendorong munculnya para pemimpin yang berpandangan nasionalis, berwawasan
mondial, mampu membangun kebersamaan, dan lebih fokus pada penyejahteraan
kehidupan bersama. Calon-calon pemimpin semacam ini, antara lain, dapat dideteksi
dari rekam jejaknya serta visi dan programnya sebagaimana dikemukakan selama
kampaneye.
Kalau ternyata visi dan program
Foke-Nara kelak dinilai lebih baik bagi masyarakat DKI, ya silahkan pilih.
Demikian pula kalau visi dan program Jokowi-Ahok dinilai lebih baik, perlu diakui
juga. Memilih pasangan dengan alasan “pokoknya”, dan menjatuhkan saingannya
dengan cara-cara tidak fair yang menyulut perpecahan bukanlah sikap orang dewasa
dan cerdas. ***