Minggu, 26 Februari 2012

HAK PATEN “MERK GAYUS”


Oleh Yosafati Gulo

Gayus Halomoan Tambunan
Ada dua keberatan Gayus atas pemberitaan media terhadap DW yang disangka korupsi dalam jabatannya sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Pertama, Gayus tidak kenal dengan yang bersangkutan, sehingga mengait-ngaitkan dirinya dengan DW bukan pada tempatnya. Kedua, sebagaimana diutarakan oleh Gloria Tamba, pengacaranya dari  Hotma Sitompoel & Associates, bahwa status Gayus sudah jelas. Ia sudah diputus bersalah, sementara DW masih dalam proses penyelidikan.
Saya kira, protes Gayus terhadap media sudah benar. Sebab kata “Gayus”, tidak lagi sekadar nama diri. Kata itu sudah naik pangkat menjadi sebuah Trade Mark. Trade mark bagi seorang koruptor bernama Gayus Halomoan Tambunan. Ini tak boleh diduplikasikan oleh siapa pun. Jangankan media, DW pun pantang melakukannya. Jika ada yang berani menduplikasikan merk itu, maka ia sebetulnya bisa disetarakan dengan orang atau badan usaha yang melanggar undang-undang paten. Ini bisa dituntut di pengadilan juga, bukan?

Saya sendiri berpendapat bahwa pengacara Gayus, Gloria Tamba, perlu segera mendaftarkan Merk Gayus di Kemenkumham agar tidak ada yang latah memakai merk itu tanpa seijin Gayus. Merk itu perlu dipatenkan dengan undang-undang hak paten untuk mencegah pemalsuan atau penduplikasian oleh siapa pun. Termasuk para koruptor lain yang tak berhak. Cuma apakah sudah ada undang-undangnya ya? Jika belum, agaknya DPR RI perlu segera bentuk Panitia dengan anggaran yang sesuai dengan level “usaha Gayus.”

Media juga perlu sadar bahwa pemakaian merk Gayus kepada DW belum tepat. Alasannya, secara hukum Gayus sudah sah memiliki status terpidana kasus korupsi dan telah dijatuhi hukuman. Sementara DW masih berstatus terduga, tersangka, yang masih perlu dibuktikan di pengadilan. Ini artinya status DW masih berada di bawah Gayus.

Oleh sebab itu, jika media memakai nama Gayus kepada DW, itu namanya pengkarbitan status. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Di sekolah juga begitu. Mengkarbit nilai seorang siswa dari 5 menjadi 6 atau 7 oleh guru, tak pernah dibenarkan secara edukatif dan yuridis. Seorang dosen berstatus Asisten Ahli, tak mungkin dikarbit menjadi Lektor atau Guru Besar tanpa melalui prosedur baku. Juga Seorang Kopral, pasti dilarang keras dikarbit atau mengkarbit pangkatnya menjadi Mayor apalagi Jenderal hanya karena tindakannya pernah memerlihatkan kemampuan seorang Jenderal.

"Jangan melakukan tindakan tak benar untuk memberitakan orang tak benar"

Jalan pikiran Gayus agaknya bisa diterima secara logika. Media jangan buru-buru. Jangan melakukan tindakan tak benar untuk memberitakan orang tak benar. Media perlu sabar menunggu putusan pengadilan terhadap DW. Nanti kalau DW sudah terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman, baru boleh menjuluki DW dengan merk Gayus. Sebab merk itu hanya pantas disandangkan kepada orang yang selevel. Tidak untuk sembarang orang. ***

Artikel terkait: