Oleh Yosafati Gulö
Bila dicermati, kandungan perppu
tersebut tidak melulu pengisian jabatan yang kosong. Secara tak langsung,
perppu itu malah menggugat Sarpin Rizaldi sekaligus memberi landasan hukum bagi
KPK untuk menyikapi putusan hakim tersebut. Terlebih kini ada putusan sebaliknya, penolakan praperadilan pedagang sapi di PN Purwokerto oleh hakim Kristanto Sahat (SM, 11/3/15), yang kelak dapat menjadi yurisprudensi.
Setelah Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2015
tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pengisian jabatan
pimpinan KPK rampung. Jabatan yang kosong setelah Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto diberhentikan sementara serta M Busyro Muqoddas berkait berakhir
masa tugasnya, kembali terisi. Pimpinan KPK menjadi 5 orang sebagaimana
diatur Pasal 21 Ayat (1) Huruf a dan Ayat (2) UU tentang KPK. Komposisinya, Plt
Ketua Taufiequrachman Ruki, Wakil Ketua Johan Budi SP dan Indriyanto Seno Adji
serta Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LLM (http://www.tempo.co) |
Ada beberapa argumen hukum, pertama;
salah satu pertimbangan putusan Sarpin memenangkan gugatan Komjen Budi Gunawan
(BG) atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK adalah keterangan ahli Prof
Dr Romli Atmasasmita SH LLM pada persidangan 11 Februari 2015. Romli
mengatakan, penetapan status BG sebagai tersangka tidak sah sebab tidak
diputuskan oleh 5 pimpinan KPK sebagaimana diatur Pasal 21 Ayat (5) UU KPK.
Bagi dia, istilah kolektif kolegial dalam pasal itu bermakna 5 orang pimpinan.
Dugaan saya, Romli lupa bahwa dalam
UU KPK tidak satu pun pasal atau ayat yang mengharuskan jumlah 5 orang pimpinan
KPK dalam pengambilan keputusan. Pasal 21 Ayat (5) menyebut,’’ Pimpinan KPK…
bekerja secara kolektif’’. Penjelasan ayat itu eksplisit menegaskan,’’ Yang
dimaksud dengan ’bekerja secara kolektif’ adalah bahwa tiap pengambilan
keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan
KPK.’’
Kata kunci dalam penjelasan itu,
’’disetujui dan diputuskan secara bersama-sama’’, dan bukan ’’wajib oleh 5
orang’’. Andai pembuat UU menganut pandangan Romli, sudah pasti formulasi
penjelasan Pasal 21 Ayat (5) tidak begitu. Yang paling mungkin: harus disetujui
dan diputuskan secara bersama-sama oleh 5 (lima) pimpinan KPK. Inilah yang
sesuai dengan logika bahasa dan hukum namun terlupakan oleh Romli dan diabaikan
oleh Sarpin.
Kedua; Pasal 33A Ayat (1) Perppu
menegaskan, ”Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan KPK kurang dari
3 orang, Presiden mengangkat…”. Penegasan ìkurang dari 3 orang” dalam pasal itu
bukannya tanpa makna. Dengan logika bahasa memadai, orang pasti paham bahwa
jumlah yang tak dibolehkan oleh Perppu adalah 2, apalagi 1, tapi tidak harus
5 orang.
Tidak Konsisten
Dalam kondisi tertentu, hukum
membolehkan kurang dari 5, paling sedikit 3 orang. Perppu berprinsip jumlah
minimal 3 orang masih mungkin menghasilkan keputusan normal. Itulah sebabnya
jumlah 3 orang dijadikan batas minimal. Diakui atau tidak, ketentuan ayat ini
implementasi logika Pasal 21 Ayat (5) UU KPK. Prinsipnya, dalam urusan
pengambilan keputusan, mengenai jumlah bukanlah aspek dasar melainkan soal
’’wajib disetujui dan diputuskan secara bersama-sama’’.
Hakim Sarpin Rizaldi (http://www.antaranews.com/) |
Apa makna ketentuan Perppu tersebut
terhadap putusan Sarpin dan KPK? Jika dicermati, bisa banyak, antara lain dapat
dipakai dasar hukum oleh KPK untuk menggugat keputusan Sarpin. Pasalnya, dasar
pertimbangan putusan hakim praperadilan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal
33A ayat (1). Apa yang diatur oleh pasal itu bukan baru sama sekali. Ia hanya
menegaskan logika Pasal 21 Ayat (5) UU KPK.
Memang ada pakar hukum berpendapat
putusan hakim Sarpin tidak dapat digugat melalui PK. Alasannya, ketentuan
Pasal 263 KUHAP telah mengatur secara limitatif pengajuan PK. Antara lain,
hanya dimungkinkan oleh terpidana atau ahli waris (Pasal 263 Angka 1 KUHAP).
Sementara posisi KPK dalam kasus itu tidak jelas kata Mudzakir, pakar hukum
pidana dari UII Yogyakarta (sindonews.com, 7/3/15).
Namun pintu masuk KPK adalah
ketentuan Pasal 263 Angka 2 Huruf c yang menyatakan PK dapat dilakukan bila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan nyata. Ketentuan inilah dapat menjadi pintu masuk KPK untuk
mengajukan PK kepada MA.
Selain itu, perlu diingat bahwa
hakim Sarpin tidak konsisten menafsirkan ketentuan Pasal 77 KUHAP. Di
satu sisi, ia melebarkan penafsiran terhadap objek praperadilan yang tegas dan
jelas diatur secara limitatif. Namun di sisi lain, cara penafsiran yang sama
tidak diterapkan dalam memaknai terminologi penyelenggara negara/penegak hukum.
Itu artinya, upaya KPK mengajukan PK
kepada MA bukanlah mustahil. Lebih-lebih terhadap putusan Sarpin yang tak
konsisten menafsirkan bunyi UU tetapi putusannya berdampak serius pada sistem
hukum. KPK tak boleh diam, perlu mengajukan PK kepada MA. Sebab putusan
pengadilan yang melakukan ’’terobosan’’ atas bunyi UU hanya mungkin dikoreksi
dengan ’’terobosan’’ hukum pula sesuai konteksnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar