Kamis, 19 Maret 2015

Gugatan Putusan Sarpin

Oleh Yosafati Gulö

Setelah Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pengisian jabatan pimpinan KPK rampung. Jabatan yang kosong setelah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto diberhentikan sementara serta M Busyro Muqoddas berkait berakhir masa tugasnya,  kembali terisi. Pimpinan KPK menjadi 5 orang sebagaimana diatur Pasal 21 Ayat (1) Huruf a dan Ayat (2) UU tentang KPK. Komposisinya, Plt Ketua Taufiequrachman Ruki, Wakil Ketua Johan Budi SP dan Indriyanto Seno Adji serta Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja.

Bila dicermati, kandungan perppu tersebut tidak melulu pengisian jabatan yang kosong. Secara tak langsung, perppu itu malah menggugat Sarpin Rizaldi sekaligus memberi landasan hukum bagi KPK untuk menyikapi putusan hakim tersebut. Terlebih kini ada putusan sebaliknya, penolakan praperadilan pedagang sapi di PN Purwokerto oleh hakim Kristanto Sahat (SM, 11/3/15), yang kelak dapat menjadi yurisprudensi.



Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LLM (http://www.tempo.co)
Ada beberapa argumen hukum, pertama; salah satu pertimbangan putusan Sarpin memenangkan gugatan Komjen Budi Gunawan (BG) atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK adalah keterangan ahli Prof Dr Romli Atmasasmita SH LLM pada persidangan 11 Februari 2015. Romli mengatakan, penetapan status BG sebagai tersangka tidak sah sebab tidak diputuskan oleh 5 pimpinan KPK sebagaimana diatur Pasal 21 Ayat (5) UU KPK. Bagi dia, istilah kolektif kolegial dalam pasal itu bermakna 5 orang pimpinan.
Dugaan saya, Romli lupa bahwa dalam UU KPK tidak satu pun pasal atau ayat yang mengharuskan jumlah 5 orang pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan. Pasal 21 Ayat (5) menyebut,’’ Pimpinan KPK… bekerja secara kolektif’’. Penjelasan ayat itu eksplisit menegaskan,’’ Yang dimaksud dengan ’bekerja secara kolektif’ adalah bahwa tiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK.’’
Kata kunci dalam penjelasan itu, ’’disetujui dan diputuskan secara bersama-sama’’, dan bukan ’’wajib oleh 5 orang’’. Andai pembuat UU menganut pandangan Romli, sudah pasti formulasi penjelasan Pasal 21 Ayat (5) tidak begitu. Yang paling mungkin: harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh 5 (lima) pimpinan KPK. Inilah yang sesuai dengan logika bahasa dan hukum namun terlupakan oleh Romli dan diabaikan oleh Sarpin.
Kedua; Pasal 33A Ayat (1) Perppu menegaskan, ”Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan KPK kurang dari 3 orang, Presiden mengangkat…”. Penegasan ìkurang dari 3 orang” dalam pasal itu bukannya tanpa makna. Dengan logika bahasa memadai, orang pasti paham bahwa jumlah yang tak dibolehkan oleh Perppu adalah 2, apalagi 1, tapi tidak harus 5  orang.
Tidak Konsisten

Dalam kondisi tertentu, hukum membolehkan kurang dari 5, paling sedikit 3 orang. Perppu berprinsip jumlah minimal 3 orang masih mungkin menghasilkan keputusan normal. Itulah sebabnya jumlah 3 orang dijadikan batas minimal. Diakui atau tidak, ketentuan ayat ini implementasi logika Pasal 21 Ayat (5) UU KPK. Prinsipnya, dalam urusan pengambilan keputusan, mengenai jumlah bukanlah aspek dasar melainkan soal ’’wajib disetujui dan diputuskan secara bersama-sama’’.
Hakim Sarpin Rizaldi (http://www.antaranews.com/)
Apa makna ketentuan Perppu tersebut terhadap putusan Sarpin dan KPK? Jika dicermati, bisa banyak, antara lain dapat dipakai dasar hukum oleh KPK untuk menggugat keputusan Sarpin. Pasalnya, dasar pertimbangan putusan hakim praperadilan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 33A ayat (1). Apa yang diatur oleh pasal itu bukan baru sama sekali. Ia hanya menegaskan logika Pasal 21 Ayat (5) UU KPK.
Memang ada pakar hukum berpendapat putusan hakim Sarpin tidak dapat digugat melalui PK. Alasannya,  ketentuan Pasal 263 KUHAP telah mengatur secara limitatif pengajuan PK. Antara lain, hanya dimungkinkan oleh terpidana atau ahli waris (Pasal 263 Angka 1 KUHAP). Sementara posisi KPK dalam kasus itu tidak jelas kata Mudzakir, pakar hukum pidana dari UII Yogyakarta (sindonews.com, 7/3/15).
Namun pintu masuk KPK adalah ketentuan Pasal 263 Angka 2 Huruf c yang menyatakan PK dapat dilakukan bila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata. Ketentuan inilah dapat menjadi pintu masuk KPK untuk mengajukan PK kepada MA.
Selain itu, perlu diingat bahwa hakim Sarpin  tidak konsisten menafsirkan ketentuan Pasal 77 KUHAP. Di satu sisi, ia melebarkan penafsiran terhadap objek praperadilan yang tegas dan jelas diatur secara limitatif. Namun di sisi lain, cara penafsiran yang sama tidak diterapkan dalam memaknai terminologi penyelenggara negara/penegak hukum.
Itu artinya, upaya KPK mengajukan PK kepada MA bukanlah mustahil. Lebih-lebih terhadap putusan Sarpin yang tak konsisten menafsirkan bunyi UU tetapi putusannya berdampak serius pada sistem hukum. KPK tak boleh diam, perlu mengajukan PK kepada MA. Sebab putusan pengadilan yang melakukan ’’terobosan’’ atas bunyi UU hanya mungkin dikoreksi dengan ’’terobosan’’ hukum pula sesuai konteksnya.***
Catatan: 
Tulisan di atas dimuat di harian Suara Merdeka edisi Senin, 16 Maret 2015. Linknya ini.



Tidak ada komentar: