Oleh Yosafati Gulo
Menggilanya korupsi, suap-menyuap
di Indonesia, termasuk Nias, nyaris tak terbendung. Hal ini nampak dari gencarnya
media cetak dan elektronik memberitakan kasus-kasus korupsi di Tanah Air. Saking
maraknya, teramat sulit menemukan media cetak dan elektronik yang tidak memuat
berita koruspsi setiap hari.
Hasil Survey dan Fakta
Hasil-hasil survey tentang indeks
persepsi korupsi turut menunjukkan hal itu. Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
misalnya menempatkan Indonesia sebagai jago korupsi diantara 16 negara yang
disurvey. Dari tahun 2007-2010, terus meningkat dari 7.98 (2008), menjadi 8.32
(2009), naik menjadi 9.07 tahun 2010, dengan nilai 10 untuk terkorup (Metro
News, 09-03-2010). Pada tingkat dunia, Indonesia memang sempat diberitakan berada
di posisi 111 atau 126 dari 180 negara. Tapi itu belum mengubah citranya
sebagai negara terkorup. Hal ini nampak pada survey tahun 2011 yang tetap
menempatkan Indonesia pada urutan keempat terkorup dari 28 negara (Liputan
Olnine.com, 18-11-2011).
Survey itu ternyata berkorelasi positip dengan fakta
yang ada. Selama tahun 2009, Harian Suara Mereka (30-08-2010) mencatat 199
perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang telah diadili. Nilai kerugian negara
dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan mencapai Rp 1,772 triliun.
Sampai Maret 2011 ada setidaknya 17 Gubernur dan 158 Bupati/Walikota yang
tersandung korupsi selain anggota DPR, pejabat di berbagai instansi (Media
Indonesia, 8 Maret 2011). Belum lagi sekitar 45 orang koruptor yang lari ke
Luar Negeri seperti Sjamsul Nursalim dan kawan-kawannya dalam kasus BLBI, Anggoro
Widjojo dalam kasus SKRT Dephut, Nunun Nurbaeti, kasus dugaan suap Cek Pelawat
pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, dll., dengan nilai trilyunan rupiah (Banjarmasinpost.co.id, Senin, 4 Juli
2011 ).
Di Nias, ada dua contoh konkret.
Pertama, kasus korupsi Bupati Nias dan Nias Selatan.
Kedua mantan Bupati itu sungguh mencatat sejarah. Keduanya merupakan Kepala
Daerah di kepulauan Nias yang pertama dibui karena korupsi. Mantan Bupati Nias,
Binahati B. Baeha, divonis 5 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Medan,
karena menggasak dana bantuan korban Tsunami Kabupaten Nias pada tahun 2007 senilai Rp3,7
miliar. (Sumut Pos, 12-08-2011). Mantan Bupati Nias Selatan, Fahuwusa Laia,
ditahan KPK seudai diperksa sejak awal Oktober 2011 karena sangkaan suap kepada
KPU (Tribunnews.com
- Selasa, 4 Oktober 2011).
Kedua, kasus pengeluaran kas oleh Bendahara Pengeluaran
Sekretariat Daerah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan selama tahun 2006
& 2007 sebesar Rp 2,184,823,045.00.
Hal ini dilengkapi dengan kasus perjalanan
dinas fiktif senilai lebih dari Rp 3,48 milyar oleh hampir semua pejabat Pemda
di berbagai kantor Dinas di Kabupaten Nias sebagaimana dilaporkan BPK tahun
2007. Maskapai penerbangan yang diajak “kerja sama” ialah Merpati dan SMAC.
Terbanyak di Sekretariat Daerah Sebesar Rp 1,44 milyar, disusul Kimpraswil Rp
377 juta, BKD Rp 374 juta, Dinas Kelautan Rp 347 juta, DPRD Rp 305 juta, Dinas
Pendidikan Rp 214 juta dan Dinas Kesehatan Rp 211 juta, kemujdian di RSU Rp 135
juta, dan terkecil Dispenda sebesar Rp 63 juta. Daftar para pelaku dapat
dilihat pada laporan BPK tahun 2007.
Faktor Kunci
Dalam kasus-kasus di atas, ada setidaknya tiga faktor kunci
penyebab terjadinya korupsi, yaitu keinginan, peluang, dan buruknya sistem
pengawasan dalam waktu bersamaan (lihat Erry Riyana Harjapamekas dan Aan
Rukmana 2009). Umumnya berbentuk “kerjasama” (persekongkolan) antara dua orang
atau lebih. Salah satu di antaranya pasti pejabat, yang memiliki kuasa dan
kewenangan. Dan memang, sebuah korupsi atau suap-menyuap, mustahil terjadi
tanpa persekongkolan dua pihak atau lebih. Mereka sama-sama ingin karena merasa
sama-sama mendapatkan manfaat.
Dalam kasus mantan Bupati Binahati B. Baeha umpamanya.
Ia dapat menilap dana bantuan Tsunami karena bersekongkol dengan Bendahara
Daerah, bawahan, atau yang menangani dana bantuan tersebut. Para pejabat yang
menggasak uang negara melalui perjalanan dinas fiktif, dimungkinkan karena
adanya persekongkolan internal antara pelaksana dan atasan, serta pihak Merpati dan SMAC, hotel, dan instansi terkait di luar daerah.
Motivasi berkorupsi, tentu tidak sama bagi semua orang.
Ada yang melakukannya karena ingin mendapatkan satu atau banyak hal yang bukan
haknya. Misalnya pegawai negeri yang ingin dipromosikan pada jabatan tertentu
atau kontraktor yang ingin mendapatkan proyek di luar prosedur normal. Atau
untuk mendapatkan haknya yang sengaja ditahan, dipersulit, oleh atasan atau pejabat
berwenang. Misalnya pegawai negeri yang mengurus kenaikan pangkat, dan anggota
masyarakat pada urusan KTP, SIM, Ijin Usaha, dst., yang sengaja dipersulit tanpa
memberi “uang pelicin”.
Di kalangan pejabat motivasi itu dapat didorong oleh
nafsu hedonisme, memerkaya diri, atau mengumpulkan dana untuk memenuhi ambisi
kekuasaan. Yang disebut terakhir, pengumpulan dana dimaksudkan untuk
memertahankan jabatan, promosi, atau merebut jabatan baru melalui sogokan atau pembelian
dukungan dalam Pemilu atau Pilkada. Tetapi ada juga yang sederhana, sekadar
mendapatkan tambahan penghasilan.
Motif memerkaya diri dan mengumpulkan dana biasanya
terjadi pada level Kepada Bagian, Kepala
Dinas, sampai pada posisi puncak kekuasaan. Bisa juga di kalangan Panitia
pengadaan atau penyedia barang/jasa atau PPK, PA, dan KPA. Sedangkan yang
sekadar mendapatkan tambahan penghasilan, biasanya terjadi di kalangan petugas
administrasi di kantor pemerintahan atau di kantor panitia pengadaan
barang/jasa. Semua kejadian itu bisa terjadi karena didukung oleh adanya
keinginan, peluang, dan buruknya sistem pengawasan pengeluaran uang negara di
daerah.
Alternatif Solusi
Bertolak dari pemahaman di atas, jelas bahwa
pemberantasan korupsi di Nias mustahil berhasil jika hanya mengandalkan hukum
dan peran para penegak hukum. Jika Nias hendak menjadi pelopor, maka prasyarat
utama ialah adanya komitmen para Bupati dan walikota untuk memberantas korupsi.
Mengingat rakyat kita masih bersifat paternalistik, dapat diyakini bahwa dengan
komitmen itu upaya pemberantasan, dan paling tidak pencegahan korupsi lebih
maksimal. Setidaknya dapat dikurangi. Antara lain alternatif yang dapat
ditempuh ialah dengan mendekatinya dari ketiga faktor yang disebutkan di depan.
Pertama, mencegah keinginan dan peluang. Karena faktor
ini belum merupakan korupsi, maka yang dilakukan ialah mencegah timbulnya keinginan
dan peluang berkorupsi. Pada hemat saya, hal ini dapat diupayakan melalui
penataan sistem kerja pegawai di bidang pelayanan publik. Bisa saja dalam
bentuk penyusunan sebuah sistem operasional prosedur (SOP) kerja untuk urusan layanan
publik di seluruh dinas dan lembaga pemerintahan, atau bentuk lain yang
dianggap sesuai. Yang jelas, SOP itu perlu dibuat sedetail mungkin dan ditetapkan
oleh Pemda menjadi pedoman baku bagi pegawai dan publik yang berurusan, baik
untuk urusan sesama pegawai negeri maupun anggota masyarakat sipil. Dengan
tercegahnya dua faktor tersebut, sekaligus merupakan alat bagi pegawasan
kinerja pegawai.
Dalam SOP tersebut, perlu memuat aspek punishment and reward (sanksi dan hadiah). Ada rincian prestasi dan tingkat
ketaatan pada SOP untuk diberi reward atau sebaliknya diberi sanksi bagi yang
melanggar. Reward itu bisa diwujudkan dalam bentuk uang, tanda pengharagaan,
dan promosi. Sementara sanksi dapat diwujudkan mutasi atau demosi. Supaya
objektif, penilaian kinerja pegawai tidak melulu dari atasan dengan model DP3.
Tapi masukan dari sesama pegawai dan publik perlu dipertimbangkan.
Masukan-masukan itu, haruslah merupakan catatan yang dimasukkan dalam kotak
saran yang disediakan khusus, kemudian dikonversi menjadi nilai untuk keperluan
reward atau punishment.
Jika SOP itu dilanggar oleh publik, misalnya menempuh jalan
pintas (dan diakomodasi oleh pegawai
atau pejabat publik), maka sanksi perlu diberikan yang diformulasi tersendiri
sesuai dengan jenis dan bentuk pelanggarannya.
Sikap
Profesionalisme
Kedua, sikap profesionalisme dalam bekerja. Pemda
perlu terus memotivasi pegawai untuk terus berusaha profesional dalam bekerja.
Wujudkan ialah tidak mencampur-adukan pertemanan, hubungan kekeluargaan dengan
urusan-urusan kantor. Salah satu di antaranya membudayakan sistem antrian orang
yang berurusan. Nampaknya, Nias masih ketinggalan dalam menerapkan sistem ini.
Di Bank memang sudah mulai diterapkan, tapi main terobos masih saja tampak
manakala yang berurusan adalah teman, keluarga, atau sesama pegawai, lebih-lebih
atasan.
Erat kaitannya dengan itu ialah sikap jaga jarak. Sikap
ini ditampilkan dalam memberikan pelayanan publik, pengambilan keputusan di
bidang ekonomi, baik di sektor swasta maupun publik. Di sini para pejabat,
pengambil keputusan, harus tetap menjaga posisinya sebagai profesional dan
menjaga jaraknya dengan teman, kerabat, keluarga. Oleh karena itu perlu
dihindari pelayanan di rungan tertutup atau di luar kantor.
Ketiga, pelayanan secara on line perlu dipikirkan. Di
banyak instansi di berbagai tempat di Tanah Air model ini sudah mulai
diterapkan. Di Perguruan tinggi misalnya, urusan pembukaan program studi baru
dapat dilayani dengan cara memenuhi semua persyaratan yang dapat dibaca pada
situs Dikti. Setelah memenuhi semua persyaratan, maka peguruan tinggi dapat
menyampaikan usulan pembukaan program studi baru kepada Dikti lewat email atau di-upload ke alamat Dikti.
Untuk tender pengadaan barang dan jasa, model ini juga
bisa diterapkan. Semua persyaratan dokumen dan menyampaian penawaran dilakukan
dengan menggunakan fasilitas internet. Biaya-biaya yang diperlukan tak perlu
diserahkan manual, tapi melalui bank atau pakai ATM seperti pembayaran tiket
pesawat.
Tentu masih banyak alternatif yang dapat ditempuh.
Namun, yang perlu disadari ialah bahwa pencegahan atau pemberantasan korupsi
tidak terletak pada seberapa banyak cara yang kita tahu, melainkan seberapa
besar komitmen kita, utamanya Bupati dan para pejabat Pemda, untuk menerapkan
cara-cara yang ada. Pernyataan “saya berdiri di barisan paling depan dalam
memberantas korupsi”, seperti digaungkan
Presiden SBY beberapa tahun lalu, tidak akan menolong. Karena itu para Bupati,
Wali kota, dan lainnya tak perlu meniru jargon bombastis ini. Yang diperlukan
ialah komitmen, ketegasan, dan memulai gerakan “pembersihan” keinginan
berkorupsi dari diri sendiri ke lingkaran yang lebih luas.
Jika masih ada yang nekat melakukan atau mendukung
korupsi, maka maka sanksi yang diberikan, tidak sekadar punishment yang digambarkan di depan, melainkan diserahkan kepada
penegak hukum. Pertanyaannya ialah apa benar para Bupati dan Wali Kota memiliki
komitmen itu seperti kampanye mereka menjelang Pilkada? Ini sesungguhnya yang
kita tunggu! ***
2 komentar:
Gaya tulisan Om sangat menarik, saya mesti banyak belajar dari Om tampaknya.
Ah saya jadi malu. Saya juga masih belajar menulis lho. Kalau gaya ini menolong, ya, saya berterima kasih. Saya menunggu tulisan Robin. Tentu harus lebih baik.
Posting Komentar