Jumat, 02 Desember 2011

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MEMBERANTAS KORUPSI


Oleh Yosafati Gulo

Menggilanya korupsi, suap-menyuap di Indonesia, termasuk Nias, nyaris tak terbendung. Hal ini nampak dari gencarnya media cetak dan elektronik memberitakan kasus-kasus korupsi di Tanah Air. Saking maraknya, teramat sulit menemukan media cetak dan elektronik yang tidak memuat berita koruspsi setiap hari. 

Hasil Survey dan Fakta


Hasil-hasil survey tentang indeks persepsi korupsi turut menunjukkan hal itu. Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) misalnya menempatkan Indonesia sebagai jago korupsi diantara 16 negara yang disurvey. Dari tahun 2007-2010, terus meningkat dari 7.98 (2008), menjadi 8.32 (2009), naik menjadi 9.07 tahun 2010, dengan nilai 10 untuk terkorup (Metro News, 09-03-2010). Pada tingkat dunia, Indonesia memang sempat diberitakan berada di posisi 111 atau 126 dari 180 negara. Tapi itu belum mengubah citranya sebagai negara terkorup. Hal ini nampak pada survey tahun 2011 yang tetap menempatkan Indonesia pada urutan keempat terkorup dari 28 negara (Liputan Olnine.com, 18-11-2011).


Survey itu ternyata berkorelasi positip dengan fakta yang ada. Selama tahun 2009, Harian Suara Mereka (30-08-2010) mencatat 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang telah diadili. Nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan mencapai Rp 1,772 triliun. Sampai Maret 2011 ada setidaknya 17 Gubernur dan 158 Bupati/Walikota yang tersandung korupsi selain anggota DPR, pejabat di berbagai instansi (Media Indonesia, 8 Maret 2011). Belum lagi sekitar 45 orang koruptor yang lari ke Luar Negeri seperti Sjamsul Nursalim dan kawan-kawannya dalam kasus BLBI, Anggoro Widjojo dalam kasus SKRT Dephut, Nunun Nurbaeti, kasus dugaan suap Cek Pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, dll., dengan nilai trilyunan rupiah (Banjarmasinpost.co.id, Senin, 4 Juli 2011 ).

Di Nias, ada dua contoh konkret. Pertama,  kasus korupsi Bupati Nias dan Nias Selatan. Kedua mantan Bupati itu sungguh mencatat sejarah. Keduanya merupakan Kepala Daerah di kepulauan Nias yang pertama dibui karena korupsi. Mantan Bupati Nias, Binahati B. Baeha, divonis 5 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Medan, karena menggasak dana bantuan korban Tsunami Kabupaten Nias pada tahun 2007 senilai Rp3,7 miliar. (Sumut Pos, 12-08-2011). Mantan Bupati Nias Selatan, Fahuwusa Laia, ditahan KPK seudai diperksa sejak awal Oktober 2011 karena sangkaan suap kepada KPU (Tribunnews.com - Selasa, 4 Oktober 2011).

Kedua, kasus pengeluaran kas oleh Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan selama tahun 2006 & 2007 sebesar Rp 2,184,823,045.00. Hal ini dilengkapi dengan kasus perjalanan dinas fiktif senilai lebih dari Rp 3,48 milyar oleh hampir semua pejabat Pemda di berbagai kantor Dinas di Kabupaten Nias sebagaimana dilaporkan BPK tahun 2007. Maskapai penerbangan yang diajak “kerja sama” ialah Merpati dan SMAC. Terbanyak di Sekretariat Daerah Sebesar Rp 1,44 milyar, disusul Kimpraswil Rp 377 juta, BKD Rp 374 juta, Dinas Kelautan Rp 347 juta, DPRD Rp 305 juta, Dinas Pendidikan Rp 214 juta dan Dinas Kesehatan Rp 211 juta, kemujdian di RSU Rp 135 juta, dan terkecil Dispenda sebesar Rp 63 juta. Daftar para pelaku dapat dilihat pada laporan BPK tahun 2007.

Faktor Kunci

Dalam kasus-kasus di atas, ada setidaknya tiga faktor kunci penyebab terjadinya korupsi, yaitu keinginan, peluang, dan buruknya sistem pengawasan dalam waktu bersamaan (lihat Erry Riyana Harjapamekas dan Aan Rukmana 2009). Umumnya berbentuk “kerjasama” (persekongkolan) antara dua orang atau lebih. Salah satu di antaranya pasti pejabat, yang memiliki kuasa dan kewenangan. Dan memang, sebuah korupsi atau suap-menyuap, mustahil terjadi tanpa persekongkolan dua pihak atau lebih. Mereka sama-sama ingin karena merasa sama-sama mendapatkan manfaat.

Dalam kasus mantan Bupati Binahati B. Baeha umpamanya. Ia dapat menilap dana bantuan Tsunami karena bersekongkol dengan Bendahara Daerah, bawahan, atau yang menangani dana bantuan tersebut. Para pejabat yang menggasak uang negara melalui perjalanan dinas fiktif, dimungkinkan karena adanya persekongkolan internal antara pelaksana dan atasan, serta pihak Merpati dan SMAC, hotel, dan instansi terkait di luar daerah.

Motivasi berkorupsi, tentu tidak sama bagi semua orang. Ada yang melakukannya karena ingin mendapatkan satu atau banyak hal yang bukan haknya. Misalnya pegawai negeri yang ingin dipromosikan pada jabatan tertentu atau kontraktor yang ingin mendapatkan proyek di luar prosedur normal. Atau untuk mendapatkan haknya yang sengaja ditahan, dipersulit, oleh atasan atau pejabat berwenang. Misalnya pegawai negeri yang mengurus kenaikan pangkat, dan anggota masyarakat pada urusan KTP, SIM, Ijin Usaha, dst., yang sengaja dipersulit tanpa memberi “uang pelicin”.

Di kalangan pejabat motivasi itu dapat didorong oleh nafsu hedonisme, memerkaya diri, atau mengumpulkan dana untuk memenuhi ambisi kekuasaan. Yang disebut terakhir, pengumpulan dana dimaksudkan untuk memertahankan jabatan, promosi, atau merebut jabatan baru melalui sogokan atau pembelian dukungan dalam Pemilu atau Pilkada. Tetapi ada juga yang sederhana, sekadar mendapatkan tambahan penghasilan. 

Motif memerkaya diri dan mengumpulkan dana biasanya terjadi pada level Kepada Bagian,  Kepala Dinas, sampai pada posisi puncak kekuasaan. Bisa juga di kalangan Panitia pengadaan atau penyedia barang/jasa atau PPK, PA, dan KPA. Sedangkan yang sekadar mendapatkan tambahan penghasilan, biasanya terjadi di kalangan petugas administrasi di kantor pemerintahan atau di kantor panitia pengadaan barang/jasa. Semua kejadian itu bisa terjadi karena didukung oleh adanya keinginan, peluang, dan buruknya sistem pengawasan pengeluaran uang negara di daerah.

Alternatif Solusi

Bertolak dari pemahaman di atas, jelas bahwa pemberantasan korupsi di Nias mustahil berhasil jika hanya mengandalkan hukum dan peran para penegak hukum. Jika Nias hendak menjadi pelopor, maka prasyarat utama ialah adanya komitmen para Bupati dan walikota untuk memberantas korupsi. Mengingat rakyat kita masih bersifat paternalistik, dapat diyakini bahwa dengan komitmen itu upaya pemberantasan, dan paling tidak pencegahan korupsi lebih maksimal. Setidaknya dapat dikurangi. Antara lain alternatif yang dapat ditempuh ialah dengan mendekatinya dari ketiga faktor yang disebutkan di depan.

Pertama, mencegah keinginan dan peluang. Karena faktor ini belum merupakan korupsi, maka yang dilakukan ialah mencegah timbulnya keinginan dan peluang berkorupsi. Pada hemat saya, hal ini dapat diupayakan melalui penataan sistem kerja pegawai di bidang pelayanan publik. Bisa saja dalam bentuk penyusunan sebuah sistem operasional prosedur (SOP) kerja untuk urusan layanan publik di seluruh dinas dan lembaga pemerintahan, atau bentuk lain yang dianggap sesuai. Yang jelas, SOP itu perlu dibuat sedetail mungkin dan ditetapkan oleh Pemda menjadi pedoman baku bagi pegawai dan publik yang berurusan, baik untuk urusan sesama pegawai negeri maupun anggota masyarakat sipil. Dengan tercegahnya dua faktor tersebut, sekaligus merupakan alat bagi pegawasan kinerja pegawai.

Dalam SOP tersebut, perlu memuat aspek punishment and reward (sanksi dan hadiah). Ada rincian prestasi dan tingkat ketaatan pada SOP untuk diberi reward atau sebaliknya diberi sanksi bagi yang melanggar. Reward itu bisa diwujudkan dalam bentuk uang, tanda pengharagaan, dan promosi. Sementara sanksi dapat diwujudkan mutasi atau demosi. Supaya objektif, penilaian kinerja pegawai tidak melulu dari atasan dengan model DP3. Tapi masukan dari sesama pegawai dan publik perlu dipertimbangkan. Masukan-masukan itu, haruslah merupakan catatan yang dimasukkan dalam kotak saran yang disediakan khusus, kemudian dikonversi menjadi nilai untuk keperluan reward atau punishment.

Jika SOP itu dilanggar oleh publik, misalnya menempuh jalan pintas  (dan diakomodasi oleh pegawai atau pejabat publik), maka sanksi perlu diberikan yang diformulasi tersendiri sesuai dengan jenis dan bentuk pelanggarannya.

Sikap Profesionalisme

Kedua, sikap profesionalisme dalam bekerja. Pemda perlu terus memotivasi pegawai untuk terus berusaha profesional dalam bekerja. Wujudkan ialah tidak mencampur-adukan pertemanan, hubungan kekeluargaan dengan urusan-urusan kantor. Salah satu di antaranya membudayakan sistem antrian orang yang berurusan. Nampaknya, Nias masih ketinggalan dalam menerapkan sistem ini. Di Bank memang sudah mulai diterapkan, tapi main terobos masih saja tampak manakala yang berurusan adalah teman, keluarga, atau sesama pegawai, lebih-lebih atasan.

Erat kaitannya dengan itu ialah sikap jaga jarak. Sikap ini ditampilkan dalam memberikan pelayanan publik, pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik di sektor swasta maupun publik. Di sini para pejabat, pengambil keputusan, harus tetap menjaga posisinya sebagai profesional dan menjaga jaraknya dengan teman, kerabat, keluarga. Oleh karena itu perlu dihindari pelayanan di rungan tertutup atau di luar kantor.

Ketiga, pelayanan secara on line perlu dipikirkan. Di banyak instansi di berbagai tempat di Tanah Air model ini sudah mulai diterapkan. Di Perguruan tinggi misalnya, urusan pembukaan program studi baru dapat dilayani dengan cara memenuhi semua persyaratan yang dapat dibaca pada situs Dikti. Setelah memenuhi semua persyaratan, maka peguruan tinggi dapat menyampaikan usulan pembukaan program studi baru kepada Dikti lewat email atau di-upload ke alamat Dikti.

Untuk tender pengadaan barang dan jasa, model ini juga bisa diterapkan. Semua persyaratan dokumen dan menyampaian penawaran dilakukan dengan menggunakan fasilitas internet. Biaya-biaya yang diperlukan tak perlu diserahkan manual, tapi melalui bank atau pakai ATM seperti pembayaran tiket pesawat.

Tentu masih banyak alternatif yang dapat ditempuh. Namun, yang perlu disadari ialah bahwa pencegahan atau pemberantasan korupsi tidak terletak pada seberapa banyak cara yang kita tahu, melainkan seberapa besar komitmen kita, utamanya Bupati dan para pejabat Pemda, untuk menerapkan cara-cara yang ada. Pernyataan “saya berdiri di barisan paling depan dalam memberantas korupsi”,  seperti digaungkan Presiden SBY beberapa tahun lalu, tidak akan menolong. Karena itu para Bupati, Wali kota, dan lainnya tak perlu meniru jargon bombastis ini. Yang diperlukan ialah komitmen, ketegasan, dan memulai gerakan “pembersihan” keinginan berkorupsi dari diri sendiri ke lingkaran yang lebih luas. 

Jika masih ada yang nekat melakukan atau mendukung korupsi, maka maka sanksi yang diberikan, tidak sekadar punishment yang digambarkan di depan, melainkan diserahkan kepada penegak hukum. Pertanyaannya ialah apa benar para Bupati dan Wali Kota memiliki komitmen itu seperti kampanye mereka menjelang Pilkada? Ini sesungguhnya yang kita tunggu! ***

2 komentar:

Robin Solala mengatakan...

Gaya tulisan Om sangat menarik, saya mesti banyak belajar dari Om tampaknya.

Yosafati Gulo mengatakan...

Ah saya jadi malu. Saya juga masih belajar menulis lho. Kalau gaya ini menolong, ya, saya berterima kasih. Saya menunggu tulisan Robin. Tentu harus lebih baik.