Senin, 22 November 2010

MEWASPADAI PEMILIHAN CALON BUPATI NIAS BARAT

Oleh Yosafati Gulo

Pemilihan calon Bupati Nias Barat sudah di depan mata. Ada tiga pasangan calon yang sudah mendaftarkan diri di KPU, yaitu pasangan Faduhusi Daeli-Sinar Abdi Gulo, A.A. Gulo-Hermit Hia, Yupiter Gulo dan Raradodo Daeli.

Sama seperti Pilkada di daerah-daerah lain di Indonesia, dengan tampilnya ketiga pasangan itu sekaligus berakibat munculnya polarisasi kelompok pendukung dalam masyarakat. Entah itu berdasarkan latar belakang desa, hubungan kekerabatan/persaudaraan, keyakinan agama, maupun ideologi. Tiga aspek yang disebut terdahulu, merupakan perekat kelompok yang bisa saling tali menali dan saling menguatkan. Sementara aspek terakhir, ideologi, kelihatannya belum memberi pengaruh cukup kuat.

Rekatan karena aspek desa, hubungan keluarga, dan agama dapat spontan menguat. Mereka yang sedesa, ada hubungan keluarga, atau seagama dengan calon tampaknya mulai merapatkan diri. Selain untuk saling menguatkan, mengkosolidasikan diri, mereka juga berusaha mempengaruhi anggota kelompok lain. Sasaran utamanya mereka adalah anggota masyarakat yang dinilai tak ada faktor perekatnya dengan sang rival. Anggota masyarakat dalam kelompok ini dapat dikatakan merupakan wilayah rebutan para calon dan pendukungnya. Tiap pasangan calon dan pendukungnya pastilah berjuang menanamkan pengaruh guna mendapatkan dukungan dari anggota masyarakat tersebut.

Dalam politik, peristiwa semacam itu bukan barang terlarang, tabu. Sudah merupakan sebuah konsekuensi logis dari demokrasi yang perlu diterima secara wajar oleh siapa pun.

Pertanyaannya, aspek mana yang paling berpengaruh di antara ketiganya? Adakah aspek lain yang perlu diwaspadai sebagai penguat atau malah sebaliknya, sebagai perusak?
Faktor Desa dan Kekerabatan

Faktor desa dan kekerabatan nampaknya merupakan perekat cukup kuat di Nias Barat. Sementara faktor agama, menurut saya, bisa ya bisa tidak. Artinya kesamaan agama antara pemilih dengan calon tidak otomatis menjadi penentu pilihan. Kendati agamanya sama, jika tidak didukung faktor lain, termasuk desa asal dan hubungan kekerabatan, bukan tidak mungkin si pemilih justru memilih calon yang agamanya berbeda karena rekatan faktor desa dan kekerabatan. Bahkan faktor lain, katakanlah faktor X, bisa lebih kuat rekatannya daripada faktor agama (hal ini akan dibahas pada bagian akhir). Dikatakan demikian karena politisasi agama di kalangan calon pemilih, Nias Barat, tidak setajam di tempat lain yang agama antar pemilih lebih bervariasi seperti di Jawa dan Sumatera.

Dapat dikatakan bahwa sang calon yang sedesa atau memiliki hubungan persaudaraan dengan pendukung akan mendapatkan dukungan habis. Tanpa atau dengan alasan logis golongan ini cenderung memilih calon yang sedesa atau memiliki hubungan kekerabatan.
Tentu saja bisa diurai mengapa mereka menjatuhkan pilihan pada sang calon. Boleh jadi karena merasa bahwa sang calon pantas, patut, berkualifikasi, memiliki integritas pribadi tinggi, bertanggung jawab, dan jujur sehingga mereka matian-matian memperjuangkannya menjadi Bupati.

Bisa juga karena pertimbangan sedesa, saudara, atau adanya hubungan kekerabatan semata. Tanpa embel-embel lain atau pertimbangan logis-kritis tentang sang calon. Bahkan mereka tidak peduli bagaimana kerja sang calon kelak manakala sudah jadi Bupati. Apakah akan membawa perbaikan dan kemajuan Nias Barat, jalan di tempat, atau malah makin mundur, mereka tak peduli.

Bisa Merupakan Pilihan Tepat

Apakah ini salah? Tentu tidak. Ini bukan soal salah atau benar. Ini persoalan hak dan pilihan untuk menggunakan hak. Tentu tidak mudah mengatakan bahwa Bupati yang terpilih dengan cara ini buruk. Bisa saja merupakan pilihan tepat karena memiliki sejumlah keunggulan pribadi. Baik aspek wawasan, pengetahun, kepemimpinan, manejerial, maupun integritas pribadi yang melebihi calon lain. Karena itu, dalam kepemimpinannya kelak, yang bersangkutan bukan hanya mampu mengangkat harkat desa dan saudara-sudaranya menjadi lebih terhormat. Tapi, benar-benar membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Nias Barat secara adil.

Dan yang lebih penting ialah karena keunggulannya itu, ia berhasil memotong “lingkaran setan” korupsi yang sudah lama merasuki sendi-sendi kepemimpinan sebelumnya. Entah itu di Nias Barat, Nias pada umumnya, maupun di tempat lain di Indonesia. Selain itu, ia juga mampu meletakkan dasar-dasar pemerintahan Kabupaten Nias Barat di atas aturan hukum secara tegas atas bimbingan etika dan moral sehingga kepemimpinan selanjutnya menjadi lebih mudah dalam upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan menuju masyarakat sejahtera-adil-makmur.

Yang jadi soal, adalah kalau yang terpilih justru yang sebaliknya. Mungkin karena kepribadiannya yang selfish, desa oriented, saudara oriented, dan sejumlah egoisme lainnya mengakibatkan kepemimpinannya terjerumus ke dalam pengulangan keburukan yang pernah terjadi. Mungkin pula karena sempitnya wawasan, pengetahuan, atau rendahnya kemampuan kepemimpinan dan manejerial mengakibatkan kepemimpinannya terjerumus pada pengambilan kebijakan tak terarah.

Lebih mengkuatirkan ialah Bupati semacam itu cenderung berputar-putar pada kepentingan dan kesenangan diri sendiri, desa sendiri, saudara sendiri, tanpa atau dengan sendikit memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Nias Barat secara keseluruhan. Contoh-contoh pejabat seperti ini cukup banyak, untuk tidak menyebut seluruhnya, di Indonesia. Di antaranya ada puluhan yang sedang di penjara karena penyelewengan dan korupsi. Latar belakang mereka beragam. Terbanyak Bupati dan Walikota, menyusul Gubernur dan anggota DPRD dan DPR. (silahkan baca di sini: http://kasus-korupsi.com/).

Para pemilih tentu tidak mengharapkan hal tersebut terjadi kepada orang sedesa atau saudaranya. Sebab, apa artinya menikmati keceriaan sehari jika harus menerima imbalan penderitaan bertahun-tahun di penjara. Belum lagi sanksi sosial dan efek psikologi terhadap anak-anaknya, saudaranya, dan orang sedesanya secara turun-temurun.

Faktor X

Selain dua perekat yang disebutkan di muka, ada faktor lain yang juga memiliki daya rekat. Mungkin karena teman sekolah, rekan kerja, sesama anggota organisasi, pernah menerima bantuan dalam bentuk apa pun, pernah menyaksikan apa yang pernah dilakukan sebelumnya, atau faktor kekaguman atas keunggulan pada aspek tertentu, atau paling sedikit pernah mendengarkan dari orang lain tentang diri sang calon, dsb. Faktor-faktor ini bisa menjadi penentu pilihan terhadap calon. Ini artinya, sang calon yang memiliki banyak relasi, banyak keunggulan, dikenal, dapat merupakan modal untuk merebut hati para calon pemilih.

Daya rekat ini dapat setara dengan daya rekat faktor desa dan kekerabatan. Calon pemilih yang tidak mengenalnya sekalipun bisa saja memutuskan memilih calon tertentu apabila ada teman atau kenalan yang memberi informasi tentang sang calon. Terutama di daerah yang merupakan wilayah di luar faktor desa dan kekerabatan.

Tapi ada faktor lain yang sering tak terduga. Sebelumnya saya sebut sebagai faktor X. Sejak sistem Pemilu langsung, baik legislatif maupun eksekutif, diberlakukan di Inedonesia, pengaruh faktor X tersebut menempati posisi terdepan. Pengaruhnya bahkan sangat kuat dalam merebut hati para pemilih. Sekalipun antara pemilih dan calon tidak saling kenal sebelumnya, bahkan berseberangan sekalipun, namun karena faktor X ini hubungannya bisa tiba-tiba berubah jadi akrab seperti teman kental yang sudah bergaul bertahun-tahun. Itulah sebabnya orang sering bilang bahwa dalam politik, tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan. Manakala kepentingan bertemu, meskipun hanya sesaat, maka segalanya bisa berubah.

Masih ingat Ruhut Sitompul, bukan? Dulu ia aktivis gigih dari Partai Golkar. Sekarang? Tahu sendiri bagaimana ia mengelu-elukan pemimpin dan Partai Demokrat karena faktor X tersebut.

Faktor X ini bisa banyak rupa. Bisa sangat halus, tak kasat mata dan bisa juga fulgar. Secara halus, sering tampil dalam bentuk pemberian bantuan bagi desa, gereja, kegiatan sosial, dsb. Secara fulgar, biasanya berupa uang cash, atau berupa janji-janji jabatan, kesempatan berusaha, proyek, atau jaminan sosial tertentu. Mana yang lebih berpengaruh? Tentu tergantung sasaranya. Jika sasarannya orang desa, maka kecenderungan yang lebih berpengaruh adalah pemberian bantuan atau uang cash. Siapa yang bisa memberi banyak, peluangnya untuk dipilih lebih besar. Konon di Nias saat ini ada istilah: “yang sehari milikku, yang lima tahun milikmu. Aku tak peduli idealisme dan sejumlah jargon pembangunan. Kalau mau bayar, aku pilih, kalau tidak, ya, go to hell!”

Kalau sasarannya pegawai, pejabat, pengusaha, maka bantuk faktor X bisa tampil dalam bentuk janji-janji jabatan, kesempatan, atau proyek. Ini artinya, calon yang berani memberi janji sesuai kebutuhan sasaran, peluangnya untuk dipilih makin besar. Lebih-lebih karena sasaran tersebut umumnya memiliki pengaruh di kalangan masyarakat desa. Dengan kelincahan mereka berkata-kata, mereka dapat menambah keyakinan calon-calon pemilih untuk memilih sang calon. Dan ini, bisa menambah bargaining position mereka di depan calon, si pemberi janji.

Apakah ini Salah?

Jelas salah! Dari sisi apa pun, cara-cara meraih suara pemilih dengan faktor X tidak dapat dibenarkan. Bukan cuma melanggar hukum, etika, dan moral. Tapi efeknya ke depan pasti buruk. Baik bagi masyarakat maupun calon itu sendiri. Logikanya bukan lagi logika pelayanan kepada kepentingan masyarakat, sebagaimana seharusnya tugas seorang Bupati atau pejabat apa pun, tapi logika dagang, logika untung rugi.

Ini tentu bisa dimengerti. Karena calon yang mengeluarkan uang banyak ketika pemilihan, target utamanya adalah mencari pengganti. Lebih-lebih kalau uang yang dipakai itu adalah pinjaman atau “sumbangan” berpamrih. Itu artinya bahwa selama menjadi Bupati, isi hati dan pikirannya bisa amat jauh dari memikirkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Nias Barat, melainkan membayar utang dulu baru kemudian mencari untung.

Pertanyaannya, jika hal ini terjadi, adakah di antara kita yang diuntungkan? Untuk kepentingan sesaat, barangkali ada. Tapi untuk jangka panjang, tidak. Malahan ancaman keterpurukan bisa makin parah dan sang Bupati kelak, bukan tidak mengkin akan menyusul rekan-rekannya pejabat yang saat ini berada di balik teralis besi. Inikah yang kita mau? ***

Jumat, 29 Oktober 2010

STUDI BANDING ETIKA BAGI DPR, MENGAPA TIDAK?

Oleh Yosafati Gulo

Sejauh ini, rencana anggota BK DPR untuk studi banding etika ke Yunani masih ditentang publik. Banyak yang sinis atas rencana itu. Bahkan dinilai sebagai rencana tak beretika. Sebab di kala bangsa kita masih berjuang menurunkan jumlah orang miskin, anggota DPR justru dinilai berfoya-foya. Biaya studi banding yang 2,2 milyar dianggap terlalu besar. Tak sebanding dengan manfaat yang diperoleh kelak. Dari sisi ini, alasan para penentang bisa dipahami. Karena uang sebanyak itu lebih urgen dipakai untuk program penguatan ekonomi masyarakat miskin.

Persoalannya, mengapa biaya yang 2,2 milyar itu dinilai terlalu besar? Ukurannya apa? Bukankah nilai itu justru terlalu kecil untuk sebuah akibat yang lebih besar kelak?

Mengubah Paradigma

Menurut hemat saya, kita perlu mengubah paradigma dalam menilai anggota DPR, temasuk anggota BK. Selama ini, kita cenderung melihat anggota-anggota DPR sebagai pribadi-pribadi unggul di berbagai aspek, termasuk aspek etika. Atas anggapan itu, kita lantas memberikan tuntutan, harapan, atas pribadi dan kerja DPR lebih tinggi dari rata-rata anggota masyarat. Akibatnya, di kala anggota DPR tidak tampil dan bekerja sesuai dengan harapan, masyarakat jadi kecewa dan marah.

Anggota DPR, memang, seharusnya mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat. Dari sisi pendidikan, pengetahuan, wawasan, visi, dan pengalaman, mereka mestinya di atas rata-rata. Bukan saja karena DPR adalah personifikasi dari seluruh anggota masyarakat. Melainkan tuntutan tugasnya sebagai penentu arah kebijakan pemerinyah, hidupan bangsa, dan negara mengharuskannya demikian.

Soal etika, DPR juga seharusnya bukan hanya tahu dan paham etika. Malahan etikanya lebih tinggi dari sekadar etika yang dipraktekkan oleh masyarakat. Baik menyangkut etika umum maupun politik, dan etika lain terkait tugas mereka di DPR. Nyatanya, tidak begitu. Anggota BK DPR sendiri sangat sadar hal tersebut. Itulah sebabnya mereka menilai perlu dan mendesak melakukan studi banding.

Alasan anggota BK DPR sebetulnya tidak mengada-ada. Logis, simpel, dan mudah dipahami. Masa jabatan di DPR ada lima tahun. Yang sudah dijalankan baru setahun. Sisanya, masih empat tahun lagi. Dalam penilaian mereka, tentu, pekerjaan selama setahun yang lalu banyak yang dilaksanakan tanpa atau kurang beretika.

Kalau ada anggota DPR yang memaki-maki sesama anggota dewan, mengantuk dan dibiarkan pulas selama sidang, membuat program-program aneh yang jauh dari logika umum, menguapnya kasus bank Century dsb., tentu dapat dipahami sebagai akibat dari ketiadaan atau kurangnya etika tersebut.

Bagi anggota BK DPR –dan pasti semua setuju– peristiwa-peristiwa tersebut tak boleh berketerusan. Dalam sisa waktu empat tahun ke depan, kerja DPR perlu dilaksanakan dalam koridor etika. Tujuannya, tentu, agar penampilan dan kerja mereka benar, sehingga uang negara yang dapat diselamatkan kelak lebih besar dari 6,7 triliyun (kasus bank Century) atau 2,2 milyar yang diributkan itu. Pada saat sidang, mereka juga bisa tampil sopan, tidak lagi memaki-maki, selalu hadir dalam kondisi prima, dan anggota DPR yang melanggar dikenakan hukuman sesuai aturan sidang. Dengan cara berpikir seperti ini, rencana studi banding etika anggota BK DPR patut dipertimbangkan dan didukung.

Jangan Jual Diri

Menentang rencana belajar etika oleh DPR yang telah menilai dirinya belum beretika, agaknya bukan cuma tak beretika. Tapi kejam. Sama halnya orang tua yang melarang anaknya belajar sopan santun agar bisa hidup secara sopan. Orang tua semacam ini tidak bertanggung jawab dan jahat.

Jika kondisi DPR dinilai parah, maka titik soalnya tidak terletak pada diri mereka semata. Mereka duduk di lembaga itu, bukan melulu karena keinginan mereka. Lebih besar karena faktor masyarakat sendiri. Semua sudah tahu bahwa begitu banyak anggota DPR yang terpilih bukan karena keunggulan pengetahuan, integritas pribadi, komitmen atau prestasi. Tetapi karena mampu “membeli”, dan anggota masyarakat juga mau “menjual” diri dengan harga 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, atau 100 ribu rupiah saat pemilihan legislatif.

Mempersoalkan kondisi anggota DPR saat ini, bukanlah saat yang tepat. Terlambat! Yang diperlukan ialah menolong mereka agar benar-benar bisa tampil sebagai wakil rakyat secara wajar. Dan itu, hanya dimungkinkan mereka diberi kesempatan untuk belajar. Tempatnya, bisa saja tidak ke Yunani. Yang penting dirundingkan bersama. Bukan asal tentang dan larang. Kalau sepakat umpamanya, apa salahnya kalau mereka diminta ditraining oleh Mario Teguh barang seminggu atau lebih. Bila perlu, diberi juga uang saku, representasi, uang hadir, jaminan asuransi, dst., sesuai ketentuan keuangan negara. Tidak masalah bukan?

Kalau pada periode berikut bangsa kita menghendaki adanya anggota DPR yang wajar, maka syarat utamanya adalah jangan mau menjual diri. Jangan melacurkan diri dengan uang 100 ribu atau jutaan sekalipun dalam pemilihan leislatif. Ini, hanya dimungkinkan kalau kita memiliki sebuah sistem pemilihan legislatif yang mengedepankan prestasi, integritas dan akuntabilitas pribadi. Inilah tugas kita yang lebih penting ke depan. ***

Sabtu, 23 Oktober 2010

MEMPERBAIKI SITUASI

(sebuah renungan)

Oleh Yosafati Gulo

“Janganlah jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” Galatia: 6:9

Orang sering berpikir, mungkin termasuk kita, bahwa berbuat baik itu ada batasnya. Memperjuangkan pebaikan bagi diri sendiri, orang lain, teman, kenalan, lembaga, atau pihak lain yang tidak kenal, masyarakat pada umumnya, mustahil dilakukan terus-menerus. Lebih-lebih kalau sudah melakukan berbagai upaya sebelumnya, namun hasil yang diharapkan belum juga muncul, maka yang sering dikemukakan ialah, “Ah, saya capek. Saya tidak mau mati konyol . Yang lain tidak mendukung. Situasi sudah parah, orang yang berada dalam situasi malahan tak perduli. Jadi, ya, terserah. Mau jadi apa, saya sudah tak peduli lagi.”

Ada setidaknya tiga hal yang perlu dicermati dalam cara berpikir tersebut. Pertama, diri sendiri sebagai pelaku dan peristiwa atau kejadian; Kedua, daya jangkau pengaruh dari pelaku atau kontrol atas kejadian; Tiga, sikap pelaku terhadap upaya yang ingin dicapai.

Dua Wilayah

Manakala kita berhadapan atau mengalami sebuah situasi, peristiwa, pada saat itu sebenarnya ada dua wilayah yang saling bersentuhan. Keduanya bisa saling berhadap-hadapan dan bisa saling mempengaruhi. Wilayah itu ialah diri kita sendiri dan kejadian atau peristiwa yang tengah dihadapi.

Sering tidak disadari bahwa kedua wilayah itu punya batas. Ada semacam tembok pemisah, antara diri kita dengan situasi atau kejadian yang dihadapi. Karena itu kita tidak bisa bergerak leluasa dalam kedua wilayah yang ada, kecuali dalam wilayah kita. Diri kita sendiri! Sementara kejadian yang dihadapi merupakan wilayah lain. Wilayah itu, selain bukan merupakan bagian dari diri kita, ia juga tak tergantung pada kita. Oleh karena itu, ia sulit bahkan tidak bisa ditembus sesuka hati.

Sikap anak yang malas belajar, masyarakat yang apatis terhadap rejim yang korup, sikap oportunis dalam Pilkada, Pimpinan yang otoriter dan hanya mementingkan diri sendiri, adalah sekelumit contoh atas situasi yang tiap hari kita hadapi. Situasi tersebut, terkadang membuat kita marah dan berkeinginan memperbaikinya ke arah yang benar. Karena tampak bengkok, menyimpang, kita lalu mau meluruskannya ke arah yang kita anggap benar menurut aturan yang ada, maupun kondisi ideal.

Memperbaiki situasi tersebut, pastilah tak gampang. Sebab kita keluar dari wilayah kita dan memasuki wilayah lain di luar diri kita. Mungkin kita bermaksud mendorong anak menjadi rajin belajar, menganjurkan masyarakat agar turut memberantas tindakan korupsi dan seterusnya. Kita lantas berusaha dengan berbagai cara. Mungkin dengan membujuk, memberi pencerahan, mengancam, menggugah kesadaran iman, dan sebagainya. Tapi setelah berusaha cukup lama dan belum tampak adanya tanda-tanda perubahan, kita merasa capek dan akhirnya mengucapkan kata-kata seperti disebutkan di bagian awal sebagai wujud rasa frustrasi.

Daya Jangkau

Mengapa gagal? Nampaknya, kesalahannya terletak pada cara pandang terhadap diri kita dan situasi yang kita hadapi. Kita tidak sadar bahwa daya jangkau dan kontrol kita di kedua wilayah yang ada sangat terbatas. Kekuatan pengaruh kita hanya terbatas dalam lingkup diri sendiri. Itu pun tidak sepenuhnya. Memperbaiki keburukan diri sendiri saja, terkadang bukan cuma sulit. Tapi sering gagal kita lakukan. Itulah sebabnya mengubah situasi yang letaknya di luar diri kita mustahil dilakukan.
Memperbaikinya secara paksa, bisa saja berhasil. Tapi itu tidak pernah permanen. Hanya sementara. Yang muncul biasanya terbatas pada perbaikan kulit luar. Bukan pada inti masalah. Buktinya, manakala kekuatan kita memaksa berkurang, situasi yang pernah ada kembali muncul.

Itulah sebabnya mengubah anak malas menjadi rajin belajar, masyarakat apatis menjadi optimis dan proaktif, pimpinan yang korup, otoriter, menjadi jujur dan demokratis tak ubahnya upaya mejaring angin. Pasti gagal. Mengubah manusia, tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Ia tidak sama seperti benda mati. Memperbaiki pakaian yang salah ukuran atau model, bisa dilakukan dengan meminta jasa tukang jahit atau memperbaikinya sendiri. Sebagai benda mati, pakaian tidak pernah berbuat lain di luar apa dikehendak pemilik atau penjahit.

Jika demikian, apakah kita tak perlu berbuat apa-apa? Tentu tidak. Malahan kita harus melakukan banyak hal. Harus berjuang. Tapi, bukan mengubahnya dengan cara kita seperti yang biasa atau pernah kita lakukan atas diri sendiri. Sebab orang lain itu, bukan diri kita. Oleh karena itu, kemungkinan yang perlu kita lakukan ialah sebatas diri sendiri dulu. Kita perlu terus-menerus memperbaiki diri sendiri. Cara berpikir, bersikap, cara pandang atas masalah, dst. Kedua, secara terus-menerus berupaya memperluas daya jangkau pengaruh atau kontrol kita atas situasi. Ini pun tidak dengan paksa. Istilah kerennya, kita hanya perlu menciptakan situasi, yaitu “Janganlah jemu-jemu berbuat baik” seperti saran Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia.

Menunjukkan Contoh

Itu artinya bahwa mengubah anak malas menjadi rajin belajar, bukanlah dengan menyuruh, memerintah, atau memaksanya membuka buku atau mengerjakan tugas sekolah. Tak perlu kita terus berkata, “Hei jangan malas-malasan! Untuk menjadi orang besar, kamu harus rajin belajar,” yang terkadan disertai sejumlah petunjuk dan contoh orang sukses. Melainkan cukup dengan menunjukkan tingkah laku rajin. Memraktekkannya terus-menerus setiap hari di depan si anak. Mungkin dengan membaca buku, majalah, koran secara teratur dan terjadwal tiap hari. Atau belajar tentang apa saja yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup. Bisa saja menyangkut pengetahuan umum atau yang berkaitan dengan pekerjaan.

Di samping itu, bisa ditambah dengan membuat kesepakatan-kesepakatan dengan si anak. Tentang cita-cita dan kegiatan yang perlu dilakukan guna mewujudkan atau memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan diri sendiri dan keluarga. Juga tentang kesediaan menerima masukan, kritik terhadap diri, sikap, cara berpikir, dan konsistensi dalam melakukan apa yang telah disepakati, dsb.

Manakala anak melanggar atau melakukan sesuatu menurut caranya sendiri di luar kesepakatan, kita tak perlu cepat-cepat menyalahkan, menghakimi. Kita harus sadar bahwa diri kita dan cara yang baik bagi kita tidak selalu sama dengannya. Perlu diinsafi pula bahwa di balik cara dan tingkah lakunya yang tampak ada sejumlah faktor pendorong yang ada dalam dirinya yang kita tidak tahu. Begitu banyak fakta tersembunyi di balik fakta yang tampak. Maka, sepanjang tindakannya masih berada pada arah yang diharapkan, kita tak perlu memaksakan satu cara yang menurut kita benar, termasuk yang telah disepakati. Sebab hal itu bisa saja kurang tepat, bahkan salah. Kuncinya ialah kita perlu selalu terbuka dan berusaha memahami si anak dari berbagai posisi cara pandang.

Lalu bagaimana dengan sikap masyarakat yang apatis? Rejim yang korup atau pimpinan yang otoriter? Jawabnya sama. Jangan pernah bermimpi mengubah mereka. Sebab hal itu merupakan sesuatu yang mustahil. Mereka hanya mungkin berubah, kalau mereka sendiri memutuskan untuk mengubah diri mereka ke arah yang benar.

Jangan ceramahi mereka tentang kebaikan. Itu mereka sudah tahu, hanya saja belum mau melakukannya. Jangan ajar mereka tentang kebenaran, kejujuran, perhatian terhadap sesama dan keadilan. Itu juga mereka paham, cuma masih ogah mempraktekkannya.

Kalau mau mereka berubah, mari kita tolong mereka dari sisi diri sendiri. Caranya? Cukup dengan membangun persahabatan, bukan peperangan, tanpa mengikuti kebiasaan mereka. Mendekati mereka, bukan menjauhi. Pada saat yang sama, secara konsisten dan terus-menerus, kita memraktekkan tingkah laku yang benar, jujur dan adil, walaupun hidup ditengah-tengah ketidakjujuran dan ketidakadilan. Karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Menuai berarti mendapatkan hasil. Tapi, ini, ada catatannya : JIKA KITA TIDAK MENJADI LEMAH.

Sekali lagi, jika kita tidak menjadi lemah! Nah...siapkah?