Sabtu, 01 Desember 2012

RESIKO KULIAH PADA PROGRAM STUDI DI LUAR DOMISILI PTS



Oleh Yosafati Gulo

Makin tingginya gairah lulusan SMA-SMK di kepulauan Nias untuk kuliah pada pergurun tinggi (PT) tiap tahun tentu bagus. Merupakan indikasi kian tingginya  kesadaran masyarakat Nias tentang pentingnya peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup. Banyak siswa belum puas bila hanya lulus SMA atau SMK. Orang tua juga begitu. Mereka berusaha keras agar si buah hati bisa sekolah di PT dan meraih gelar sarjana.

Dengan berbagai pertimbangan, para lulusan SMA-SMK yang jumlahnya lebih dua ribuan tiap tahun, hanyalah ratusan yang bisa masuk PT bermutu di Sumatera atau di Jawa. Ribuan di antaranya tinggal di Nias. Sementara IKIP Gunungsitoli, STIE Pembangunan dan beberapa PTS lain yang berijin tak mampu menampung lulusan SMA-SMK tersebut.

Keadaan itu menarik minat banyak PTS dari luar Nias untuk membuka program studi yang dinilai prospektif. Beberapa di antaranya ialah Sekolah Tinggi Teknik (STT) Poliprofesi, Politeknik Poliprofesi, Akademik Manajemen dan Teknik Informatika (Amik) Universal, STT Universal, dan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Apignosis (NBC,9/9/2011).

Niat Baik

Katakanlah para lulusan SMA-SMK itu ingin belajar di program studi tertentu karena dorongan meningkatkan kualitas diri. Katakan pula bahwa PTS yang membuka program studi tersebut memiliki niat baik untuk berpartisipasi mencerdaskan anak-anak bangsa di Nias. Lalu dengan niat baik itu, kendati belum punya gedung sendiri, dan dosen berkualifikasi secara memadai mereka “mengabdikan diri” untuk bersusah-susah meninggalkan kenyamannya di Medan.

Namun dengan sedikit mengintip berbagai ketentuan penyelenggaraan pendidikan di PT, kita perlu bertanya apakah niat baik dari para pihak itu sudah cukup? Apakah niat baik itu kelak akan berakhir dengan kebahagiaan bagi para pihak (lulusan dan PTS penyelenggara)? Atau jangan-jangan sebaliknya, berujung pada penyesalan?

Untuk menjawab soal-soal itu, mari kita soroti dari sisi ketentuan hukum yang berlaku di PT di Negara RI. Sebut misalnya beberapa ketentuan dalam PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan jo PP 66 Tahun 2010 tentang perubahan PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, kemudian PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendikbud No 20 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Program Studi di Luar Domisili PT.

Dalam Peraturan di atas, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh sebuah PTS yang hendak menyelenggarakan pendidikan tinggi di luar domisili (kampus induknya). Pasal 89 PP No 17 membolehkan PT membuka program studi di luar domisili. Tapi ini tidak boleh suka-suka atau berdasarkan niat baik saja. Pasal 2 dan 3 Permendikbud  No 20 Tahun 2011 telah menetapkan sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi.

Beberapa hal perlu disebutkan di sini. Pasal 2 ayat (1) menyasaratkan adanya akuntabilitas publik perguruan tinggi dengan mutu setara dengan program studi yang sama di domisili perguruan tinggi tersebut. Ayat (2) menekankan kemampuan dan komitmen perguruan tinggi untuk mempertanggungjawabkan kegiatan tridharma perguruan tinggi kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) menekankan perbandingan ratio dosen-mahasiswa, kapasistas sarana-prasarana, larangan komersialisasi, laporan keuangan yang transparan dan diaudit oleh akuntan publik, dst.

Pada Pasal 3 ketentuannya lebih rinci lagi. Ada 17 butir ketentuan yang harus dipenuhi oleh PTS. Di antaranya, harus ada ijin Dikti dan telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis 5 (lima) tahun perguruan tinggi penyelenggara, didukung oleh Pemerintah Daerah, jumlah dosen berkualifikasi S2 minimal 6 (enam) orang, kurikulumnya sama dengan di kampus induk, status akreditasi Program Studi penyelenggara harus A, memiliki kampus sendiri baik milik sendiri maupun sewa selama minimal lima tahun dengan ukuran rata-rata 2m2 ruang belajar per mahasiswa dan ruangan dosen 4 m2 perorang, dan seterusnya.

Dengan ketatnya ketentuan tersebut, maka Universitas Negeri terbaik di tanah air pun tidak banyak yang membuka program studi di luar domisilinya. Mereka sadar bahwa pembukaan program studi di luar domisili sama halnya mendirikan perguruan tinggi baru dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.

Resiko Bagi Lulusan

Herannya, beberapa PTS yang disebutkan di muka cukup berani menyelenggarakan program studi di Nias. Dibandingkan dengan USU Medan, Unimed, atau UI, ITB, UGM dan seterusnya, status akreditasi PTS-PTS tersebut agaknya tidaklah sebaik PTN di atas. Data PTS Wilayah I Medan yang bersumber dari Dirjen Dikti, Badan Akreditasi Nasional PT (http://www.pts.co.id), menyebutkan dari lima program studi yang diselenggarakan Politeknik Poliprofesi (Teknik Informatika, Teknik Komputer, Manajemen Informatika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris), hanya Program Studi Bahasa Inggris berakreditasi B, Teknik Komputer belum terakreditasi, sementara lainnya hanya C.

Bagaimana dengan STT Poliprofesi? Ternyata sama saja. Tiga program studi STT Poliprofesi di Medan (Teknik Elektro,Teknik Industri, dan Teknik Informatika), hanya Teknik Informatika yang berakreditasi C. Dua lainnya belum terakreditasi.  Teknik AMIK Universal, juga demikian. Dua program studi (Teknik Informatika dan Manajemen Informatika) AMIK hanya terakreditasi C. Dan, yang lebih merisaukan ialah dua PTS lain yang beroperasi di Nias : STT Universal dan STIMIK Apignosis tidak tercatat di data Dikti.

Pertanyaannya, apa resiko kalau para mahasiswa nekat sekolah di PTS tersebut? Apakah kesepakatan dengan mahasiswa seperti yang dibuat oleh Yayasan Poliprofesi bisa memberikan jaminan? Menurut Pasal 86 ayat (1), (2), (3), Pasal 87 ayat (2) serta Pasal 94 huruf b PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kesepakatan tersebut tidak memiliki nilai apa-apa. Yang penting baginya ialah keharusan akreditasi. Dan karena program studi itu di luar domisili, maka akreditasi yang dituntut haruslah A.


apakah para mahasiswa di PTS tersebut hanya sekedar sekolah untuk sebuah gelar? Ataukah ada niat mengunakan ijazahnya kelak untuk mendapatkan efek sipil dalam mencari kerja? 


Kalau nekat, tentu saja PTS bisa mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Tapi ini bukan tanpa resiko. Dirjen Dikti telah menegaskan melalui surat edarannya kepada seluruh PTN-PTS No 2428/D/T/2008 dan surat Badan Kepegawaian Negara No K 26-30/V 97-8/57 tahun 2004 yang menegaskan dua hal. Pertama, ijin menyelengarakan program studi dari Dikti merupakan pengakuan sahnya program studi. Kedua, lulusan dari program studi yang tak terakreditasi tidak memiliki efek sipil (sah) dari ijazah yang diperoleh. Ini artinya bahwa sekalipun mahasiswa lulus dengan cumlaude dari sebuah PTS tak terakreditasi, ijazahnya tidak diakui oleh Dikti dan Badan Kepegawaian Negara.

PTS yang nekat melangar ketentuan tersebut, tentu memiliki sanksinya sendiri dari Dikti. Bisa berupa pencabutan ijin operasional, dihentikannya berbagai bantuan, sampai pada penutupan bila tetap bandel.
Pertanyaan saya, apakah para mahasiswa di PTS tersebut hanya sekedar sekolah untuk sebuah gelar? Ataukah ada niat mengunakan ijazahnya kelak untuk mendapatkan efek sipil dalam mencari kerja? ***

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Ini Menarik pak..
tapi pertanyaan saya kenapa pemerintah (bidang pendidikan) di Nias tidak turun tangan dalam hal ini, sehingga masalah ini cepat terselesaikan,,

Yosafati Gulo mengatakan...

Tentu saja banyak sebabnya. Bisa jadi karena terlalu fokus pada tugas-tugas rutin. Boleh jadi juga karena belum menyadari sepenuhnta kewenangan pemerintah daerah dalam mengontrol pendidikan di daerahnya. Dan banyak lagi. Tapi yang paling menyedihkan ialah kalau pemerintah daerah tidak bertindak karena ketidakpedulian para pejabat atas resiko yang akan ditanggung rakyat Nias kelak. Saya harap bila ada pejabat yang membaca tulisan ini, mau mengambil tindakan sesuai dengan kewenangannya.

Robin Solala mengatakan...

Kelanjutan kasus ini gimana ya Om, apakah PTS tersebut sudah berhenti menyelenggarakan KBM atau belum?

Yosafati Gulo mengatakan...

Ini yang membuat kita penasaran. NBC pernah memberitakan bahwa Walikota sempat mengeluarkan surat larangan kepada STT Poliprofesi, tapi tidak dihiraukam. Malahan pada pihak yayasan mengeluarkan surat pernyataan bahwa mereka akan bertanggung jawab. Tanggung jawab macam apa tidak jelas. Bagaimana kalau seseorang sudah lulus lalu diberi ijazah, tapi ijazahnya tidak diakui, lalu siapa yang bertanggung jawab?

F. Nefos Daeli mengatakan...

Minat pelajar Nias untuk mengejar pendidikan tinggi (formal) begitu tinggi. Tidak hanya di Pulau Nias, tetapi juga di daerah lain, bukan hanya PTN tetapi juga PTS, khususnya bagi keluarga yang mampu. Namun demikian, komunitas Nias kurang kritis terhadap status PTN dan PTS tersebut, apalagi men-trace "track record" perguruan tinggi tersebut. Prinsip umum yang terjadi adalah "yang penting sekolah". Walaupun demikian bagi saya, Prinsip itu adalah "gambling"; ya kalau memang track bagus, kalau "tidak", komunitas Nias hanya "terhibur" dengan janji manis PT, untuk segera memenuhi persyaratan minimal. Prinsip demikian juga kalau didalami lagi adalah pencerminan dari kehidupan sesehari komunitas Nias, yang lebih mengedepankan "bahasa tutur", dan segala sesuatu bisa diatur. Persyaratan, mekanisme dan administrasi tidak menjadi utama dalam aktivitas sehari2.

Perlu juga diberi catatan terhadap perguruan tinggi yang membuka kegiatan belajar-mengajar di Nias, bukan domisili. Motivasi komersialisasi cukup menonjol. Dari sisi finansial berapa dana yang diperoleh dari biaya yang disetor mahasiswa (dan keluarga) tanpa menunjukan usaha serius memenuhi kewajiban sebagaimana disyaratkan Kemendiknas.

Pemda juga memiliki kontribusi yang tidak kurang juga terhadap keadaan ini. Pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengontrol, bahkan memaksa, perguruan tinggi seperti ini tidak diijinkan, dan bisa dilaporkan kepada Kepolisian sebagai perbuatan kriminal. Tetapi lagi-lagi segala sesuatu bisa diatur, dengan alasan keluarga, hubungan baik dan apalagi uang, kewenangan memaksa ini tidak terjadi. Sepertinya Pemda "menutup mata" terhadap perbuatan kriminal tersebut, dan tidak mengedepankan masa depan mahaiswa (korban) dari perguruan tinggi itu yang "asal-jalan"

Kita sungguh prihatin dan malu!

Yosafati Gulo mengatakan...

Pak Nefos, saya melihat solusi yang segera ditempuh pemerintah daerah untuk merespon kebutuhan masyarakat Nias atas pendidikan tinggi adalah pendirian universitas. Mengingat tingginya jumlah lulusan SMA-SMK tiap tahun di Nias, saya yakin peluag itu dapat disetujui Dirjen Dikti.

Saya agak heran aja, mengapa para Bupati dan Walikota tidak melihat faktor pendidikan tinggi sebagai upaya untuk mengakselerasi pembangunan. Mestinya hal itu dlihat jauh lebih bermakna daripada pembagunan fisik.

Yosafati Gulo mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.