Senin, 25 Januari 2010

Jangan Berjuang Sendiri

Banyak yang berpikir bahwa hidup ini adalah milik diri sendiri. Atas pandangan itu, orang berusaha mati-matian bekerja, belajar, atau melakukan apa saja yang mendatangkan keuntungan atau nilai tambah bagi diri sendiri.

Dalam dunia usaha umpamanya, segala cara ditempuh, termasuk menyogok atau korupsi untuk mencapai keberhasilan usaha. Dalam salah satu tulisannya Kwik Kian Gie pernah memberikan ilustrasi bagus bagaimana para konglomerat mengembangkan usaha dengan hanya modal dengkul. Pinjam di bank sana-sini dengan agunan usaha yang barusan didirikan (katakanlah pabrik tertentu), padahal utang pada saat mendirikan usaha itu sendiri belum lunas di bank lain. Praktik ini bisa lolos dan si koonglomerat masih bisa mendapatkan pinjaman bank karena memberikan "service" kepada para pengambil keputusan di bank bersangkutan.

Bukan cuma itu, tenaga kerja di berbagai pabrik yang didikan dengan modal dengkul tadi ditekan habis-habisan dengan berbagai ketentuan sehingga walaupun gaji kecil mereka tetap bekerja. Di satu sisi, si pengusaha terus bisa mendapatkan untung besar. Usaha makin berkembang, makin jaya saja. Sebagian di antaranya dengan segera dapat melunasi pinjamannya di bank, walaupun ada sebagian lainnya yang macet. Di sisi lain, kondisi tenaga kerja tidak berubah. Malahan nampak makin memburuk karena perkembangan bayaran tidak seimbang dengan lonjakan kenaikan harga kebutuhan hidup. Tapi, dengan sulitnya kesempatan kerja, tenaga kerja tersebut, sekalipun menderita, mereka tetap bekerja. Sebenarnya mereka protes,. Menentang. Sayang bahwa protes itu sebagian besar hanya dalam hati saja.

Belakangan, kesadaran dan keberanian tenaga kerja memang mulai tampak. Cuma belum merata. Di tempat-tempat tertentu, tenaga kerja mulai berani protes secara terang-terangan. Mereka melampiaskannya dalam bentuk mogok kerja seraya menuntut hak-hak mereka kepada pemilik pabrik. Tidak sedikit pula di antaranya yang melakukan perusakan-perusakan. Entah itu alat-alat kerja, kantor, dan fasilitas perusahaan. Mereka melakukan hal itu untuk melampiaskan kejengkelan kepada pemilik pabrik karena merasa bahwa tenaga mereka terus-menerus diperas tanpa imbalan setimpal.

Sialnya protes para tenaga kerja sering gagal. Banyak sebab. Yang jelas, bahwa pemilik perusahaan sudah sangat biasa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang pasti dihadapi. Simpul-simpul perjuangn tenaga kerja biasanya sdah diketahui duluan sehingga mudah baginya mengatasi. Belum lagi karena pimpinan informal tenaga kerja sering dibungkam dengan berbagai cara oleh pemilik perusahaan. Pada pihak lain, tenaga kerja juga terkadang capek protes. Lebih-lebih karena sering ada "penjilat" yang akhirnyanya mementahkan perjuangan semula.

Al hasil, si pengusaha tetap berada di atas angin. Dia menjulang sendiri sementara tenaga kerjanya tetap berada di bawah. Ia tetap jaya secara ekonomi walaupun ia terus menerus menderita secara psikologis. Mengapa bisa begitu? Karena si pengusaha hanya mau berjuang sendiri untuk kepentingan hidupnya sendiri. Juga karena ketiadaan konsistensi di kalangan tenaga kerja. Pada mulanya mau berjuang bersama, tetapi di tengah perjalanan berjuang sendiri-sendiri.

Jika kondisi ini terus-menerus dipertahankan, maka rasa aman dan kesejahteraan tidak bakalan dicapai baik oleh pengusaha maunpun oleh tenaga kerja. Inikah yang kita mau?

Tidak ada komentar: