Rabu, 10 Agustus 2011

ORANG - ORANG SAKIT

Tanggal 2 Agustus 2011, ada berita bakar-bakar lagi. Tapi ini bukan bakar rumput
atau sampah. Tapi bakar gedung gereja. Ini terjadi di Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Sengenge Riau. Yang dibakar kali ini adalah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang dilakukan sekelompok massa --entah dari mana-- menjelang tengah malam sehari sebelumnya. Diberitakan, ada sekitar 100 orang yang datang ke gereja GBKP sempat mengancam jemaat dengan menggunakan pisau sebelum menyiram bensin ke gedung gereja lalu menyulutnya dengan api. Ada kemungkinan juga bahwa massa itu pulalah yang membakar gedung gereja Pantekosta yang jaraknya kira-kira 5 km dari GBKP. Berita selengkapnya dapat dibaca di sini.


Bingung

Membaca berita tersebut, saya sendiri jadi bingung. Mengapa ada orang yang suka bakar-bakar gedung gereja? Mengapa tidak bakar kayu bakar saja di dapur untuk memasak. Itu lebih penting buat keluarga sendiri dan tidak menyusahkan orang lain. Kalau belum puas juga bolehlah bakar sampah di tempat pembuangan sampah. Ini lebih perlu bagi orang banyak. Tidak ada yang disusahkan.

Kalau hobinya bakar-bakar, mestinya hobi itu disalurkan jadi usaha. Misalnya saja usaha ayam bakar, ikan bakar, jagung bakar, dst. Ini mendatangkan uang buat menyejahterakan keluarga sekaligus memuaskan pelanggan. Tapi jangan batu bakar atau pisau bakar. Juga jangan gedung gereja bakar. Itu bukan makanan. Memaksa diri membakar gedung gereja, saya jamin tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Ayah-ibu sendiri tidak bakalan tambah sehat atau tambah bijak. Mereka malah bisa batuk-batuk, sesak nafas, dan akhirnya jatuh sakit karena menghirup asap gedung gereja.

Saya berani taruhan bahwa para pembakar gedung itu, teman-teman sesama manusia, tak mendapatkan apa-apa. Tambah pintar? Tidak. Tambah penghasilan ? Juga tidak. Paling banter, yang didapatkan secara langsung adalah rasa was-was, lelah, rasa takut ketahuan, dst. Oh ya, mungkin juga ada juga yang didapatkan, yaitu rasa puas karena berhasil menyusahkan orang lain. Pertanyaan saya, apakah ini yang diajarkan dalam agama anutannya? Inikah pendidikan orang tua dan sekolah mereka sebelumnya? Saya sendiri tidak tahu. Ada pembaca yang bisa bercerita tentang ini?

Perlu Dikasihani

Pertanyaan saya selanjutnya ialah apa sebenarnya yang tidak disukai oleh teman-teman sesama manusia itu? Apakah gedung gerejanya, ataukah ajaran Kristennya, ataukah orang yang percaya kepada Kristus? Kalau gedung gereja, rasanya tak beralasan. Karena gedung adalah benda mati. Tidak pernah mengganggu siapa pun, termasuk teman-teman kita yang membakar gedung gereja itu.

Kalau ajaran Kristen, mestinya juga tidak mengganggu. Ajaran Kristen adalah benda mati. Ia tidak merampok atau membunuh. Ia diam saja dalam buku-buku dan hati. Kalau ia terasa hidup, bukan karena dirinya sendiri. Tapi karena ia dipakai untuk memperbaiki kelakuan, hati, dan pikiran. Ia diberitakan kepada yang mau. Terutama orang yang percaya kepada Kristus dan orang lain yang berkenan mendengarkan. Sebagai berita, ajaran Kristen tidak pernah memaksa. Apalagi memerkosa. Ia tidak otoriter. Ia sangat toleran bahkan memberi kebebasan sebebas-bebasnya bagi pendengar. Mau percaya dan anut, boleh. Mau menolak percaya juga oke!

Sikap ini memang sudah dipesan Tuhan kepada kita semua yang ada di bumi ini melalui contoh perilaku-Nya sendiri. Tuhan tidak otoriter. Ia tak pernah memaksa siapa pun untuk percaya kepada-Nya. Memaki-maki Tuhan —kalau mau— Ia tak ambil pusing. Silahkan saja. Dia toh berkata, apa yang ditabur orang, itu pula yang dituainya.
Kalau ada orang non Kristen yang tergerak, merasa terpanggil dan percaya kepada Kristus setelah mendengarkan ajaran Kristen, itu bukan salahnya gedung gereja. Bukan salah yang mendengarkan atau yang menyampaikan ajaran Kristen. Dan memang tidak ada kesalahan di situ. Barang siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar, karena telinga memang alat yang tepat untuk mendengar. Tapi kalau telinga hanya dipajang sebagai hiasan kepala, atau dipakai untuk mencium, dan mata dipakai untuk mendengar, ya, sampai mati juga tidak pernah bisa.

Menurut saya justru merekalah yang benar. Mereka telah menggunakan telinga yang memang diberikan Tuhan khusus untuk mendengar. Ini perlu ditiru. Ketertarikan mereka pada ajaran Kristen, semestinya dilihat sebagai sebuah tantangan bagi ajaran agama asal mereka. Dijadikan alat untuk evaluasi diri dan evaluasi ajaran. Mereka mungkin bosan atau takut menyaksikan kerajinan teman-teman seagamanya bakar-bakar, bunuh-bunuh. Itulah sebabnya mereka berpaling muka dari agama anutan sebelumnya, kemudian menjadi gemar mendengarkan ajaran Kristen yang mengedepankan kasih, tanpa bakar-bakar, dan bunuh-bunuh sesama.

Kalau disebabkan oleh perilaku orang yang pecaya Kristus (orang Kristen), misalnya mereka mengganggu ketertiban teman-teman sesama manusia itu, atau komunitas mereka, dst., itu juga tidak bisa disamakan dengan gedung gereja. Gedung gereja tidak salah. Maka ia tak perlu dibakar. Semestinya pribadi-pribadi yang mengganggu itu sajalah yang perlu disoal. Tapi tidak harus dibakar atau ditusuk pakai belati. Sebagai orang normal di atas bumi yang punya ketentuan hukum, ya, tuntut pakai jalur hukum saja. Membakar gedung gereja karena tindakan seseorang yang beragama Kristen dianggap mengganggu orang non Kristen, adalah keliru. Sama halnya mengebom kota Jakarta hanya karena ada koruptor di situ. Atau membakar Mesjid hanya karena beberapa orang Muslim berbuat tak senonoh. Atau membakar rumah sendiri hanya karena tindakan ayah ibu sendiri tidak sesuai keinginan.


Saya berpendapat bahwa teman-teman sesama manusia itu, tidaklah memiliki alasan pembenaran apa pun untuk membakar gedung gereja. Dari sisi ajaran agama mereka, rasanya tidak ada. Juga dari sisi pendidikan sekolah dan keluarga mereka. Oleh karena itu, tidak ada kata yang pantas dipakai untuk menyebut mereka, yang suka bakar-bakar, selain mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang sakit yang perlu diobati, dikasihani, didoakan. Bukan dijauhi atau dimusuhi. Saya harap, pembaca berkenan turut menundukkan kepala dan berdoa untuk mereka.

Tapi itu, tentu belum cukup. Kita perlu minta bantuan penegak hukum agar penyakit mereka segera dicegah agar tidak makin menjalar. Tidak terus mengganggu ketenangan sesama manusia lain di luar kelompoknya di atas bumi Indonesia. Jika penegak hukum terus lalai, saya kuatir bahwa pada saat tertentu, mudah saja bagi setiap orang membantai sesama manusia atau bakar-bakar rumah penduduk, karena alasan yang bisa dikarang-karang. Dan ini bisa mengancam eksistensi kita sebagai bangsa dan sebagai manusia. Bukan tidak mungkin ada bangsa lain yang berkata bahwa bangsa kita tak lebih dari sebuah kawanan dengan sebutan manusia yang belum jadi manusia, tapi masih seperti manusia. Tentu saja kita tidak suka sebutan itu, bukan? ***

3 komentar:

Filipustian mengatakan...

Dari dulu pembakaran gereja terus menerus, dan seingat saya jarang kasus seperti ini dituntaskan, atau mungkin memang tidak mau ada yang menuntaskan.

Entah permasalahan dimulai dari apa, tapi yang jelas pembakaran gereja yg bisa dikatakan icon orang2 kristen. Ini pluralisme yg di bangga2kan bangsa ini?

Anonim mengatakan...

Kata yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini adalah Kelangkaan Kebebasan Beragama. Negara semakin lemah dalam mewujudkan eksistensinya. Negara sibuk sekali untuk mengurus citra diri dan kelompok partai penguasa, akhirnya lupa dengan percikan-percikan konflik agama. Semenjak era 1990-an sampe 2000-an ini, nampaknya negara terus menerus melupakan kasus-kasus konflik ini. Padahal dengan UUD 1945 Pasal 29, Negara sangat menjamin kebebasan beragama. Namun dengan "gagah" pula Negara menyangkal ini semua.

Berikutnya adalah bagaimana setiap warga negara harus memandang warga negara lain yang memiliki hak untuk memeluk agama dan menjalankan ajaran agamanya. Sebagian warga negara menjadi orang barbar tanpa mau peduli bahwa ada hukum di negara ini. Memandang sesama warga negara yang berbeda agama sebagai teror "agama" sepertinya merupakan ketakutan yang tidak beralasan. Maka sebetulnya ini merupakan akan kelemahan penegakkan Pancasila di negara ini.

Yosafati Gulo mengatakan...

Tian, Edho, terimakasih. Nampaknya, persoalannya jadi rumit karena pemerintah tunduk pada kekuatan mayoritas, tidak tunduk pada hukum dan undang-undang. Undang-undang, hukum dibiarkan kesepian di lembaran-lembaran buku. Fungsi hukum dan undang-undang diserahkan di tangan mayoritas. Maka yang terjadi adalah hukum rimba.

Dalam hukum rimba, hak asasi manusia dirampas seenaknya oleh mayoritas karena merasa diri paling punya hak. Tidak disadari bahwa hak itu pemberian Tuhan secara sama bagi setiap manusia.

Pada titik inilah sebetulnya diperlukan peran negara dan pemerintah. Paling tidak, ia jadi wasit dan menegur, menghukum mereka yang sewenang-wenang. Tapi itu tidak dilakukan karena ketundukan tadi ternyata bukan tunduk sungguhan. Malahan bersengkongkol dengan para pembuat kerusuhan. Kalau sudah begini, apakah kita masih percaya pada apa yang disebut pemerintah?