Oleh Yosafati Gulo
Tulisan Badrul Taman (BT) di Voa Islam berjudul ‘Nasihat Kepada Keluarga Gus
Dur yang Ikut Kebaktian Natal”, tanggal 26 Desember 2011, bagi
saya sangat menarik. Bukan cuma karena judulnya yang terkesan sangat moralis,
tapi karena isinya makin menolong saya untuk memahami varian lain keyakinan seorang
Islam tentang agamanya dan caranya melihat agamanya, agama lain, Tuhannya dan
Tuhan pada agama lain.Tulisan utuh BT dapat dibaca di sini.
Pada bagian awal, BT membeberkan surat Al Ikhlas, yang dilukiskannya
sebagai surat yang sangat pendek dalam Al-Qur’an namun memiliki keutamaan yang luar biasa karena menyamai sepertiga
Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam Shahihain. Dikatakannya, bahwa isi Al-Qur'an
terdiri atas tiga bagian, yaitu sepertiganya membicarakan hukum, sepertiga
kedua tentang janji dan ancaman, dan sepertiga terakhir menjelaskan tentang
nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Bagian terakhir inilah yang dihimpun dalam
surat Al-Ikhlas.
Sumber : google |
Dengan mengutip Al-Qur’an BT lalu berkesimpulan bahwa orang yang menyebut
Al Masih, putra Maryam, Yesus Kristus, sebagai Allah adalah kafir. Terhadap
orang seperti ini, orang Islam harus tegas dan jelas dan menjauh mereka. Sebab tindakan
itu adalah tindakan batil yang menyakiti hati Allah dan membuat Allah murka. Sayang,
katanya, bahwa prinsip itu
tidak dipahami oleh keluarga besar mendiang mantan Presiden Indonesia, KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Inayah Wahid dan Lily Wahid yang hadir memberikan dukungan kepada jemaat
GKI Yasmin dalam perayaan natal adalah sebagai tindakan sesat. Bahkan
disebutnya sebagai terlalu bodoh atau putra-putra bodoh atau sengaja membodohi
dirinya dalam memahami persoalan prinsip dalam agama Islam. Pernyatan itu
ditulisnya dalam huruf-huruf kapital tebal.
Bersamaan dengan itu BT juga menilai keyakinan umat Kristen dan
ke-Tuhanan-an Tuhan yang difahami orang Kristen, Trinitas, sebagai tindakan mencela
Allah. Atas kehadiran Inayah dan Lily Wahid pada perayaan Natal GKI Yasmin itu,
BT kemudian menulis, “Bukannya melarang umat Kristen berlaku kurang ajar
kepada Allah dan mendakwahi mereka untuk insaf dari kesesatannya, eh malah
keduanya ikut-ikutan merayakan hari raya batil mereka.”
Ukurannya
tidak sinkron
Ada beberapa hal yang menggoda pikiran saya dalam tulisan
itu. Pertama, ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengukur Islam, Kristen, dan
pristiwa ikutnya Lily Wahid dan Inayah Wahid memberikan dukungan kepada Jemaat
GKI Yasmin adalah ukuran Islam dan cara berpikir Islam dengan paradigma
keyakinan Islam versi BT. Ini perlu ditegaskan karena Islam menurut –paling tidak--
versi keluarga Mendiang Gus Dur, Inayah dan Lily Wahid, berbeda dengan BT. Saya
pun yakin bahwa orang Islam yang lain punya versi lain juga yang bisa sama
mapun berbeda dengan versi BT atau Inayah dan Lily Wahid.
Secara logika, cara berpikir dan pemakaian ukuran versi BT itu,
sama dengan mengukur beratnya sebuah
benda dengan menggunakan alat ukur meter, yang
normalnya dipakai untuk mengukur panjang. Atau mengukur kecepatan laju
kendaraan di jalan raya dengan menggunakan liter atau timbangan, yang normalnya
dipakai mengukur volume dan berat. Pemakaian alat ukur semacam ini bukan cuma
keliru, tidak sinkron, tapi menyesatkan. Dengan menggunakan alat ukur seperti
itu sudah pasti bahwa hanyalah pandangan Islam anutan BT yang benar. Lainnya
salah semua! Ah... masa ia sih?
Kedua, pernyataan bahwa Inayah Wahid dan Lily Wahid adalah
sesat, serta penilaian keyakinan Kristen tentang Trinitas sebagai mencela Allah,
merupakan klaim bahwa Allah bisa diklaim dan dikurung dalam sebuah pandangan
dan keyakinan manusiawi. Nampaknya BT lalai menyadari bahwa setinggi apa pun iman manusia kepada Tuhan,
pengetahuan yang diperoleh dari iman itu tetap saja terbatas, sebatas
batas-batas kemanusiaan manusia. Tuhan dengan segala kompleksitas dan
kesempurnaan-Nya, tak pernah dapat difahami oleh manusia. Manusia dengan iman
setingggi langit dan sedalam lautan pun tak ada yang dapat mengurung Allah,
Tuhan, sebatas apa yang dipikirkan atau diyakininya tentang Allah, Tuhan.
Ketiga, BT nampaknya berpikir bahwa Tuhan yang disembah umat
Islam dan yang disembah orang Kristen adalah Tuhan yang sama. Oleh karena itu,
ia menganggap orang Kristen kurang ajar terhadap Tuhan ketika menyebut Tuhan
Tri Tunggal, apalagi dengan dipakainya istilah Anak kepada Yesus.
Dikatakannya, “di antara bentuk kekufuran yang paling besar adalah ucapan orang Kristen bahwa Allah punya anak, dia mati, Dia satu dari tiga (trinitas), Maha suci dan Mahatinggi Allah dari apa yang mereka tuduhkan kepada-Nya.” Saya kurang tahu apakah BT sempat berkonsultasi kepada Tuhannya sebelum mengambil kesimpulan ini sehingga ia tahu persis bahwa Allah marah. Jangan-jangan yang marah adalah BT saja, sementara Allah, Tuhan, senyum sinis kepada BT karena mengklaim kehendak-Nya sama dengan kehendak BT.
Yang saya tahu ialah bahwa di balik pikiran itu, terselip
anggapan bahwa BT merasa paling benar, paling beriman, dan paling dekat dengan
Tuhan dibandingkan dengan orang Kristen. Juga dibandingkan dengan Inayah dan
Lily Wahid. Karena itu, maka ia gerah bila Tuhan dihina, dicela oleh siapa pun.
Saking dekatnya, maka sikap “kurang ajar” orang Kristen terhadap Tuhan
diidentifikasi sebagai kekurangajaran terahdap dirinya juga.
Bagi saya, anggapan itu bukan saja aneh. Tapi merupakan
praktek nyata kesombongan keberagamaan. Sebab tidak ada seorang pun yang dapat
menjamins bahwa BT lebih beriman daripada Inayah dan Lily Wahid atau Pramono
Anung atau Megawati Sukarno Putri atau Rais PBNU,
Masdar F Masudi, atau Mahfud MD, dst.
Perlu kiranya difahami bahwa kendati orang Islam dan Kristen
atau agama lain sama-sama menyebut Tuhan untuk sesuatu yang mereka yakini
sebagai pencipta langit dan bumi dan segala isinya, serta juruselamatnya, tidak
berarti bahwa sosok yang mereka maksud sama atau tertuju pada sosok yang sama.
Nama boleh sama, tapi sosoknya lain. Sama seperti nama Soekarno yang bisa
ditemukan di mana-mana. Tidak berarti bahwa ketika orang menyebut nama
Soekarno, maka yang dimaksud adalah sosok mantan Presiden RI. Boleh jadi
Sokarno yang dimaksud Si A adalah memang mantan Presiden RI, tetapi yang
dimaksudkan Si B ialah seorang Kepala Sekolah Dasar di daerahnya. Maka kalau
orang Kristen menyebut –berdasarkan keyakinannya—Tuhannya adalah Tiga yang Esa,
Tri Tunggal, atau Trinitas, sama sekali mereka tidak bermaksud mencela Tuhan
yang diyakini orang Islam. Kekristenan sama sekali tidak punya ajaran dan
kebiasaan seperti itu.
BT nampaknya perlu sadar bahwa pemakaian istilah Tuhan Yang
Esa, sebagaimana dipahami di Indonesia bukanlah ke-Esa-an dalam arti satu sosok.
Melainkan ke-Esa-an dalam arti konsep, prinsip yang menggambarkan bahwa di atas
segala kemampuan manusia ada “SESUATU” yang MAHA di segala aspeknya. Kalau
sosok Tuhan dengan segala keberadaan-Nya itu sama dan ibadah mereka ditujukan
pada sosok yang sama, dengan pemahaman yang sama, saya kira tidak akan ada
perbedaan apalagi pertentangan dogmatik antara agama yang satu dan lainnya.
Orang beriman
Tapi katakanlah Tuhan yang disembah orang Islam, Kristen, Hindu,
Budha, atau penganut agama dan aliran kepercayaan lain umpamnya sama. Lalu di
antaranya misalnya ada yang sesat. Pertanyaanya, mengapa BT harus pusing dengan
kesesatan mereka? Andaikata karena kesesatannya mereka masuk neraka sekalipun
dan disiksa dengan SIKSAAN MAHA SEMPURNA, mengapa BT harus kelabakan? Bukankah
mereka sendiri yang nantinya menanggung akibat kesesatannya? Mestinya BT tak
perlu mencak-mencak. Sebab jika banyak yang di neraka dan dia sendiri atau
kelompknya yang berada di surga, mereka mendapat keleluasaan seluas-luasnya di
surga kelak untuk menikmati seluruh fasilitas surga sepuasnya.
Apakah BT, atau adakah di antara kita, manusia di bumi ini,
yang sudah diberi SK khusus oleh Tuhan untuk menghakimi orang-orang sesat?
Kapan kuasa itu diberikan? Di mana? Sejak kapan? Saksinya siapa? Ataukah itu
pesan kitab suci? Kitab suci yang mana? Lalu bagaiamana menjawab bila ada orang
Kristen mengatakan bahwa orang Islam, Hindu, Budha, atau aliran-aliran
Kepercayaan yang banyaknya tak terhitung itu adalah orang-orang sesat? Atau umat
Hindu dan Budha mengatakan hal serupa kepada umat Islam, Kristen? Atau aliran
kepercayaan berkata “selain kami semuanya sesat dan gila”.
Barangkali sudah saatnya semua penganut agama bersepakat
bahwa konsep ke-Maha-Kuasa-an Tuhan tidak boleh dikurung dalam pengertian
keyakinan tertentu dan sebagai milik mutlak keyakinan itu. Jangan pernah ada
yang mengklaim bahwa Tuhan adalah sosok yang bisa diklaim sebagai miliknya
pribadi atau kelompok seperti rasa memiliki seorang kekasih yang tidak boleh
didekati atau dimiliki oleh manusia lain. Sebab selain sikap itu salah,
mustahil ada yang dapat mendikte Tuhan dan mengurungnya dalam sebuah kamar
kehendak seperti mengungkung sorang istri oleh suami.
Para penganut berbagai agama kiranya cukup sepakat bahwa Tuhan
adalah serba Maha. Karena ke-Maha-an-Nya, maka Ia tak perlu dibela bila ada yang melanggar
Firman-Nya. Juga tak boleh ada seseorang atau sekelompok orang dari agama
tertentu yang mengklaim paling dekat dengan Tuhan dan paling berhak menafsirkan
kehendak Tuhan. Sebab dengan ke-Maha-kuasaan-nya, Tuhan sendiri dapat melakukan
apa saja yang dimaui-Nya bagi diri-Nya dan bagi orang-orang sesat.
Lagi pula, kalau Tuhan difahami Maha Pemurah, Maha Pengasih,
Maha Penyayang, dst., maka tugas orang-orang beriman adalah belajar dan terus memeragakan
apa yang dicontohklan Tuhan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Memaafkan, bukan menebar dendam; mengasihi bukan menebar kebencian, dan
menyayangi sesama, bukan mengenyahkannya dari muka bumi dengan teror dan bom
bunuh diri. Inilah sesungguhnya yang lebih perlu dilakukan oleh orang-orang
beriman. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar