Kamis, 29 Desember 2011

MENGUKUR DAN MENGHAKIMI

Oleh Yosafati Gulo

Tulisan Badrul Taman (BT) di Voa Islam berjudul ‘Nasihat Kepada Keluarga Gus Dur yang Ikut Kebaktian Natal”, tanggal 26 Desember 2011, bagi saya sangat menarik. Bukan cuma karena judulnya yang terkesan sangat moralis, tapi karena isinya makin menolong saya untuk memahami varian lain keyakinan seorang Islam tentang agamanya dan caranya melihat agamanya, agama lain, Tuhannya dan Tuhan pada agama lain.Tulisan utuh BT dapat dibaca di sini.

Pada bagian awal, BT membeberkan surat Al Ikhlas, yang dilukiskannya sebagai surat yang sangat pendek dalam Al-Qur’an namun memiliki keutamaan yang luar biasa karena menyamai sepertiga Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam Shahihain. Dikatakannya, bahwa isi Al-Qur'an terdiri atas tiga bagian, yaitu sepertiganya membicarakan hukum, sepertiga kedua tentang janji dan ancaman, dan sepertiga terakhir menjelaskan tentang nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Bagian terakhir inilah yang dihimpun dalam surat Al-Ikhlas.


Sumber : google
Dengan mengutip Al-Qur’an BT lalu berkesimpulan bahwa orang yang menyebut Al Masih, putra Maryam, Yesus Kristus, sebagai Allah adalah kafir. Terhadap orang seperti ini, orang Islam harus tegas dan jelas dan menjauh mereka. Sebab tindakan itu adalah tindakan batil yang menyakiti hati Allah dan membuat Allah murka. Sayang, katanya, bahwa prinsip itu tidak dipahami oleh keluarga besar mendiang mantan Presiden Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Inayah Wahid dan Lily Wahid yang hadir memberikan dukungan kepada jemaat GKI Yasmin dalam perayaan natal adalah sebagai tindakan sesat. Bahkan disebutnya sebagai terlalu bodoh atau putra-putra bodoh atau sengaja membodohi dirinya dalam memahami persoalan prinsip dalam agama Islam. Pernyatan itu ditulisnya dalam huruf-huruf kapital tebal.

Bersamaan dengan itu BT juga menilai keyakinan umat Kristen dan ke-Tuhanan-an Tuhan yang difahami orang Kristen, Trinitas, sebagai tindakan mencela Allah. Atas kehadiran Inayah dan Lily Wahid pada perayaan Natal GKI Yasmin itu, BT kemudian menulis, “Bukannya melarang umat Kristen berlaku kurang ajar kepada Allah dan mendakwahi mereka untuk insaf dari kesesatannya, eh malah keduanya ikut-ikutan merayakan hari raya batil mereka.”

Ukurannya tidak sinkron

Ada beberapa hal yang menggoda pikiran saya dalam tulisan itu. Pertama, ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengukur Islam, Kristen, dan pristiwa ikutnya Lily Wahid dan Inayah Wahid memberikan dukungan kepada Jemaat GKI Yasmin adalah ukuran Islam dan cara berpikir Islam dengan paradigma keyakinan Islam versi BT. Ini perlu ditegaskan karena Islam menurut –paling tidak-- versi keluarga Mendiang Gus Dur, Inayah dan Lily Wahid, berbeda dengan BT. Saya pun yakin bahwa orang Islam yang lain punya versi lain juga yang bisa sama mapun berbeda dengan versi BT atau Inayah dan Lily Wahid.

Secara logika, cara berpikir dan pemakaian ukuran versi BT itu, sama dengan mengukur beratnya sebuah 
benda dengan menggunakan alat ukur meter, yang normalnya dipakai untuk mengukur panjang. Atau mengukur kecepatan laju kendaraan di jalan raya dengan menggunakan liter atau timbangan, yang normalnya dipakai mengukur volume dan berat. Pemakaian alat ukur semacam ini bukan cuma keliru, tidak sinkron, tapi menyesatkan. Dengan menggunakan alat ukur seperti itu sudah pasti bahwa hanyalah pandangan Islam anutan BT yang benar. Lainnya salah semua! Ah... masa ia sih?

Kedua, pernyataan bahwa Inayah Wahid dan Lily Wahid adalah sesat, serta penilaian keyakinan Kristen tentang Trinitas sebagai mencela Allah, merupakan klaim bahwa Allah bisa diklaim dan dikurung dalam sebuah pandangan dan keyakinan manusiawi. Nampaknya BT lalai menyadari bahwa  setinggi apa pun iman manusia kepada Tuhan, pengetahuan yang diperoleh dari iman itu tetap saja terbatas, sebatas batas-batas kemanusiaan manusia. Tuhan dengan segala kompleksitas dan kesempurnaan-Nya, tak pernah dapat difahami oleh manusia. Manusia dengan iman setingggi langit dan sedalam lautan pun tak ada yang dapat mengurung Allah, Tuhan, sebatas apa yang dipikirkan atau diyakininya tentang Allah, Tuhan.

Ketiga, BT nampaknya berpikir bahwa Tuhan yang disembah umat Islam dan yang disembah orang Kristen adalah Tuhan yang sama. Oleh karena itu, ia menganggap orang Kristen kurang ajar terhadap Tuhan ketika menyebut Tuhan Tri Tunggal, apalagi dengan dipakainya istilah Anak kepada Yesus.

Dikatakannya, “di antara bentuk kekufuran yang paling besar adalah ucapan orang Kristen bahwa Allah punya anak, dia mati, Dia satu dari tiga (trinitas), Maha suci dan Mahatinggi Allah dari apa yang mereka tuduhkan kepada-Nya.” Saya kurang tahu apakah BT sempat berkonsultasi kepada Tuhannya sebelum mengambil kesimpulan ini sehingga ia tahu persis bahwa Allah marah. Jangan-jangan yang marah adalah BT saja, sementara Allah, Tuhan, senyum sinis kepada BT karena mengklaim kehendak-Nya sama dengan kehendak BT.

Yang saya tahu ialah bahwa di balik pikiran itu, terselip anggapan bahwa BT merasa paling benar, paling beriman, dan paling dekat dengan Tuhan dibandingkan dengan orang Kristen. Juga dibandingkan dengan Inayah dan Lily Wahid. Karena itu, maka ia gerah bila Tuhan dihina, dicela oleh siapa pun. Saking dekatnya, maka sikap “kurang ajar” orang Kristen terhadap Tuhan diidentifikasi sebagai kekurangajaran terahdap dirinya juga.

Bagi saya, anggapan itu bukan saja aneh. Tapi merupakan praktek nyata kesombongan keberagamaan. Sebab tidak ada seorang pun yang dapat menjamins bahwa BT lebih beriman daripada Inayah dan Lily Wahid atau Pramono Anung atau Megawati Sukarno Putri atau Rais PBNU, Masdar F Masudi, atau Mahfud MD, dst.

Perlu kiranya difahami bahwa kendati orang Islam dan Kristen atau agama lain sama-sama menyebut Tuhan untuk sesuatu yang mereka yakini sebagai pencipta langit dan bumi dan segala isinya, serta juruselamatnya, tidak berarti bahwa sosok yang mereka maksud sama atau tertuju pada sosok yang sama. Nama boleh sama, tapi sosoknya lain. Sama seperti nama Soekarno yang bisa ditemukan di mana-mana. Tidak berarti bahwa ketika orang menyebut nama Soekarno, maka yang dimaksud adalah sosok mantan Presiden RI. Boleh jadi Sokarno yang dimaksud Si A adalah memang mantan Presiden RI, tetapi yang dimaksudkan Si B ialah seorang Kepala Sekolah Dasar di daerahnya. Maka kalau orang Kristen menyebut –berdasarkan keyakinannya—Tuhannya adalah Tiga yang Esa, Tri Tunggal, atau Trinitas, sama sekali mereka tidak bermaksud mencela Tuhan yang diyakini orang Islam. Kekristenan sama sekali tidak punya ajaran dan kebiasaan seperti itu.

BT nampaknya perlu sadar bahwa pemakaian istilah Tuhan Yang Esa, sebagaimana dipahami di Indonesia bukanlah ke-Esa-an dalam arti satu sosok. Melainkan ke-Esa-an dalam arti konsep, prinsip yang menggambarkan bahwa di atas segala kemampuan manusia ada “SESUATU” yang MAHA di segala aspeknya. Kalau sosok Tuhan dengan segala keberadaan-Nya itu sama dan ibadah mereka ditujukan pada sosok yang sama, dengan pemahaman yang sama, saya kira tidak akan ada perbedaan apalagi pertentangan dogmatik antara agama yang satu dan lainnya.

Orang beriman

Tapi katakanlah Tuhan yang disembah orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau penganut agama dan aliran kepercayaan lain umpamnya sama. Lalu di antaranya misalnya ada yang sesat. Pertanyaanya, mengapa BT harus pusing dengan kesesatan mereka? Andaikata karena kesesatannya mereka masuk neraka sekalipun dan disiksa dengan SIKSAAN MAHA SEMPURNA, mengapa BT harus kelabakan? Bukankah mereka sendiri yang nantinya menanggung akibat kesesatannya? Mestinya BT tak perlu mencak-mencak. Sebab jika banyak yang di neraka dan dia sendiri atau kelompknya yang berada di surga, mereka mendapat keleluasaan seluas-luasnya di surga kelak untuk menikmati seluruh fasilitas surga sepuasnya.

Apakah BT, atau adakah di antara kita, manusia di bumi ini, yang sudah diberi SK khusus oleh Tuhan untuk menghakimi orang-orang sesat? Kapan kuasa itu diberikan? Di mana? Sejak kapan? Saksinya siapa? Ataukah itu pesan kitab suci? Kitab suci yang mana? Lalu bagaiamana menjawab bila ada orang Kristen mengatakan bahwa orang Islam, Hindu, Budha, atau aliran-aliran Kepercayaan yang banyaknya tak terhitung itu adalah orang-orang sesat? Atau umat Hindu dan Budha mengatakan hal serupa kepada umat Islam, Kristen? Atau aliran kepercayaan berkata “selain kami semuanya sesat dan gila”.

Barangkali sudah saatnya semua penganut agama bersepakat bahwa konsep ke-Maha-Kuasa-an Tuhan tidak boleh dikurung dalam pengertian keyakinan tertentu dan sebagai milik mutlak keyakinan itu. Jangan pernah ada yang mengklaim bahwa Tuhan adalah sosok yang bisa diklaim sebagai miliknya pribadi atau kelompok seperti rasa memiliki seorang kekasih yang tidak boleh didekati atau dimiliki oleh manusia lain. Sebab selain sikap itu salah, mustahil ada yang dapat mendikte Tuhan dan mengurungnya dalam sebuah kamar kehendak seperti mengungkung sorang istri oleh suami.

Para penganut berbagai agama kiranya cukup sepakat bahwa Tuhan adalah serba Maha. Karena ke-Maha-an-Nya, maka Ia tak  perlu dibela bila ada yang melanggar Firman-Nya. Juga tak boleh ada seseorang atau sekelompok orang dari agama tertentu yang mengklaim paling dekat dengan Tuhan dan paling berhak menafsirkan kehendak Tuhan. Sebab dengan ke-Maha-kuasaan-nya, Tuhan sendiri dapat melakukan apa saja yang dimaui-Nya bagi diri-Nya dan bagi orang-orang sesat.

Lagi pula, kalau Tuhan difahami Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dst., maka tugas orang-orang beriman adalah belajar dan terus memeragakan apa yang dicontohklan Tuhan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Memaafkan, bukan menebar dendam; mengasihi bukan menebar kebencian, dan menyayangi sesama, bukan mengenyahkannya dari muka bumi dengan teror dan bom bunuh diri. Inilah sesungguhnya yang lebih perlu dilakukan oleh orang-orang beriman. ***

Tidak ada komentar: