Sabtu, 10 Maret 2012

Anas Paham, Mustahil Ia Dijadikan Tersangka


Oleh : Yosafati Gulo

Illustrasi Kekuatan/sumber google
“Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas,” jawab Anas ketus kepada wartawan yang mewawancarainya atas tuduhan ketrlibatannya pada kasus dugaan korupsi pada Proyek Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Olahraga di Hambalang. “KPK tak perlu repot-repot mengurus Hambalang. Hal itu, kan, asalnya dari ocehan yang tak jelas. Ngapain repot-repot,” paparnya kepada pers sambil berlalu.
Jika jawaban itu serius keluar dari sikapnya yang sesungguhnya, maka ada beberapa hal yang janggal. Pertama, sebagai pribadi dan Ketua sebuah Partai, Anas menerima, atau setidaknya tak keberatan, bila ada orang yang bicara sesukanya di negeri ini yang sifatnya menuduh, memojokkan, tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sikap itu sama halnya melegitimasi bolehnya orang berbicara tanpa etika dan norma moral. Oleh karena itu ketika dirinya dituduh terlibat korupsi, ia pun tidak keberatan.Tidak menganggapnya sebagai masalah hukum, fitnah, atau tindakan tak menyenangkan yang dapat dituntut secara hukum.
Kedua, Anas telah merendahkan dan menciutkan nilai dirinya di bawah nilai manusia umumnya. Sebab, jangankan Ketua sebuah Partai besar, anak kecil pun kalau dituduh, difitnah, pasti akan protes. Jika hal itu terjadi di sekolah, maka si anak akan mengadukannya kepada guru karena ia merasa difitnah. Anas, tidak demikian.
Karena nilai dirinya lebih rendah dari seorang anak kecil, maka ia pun menerima dengan rela hati pernyataan-pernyataan Muhamad Nazarrudin, Mindo Rosalina, Yulianis, Muhajiddin Hasyim adik Muhamad Nazaruddin, Gerhana Sianipar di depan pengadilan yang menuturkan keterlibatannya pada Proyek Hambalang.
Pertanyaannya saya, apa benar begitu? Saya sendiri tidak percaya. Orang terdidik dan berjabatan seagai pimpinan Partai seperti dia sewajarnya memiliki harga diri besar melebihi manusia Indonesia umumnya.
Tapi mengapa dia membiarkan dirinya difitnah? Nampaknya, cara pandang Anas berbeda dengan saya. Ia justru merasa dirinya sangat besar dan memiliki nilai amat besar sehingga tuturan-tuturan keterlibatannya pada duagaan korupsi Hambalang dianggap hal sangat kecil yang tak perlu direspon. Bagi dia, hal yang lebih besar adalah mengurus Partai Demokrat dan Negara. Tak peduli apakah Partai dan Negara yang ia maksud perlu bagi sebagian besar Masyarakat Indonesia. Ini hal ketiga.
Keempat, ialah dengan besarnya dirinya, ia yakin bahwa KPK tak bakalan mampu menyentuhnya pada dugaan korupsi. Keyakinannya itu tentu diwarnai oleh pengalaman sebelumnya. Sebutlah misalnya kasus Andi Nurpati yang memalsukan surat MK. Secara hukum, hal itu salah besar. Jika diproses secara hukum, maka Andi Nurpati semestinya sudah dibui. Tapi itu tidak terjadi.
Kelima, Anas sangat sadar bahwa orang Indonesia belum siap menerima resiko kalau ia dijadikan tersangka, apalagi sampai diputus bersalah dan masuk bui. Sebab manakala KPK nekat, ia akan “bernyanyi” senyaring-nyaringnya sampai kata terakhir. Kalau hal itu ia lakukan, maka bisa dipastikan syair-syair dalam nyanyiannya akan menyentuh tempat-tempat sensitif yang merangsang puncak-puncak hasrat kekuasaan.
Ia paham bahwa hal itu mustahil. Sebab selain lembaga-lembaga negara, banyak kaum intelektual yang sepakat (walaupun diam-diam) jangan sampai terjadi prosesi kekuasaan sebelum Pemilu tahun 2014. Prosesi kepemimpinan negara perlu dipertahankan secara normal. Dengan kekuatan yang ada di DPR, ia begitu yakin bahwa nasib Sukarno dan Gus Dur tak bakalan mewarnai Indonesia lagi.
Pertanyaan saya, apakah KPK juga memiliki sikap seperti Anas? Apakah para penegak hukum setuju diizinkannya orang berbicara sesukanya tentang siapa pun tanpa harus memertanggungjawabkannya secara hukum? ***

Tidak ada komentar: