Jumat, 09 Maret 2012

MENGADILI JARINGAN KORUPTOR


Oleh Yosafati Gulo




Putusan bebas terhadap mantan Waliktota Bekasi, Mochtar Muhammad (MM), oleh Hakim Tipikor Bandung, 11 Oktober 2011, karena dinilai tidak bersalah atas dugaan korupsi miliaran rupiah, sempat membuat MM menangis untuk meluapkan kegembiraannya. Ia bahkan mencium karpet di ruang pengadilan usai pembacaan keputusan yang membebaskannya tidur di bui waktu itu


Sayang bahwa putusan tersebut, tidak otomatis menghapus fakta. Ia hanya hanya mampu menutupnya sesaat. Ibarat bangkai, walaupun ditutup rapat-rapat, tetap saja bau. Itulah yang kemudian ditemukan MA untuk membatalkan keputusan Hakim Tipikor.
Ada beberapa fakta kelakuan MM yang mustahil dihapus: Menyuap anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar; Menyalah gunakan anggaran makan-minum sebesar Rp 639 juta untuk memuluskan pengesahan APBD tahun 2010; Memberikan suap sebesar Rp 500 juta untuk mendapatkan Piala Adipura 2010; dan menyuap pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 400 juta agar mendapat opini wajar tanpa pengecualian.
Tugas berikutnya
Dengan batalnya keputusan tersebut, bukan berarti tugas pengadilan sudah usai. Para pihak terkait seharusnya diadili juga. Satu, mengadili majelis hakim pemutus bebas MM. Publik perlu tahu apakah kesalahan putusan tersebut semata-mata disebabkan ketidakmampuan Hakim Tipikor dalam menilai bukti-bukti dan keterangan para saksi atau malahan karena turut menikmati suapan Mochtar.
Jika sebabnya ketidakmampuan, maka wajar kalau mereka dimaafkan, kendai tidak harus lolos dari sanksi administratif atau disiplin sesuai dengan ketentuan yang ada. Namun karena disebabkan kemampuanya yang rendah,  mereka perlu dibina, dilatih, atau ditraining. Kalau perlu disekolahkan lagi, biar tambah pintar dan tegas seperti Hakim Albertina Ho.
Selanjutnya, jika nantinya terbukti korupsi, maka hukuman yang diberikan mestinya beda dengan awam. Sangat logis kalau mereka dihukum lebih berat daripada awam atas pelanggaran yang sama. Alasannya, mereka bukan cuma tahu hukum, tetapi karena mereka adalah penegak hukum. Sebagai penegak hukum yang merusak hukum perlu diberi hukuman tambahan. Mungkin satu setengah kali dari hukuman rakyat biasa untuk kasus yang sama. Bila hukuman untuk rakyat misalnya enam tahun, maka untuk hakim (juga jaksa, polisi) tersebut diberi sembilan tahun atau lebih. Di sinilah diskresi hakim di MA ditantang.
Dua, semua pihak yang terkait dengan korupsi MM perlu dijadikan tersangka. Ini merupakan perintah pasal 15 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pedana Korupsi. Siapa saja mereka? Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi Mochtar itu.
Dalam kasus penyuapan anggota DPRD Bekasi dengan uang Rp 1,6 milyar misalnya, semua anggota DPRD penerima dan pertugas yang memerlancar penyuapan itu seperti Bendahara Daerah, pengantar uang, dst., dijadikan tersangka. Untuk kasus penyalahgunaan anggaran makan-minum guna memuluskan pengesahan APBD misalnya adalah siapa saja yang terlibat dalam pengesahan anggaran juga dijadikan tersangka. Demikian pula untuk kasus Adipura dan penyuapan pegawai BPK. Tentu saja hukuman mereka tak harus sama dengan MM. Perlu disesuaikan dengan tingkat keterlibatannya.
Mengadili Jaringan
Salah satu kelemahan pengadilan koruptor selama ini adalah ditumpuknya kesalahan pada satu pelaku. Biasanya penerima suap, dan paling banter bersama penyuap. Pihak lain yang turut mendukung jarang disentuh. Padahal terjadinya korupsi pasti melibatkan banyak orang dalam sebuah jaringan kerja. Peran pihak-pihak lain itu pun sering menjadi kunci. Misalnya Bendahara Daerah, Bidang Hukum Pemda yang menjadi konsultan Hukum utama Gubernur, Bupati/Wali Kota dalam menjalankan aksinya, pengantar atau penerima uang seperti sopir. Jika satu saja di antara jaringan itu menolak membantu atau segera melaporkannya kepada penegak hukum, bisa dipastikan bahwa aksi korupsi gagal dilakukan.
Dalam kasus Gayus Halomoan Tambunan dan Dhana Widyatmika, hal itu begitu jelas. Sejumlah perusahaan penyogok Gayus dan Dhana tidak diapa-apakan. Padahal, bolehjadi, justru perusahaan itulah bibit korupsi. Kalau saja mereka mau membayar pajak sesuai dengan ketentuan, ada kemungkinan bahwa Gayus, Dhana, dan lainnya tidak akan korupsi. Namun, mana mungkin semua pengusaha begitu. Ada saja yang ogah bayar penuh. Dengan total nilai pajak triliyunan misalnya, bukan hal sulit baginya memberikan “upah” puluhan miliar asalakan pegawai pajak seperti Gayus mau merekayasa menjadi beberapa ratus miliar.
Harap diingat bahwa orang yang terlibat dalam kasus itu bukan hanya seorang Gayus atau Dhana dan pengusaha. Di kantor pengusaha juga ada akunting, ada pegawai yang khusus bekerja merekayasa perhitungan pajak, ada penego, operator komputer, dan kurir. Semua pihak itu memiliki peran sampai terjadinya transaksi. Menurut UU No 31 Tahun 1999 di atas, para pihak tersebut seharusnya dijadikan terdakwa.
Dalam kasus-kasus SPPD fiktif di semua instansi pemerintah juga begitu. Modusnya ialah Instansi A melaksanakan sebuah program di luar kota selama dua-tiga hari. Daftar hadir peserta lengkap, bukti pembayaran kamar hotel yang di-mark up, tiket pewawat pulang-pergi, dan bukti pembayaran uang saku juga lengkap. Kenyataannya, ada yang dilaksanakan sungguhan walaupun faktanya hanya sehari, tapi ada juga yang tidak dilaksanakan sama sekali.
Ketika kasus itu diungkap, yang didakwa hanya pelaku dari instansi pemerintah. Pihak hotel dan Maskapai penerbangan yang menerbitkan tiket fiktif tidak disentuh. Padahal, dukungan mereka atas program dan perjalanan fiktif tersebut sangat menentukan.
Bagi saya, untuk memberantas korupsi di Tanah Air, jaringan koruptor semacam itu harus dipotong. Begitu tersangka utama terbukti bersalah, maka semua orang dalam jaringannya harus diadili juga. ***

Tidak ada komentar: