Oleh
Yosafati Gulo
Putusan bebas terhadap mantan Waliktota Bekasi,
Mochtar Muhammad (MM), oleh Hakim Tipikor Bandung, 11 Oktober 2011, karena
dinilai tidak bersalah atas dugaan korupsi miliaran rupiah, sempat membuat MM menangis
untuk meluapkan kegembiraannya. Ia bahkan mencium karpet di ruang pengadilan usai
pembacaan keputusan yang membebaskannya tidur di bui waktu itu
Sayang bahwa putusan tersebut, tidak otomatis
menghapus fakta. Ia hanya hanya mampu menutupnya sesaat. Ibarat bangkai, walaupun
ditutup rapat-rapat, tetap saja bau. Itulah yang kemudian ditemukan MA untuk
membatalkan keputusan Hakim Tipikor.
Ada beberapa fakta kelakuan MM yang mustahil dihapus: Menyuap anggota DPRD Bekasi sebesar Rp
1,6 miliar; Menyalah gunakan anggaran
makan-minum sebesar Rp 639 juta untuk memuluskan pengesahan APBD tahun 2010; Memberikan suap sebesar Rp 500 juta
untuk mendapatkan Piala Adipura 2010; dan menyuap
pegawai Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) senilai Rp 400 juta agar mendapat opini wajar tanpa pengecualian.
Tugas
berikutnya
Dengan batalnya keputusan tersebut, bukan berarti tugas
pengadilan sudah usai. Para pihak terkait seharusnya diadili juga. Satu, mengadili majelis hakim pemutus
bebas MM. Publik perlu tahu apakah kesalahan putusan tersebut semata-mata
disebabkan ketidakmampuan Hakim Tipikor dalam menilai bukti-bukti dan
keterangan para saksi atau malahan karena turut menikmati suapan Mochtar.
Jika sebabnya ketidakmampuan, maka wajar kalau mereka
dimaafkan, kendai tidak harus lolos dari sanksi administratif atau disiplin
sesuai dengan ketentuan yang ada. Namun karena disebabkan kemampuanya yang
rendah, mereka perlu dibina, dilatih,
atau ditraining. Kalau perlu disekolahkan lagi, biar tambah pintar dan tegas seperti
Hakim Albertina Ho.
Selanjutnya, jika nantinya terbukti korupsi, maka
hukuman yang diberikan mestinya beda dengan awam. Sangat logis kalau mereka dihukum
lebih berat daripada awam atas pelanggaran yang sama. Alasannya, mereka bukan
cuma tahu hukum, tetapi karena mereka adalah penegak hukum. Sebagai penegak
hukum yang merusak hukum perlu diberi hukuman tambahan. Mungkin satu setengah
kali dari hukuman rakyat biasa untuk kasus yang sama. Bila hukuman untuk rakyat
misalnya enam tahun, maka untuk hakim (juga jaksa, polisi) tersebut diberi sembilan
tahun atau lebih. Di sinilah diskresi hakim di MA ditantang.
Dua, semua pihak yang terkait dengan korupsi MM perlu
dijadikan tersangka. Ini merupakan perintah pasal 15 UU No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pedana Korupsi. Siapa saja mereka? Setiap orang
yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana korupsi Mochtar itu.
Dalam kasus
penyuapan anggota DPRD Bekasi dengan uang Rp 1,6 milyar misalnya, semua anggota
DPRD penerima dan pertugas yang memerlancar penyuapan itu seperti Bendahara
Daerah, pengantar uang, dst., dijadikan tersangka. Untuk kasus penyalahgunaan
anggaran makan-minum guna memuluskan pengesahan APBD misalnya adalah siapa saja
yang terlibat dalam pengesahan anggaran juga dijadikan tersangka. Demikian pula
untuk kasus Adipura dan penyuapan pegawai BPK. Tentu saja hukuman mereka tak harus
sama dengan MM. Perlu disesuaikan dengan tingkat keterlibatannya.
Mengadili Jaringan
Salah satu
kelemahan pengadilan koruptor selama ini adalah ditumpuknya kesalahan pada satu
pelaku. Biasanya penerima suap, dan paling banter bersama penyuap. Pihak lain
yang turut mendukung jarang disentuh. Padahal terjadinya korupsi pasti
melibatkan banyak orang dalam sebuah jaringan kerja. Peran pihak-pihak lain itu
pun sering menjadi kunci. Misalnya Bendahara Daerah, Bidang Hukum Pemda yang
menjadi konsultan Hukum utama Gubernur, Bupati/Wali Kota dalam menjalankan
aksinya, pengantar atau penerima uang seperti sopir. Jika satu saja di antara
jaringan itu menolak membantu atau segera melaporkannya kepada penegak hukum,
bisa dipastikan bahwa aksi korupsi gagal dilakukan.
Dalam kasus
Gayus Halomoan Tambunan dan Dhana Widyatmika, hal itu begitu jelas. Sejumlah
perusahaan penyogok Gayus dan Dhana tidak diapa-apakan. Padahal, bolehjadi,
justru perusahaan itulah bibit korupsi. Kalau saja mereka mau membayar pajak
sesuai dengan ketentuan, ada kemungkinan bahwa Gayus, Dhana, dan lainnya tidak
akan korupsi. Namun, mana mungkin semua pengusaha begitu. Ada saja yang ogah
bayar penuh. Dengan total nilai pajak triliyunan misalnya, bukan hal sulit
baginya memberikan “upah” puluhan miliar asalakan pegawai pajak seperti Gayus
mau merekayasa menjadi beberapa ratus miliar.
Harap
diingat bahwa orang yang terlibat dalam kasus itu bukan hanya seorang Gayus
atau Dhana dan pengusaha. Di kantor pengusaha juga ada akunting, ada pegawai
yang khusus bekerja merekayasa perhitungan pajak, ada penego, operator
komputer, dan kurir. Semua pihak itu memiliki peran sampai terjadinya
transaksi. Menurut UU No 31 Tahun 1999 di atas, para pihak tersebut seharusnya
dijadikan terdakwa.
Dalam
kasus-kasus SPPD fiktif di semua instansi pemerintah juga begitu. Modusnya
ialah Instansi A melaksanakan sebuah program di luar kota selama dua-tiga hari.
Daftar hadir peserta lengkap, bukti pembayaran kamar hotel yang di-mark up, tiket pewawat pulang-pergi, dan
bukti pembayaran uang saku juga lengkap. Kenyataannya, ada yang dilaksanakan
sungguhan walaupun faktanya hanya sehari, tapi ada juga yang tidak dilaksanakan
sama sekali.
Ketika
kasus itu diungkap, yang didakwa hanya pelaku dari instansi pemerintah. Pihak
hotel dan Maskapai penerbangan yang menerbitkan tiket fiktif tidak disentuh.
Padahal, dukungan mereka atas program dan perjalanan fiktif tersebut sangat
menentukan.
Bagi saya, untuk
memberantas korupsi di Tanah Air, jaringan koruptor semacam itu harus dipotong.
Begitu tersangka utama terbukti bersalah, maka semua orang dalam jaringannya
harus diadili juga. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar