Kamis, 23 Januari 2014

Derasnya “Banjir” Dukungan Ruhut Sitompul dan Amin Rais Kepada Jokowi



Oleh Yosafati Gulo

Banjir di Jakarta ternyata tidak melulu banjir air. Ada banyak “banjir” lain yang nunut. “Banjir” macet, pasti. Pengungsi, tentu saja. “Banjir orang baik” dan “banjir peduli sosial” makin deras. Dan banyak lagi. 

Ditinjau dari sisi apa saja, “banjir-banjir” itu ada yang perlu dan tidak. Ada yang membangun dan ada yang melemahkan. Namun, semua itu dapat menjadi bahan pembelajaran.

Gubernur-Wakil Gubernur DKI: Jokowi-Ahok (http://fokus.news.viva.co.id/)
Dari sisi politik, banjir di Jakarta juga bermanfaat. Selain menjadi “banjir” kampanye tak resmi dari banyak Parpol, ia menderaskan “banjir” dukungan kepada Jokowi. “Banjir” yang ini bukan cuma dari awam, tetapi dari elite Partai Politik yang terus mengalir. Wujudnya memang tidak tunggal. Dua di antaranya adalah dukungan yang tampil secara saling bertentangan.


Saling Berlawanan

Yang paling mudah dilihat, kentara, adalah dukungan ekspresif. Ini dikemukakan melalui pernyataan kata-kata. Banjir Jakarta bagi gologan ini tidak diposisikan sebagai ukuran keberhasilan atau kegagalan Jokowi dalam mewujudkan janji kampanye Pilgub DKI. Oleh karena itu semua celaan dan cibiran yang diarahkan kepada Jokowi, ditanggapi dengan argumen bahwa capaian kerja Jokowi-Ahok, secara umum, berhasil secara proporsional.

Sebaliknya, ada dukungan terselubung. Dukungan ini tampil dalam bentuk yang tak lazim. Tampilannya mencela, mencibir, dan menegasikan apa yang telah dicapai Jokowi-Ahok. Ruhut Sitompul (RS) dan Amin Rais (AR)  adalah dua di antaranya. Dilihat dari tampilannya, RS dan AR memang terkesan tidak mendukung. Bahkan terkesan anti Jokowi.

Ruhut bilang, Jokowi perlu minta maaf kepada Masyarakat Jakarta. Sebab apa yang dijanjikan saat kampanye tak ada yang tercapai. Banjir, macet, tak surut-surut. Malahan meningkat. Sisa APBD DKI tahun lalu 2013 saja ada Rp 14 triliun. Ini menunjukkan bahwa Jokowi tidak bisa. “Bisanya hanya blusukan dan pencitraan”, kata Ruhut.

Mirip dengan RS, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) dan mantan Ketua MPR, AR juga menyarankan agar Jokowi meminta maaf kepada masyarakat Jakarta. Bagi Amin, meminta maaf adalah tindakan paling simpatik yang bisa dilakukan Jokowi saat ini.

Diakuinya bahwa Jokowi sudah berusaha maksimal. Tapi di dunia ini tidak ada cerita manusia bisa melawan kehendak alam. "Mau dipasang Jokowi atau Joko siapapun kalau sudah banjir seperti ini tentu tidak bisa diatasi. Dikurangin bisa," katanya kepada pers di halaman Kampus Unimus Semarang. (Tribunnews.com, 20-01-2014).

Makna Dukungan Sama

Atas pernyataan RS dan AR tersebut, pendukung yang disebut pertama tampak marah. Komentar dan tulisan mereka di berbagai media memerlihatkan hal itu. Beberapa hari terakhir sikap penolakan atas pernyataan RS dan AR masih terus membanjir juga. Ada yang sekedar mengkritisi, ada yang menyindir, dan ada juga mengolok-olok RS dan AR.

Saya sendiri tidak mau menyeretkan diri masuk dalam “arus banjir” itu. Baik banjir membela Jokowi maupun yang melawan RS dan AS. Saya melihat bahwa kedua arus “banjir” yang tampil berlawanan itu hakekatnya sama. Yang diharapkan sama. Subyek tumpuan harapan juga sama: Jokowi.

Yang berbeda hanyalah kemasan, tampilan luarnya saja. Yang satu tampak membela, mendukung, dan lainnya sebaliknya. Namun, di balik tampilan yang pertentangan itu terbungkus butir mutiara yang sama yaitu: dukungan kepada Jokowi.

Kok bisa? Bagaimana menalarnya? Nampaknya inilah yang perlu dibaca dengan kacamata psikologi politik. Agar mudah dipahami, mari kita cermati contoh peristiwa yang sering terjadi dalam keluarga. Seorang suami bisa menyatakan harapan atau dukungan kepada istri atau anaknya dalam dua bentuk yang bertolak belakang.

Yang lazim kita lihat adalah dukungan ekpresif dan langsung. Biasanya memuji kalau berhasil atau memotivasi kalau masih kurang. Tapi ada yang tak langsung dan tampilannya tak lazim yaitu dengan mencela, mengeritik habis-habisan istri dalam mengerjakan sesuatu. Istri juga begitu terhadap suami, atau kepada anak mereka, atau kakak kepada adiknya.

Jika tak hati-hati, peristiwa itu bisa mengecoh pemikiran. Orang bisa berkata kritikan atau celaan adalah wujud ketidak-sukaan, ketiadaan dukungan. Anggapan seperti ini tentu salah. Yang benar adalah si suami justru menaruh harapan besar kepada istri atau anaknya agar berhasil gemilang. Demikian pula istri terhadap suami atau anaknya atau kakak kepada adiknya. Sikap dan cara manusia memang sering begitu. Untuk mencapai hal yang sama manusia sering berindak berlawanan satu dan lainnya.

Bagi saya, itulah inti psikologi politik yang dimainkan RS dan AS terhadap Jokowi. Kata-kata mereka memang tampak pedas, mencela. Tapi tujuannya dapat dimaknai sebagai dukungan kepada Jokowi. Mereka hanya tidak sabaran saja melihat Jakarta baru produk Jokowi-Ahok. Mereka sadar bahwa derasnya arus dukungan kepada Jokowi bukan dukungan biasa. Tapi dukungan yang mampu merobek-robek tirai-tirai primordial, SARA,  yang selama ini terpelihara kokoh dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, respon yang sepatutnya diberikan kepada RS dan AS adalah ucapan terima kasih. Terima kasih atas dukungan dan terima kasih karena mereka mau mengakui keunggulan manajemen blusukan yang diterapkan Jokowi. ***

Tidak ada komentar: