Oleh Yosafati Gulo
Banjir di Jakarta ternyata tidak melulu banjir
air. Ada banyak “banjir” lain yang nunut. “Banjir” macet, pasti. Pengungsi,
tentu saja. “Banjir orang baik” dan “banjir peduli sosial” makin deras. Dan
banyak lagi.
Ditinjau dari sisi apa saja, “banjir-banjir” itu ada
yang perlu dan tidak. Ada yang membangun dan ada yang melemahkan. Namun, semua itu
dapat menjadi bahan pembelajaran.
Gubernur-Wakil Gubernur DKI: Jokowi-Ahok (http://fokus.news.viva.co.id/) |
Dari sisi politik, banjir di Jakarta juga bermanfaat.
Selain menjadi “banjir” kampanye tak resmi dari banyak Parpol, ia menderaskan “banjir”
dukungan kepada Jokowi. “Banjir” yang ini bukan cuma dari awam, tetapi dari elite
Partai Politik yang terus mengalir. Wujudnya memang tidak tunggal. Dua di
antaranya adalah dukungan yang tampil secara saling bertentangan.
Saling
Berlawanan
Yang paling mudah dilihat, kentara, adalah
dukungan ekspresif. Ini dikemukakan melalui pernyataan kata-kata. Banjir
Jakarta bagi gologan ini tidak diposisikan sebagai ukuran keberhasilan atau kegagalan
Jokowi dalam mewujudkan janji kampanye Pilgub DKI. Oleh karena itu semua celaan
dan cibiran yang diarahkan kepada Jokowi, ditanggapi dengan argumen bahwa capaian
kerja Jokowi-Ahok, secara umum, berhasil secara proporsional.
Sebaliknya, ada dukungan terselubung. Dukungan ini
tampil dalam bentuk yang tak lazim. Tampilannya mencela, mencibir, dan menegasikan
apa yang telah dicapai Jokowi-Ahok. Ruhut Sitompul (RS) dan Amin Rais (AR) adalah dua di antaranya. Dilihat dari tampilannya,
RS dan AR memang terkesan tidak mendukung. Bahkan terkesan anti Jokowi.
Ruhut bilang, Jokowi perlu minta maaf kepada
Masyarakat Jakarta. Sebab apa yang dijanjikan saat kampanye tak ada yang
tercapai. Banjir, macet, tak surut-surut. Malahan meningkat. Sisa APBD DKI
tahun lalu 2013 saja ada Rp 14 triliun. Ini menunjukkan bahwa Jokowi tidak
bisa. “Bisanya hanya blusukan dan pencitraan”, kata Ruhut.
Mirip dengan RS, Ketua Majelis Pertimbangan Partai
Amanat Nasional (PAN) dan mantan Ketua MPR, AR juga menyarankan agar Jokowi
meminta maaf kepada masyarakat Jakarta. Bagi Amin, meminta maaf adalah tindakan
paling simpatik yang bisa dilakukan Jokowi saat ini.
Diakuinya bahwa Jokowi sudah berusaha maksimal.
Tapi di dunia ini tidak ada cerita manusia bisa melawan kehendak alam.
"Mau dipasang Jokowi atau Joko siapapun kalau sudah banjir seperti ini
tentu tidak bisa diatasi. Dikurangin bisa," katanya kepada pers di halaman
Kampus Unimus Semarang. (Tribunnews.com, 20-01-2014).
Makna
Dukungan Sama
Atas pernyataan RS dan AR tersebut, pendukung yang
disebut pertama tampak marah. Komentar dan tulisan mereka di berbagai media
memerlihatkan hal itu. Beberapa hari terakhir sikap penolakan atas pernyataan
RS dan AR masih terus membanjir juga. Ada yang sekedar mengkritisi, ada yang
menyindir, dan ada juga mengolok-olok RS dan AR.
Saya sendiri tidak mau menyeretkan diri masuk
dalam “arus banjir” itu. Baik banjir membela Jokowi maupun yang melawan RS dan
AS. Saya melihat bahwa kedua arus “banjir” yang tampil berlawanan itu
hakekatnya sama. Yang diharapkan sama. Subyek tumpuan harapan juga sama:
Jokowi.
Yang berbeda hanyalah kemasan, tampilan luarnya
saja. Yang satu tampak membela, mendukung, dan lainnya sebaliknya. Namun, di
balik tampilan yang pertentangan itu terbungkus butir mutiara yang sama yaitu: dukungan
kepada Jokowi.
Kok bisa? Bagaimana menalarnya? Nampaknya inilah
yang perlu dibaca dengan kacamata psikologi politik. Agar mudah dipahami, mari
kita cermati contoh peristiwa yang sering terjadi dalam keluarga. Seorang suami
bisa menyatakan harapan atau dukungan kepada istri atau anaknya dalam dua
bentuk yang bertolak belakang.
Yang lazim kita lihat adalah dukungan ekpresif dan
langsung. Biasanya memuji kalau berhasil atau memotivasi kalau masih kurang.
Tapi ada yang tak langsung dan tampilannya tak lazim yaitu dengan mencela, mengeritik
habis-habisan istri dalam mengerjakan sesuatu. Istri juga begitu terhadap suami,
atau kepada anak mereka, atau kakak kepada adiknya.
Jika tak hati-hati, peristiwa itu bisa mengecoh
pemikiran. Orang bisa berkata kritikan atau celaan adalah wujud ketidak-sukaan,
ketiadaan dukungan. Anggapan seperti ini tentu salah. Yang benar adalah si
suami justru menaruh harapan besar kepada istri atau anaknya agar berhasil
gemilang. Demikian pula istri terhadap suami atau anaknya atau kakak kepada
adiknya. Sikap dan cara manusia memang sering begitu. Untuk mencapai hal yang
sama manusia sering berindak berlawanan satu dan lainnya.
Bagi saya, itulah inti psikologi politik yang
dimainkan RS dan AS terhadap Jokowi. Kata-kata mereka memang tampak pedas,
mencela. Tapi tujuannya dapat dimaknai sebagai dukungan kepada Jokowi. Mereka
hanya tidak sabaran saja melihat Jakarta baru produk Jokowi-Ahok. Mereka sadar
bahwa derasnya arus dukungan kepada Jokowi bukan dukungan biasa. Tapi dukungan
yang mampu merobek-robek tirai-tirai primordial, SARA, yang selama ini terpelihara kokoh dalam
masyarakat.
Oleh sebab itu, respon yang sepatutnya diberikan
kepada RS dan AS adalah ucapan terima kasih. Terima kasih atas dukungan dan
terima kasih karena mereka mau mengakui keunggulan manajemen blusukan yang
diterapkan Jokowi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar