Senin, 30 Desember 2013

Penegakan Hukum Versi Mendagri RI (Gamawan Fauzi) terhadap Gubernur Banten (Ratu Atut Chosiyah)



Oleh Yosafati Gulo


Pengantar:
Tulisan berikut dibuat tanggal 23 Desember 2013, namun baru dipublikasikan hari ini karena ada aktivitas lain yang memerukan didahulukan. Saya pernah baca di salah satu media online bahwa Ratu Atut Chosiyah bersikap legawa atas kasus yang menjeratnya. Kabarnya beliau mau mundur dari jabatan Gubernur. Jika itu benar, maka sebagian dari harapan tulisan ini tercapai. Harapan berikutnya ialah Mendagri Gamawan Fauzi segera bertindak.

 -----

Pernyataan Mendagri, Gamawan Fauzi, tentang tidak mungkinnya memberhentikan Ratu Atut Chosiyah dari jabatan gubernur Banten atas sangkaan keterlibatannya pada kasus Pilkada Bupati Lebak dan korupsi Alkes Banten, secara hukum dapat diterima. Ini didukung oleh ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jabaran ketentuan itu dalam pasal-pasal berikutnya menunjukkan bahwa pelengseran Atut tidaklah gampang. Tidak bisa dilakukan suka-suka apalagi hanya didasarkan pada desakan publik. Jika Mendagri melakukannya, maka ia bisa digugat di PTUN.

Kendati demikian, bukan berarti peluang hukum sudah buntu. Ketentuan Pasal 25 huruf a-g jo Pasal 29 ayat (2) huruf b dan e mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban kepala daerah cukup memberi peluang Mendagri untuk bertindak. Dengan penahanannya oleh KPK, sudah tentu sebagian atau seluruh tugas dan kewajiban Atut sebagai Kepala Daerah tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, pelaksanaan tanggung jawab dan kewajiban jabatan terhadap kepentingan rakyat dan tanggungjawabnya kepada Negara, khususnya Pemerintah Propinsi Banten, terabaikan secara hukum.


Mendagri RI, Gamawan Fauzi (http://jambi.antaranews.com/)
Pada titik ini, Mendagri ditantang oleh hakekat hukum. Apakah Mendagri hanya menegakkan hukum dalam arti apa yang tertulis dalam sebuah UU dan ogah menegakkan hukum dalam pengertian yang lebih luas? Jika ya, maka Mendagri memang benar tetapi sekaligus salah. Benar, karena beliau sudah menjalankan apa yang tertulis dalam UU. Salah, karena penegakkan hukum bukan hanya UU. Tidak sebatas apa yang tertulis dalam pasal-pasal UU, yang berfokus pada aspek kepastian hukum. Masih ada aspek lain yang justru merupakan hakekat hukum: aspek keadilan dan kemanfaatan, baik bagi masyarakat maupun hukum itu sendiri.

Dengan memertimbangkan dua aspek terakhir itu, maka pererapan Pasal 31 ayat (2), 32 ayat (4) dan Pasal-pasal lainnya yang terkait tentang diharuskannya adanya putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pemberhentian Atut dari jabatan tidak lebih dari upaya meredusir penegakan hukum sebatas penegakan UU. Penegakan hukum yang demikian mengabaikan manfaat dan tujuan hukum yang sesungguhnya.

Fungsi Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan terhadap kasus Atut memang diperlukan. Tetapi bukan untuk pengukuhan atau pemberhentiannya dari jabatan. Proses dan putusan pengadilan berfungsi untuk membuktikan dan mengukuhkan keteribatannya atau ketidakterilibatannya secara pribadi dalam kasus Pilkada Lebak yang melibatkan Akil Mochtar (mantan Ketua MK) dan korupsi Alkes Banten.

Jabatan Atut sebagai Gubernur dan sebagai pelaku tindak pidana adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya bersatu dalam diri Atut. Jabatan Gubernur adalah milik rakyat, milik Negara yang dipercayakan kepada Ratu Atut Chosiyah. Sementara pelaku tindak pidana, Ratu Atut Chosiyah, adalah (milik) pribadinya sendiri. Jadi, jangan dicampur adukan milik rakyat dan Negara dengan milik pribadi Atut. Kalau Atut salah, jabatan Gubernur tidak salah. Karena itu, jabatan Gubernur jangan sampai terganggu.

Di sinilah sebetulnya pintu masuk Mendagri. Manakala seorang Gubernur, juga Atut, tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajiban jabatannya, Mendagri perlu bertindak. Awalnya adalah tindakan teguran tidak masuk kerja sesuai dengan ketentuan juga. Bila hari kedua, ketiga, dan seterusnya tidak masuk kerja apalagi dengan alasan telah ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana korupsi, maka tindakan pemberhentian dari jabatan sudah layak diterapkan oleh Mendagri. Sebab, sekali lagi, Jabatan Gubernur bukanlah milik pejabatnya secara pribadi yang harus dipertahankan seperti kepemilikan rumah atau kendaraan.Itu milik rakyat dan Negara.

Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah (http://m.poskotanews.com/)
Oleh karena itu, Mendagri Gamawan Fauzi jangan hanya vocal dan bersemangat menurunkan Lurah Lenteng Agung, Jaksel, Susan Jasmine yang jujur dan berprestasi karena desakan FPI tetapi tanpa dasar hukum, lantas kehilangan suara vocalnya (tinggal konsosnan?) ketika berhadapan dengan Gubernur yang nyata-nyata tidak melaksanakan kewajibannya sebagai Gubernur.

Pemberat Hukuman

Apabila Mendagri atau Presiden tidak segera bertindak terhadap jabatan tersebut dan Atut juga tidak mengundurkan diri, maka sikap itu perlu dituntut secara hukum. Terhadap Presiden dan Mendagri dapat dituntut melanggar hukum administrasi dan sumpah jabatan. Bahkan bisa saja dikategorikan pidana juga. Mereka dianggap bersengkongkol dengan  pejabat yang melalaikan tangggung jawab jabatan kepada rakyat dan Negara. Juga dianggap memberikan kemudahan kepada tersangka korupsi.Hukuman dan tata acara menghukumnya dapat diperiksa dalam pasal-pasal UU yang relevan, baik hukum administrasi maupun hukum pidana.

Terhadap Atut, dapat dihitung sebagai faktor pemberat hukuman manakala kelak beliau terbukti bersalah dalam kasus Pilkada dan korupsi Alkes tersebut. Sebab, beliau sudah bersalah dari sisi etika, modal, dan hukum, tetapi masih menghambat pelaksanaan tanggung jawab jabatan Gubernur untuk kepentingan rakyat. Kalau beliau bermoral dan yakin tidak korupsi, Presiden toh bisa merehabilitasi namanya kelak dan jabatan Gubernur dapat dipercayakan kepadanya kembali.

Penundaan pemberhentian Atut dari jabatan Gubernur, oleh Mendagri atau ogahnya Atut melepas Jabatan Gubernur hanya baik dari rumusan UU dan kepentingan Atut secara pribadi, tetapi tidak bagi kepentingan masyarakat dan jabatan.

Pertanyaannya, apakah Presiden SBY, mendagri Gamawan Fauzi masih memerhatikan kepentingan rakyat? Ataukah justru lebih peduli pada kepentingan tahanan KPK, pejabat yang terindikasi kuat korupsi? Mendagri, Gamawan Fauzi dan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono perlu mengklarifikasi hal ini kepada publik. ***

Tidak ada komentar: