Minggu, 21 Maret 2010

BERGURU PADA AIR (1)

Oleh Yosafati Gulo

Air adalah salah satu anugrah Sang Pencipta dalam kehidupan manusia dan alam. Dalam wikipedia disebutkan 71% dari bumi diisi air. Terbanyak ada di laut. Lainnya, di danau, rawa, sungai, dan di bawa permukaan bumi. Wujudnya ada tiga. Bentuk cair, es, dan uap. Es dan uap berasal dari air juga. Yang satu adalah air yang mengeras dan lainnya adalah gas. Keduanya berubah karena faktor udara. Pada titik tertentu, baik es maupun gas selalu kembali pada wujudnya semula, cair.

Salah satu sifat mutlak dari air adalah mengalir. Terkadang berbelok-belok dan terkadang lurus. Tapi tujuannya jelas. Ia pasti menuju ke tempat yang lebih rendah, laut, untuk bergabung - menyatu ke sesama air. Mustahil ada air yang mengalir ke atas, ke arah bukit atau gunung. Memang ada juga air yang mampir di danau. Ada dari sungai atau hujan. Tapi itu hanya sementara. Bukan tujuan akhir. Manakala danau penuh atau meluap karena banjir, air akan meninggalkan danau menuju laut. Dalam kondisi normal pun, ia terus bergerak. Terus berusaha menelusur celah-celah bumi untuk mencapai laut.

Di laut, semua air dari berbagai latar belakang bertemu. Ada air hujan, air jernih dari sumber pebukitan atau celah-celah batu, air sungai keruh penuh lumpur yang dibawa banjir, air kotor dan bau dari limbah industri, dan lainnya. Semuanya bercampur baur. Menyatu. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri. Tidak ada yang mengangggap diri paling air di antara air. Atau paling berkuasa di antara para air. Semua saling menerima dan memosisikan diri sama. Mereka tinggal bersama di tempat yang sama dengan penuh kedamaian, kerukunan, dan keharmonisan.

Dalam keberagaman, mereka menemukan jati diri dan hakekatnya sebagai air. Yang satu tampak jernih, bening, karena ia murni keluar dari perut bumi dan belum tercemari. Karena itu ia baik untuk diminum oleh manusia. Yang lain tampak kotor dan berbau karena ia datang bersama limbah pabrik atau lumpur. Sebenarnya, ia tidak beda dengan air jernih. Aslinya, ia tidak kotor dan berbau. Cuma, sebelum sampai di laut, ia sempat mampir di pabrik untuk membantu produksi keperluan manusia atau di rumah-rumah manusia untuk membersihkan pakaian kotor dan keringat diri setelah lelah bekerja. Semua penampilan fisik itu, tidak dipersoalkan. Warna-warni latar belakang dan atribut-atribut alami dipahami sebagai sebuah keindahan dan keajaiban karya tangan Sang Pencipta.

Manusia Semestinya Malu

Sebagai makhluk yang berakal, semestinya manusia malu terhadap air. Manusia berakal, tapi tindakan, pikiran, peruatan, dan kecenderungan hatinya sering melawan akalnya. Bukannya mencari dan rindu menyatu dengan sesamanya. Tapi, justru sibuk memisahkan diri, menjauh atau mencutkan diri ke atas untuk hanya memenuhi hasrat-hasrat individualnya.

Jika sudah berposisi tinggi, kaya, berpengaruh, manusia seolah lupa pada hakekatnya sebagai manusia. Bukannya tinggal dan berusaha menyatu dengan sesamanya lalu memikirkan cara-cara mengangkat harkat hidup sesama manusia. Yang dilakukan justru sebaliknya. Mencari untungan sebanyak-banyak dan sebesar-besarnya dari manusia lain untuk makin mengokohkan posisi, kuasa, dan pengaruhnya demi kepentingan dirinya, keluarganya, kelompoknya, dan orang-orang yang sepaham dengannya.

Dalam posisi itu sebetulnya, si manusia bisa melakukan banyak hal bermakna bagi kehidupan. Ia bisa membantu meningkatkan kualitas hidup sesamanya melalui berbagai cara. Memaknai kekayaan, kuasa, pengaruh yang dimilikinya sebagai alat untuk membangun kehidupan bersama. Terutama bersama mereka yang masih berkerumun di lautan manusia yang kehidupannya belum layak.

Bisa saja dengan menciptakan lapangan kerja bagi yang menganggur. Bisa juga memberi modal usaha secara cuma-cuma. Membiayai sekolah anak-anak miskin. Membuka kursus-kursus ketrampilan yang dapat dimasuki oleh orang-orang miskin tanpa harus menarik biaya. Targetnya, tak usah muluk-muluk. Yang penting, sebagian dari keuntungan usaha dan kekayaan dianggarkan secara bersinambungan untuk membantu sesama. Coba bayangkan betapa mudahnya membangun bangsa ini, kalau 1000 saja orang kaya masing-masing memodali 5 orang tiap tahun atau menyekolahkan 10 orang tiap tahun.

Modalnya juga bisa macam-macam. Mulai dari memodalinya dengan sebuah ketrampilan, disusul dengan modal usaha sesuai kemampuan dan ketrampilannya, dan seterusnya. Demikian pula soal sekolah. Bagi yang berpotensi dapat disekolahkan sampai sarjana bahkan doktoral. Kalau kemampuannya pas-pasan, ya, sampai sekolah menengah atau sesuai kemampuannya. Bagi yang berpotensi, sangat dimungkinkan bahwa sebelum menyelesaikan doktoralnya ia bisa mencari biaya sendiri bahkan bisa membantu yang lain secara estafet.

Klaim-Kalim Manusiawi

Aneh bin tidak masuk akal. Manusia berakal ini masih rajin membuat klaim-klaim yang tak masuk akal atas kehidupan yang mengenai sesamanya. Karena merasa kuat, berkuasa, maka kebenaran dilkaim sebagai miliknya. Yang disebut benar hanyalah yang dikatakannya benar. Lainnya tidak. Bumi dan segala isinya diklaim sebagai miliknya karena ia merasa sebagai penduduk paling asli.

Soal agama dan kepercayaan sama saja. Apa yang dianutnya dianggap paling benar. Semua anutan lain yang berbeda, dianggapnya salah. Karena itu harus dibasmi. Warna-warni kehidupan tidak dipahami sebagai wujud keagungan karya Sang Pencipta.

Lucunya, keyakinannya terus menerus mengajarkannya tentang keberbagaian. Semua yang ada adalah ciptaan Tuhan yang dipuja-pujinya. Di satu sisi ia rajin menyembah Tuhannya. Tapi di sisi lain ia juga rajin menentang kebebaran buah karya Tuhannya. Ia tidak mau sadar bahwa Tuhan memang sengaja membuat keberbagaian guna memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia yang memang diciptakan dalam keberbagaian. ***

Tidak ada komentar: