Rabu, 03 Maret 2010

MEMPERJUANGKAN PLURALISME

Oleh Yosafati Gulo

Pemaksaan uniformitas oleh rezim pada masa lalu merupakan kesalahan besar dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Peristiwa itu tentu tidak muncul tiba-tiba. Ia mengemuka karena adanya dorongan dahsyat dari golongan sangat kuat di Tanah Air, yaitu mereka yang merasa diri paling asli dan paling berhak atas Negara dan bangsa yang namanya Indonesia. Dengan berbagai strategi golongan ini berhasil “mendikte” kekuasaan untuk menentukan warna Indonesia.

Bagi penguasa, yang memang butuh dukungan kuat saat itu, tuntutan tersebut menjadi klop. Warna-warni bangsa yang sebelum merdeka telah menjadi warna nyata Indonesai merdeka, dibabat habis. Apa yang dikenal dengan sebutan pluralisme, Bhineka Tunggal Ika, ditebas dengan ketentuan hukum. Wawasan bernegara, berbangsa, bermasyarakat, dan bahkan ber-Tuhan dipaksa menjadi sewarna sesuai sudut padangan yang dilegalkan.

Ogah dihiraukan bahwa tindakan itu melawan kodrat, karya maha agung Sang Pencipta. Tak digubris bahwa Tuhan sendiri menciptakan bumi dan segala isinya dalam aneka rupa dan warna. Majemuk! Tujuan Tuhan pastilah baik. Agar manusia bisa membedakan mana rumput dan hewan. Mana makanan dan bahan bangunan. Mana dirinya, diri istri/suami, anak sendiri, anak tetangga, anak hewan, ibu-bapak, kakek-nenek, dst. Dengan begitu, identitasnya sebagai manusia, sebagai Si A, Si B, menjadi jelas. Ia tidak sama dengan rumput atau hewan. Ia beda dengan SI C atau Si D, dst.

Coba bayangkan betapa kacaunya hidup ini kalau segala isi dunia hanya satu bentuk dan warna. Pada saat memotong ayam jadi lauk-pauk, yang dipotong ternyata bukan ayam, tetapi anaknya sendiri. Ketika membangun rumah, yang dicampur dengan semen ternyata bukan pasir dan kerikil tapi kotoran kerbau dan kambing. Ketika memenuhi hasrat manusiawi, yang dirangkul, sicumbui si suami ternyata bukan istrinya tetapi ibu sendiri, istri saudara, tetangga, atau malahan anaknya sendiri. Dan… silahkan teruskan sendiri.

Faktor Sleeping Giant

Manusia, memang beda dengan benda. Benda bisa diatur sesuka hati. Pohon kelapa yang ditanam di tempat tertentu, akan tetap tinggal dan hidup di tempat itu sampai ia mati. Ia tak berkemampuan mengolah tempatnya yang tandus menjadi subur. Mustahil baginya berpindah tempat untuk mencari makanan bergizi. Di mana ia ditanam dan apa pun yang terjadi di tempat itu ia terima seumur hidup tanpa embel-embel protes atau mencari solusi yang lebih baik.

Manusia, tidak demikian. Fisiknya bisa saja dikurung dalam penjara baja berlapis-lapis. Juga gerak lahirianhya dibatasi dalam wilayah sempit. Tapi bagaimana dengan otaknya? Benda kecil itu ternyata punya kekuatan maha dahsyat melebihi apa yang dapat dilakukan manusia secara fisik. Ia bisa terus bergerak “liar” ke mana pun ia mau. Menembus tembok-tembok penjara baja yang berada di bawah tanah sekalipun, bukalah hal sulit baginya untuk beraktivitas dan melahirkan karya-karya besar.

Nampaknya, kondisi itulah yang dialami kaum minoritas pada masa yang lalu. Ia dipenjara dalam wilayah sempit. Dihanyakan tinggal dan hidup dalam wilayah bisnis. Identitasnya dicopot dan diharuskan memakai identitas lain. Tapi ia bukan pohon kepala yang pasti pasrah pada situasi. Sebagai manusia, ia memiliki faktor “sleeping giant”. Manakala ditekan, dipojokkan, atau dipaksa, maka sleeping giantnya segera bangun. Faktor inilah yang membuatnya mampu mangolah lahan sempit dan dianggap tandus menjadi lahan subur. Bukan cuma agar bisa hidup. Tetapi, hidup yang berbuahkan kelimpahan.

Dari wilayah sempit itu, kini, ia sudah jadi “raksasa”. Kemampuannya dahsyat. Ia telah menjadi faktor kunci bagi perekonomian Indonesia. Dari wilayah itu, ia bisa mendikte arah ekonomi nasional yang barang tentu kait-mengait dengan kehidupan bangsa dan Negara. Maka, rasa was-was pun muncul di berbagai kalangan, termasuk penguasa yang sebelumnya menjadikannya sapi perah.

Akibatnya, di kalangan masyarakat tertentu muncul protes. Baik terang-terangan maupun bisik-bisik. Golongan minoritas lantas dinilai mengkhianati bangsa. Isi otaknya dituduh hanya mengumpulkan harta lalu melarikannya ke luar negeri atau ke Negara asalnya. Padahal yang melakukan itu hanya beberapa orang yang memang berwatak kotor. Tidak semua. Lagi pula, watak kotor serupa ada di mana-mana, di kalangan mana saja dengan latar belakang apa saja di indonesia.

Kalau kemudian mereka menjadi raksasa ekonomi, tentu bukan salah mereka. Itu, kesalahan Kebijakan penguasa dan kesalahan pihak-pihak yang mendorong terbitnya kebijakan tersebut.

Faktor Gus Dur

Syukur bahwa bangsa ini masih memiliki seorang Gus Dur. Dalam dua tahun menjadi Presiden, walaupun dengan keterbatasan fisik, beliau berhasil mendobrak berbagai hal yang dianggap tabu, yang tidak berani disentuh oleh pemimpin sebelumnya. Salah satunya adalah pencabutan PP No 14 tahun 1967 yang melarang kaum Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat di depan umum dan hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga.

Pencabutan PP No. 14 Tahun 1967 –yang kemudian dikukuhkan oleh Megawati Sukarno Putri melalui Keppres No 19/2002– pada masa pemerintahannya, dapat dikatakan hanya secuil dari apa yang dicita-citakan Gus Dur. Melalui tulisan, pidato, ceramah, atau komentar-komentarnya, yang sering jadi berita hangat di media, dapat diketahui betapa besar dan banyaknya opsesi Gus Dur untuk terus menegakkan hak-hak hidup manusia Indonesia.

Bagi Gus Dur, kehidupan manusia merupakan faktor sentral. Melebihi kepentingan atas dasar apa pun yang sifatnya sampiran, predikat-predikat kehidupan. Oleh karena itu, jangan hanya karena warna kulit, etnisitas, bahasa, bahkan agama, maka kehidupan dikorbankan. Cara pandang itulah yang menempatkan Gus Dur sebagai pemimpin besar, sekaligus unik. Benar-benar tidak ada duanya. Ia adalah “bapak” segala suku dan etnis, “bapak” segala agama dan kepercayaan, “bapak” bagi yang ditindas dan dipinggirkan, “bapak” pluralisme, “bapak” demokrasi, dan “bapak” besar bagi Indonesia.

Dari pemberitaan media diketahui bahwa dobrakan Gus Dur tidak mulus diterima. Nada sinis, olok-olok, dan menentang dari pihak-pihak yang tidak setuju begitu gencar diarahkan kepada beliau saat itu. Namun, Gus Dur tetap tegar. Sedikitpun tak tampak keraguan apalagi gugup saat mengambil keputusan.

Alasan Gus Dur, sebenarnya, begitu gamblang, mudah dipahami oleh siapa pun. Pertama, beliau sepenuhnya sadar bahwa bumi ini, termasuk Indonesia, adalah milik Sang Pencipta, yang diberikan kepada manusia untuk mempertahankan kehidupan dengan segala aspeknya. Boleh saja Negara menerbitkan rupa-rupa aturan hukum untuk mengatur tatanan hidup warga, namun jika hal itu mengerdilkan kehidupan, memangkas hak-hak hidup sebagian warganya, maka aturan tersebut harus dicabut.

Kedua, hak-hak hidup seseorang bukanlah pemberian siapa pun. Tapi, pemberian langsung Sang Pencipta. Hak tersebut diberikan sama bagi setiap orang. Karena itu, tak boleh ada yang –karena kuasa,pengaruh, atau merasa kuat– menebas hak orang atau golongan tertentu. Menebas hak-hak hidup orang lain, dan memperbesar hak-hak hidupnya sendiri di atas bumi yang sama, sama halnya meyetarakan diri sendiri dengan Sang Pencipta. Dan ini, dinilai Gus Dur berbahaya!

Sejatinya, apa yang diperjuangkan Gus Dur, bukan “barang” asing. Apalagi beraroma “Barat” seperti sering dituduhkan kepadanya. Ini, benar-benar produk dalam negeri. Asli Indonesia yang telah didokumentasikan dalam apa yang kita sebut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itu artinya bahwa apa yang dilakukan Gus Dur jauh dari nyeleneh. Semata-mata merupakan usaha konkret-nyata mengembalikan keindonseiaan Indonesia pada rel cita-cita bangsa dan Negara.

Gampang-gampang Susah

Mempertahakan dan menyuburkan penerimaan pluralisme di berbagai aspek kehidupan dapat dikatakan gampang-gampang susah. Gampang, apabila para pemimpin yang ada, baik di lembaga pemerintahan maupun yang lain terus memperjuangkan cita-cita Proklamasi sebagaimana telah dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Susah, manakala para pemimpin yang ada, dan akan ada, masih terus mengotak atik cita-cita Proklamasi dari sudut kepentingan tertentu dan membuat penafsiran-penafsiran yang cenderung keluar rel.

Pengakuan atas hak hidup beragama, berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu, merupakan contoh yang terus diutak-atik. Hanya karena kepentingan tertentu, maka sebagian warga bangsa Indonesia terus dipojokkan. Bukan cuma menyangkut ruang gerak yang cukup untuk beribadah secara wajar. Tetapi hak hidup keberagamaan dan berkepercayaan mereka terus-terusan dikerdilkan.

Dari waktu ke waktu, kita terus disuguhi penghakiman atas agama dan kepercayaan tertentu. Dengan pongah selalu ada yang berkata bahwa agama ini atau itu salah, oleh karena itu harus dilarang.

Pertanyaannya, apakah Tuhan tidak tertawa terbahak-bahak menyaksikan perbuatan seperti ini? Apakah Tuhan tidak berkata, “Lho…! kamu kok berani bilang bahwa yang itu salah dan ini benar, padahal Aku sendiri belum pernah berkata seperti itu dalam Firman-Ku?”

Menurut saya, apa yang dilakukan Gus Dur perlu diperjuangkan terus. Kita tak boleh diam atau hanya menunggu datangnya “dewa” pengganti Gus Dur. Gantinya adalah kita semua, cara pandang dan semangat kita memperjuangkan pengejawantahan Pancasila dan UUD 1945 dalam berbangsa dan bernegara. Itu saja!

Tidak ada komentar: