Kamis, 03 Februari 2011

WAJAH NIAS BARAT DALAM PILKADA

Oleh Yosafati Gulö

Sebelum dimulainya proses Pilkada, masyarakat Nias Barat (NB) tampak begitu kompak. Lebih-lebih selama kira-kira tujuh tahun secara intensif masa perjuangan pemekaran. Pembicaraan, semangat, dan tekad tampak bulat seperti bola. Kendati ada satu dua yang “bersuara sumbang”, namun karena raungan pekik perjuangan terus membahana di hati masyarakat NB, nada sumbang itu menjadi tidak signifikan.

Sarasan perjuangan begitu nyata. NB harus menjadi sebuah Daerah Otonomi Baru (DOB, Kabupaten). Masyarakat begitu yakin bahwa dengan menjadi sebuah Kabupaten, maka NB dapat membangun dirinya lebih mudah dan fair. Mengangkat dirinya dari berbagai keterpurukan. Itulah sebabnya, ketika Badan Persiapan Pemekaran NB menggalang dana guna membiayai berbagai keperluan pemekaran, anggota masyarakat merespon secara positip. Berbaga lapisan masyarakat rela memberi kontribusi sesuai kemampuannya. Tak terkecuali anggota masyarakat yang sebenarnya tergolong miskin di desa-desa.

Semangat yang sama tampak jelas di kalangan masyarakat NB yang berdomisili di luar Nias. Juga pihak lain yang simpati dan turut prihatin pada kondisi Nias. Dengan kapasitas masing-masing, mereka tak segan-segan mengorbankan waktu, tenaga, materi, dan tentu saja pikiran untuk mewujudkan mimpi bersama. Agaknya, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa wajah NB saat itu begitu indah, mulus-halus, mirip selebriti yang rajin merawat diri.

CEDERA

Sekarang, kondisinya lain. Perjuangan memosisikan anak NB menjadi Penjabat (Pj) Bupati yang adalah bagian dari cita-cita dan kekompakan semangat dari seluruh lapisan masyarakat, tidak dimaknai dalam mengimplementasikan pemerintahan.

Kebijakan demi kebijakan sejak pelantikan Pj Bupati NB Mei 2009 belum mampu merawat wajah mulus hasil perjuangan. Apa yang terlihat, justru luka dan cedera. Ada beberapa indikasi. Pertama, dalam mengelola pemerintahan tak satu pun para pengagas pemekaran dilibatkan secara intensif dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis pemerintahan. Apa dasar, pilar, dan bagaimana meletakkan fondasi yang kuat, serta hendak ke mana pemerintahan NB diarahkan — seperti terbayangkan dalam serangkaian diskusi para penggagas di berbagai tempat selama puluhan tahun– tidak diberi tempat. Padahal para penggagas pemekaran telah menggumuli hal itu secara mendalam dalam waktu sekitar tujuh tahun.

Kedua, penempatan sumber daya manusia pada posisi-posisi Satuan Kerja Perangkat Daehttp://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5334939907871933513#rah (SKPD) tidak memanifestasikan nilai-nilai kebersamaan yang mewakili delapan Kecamatan yang ada. Yang tampak justru penumpukkan SKPD pada kecamatan tertentu yang diisi oleh orang-orang dari Kecamatan dan bahkan marga tertentu.

Ketiga, penerimaan CPNS di NB Desember 2009 yang ricuh itu, seolah melengkapi sikap ogah dalam mengimplementasikan jiwa perjuangan pemekaran. Rekayasa sistem seleksi, yang melahirkan model aneh dan tak pernah terjadi di daerah mana pun di seantero dunia, mengakibatkan ratusan peserta yang semula dinyatakan lulus seleksi terpaksa gigit jari. Sementara tujuh CPNS tanpa melewati proses seleksi dapat melenggang maju menjadi CPNS.

Belakangan, tanggungjawab sistem aneh itu dilemparkan ke “bawah”. Pimpinan tertinggi Pemerintahan NB cuci tangan. Yang dijadikan kambing hitam adalah panitia dan pelaksana. Guna memuluskan jalan calon tertentu merebut jabatan permanen sebagai Bupati, para pendukung mencintrakan kecurangan di tataran panitia dan pelaksana.

Pertanyaannya, apa benar demikian? Kalau memang panitia dan pelaksana bertindak di luar koridor, mengapa dibiarkan? Mengapa tidak diambil tindakan sesuai dengan ketentuan hukum? Diabaikannya hal-hal tersebut merupakan indikasi bahwa tindakan panitia dan pelaksana sudah benar. Benar dalam pengertian bahwa mereka bekerja sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan pimpinan: pengendali utama pemerintahan pada saat itu.

Cedera tersebut, makin diperparah oleh kebijakan Pjs Bupati yang sekarang. Enam dari delapan Camat yang baru saja diangkat Pj Bupati sebelumnya, tiba-tiba diganti. Ada diantaranya yang kembali dijadikan guru SD. Selain itu, beberapa pejabat eselon tiga juga dimuasi tanpa alasan yang jelas. Tak pernah diumumkan kepada publik bahwa para Camat dan pejabat tersebut telah melakukan pelanggaran atau penyimpangan.

Ini pun dilakukan tepat pada tanggal 31 Desember 2010. Akhir tahun! Bisa dibayangkan betapa terpukulnya keluarga atas peristiwa tersebut. Lebih-lebih bagi orang NB yang sebagian besar orang Kristen. Akhir tahun yang semestinya merupakan kesempatan bergembira bersama keluarga, tiba-tiba berubah menjadi duka karena kebijakan Pjs Bupati. Kita tidak tahu apakah hal itu hendak menunjukkan kepada publik bahwa Pjs Bupati memang tidak paham betapa sakralnya akhir tahun bagi orang Kristen.

Ada kesan bahwa tindakan penguasa NB (Pj Bupati dan penggatinya) sarat dengan kepentingan kelompok tertentu menjelang Pilkada dan sesaat. Dan karena ada kuasa, seolah-olah boleh melakukan apa pun secara suka-suka.

Pertanyaannya, apakah model kebijakan itu dapat menjawab gelora perjuangan pemekaran yang digaungkan sejak tahun 60-an? Apakah kebijakan seperti itu merupakan cara yang tepat untuk membangun kehidupan masyarakat secara fair? Memerangi kemiskinan, keterbelakangan dan berbagai keterpurukan yang ada? Saya sendiri ragu.

MELUMPUHKAN

Sejak diumumkannya tiga pasangan Calon Bupati (Cabup) oleh KPUD September 2010, kondisi NB tampak makin jauh dari jiwa perjuangannya. Bahan pembicaraan kini, bukan lagi pada apa dan bagaimana membangun. Mengangkat NB dari keterpurukannya. Tapi, dipersempit pada upaya pemenangan calon yang didukung tanpa disertai argumentasi sejalan tidaknya dengan garis perjuangan: jiwa dan tujuan pemekaran daerah.

Masyarakat yang semula kompak dalam segala keberbagaiannya, tampak mulai mengambil jarak satu dengan yang lain. Seiring makin dekatnya waktu Pilkada, anggota masyarakat terus mengelompokkan diri. Membentuk kubu pada pasangan Cabup yang didukung.

Dalam politik, peristiwa tersebut memang bukan masalah. Sudah dianggap lazim dan wajar. Secara hukum juga tidak dilarang. Yang tidak wajar adalah makin mengejalanya dukung mendukung pasangan tertentu berdasarkan aspek-aspek primordial (lihat tulisan berjudul “Mengira-Ngira Calon Bupati NB”, Jarak Pantau edisi II Desember 2010). Di antaranya ialah adanya gejala mobilisasi dukungan terhadap calon atas alasan kesamaan latar belakang agama. Alasan ini, selain berpotensi merusak rasa kesatuan dalam kebinekaan, jelas jauh dari hakikat perjuangan NB.

Yang lebih parah, makin mekarnya kubu-kubu di kalangan kaum terdidik di dunia maya. Mereka ini banyak yang berstatus pelajar, mahasiswa, sarjana, dan atau bekerja di berbagai lembaga pemerintahan dan swasta. Termasuk lembaga pendidikan.
Mulanya mereka berdiskusi tentang pembangunan NB dan kriteria Cabup. Aneh bin ajaib, diskusi itu tak bertahan lama. Argumentasi logis yang sepantasnya bagi kaum terdidik lambat laun mereka tinggalkan. Yang rajin dilontarkan justru hujatan, makian, dan sejumlah kata-kata kotor ke arah yang berbeda pendapat. Ada bahkan yang mengancam karena diperingatkan temannya.

Lebih tak masuk akal lagi ialah adanya kecerungan memobilisasi opini dengan tuduhan-tuduhan dan nada fitnah terhadap Cabup yang diposisikan sebagai lawan. Itu pun dilakukan dengan gaya “lempar batu sembunyi tangan”. Mereka menulis, tetapi bersembunyi di belakang nama samaran.

Kekuatiran saya ialah jika cara-cara di atas tidak segera dihentikan, maka cita-cita pemekaran NB bukan Cuma cedera. Tapi lukanya makin menganga. Dan ini, bisa menjadi borok yang melumpuhkan kehidupan masyarakat. Ini, tidak kita kehendaki, bukan? ***
_______
Penulis, bekerja pada Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Bedomosili pada : yosa_gulo@yahoo.com

Tidak ada komentar: