Pengantar:
Tulisan berikut
merupakan jawaban atas pertanyaan Fahmi, salah seorang pembaca artikel saya
tentang yayasan. Pertanyaan Fahmi demikian “Dana yayasan yang didapat dari
pemerintah, apakah boleh sebagian dananya dialokasikan untuk membangun bidang
usaha?"
_____________
Di balik pertanyaan di atas,
terselip anggapan atau malah keadaan yang sesungguhnya bahwa yayasan Fahmi
telah menerima atau akan menerima dana bantuan dari pemerintah. Lantas, yayasan
ini ingin mandiri dari segi pendanaan dengan cara mendirikan badan usaha
dan/atau mengikutsertakan sebagian dananya dalam badan usaha prospektif. Namun,
ada hal yang dinilai belum jelas. Apakah dana bantuan yang mereka terima dari pemerintah
dapat dipakai sebagian sebagai modal usaha? Apakah hal itu tidak melanggar
hukum?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, marilah kita periksa ketentuan hukum tentang dana atau kekayaan
yayasan sebagaimana yang diatur dalam UU Yayasan.
Kekayaan Yayasan
Pasal 26, Pasal 27 UU No 16
Tahun 2001 menyebutkan bahwa sumber kekayaan yayasan dapat berasal dari salah
satu atau dari beberapa sumber. Yang utama adalah kekayaan yang dipisahkan dari
kekayaan pribadi oleh pendiri sebagaimana disebutkan pada Pasal 26 ayat (1) UU
No 16 Tahun 2001, “Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang
dipisahkan dalam bentuk uang atau barang”, yang nilanya sebesar yang diatur
pada Pasal 6, PP No 63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan UU Yayasan.
Selain kekayaan tersebut, Pasal
26 ayat (2) menentukan bahwa kekayaan yayasan dapat bersumber dari: a.
Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat; b. wakaf; c. hibah; d. hibah
wasiat; e. perolehan lain yang tidak bertentangan dengan AD Yayasan dan/atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal tertentu, negara
dapat memberikan bantuan kepada Yayasan dengan tata cara yang diatur dalam
Pasal 20-25, PP No 63 Tahun 2008 tersebut di atas. Antara lain yang penting di
situ ialah bantuan negara adalah bantuan dari negara kepada Yayasan yang
didirikan oleh Orang Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah. Bantuan dari pemerintah pusat bersumber dari
APBN, sedangkan bantuan dari pemerintah daerah bersumber dari APBD.
Bantuan tersebut diberikan oleh
pemerintah pusat apabila yayasan memiliki program yang menunjang kegiatan
pemerintah pusat atau daerah apabila yayasan memiliki program yang menunjang
kegiatan pemerintah daerah setempat. Wujudnya, bisa uang, bisa jasa, atau
bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan dengan cara hibah
atau cara lain.
Menurut ketentuan Pasal 22, bantuan
negara kepada Yayasan dapat diberikan dengan atau tanpa adanya permohonan dari
Yayasan. Bila tanpa permohonan berarti pemberiannya tergantung dari kebijakan
pemerintah berdasarkan ketentuan UU. Namun, jika dengan permohonan, maka
prosedurnya harus melalui pengajuan permohonan oleh pengrus yayasan kepada menteri
atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya berkaitan dengan kegiatan Yayasan; atau gubernur, bupati, atau
walikota di tempat kedudukan Yayasan dan/atau di tempat Yayasan melakukan kegiatannya.
Status bantuan dan kekayaan
yang telah ada sebelum bantuan adalah kekayaan yayasan, bukan kekayaan
pengurus, pembina, atau pengawas. Oleh karena itu, pemakaiannya oleh yayasan
harus didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh yayasan sendiri
dalam Anggaran Dasar (AD) Yayasan. Dalam hal yayasan mendirikan badan usaha,
maka dalam AD harus sudah tercantum hal tersebut dengan memerhatikan Pasal 5,
Pasal 7, dan Pasal 8 UU No 16 Tahun 2001 yang telah diubah dengan UU No 28
Tahun 2004.
Tegasnya, setelah dana bantuan
itu diberikan kepada yayasan, maka yayasan dapat menggunakannya untuk kegiatan
yayasan, termasuk dalam mendirikan badan usaha dan/atau penyertaan modal pada
badan usaha prospektif.
Larangan Pengalihan Kekayaan Yayasan
Hal yang mesti diingat oleh
pengurus, pembina, dan pengawas yayasan ialah bahwa kekayaan yayasan adalah milik
yayasan. Karena itu penggunaannya tidak boleh lain, selain untuk keperluan dan
kegiatan yayasan sebagaimana telah diatur dalam AD yayasan.
Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan
bahwa “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh
Yayasan berdasarkan UU Yayasan, dilarang dialihkan atau dibagikan secara
langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium,
atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan
Pengawas.” Kekayaan yayasan dimaksud termasuk kekayaan yang timbul dari hasil
usaha yayasan.
Kendati demikian, ketentuan
tersebut tidak kaku. Pasal 5 ayat (2) memberikan pengecualian terhadap larangan
pada ayat (1). Intinya, yayasan dapat menentukan dalam AD Yayasan bahwa
Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dengan asalkan Pengurus Yayasan
pengurus yayasan bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri,
Pembina, dan Pengawas. Selain itu, pengurusan yayasan benar-benar melaksanakan
kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh. Secara penuh artinya bukan
pekerjaan sambilan.
Ini artinya bahwa penggunaan
kekayaan yayasan di luar kegiatan hanya boleh dalam bentuk gaji, upah, atau
honorarium pengurus, dan tentu saja karyawan yayasan yang bekerja penuh waktu.
Istilah berafiliasi dalam
ketentuan itu diartikan sebagai hubungan keluarga karena perkawinan atau
keturunan sampai derajat ketiga baik secara horizontal maupun vertikal.
Pengurus yang diberikan honorarium tersebut haruslah pengurus yang bekerja
penuh waktu di yayasan. Nah, pemberian honorarium inipun harus diatur dalam AD
yayasan.
Pendirian Badan Usaha
Pasal 7 menyebutkan bahwa
yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan
tujuan yayasan. Kegiatan dimaksud sangat luas seperti diuraikan dalam
penjelasan Pasal 8 yaitu termasuk antara lain bidang usaha yang terkait dengan
hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan,
lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.
Selain mendirikan badan usaha,
yayasan bisa juga melakukan penyertaan dalam berbagai usaha yang prospektif.
Dana yang bisa dipakai untuk mendirikan badan usaha atau penyertaan itu tentu
saja diambil dari kekayaan yayasan yang ada.
Nah, jumlah yang bisa dipakai
untuk mendirikan badan usaha atau penyertaan maksimal 25% dari keseluruhan
kekayaan yayasan. Ini artinya, tidak ada pemilahan apakah kekayaan yang boleh
dipakai itu hanya yang bersumber dari yayasan sendiri, atau dari hibah atau
dari bantuan pemerintah, atau dari bantuan tak mengikat. Yang penting bahwa
jumlah kekayaan yang boleh dipakai, baik uang maupun barang, maksimal 25 % dari
nilai keseluruhan kekayaan yayasan.
Perlu diingat bahwa dalam badan
usaha yang didirikan yayasan itu harus memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (3) yang
menyatakan bahwa "anggota pembina, pengurus, dan pengawas yayasan tidak
boleh atau dilarang merangkap sebagai anggota direksi atau pengurus dan anggota
dewan komisaris atau pengawas dari badan usaha yang didirikannya itu.
Hal penting lainnya ialah bahwa
badan usaha tersebut tidak lagi diatur atau diurus secara langsung oleh yayasan,
tetapi harus diatur oleh pengurus tersendiri berdasarkan ketentuan yang relevan.
Misalnya badan usaha yang berbentuk PT harus diatur menurut UU Perseroan
Terbatas. Demikian pula kalau bentunya UD atau CV. Yang penting bahwa badan
usaha itu harus mengatur dirinya sendiri berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang relevan.
Pertanyaannya, apakah
keuntungan dari usaha tersebut bisa dipakai oleh pendiri, pembina, pengurus,
pengawas untuk kepentingan pribadi? UU menjawab: tidak! Ini sudah dijelaskan
pada artikel sebelumnya. (Linknya ini).
Semua keuntungan dari badan usaha hanya boleh dipakai untuk kelangsungan hidup
dan pengembangan usaha serta membiayai atau mengembangkan kegiatan yayasan,
termasuk honorarium pengurus sebagaimana dikemukakan sebelumnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar