Kamis, 29 Desember 2016

Kekayaan Yayasan dan Penggunaannya

Pengantar:

Tulisan berikut merupakan jawaban atas pertanyaan Fahmi, salah seorang pembaca artikel saya tentang yayasan. Pertanyaan Fahmi demikian “Dana yayasan yang didapat dari pemerintah, apakah boleh sebagian dananya dialokasikan untuk membangun bidang usaha?"
_____________
Di balik pertanyaan di atas, terselip anggapan atau malah keadaan yang sesungguhnya bahwa yayasan Fahmi telah menerima atau akan menerima dana bantuan dari pemerintah. Lantas, yayasan ini ingin mandiri dari segi pendanaan dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau mengikutsertakan sebagian dananya dalam badan usaha prospektif. Namun, ada hal yang dinilai belum jelas. Apakah dana bantuan yang mereka terima dari pemerintah dapat dipakai sebagian sebagai modal usaha? Apakah hal itu tidak melanggar hukum?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita periksa ketentuan hukum tentang dana atau kekayaan yayasan sebagaimana yang diatur dalam UU Yayasan.

Kekayaan Yayasan
Pasal 26, Pasal 27 UU No 16 Tahun 2001 menyebutkan bahwa sumber kekayaan yayasan dapat berasal dari salah satu atau dari beberapa sumber. Yang utama adalah kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi oleh pendiri sebagaimana disebutkan pada Pasal 26 ayat (1) UU No 16 Tahun 2001, “Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang”, yang nilanya sebesar yang diatur pada Pasal 6, PP No 63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan UU Yayasan.
Selain kekayaan tersebut, Pasal 26 ayat (2) menentukan bahwa kekayaan yayasan dapat bersumber dari: a. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat; b. wakaf; c. hibah; d. hibah wasiat; e. perolehan lain yang tidak bertentangan dengan AD Yayasan dan/atau peraturan  perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal tertentu, negara dapat memberikan bantuan kepada Yayasan dengan tata cara yang diatur dalam Pasal 20-25, PP No 63 Tahun 2008 tersebut di atas. Antara lain yang penting di situ ialah bantuan negara adalah bantuan dari negara kepada Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Bantuan dari pemerintah pusat bersumber dari APBN, sedangkan bantuan dari pemerintah daerah bersumber dari APBD.
Bantuan tersebut diberikan oleh pemerintah pusat apabila yayasan memiliki program yang menunjang kegiatan pemerintah pusat atau daerah apabila yayasan memiliki program yang menunjang kegiatan pemerintah daerah setempat. Wujudnya, bisa uang, bisa jasa, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan dengan cara hibah atau cara lain.
Menurut ketentuan Pasal 22, bantuan negara kepada Yayasan dapat diberikan dengan atau tanpa adanya permohonan dari Yayasan. Bila tanpa permohonan berarti pemberiannya tergantung dari kebijakan pemerintah berdasarkan ketentuan UU. Namun, jika dengan permohonan, maka prosedurnya harus melalui pengajuan permohonan oleh pengrus yayasan kepada menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan Yayasan; atau gubernur, bupati, atau walikota di tempat kedudukan Yayasan dan/atau di tempat Yayasan melakukan kegiatannya.
Status bantuan dan kekayaan yang telah ada sebelum bantuan adalah kekayaan yayasan, bukan kekayaan pengurus, pembina, atau pengawas. Oleh karena itu, pemakaiannya oleh yayasan harus didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh yayasan sendiri dalam Anggaran Dasar (AD) Yayasan. Dalam hal yayasan mendirikan badan usaha, maka dalam AD harus sudah tercantum hal tersebut dengan memerhatikan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No 16 Tahun 2001 yang telah diubah dengan UU No 28 Tahun 2004. 
Tegasnya, setelah dana bantuan itu diberikan kepada yayasan, maka yayasan dapat menggunakannya untuk kegiatan yayasan, termasuk dalam mendirikan badan usaha dan/atau penyertaan modal pada badan usaha prospektif.
Larangan Pengalihan Kekayaan Yayasan
Hal yang mesti diingat oleh pengurus, pembina, dan pengawas yayasan ialah bahwa kekayaan yayasan adalah milik yayasan. Karena itu penggunaannya tidak boleh lain, selain untuk keperluan dan kegiatan yayasan sebagaimana telah diatur dalam AD yayasan.
Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan UU Yayasan, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.” Kekayaan yayasan dimaksud termasuk kekayaan yang timbul dari hasil usaha yayasan.
Kendati demikian, ketentuan tersebut tidak kaku. Pasal 5 ayat (2) memberikan pengecualian terhadap larangan pada ayat (1). Intinya, yayasan dapat menentukan dalam AD Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dengan asalkan Pengurus Yayasan pengurus yayasan bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas. Selain itu, pengurusan yayasan benar-benar melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh. Secara penuh artinya bukan pekerjaan sambilan.
Ini artinya bahwa penggunaan kekayaan yayasan di luar kegiatan hanya boleh dalam bentuk gaji, upah, atau honorarium pengurus, dan tentu saja karyawan yayasan yang bekerja penuh waktu.
Istilah berafiliasi dalam ketentuan itu diartikan sebagai hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga baik secara horizontal maupun vertikal. Pengurus yang diberikan honorarium tersebut haruslah pengurus yang bekerja penuh waktu di yayasan. Nah, pemberian honorarium inipun harus diatur dalam AD yayasan.
Pendirian Badan Usaha
Pasal 7 menyebutkan bahwa yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan. Kegiatan dimaksud sangat luas seperti diuraikan dalam penjelasan Pasal 8 yaitu termasuk antara lain bidang usaha yang terkait dengan hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.
Selain mendirikan badan usaha, yayasan bisa juga melakukan penyertaan dalam berbagai usaha yang prospektif. Dana yang bisa dipakai untuk mendirikan badan usaha atau penyertaan itu tentu saja diambil dari kekayaan yayasan yang ada.
Nah, jumlah yang bisa dipakai untuk mendirikan badan usaha atau penyertaan maksimal 25% dari keseluruhan kekayaan yayasan. Ini artinya, tidak ada pemilahan apakah kekayaan yang boleh dipakai itu hanya yang bersumber dari yayasan sendiri, atau dari hibah atau dari bantuan pemerintah, atau dari bantuan tak mengikat. Yang penting bahwa jumlah kekayaan yang boleh dipakai, baik uang maupun barang, maksimal 25 % dari nilai keseluruhan kekayaan yayasan.
Perlu diingat bahwa dalam badan usaha yang didirikan yayasan itu harus memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (3) yang menyatakan bahwa "anggota pembina, pengurus, dan pengawas yayasan tidak boleh atau dilarang merangkap sebagai anggota direksi atau pengurus dan anggota dewan komisaris atau pengawas dari badan usaha yang didirikannya itu. 
Hal penting lainnya ialah bahwa badan usaha tersebut tidak lagi diatur atau diurus secara langsung oleh yayasan, tetapi harus diatur oleh pengurus tersendiri berdasarkan ketentuan yang relevan. Misalnya badan usaha yang berbentuk PT harus diatur menurut UU Perseroan Terbatas. Demikian pula kalau bentunya UD atau CV. Yang penting bahwa badan usaha itu harus mengatur dirinya sendiri berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang relevan.

Pertanyaannya, apakah keuntungan dari usaha tersebut bisa dipakai oleh pendiri, pembina, pengurus, pengawas untuk kepentingan pribadi? UU menjawab: tidak! Ini sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya. (Linknya ini). Semua keuntungan dari badan usaha hanya boleh dipakai untuk kelangsungan hidup dan pengembangan usaha serta membiayai atau mengembangkan kegiatan yayasan, termasuk honorarium pengurus sebagaimana dikemukakan sebelumnya. ***

Tidak ada komentar: