Minggu, 24 Maret 2013

Menggali Dana Yayasan dengan Mendirikan Usaha Komersial



Oleh Yosafati Gulo

Banyak ahli hukum menilai bahwa UU Yayasan masih mengandung banyak kekurangan. Perdebatan mutakhir mencuat setelah PP No 2 Tahun 2013 tentang Perubahan PP No 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU tentang Yayasan terbit. PP tersebut mengundang kontroversi karena bertabrakan langsung dengan ketentuan Pasal 71 UU No. No 16 Tahun 2001 jo Pasal 71 UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Pasal 71 ayat (1) huruf b jo ayat (4) menetapkan tanggal 6 Oktober 2008 sebagai batas akhir bagi Yayasan untuk menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan, tetapi PP No. 2 Tahun 2013 menabrak batasan waktu itu dengan memberikan kesempatan lanjutan tanpa membatalkan bunyi pasal 71 ayat (1) jo ayat (4) UU tersebut[1].

Peluang Usaha

Terlepas dari tabrakan itu, banyak sisi positip dari UU Yayasan yang perlu segera direspon. Di antaranya ialah terbukanya peluang bagi Yayasan untuk mendirikan badan usaha komersial dan/atau ikut serta dalam suatu badan prospektif untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan.

Cakupan bidang usaha yang dapat dimasuki Yayasan cukup luas. Menurut penjelasan Pasal 8 UU No 16 Tahun 2001, termasuk di antaranya usaha-usaha di bidang hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.

Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan umpamanya. Bisa saja mendirikan badan usaha berupa UD, CV, atau Perseroan Terbatas. Kegiatannya bisa dagang atau mendirikan pabrik yang memproduksi alat-alat pelajaran, olah raga, kesenian, atau alat-alat kesehatan, atau usaha pembibitan tanaman yang menunjang pencapaian tujuan Yayasan.

Usaha tersebut tentu saja tidak dikelola langsung oleh Yayasan. Dilarang oleh Undang-Undang. Sebab, bertentangan dengan fungsinya sebagai badan hukum yang bertujuan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Yang dibolehkan ialah bahwa badan usaha tersebut harus dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga profesional dengan manajemennya sendiri sebagaimana halnya badan usaha komersial pada umumnya.

Pemanfaatan Keuntungan Usaha

Ada beberapa ketentuan yang harus dipedomani dalam mendirikan badan usaha tersebut. Pasal 3, 7, 8, dan Pasal 26 UU No. 16 Tahun 2001 jo Pasal 3 dan Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Yang diatur dalam pasal-pasal itu antara lain, pertama, tentang modal. Untuk mendirikan badan usaha komersial, Yayasan dapat menggunakan paling banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan sebagai modal. Yayasan yang memiliki nilai kekayaan sebesar 100 Miliar (M) umpamanya, paling banyak 25 M di antaranya dapat dipakai sebagai modal. Kalau tidak berminat mendirikan badan usaha, persentase dana tersebut dapat dipakai sebagai penyertaan modal dalam berbagai bentuk usaha prospektif milik orang lain. Misalnya deposito bank dan penyertaan saham pada perusahaan. Pendek kata, makin besar nilai kekayaan sebuah Yayasan, nilai yang dapat dijadikan modal usaha makin besar pula.

Kedua, tentang peruntukan keuntungan usaha. Sebagai penunjang pencapaian maksud dan tujuan Yayasan, maka seluruh keuntungan dari usaha komesial tidak boleh dipakai secara suka-suka oleh organ-organ Yayasan (Pendiri/Pembina, Pengurus, dan Pengawas). Hanya boleh dipakai untuk dua hal. Yaitu, untuk kelangsungan dan pengembangan usaha komersial itu sendiri, serta untuk peningkatan dan pengembangan pelayanan Yayasan kepada masyarakat sesuai dengan maksud dan tujuan utama Yayasan.

Bagi Yayasan yang bergerak di bidang Pendidikan formal umpamanya, 60% keuntungan dipakai sebagai biaya operasional dan pengembangan usaha. Sisanya, harus diarahkan untuk kepentingan pendidikan yang dikelola Yayasan. Entah itu untuk membangun ruangan belajar dengan segala fasilitasnya, membayar gaji guru, dosen dan pegawai, bahkan, kalau bisa, sampai menggratiskan biaya pendidikan bagi para (maha) siswa.

Dengan cara itu, Yayasan tak perlu pusing-pusing mencari dana dengan menarik SPP, uang kuliah, uang sumbangan, atau pungutan apa pun yang selama ini terus menghantui orang tua (maha) siswa. Apabila usaha komersial yang didirikannya berkembang, malahan ia bisa mengadakan dana abadi bagi kelangsungan pelayanannya di bidang pendidikan.

Larangan

Perlu disadari, bahwa sekalipun badan usaha komersial itu didirikan oleh Yayasan, tidak berarti organ-organ Yayasan bisa bertindak sesukanya. Ada beberapa larangan yang harus ditaati. Pertama, organ-organ Yayasan tidak diperkenankan merangkap sebagai Anggota Direksi, Pengurus, Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dalam badan usaha yang didirikannya (Pasal 7 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2001).

Larangan itu masuk akal. Merupakan upaya UU untuk mengkondisikan organ-organ Yayasan agar tetap fokus pada tugasnya mengelola Yayasan. Juga mencegah terjadinya salah urus atas Yayasan dan badan usaha komersial miliknya. Sebab bila hal itu terjadi, kerugian pada badan usaha, yang pada gilirannya mengganggu kegiatan utama Yayasan sulit dicegah.

Kedua,  keuntungan usaha serta kekayaan Yayasan dari sumber mana pun dilarang dibagi-bagi kepada organ-organ Yayasan. Baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 5 UU No. 16 jo Pasal 5 ayat (1) UU No 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Pengecualian atas ketentuan tersebut hanya terbatas pada ketentuan pasal 5 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2004, yaitu apabila Pengurus Yayasan melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh waktu.[2]

Itu pun harus ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus Yayasan menerima gaji, upah, atau honorarium. Jadi, boleh tidaknya Pengurus Yayasan menerima gaji, upah atau honorarium tergantung pada ketentuan Anggaran Dasar Yayasan bersangkutan.

Dari situ nampak bahwa meskipun kekayaan Yayasan makin besar, organ-organ Yayasan tidak memikili hak apa pun menggunakan kekayaan Yayasan. Secara tegas mereka dilarang  mencari-cari alasan untuk menggunakan kekayaan Yayasan untuk kepentingan pribadi.

Dalam kondisi ideal, semua organ Yayasan seharusnya tidak menerima atau tidak mengharapkan ketuntungan material dari Yayasan. Sebagai lembaga sosial seharusnya begitu. Itulah sebabnya tidak semua orang dapat mendirikan Yayasan. Hanya mereka yang sudah berkecukupan secara ekonomi yang layak mendirikan Yayasan.

BillGate[3] dan orang-orang kaya di dunia telah memraktekkan pendirian Yayasan yang murni untuk tujuan sosial. Dari laba usahanya, mereka selalu menyisihkan sekian persen untuk disumbangkan pada kegiatan sosial. Alih-alih diberi atau mengharapkan keuntungan material, mereka justru membayar para profesional untuk menjalankan kegiatan Yayasannya.

Yayasan-Yayasan di Indonesia, nampaknya belum ada yang seideal Yayasan Bill Gate. Kebanyakan Yayasan malahan mengharapkan adanya keuntungan dari usaha, yang selain dipakai untuk mendanai kegiatan Yayasan, juga dipakai untuk keperluan gaji, upah, atau honorarium Pendiri dan Pengurusnya. Inilah yang coba dibatasi oleh UU Yayasan.

Sebagai gantinya, UU memberikan peluang berusaha agar Yayasan mendapatkan dana bagi kelangsungan kegiatannya tanpa harus tergantung seterusnya pada sumbangan pendiri. Pertanyaannya ialah apakah Yayasan-yayasan Pendidikan di Tanah Air telah melihat peluang yang ditawarkan UU Yayasan? Berapa persenkah dari sekian banyak Yayasan yang ada telah mendirikan badan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan Yayasan?

Nampaknya, belum banyak. Boleh jadi karena para Pembina, Pengurus dan Pengawasnya belum mendalami UU Yayasan secara sungguh. Boleh jadi juga karena adanya kendala modal. Namun, kalau sebuah Yayasan mau terus eksis ke depan, ada keharusan baginya untuk menyeriusi tawaran UU Yayasan tersebut.

Janggal nampaknya kalau sebuah Yayasan terus menggantungkan diri pada iuran (maha) siswa dalam berbagai bentuk dan nama pungutan untuk melangusngkan hidupnya. Sudah seharusnya Yayasan mencari dana sendiri untuk mewujudkan tujuan sosialnya dengan dengan cara yang diwadahi oleh UU. Mau? ***


[1][1] Pasal 71 ayat (1) menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, yayasan yang : a. Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau b. Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izinmelakukan kegiatan dari instansi terkait tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ayat (4): Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)... tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksanaan atau pihak yang berkepentingan.”
[2] Itilah penuh waktu dalam Pasal 5 ayat (2) UU No 28 Tahun 2004 adalah apabila Pengurus melaksanakan kepengurusan Yayasan sesuai dengan ketentuan jam hari dan kerja Yayasan, bukan Pekerja paruh waktu (part time).
[3] Menurut Wikipedia, Yayasan Bill & Melinda Gates Foundation (B&MGF atau Gates Foundation adalah yayasan swasta yang beroperasi secara transparan terbesar di dunia, didirikan oleh Bill dan Melinda Gates. Pendiriannya berawal dari ketertarikan dan gairah keluarga Gates untuk memperbaiki sistem kesehatan dan mengurangi kemiskinan ekstrem di seluruh dunia, dan memperluas kesempatan pendidikan serta akses ke teknologi informasi di Amerika Serikat. Pada tahun 2009, Yayasan tersebut telah menyalurkan bantuan senilai US$33,5 miliar.

Tidak ada komentar: