Rabu, 12 Oktober 2011

MENCEGAH TERORISME


Oleh Yosafati Gulo
Pada peringatan hari jadi ke-66 TNI di Markas Besar TNI Cilanggap, Jakarta, Rabu, 05-10-2011, Kepala Negara yang sekaligus Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono, kembali menegaskan perlunya kerja sama banyak pihak untuk memberantas terorisme. Dikatakannya, “Aksi teroris, benturan masyarakat, dan gerakan bersenjata kaum separatis, harus dicegah dan dihentikan”. Ini tidak hanya tanggung jawab Polisi. Tetapi juga TNI perlu turut mencegah aksi-aksi terorisme yang membahayakan hudip masyarakat tak berdosa, tegas beliau (Analisa on line, 6 Oktober 2011)
Ilustrasi tindakan ngawur
Pertanyaannya ialah bagaimana cara mewujudkannya? Pertanyaan ini muncul karena pelaksanaan himbauan Presiden butuh rambu-rambu yang jelas-tegas. Tidak asal bertindak. Ini perlu bagi TNI atau para penegak hukum dapat bertindak tidak ngawur. Tanpa rambu-rambu yang tegas, mereka akan ragu. Sebab himbauan ragu yang dilaksanakan dengan ragu oleh orang yang ragu-ragu, hasilnya tidak hanya meragukan. Pasti ngawur! Dan ini bukan cuma hukuman jabatan menunggu, tetapi ancaman pelanggaran HAM bisa menghadang.
Benar bahwa kita sudah memiliki Perpu No 1 tahun 2002 yang dikukuhkan menjadi UU melalui UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, namun yang diatur dalam  ketentuan itu barulah tindakan yang muncul.  Ia belum mengatur tindakan pencegahan. Tulisan berikut bermasud mengungkapkan salah satu kelemahan Perpu dan UU tersebut dan menawarkan alternatif solusi.
Rumusan Lemah                                                                                                
Bunyi pasal 6 Perpu No 1 tahun 2002 yang ditetapkan menjadi Undang-undang melalui UU No 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme, mengidentifikasikan tindakan terorisme dengan  rumusan: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,...”.
 "Sebab himbauan ragu yang dilaksanakan dengan ragu oleh orang yang ragu-ragu, hasilnya tidak hanya meragukan. Pasti ngawur!"
Entah disadari atau tidak, rumusan itu sangat lemah. Pertama, tindakan terorisme tidak dilihat utuh sebagi sebuah sistem. Yang dilihat hanya letupan, tindakan yang sudah dilakukan dan menimbulkan kerusakan atau suasana teror. Ini baru satu mata rantai dari serangkaian mata rantai kegiatan terorisme. Serangkaian mata rantai tindakan lainnya, mulai dari masa persiapan sampai pada tindakan teror, terlewatkan. Padahal justru di situlah letak kekuatan terorisme: kematangan persiapan sebelum beraksi. Mestinya, orang yang terlibat pada kegiatan persiapan itu turut dijaring sebagai teroris.
Peledakan bom di gedung atau bom bunuh diri hanyalah sebuah titik kulminasi. Jauh-jauh hari sebelum itu, ada serangkain kegiatan yang pasti dilakuan teroris. Mulai dari sosialisasi ide secara langsung atau dengan menggunakan media seperti selebaran, jejaring sosial di internet, pelatihan-pelatihan, diskusi, kegiatan “pencucian otak” berkedok pengajian, rekrutmen calon “pengantin”, perakit bom, penyediaan bahan dan dana, dst. Semua kegiatan itu mustahil bisa dijaring dengan bunyi pasal 6 tersebut.
Kedua, dengan rumusan itu pula aparat penegak hukum, utamanya polisi, Densus 88, atau TNI, tak bisa berbuat banyak. Mereka seolah-olah disuruh duduk manis menunggu adanya peledakan bom atau perusakan gedung dulu, baru boleh bertindak. Kendati di depan mata ada gejala yang menjurus pada tindakan terorisme, mereka tidak berkewenangan menindak, menangkap, atau menahan pelaku.
Menerapkan Hukum Secara Kreatif
Kelemahan itu tampak makin lengkap bila dikaitkan dengan sikap para penegak hukum terhadap ketentuan hukum. Kebanyakan penegak hukum cenderung memahami hukum apa adanya, yang tertulis. Mereka meneropong hukum hanya dari kaca mata preskriptif. Sebatas apa yang tersurat dan rumusan pasal atau ayat-ayat. Aspek filosofi dan sosial yang ada di belakang rumusan pasal dan ayat ogah dipahami dan dipakai sebagai acuan kreatifitas.
Dalam Perpu No 1 tahun 2002 dan UU No 15 tahun 2003, aspek filosofi dan sosial sudah tertulis jelas. Hal ini dapat dibaca dari butir a – f pada konsideran menimbang Perpu dan butir a-e pada UU tersebut. Antara lain disebutkan bahwa pemberantasan terorisme merupakan upaya untuk “a. ...mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..., d. bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional...”.
Dua frase kunci dalam konsideran itu semestinya dimaknai sebagai acuan kreatifitas para penegak hukum dalam mewujudkan amanat Presiden. Yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia...” dan “komitmen nasional”. Dengan frase itu aparat kepolisian atau Densus 88 atau TNI dapat bertindak secara kreatif. Manakala mengetahui adanya gejala teror aparat harus segera bertindak. Tak perlu menunggu ada bom bunuh diri atau pembakaran dulu baru bergerak.
Kreatifitas seperti itu sudah dipraktekkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ketika mengesahkan penggunaan KTP serta paspor untuk pemilih yang tak terdaftar pada Pemilu di Yakuhimo, Papua pada Pemilu 2009. Menurut UU Pemilu, KTP dan Pasror bukan merupakan tanda sah. Namun, MK melakukan itu karena membaca filosofi sebagai latar UU Pemilu.
Mengidentifikasi Gejala
Dalam kerangka berpikir seperti itu, mestinya aparat kepolisian atau TNI perlu mengidentifikasi gejala sosial berbau terorisme. Umpamanya saja, orang yang mengelu-elukan dan menyebut Amrozi dkk. sebagai pahlawan usai dieksekusi mati beberapa tahun lalu perlu dicurigai dan diperiksa. Kendati belum tentu sepaham dengan Amrozi, tapi bukan tidak mungkin ada di antaranya pendukung, calon pelaku, dan atau turut memfasilitasi terorisme.
Dalam kasus-kasus pidana perampokan atau pembuhan, tindakan seperti itu sudah diterapkan. Orang yang melihat atau berada di dekat perampok atau pembunuh, walaupun tidak terlibat atau malah hanya bengong, biasanya turut diperiksa oleh polisi menjadi saksi atau bahkan menjadi tersangka jika terbukti bersengkongkol dengan pelaku. Inilah yang mestinya diterapkan dalam mendeteksi calon-calon “pengantin” teroris.
Contoh lain ialah beberapa pelaku bom bunuh diri sudah diketahui sebagai mantan murid terdakwa teroris Abu Bakar Ba'asyir. Termasuk Pino Damayanto alias Ahmad Yosepa Hayat, pelaku bom Bunuh diri di GBIS, Kepunton, Solo itu. Demikian pula ratusan bahkan ribuan orang yang selalu gegap gempita menyambut Abu Bakar Ba’asyir setiap kali menghadiri sidang sampai dijatuhi vonis oleh hakim di PN Jaksel bulan Juni 2011. Seharusnya, orang-orang semacam itu dapat dianggap terindikasi sebagai (calon) teroris.
Inilah antara lain yang mendesak dilakukan aparat kepolisian, Densus 88 atau TNI untuk mencegah makin liarnya para teroris. DPR juga bisa menolong dengan melakukan revisi rumusan pasal-pasal yang tampak lemah dalam Perpu dan UU tersebut guna memberikan dasar hukum tindakan aparat penegak hukum. Urusan ini, nampaknya jauh lebih urgen daripada bikin masalah dengan KPK. Pertanyaannya, apakah polisi dan DPR mau? Mestinya ya! ***


Tidak ada komentar: