Senin, 17 Oktober 2011

Hanya 15% Pengajar Layak Disebut Dosen

Catatan: 
Berita di bawah saya angkat dari berita harian Suara Merdeka tanggal 17 Oktober 2011. Bagi saya tulisan ini menarik diarsip untuk mengingatkan kita kondisi Pendidikan Tinggi kita. Sekalipun apa yang dikemukakan oleh asesor perlu klarifikasi lebih lanjut, namun data yang dijadikan indikasi dapat dijadikan koreksi guna memerbaiki diri.
-------------------------------------------------

SOLO- Jumlah pengajar yang ada di berbagai perguruan tinggi di Indonesia mencapai 220.000 orang. Namun hanya 15% yang layak menyandang status sebagai dosen. Sementara sisanya masih dipertanyakan kemampuan dan kemauan dalam melaksanakan tugas.

Menurut Asesor Badan Akreditasi Nasional (BAN) Dikti Prof Dr Khudzaifah Dimyati, tugas dosen bukan sekadar mengajar di kelas. Namun, mereka juga memiliki dua tugas pokok lain yakni meneliti dan mempublikasikan serta mengabdi kepada masyarakat. "Orientasi pengembangan ilmu (penelitian) sangat minim. Padahal Dikti mengharapkan dosen meneliti dan hasilnya menjadi rujukan bagi dosen lain," kata Dimyati kepada Suara Merdeka, Sabtu (15/10).

Berdasarkan data dari Dikti, kontribusi ilmuwan Indonesia dalam pengembangan keilmuan hanya 0,012%. Jumlah ini jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura dengan 0,179%, sedangkan Amerika mencapai 25%. Kemudian untuk jumlah jurnal yang dipublikasikan oleh Indonesia pada 2004 hanya 371, padahal Malaysia dengan 700 jurnal, Thailand (2.125), dan Singapura (3.086).

Jam Ajar Dicabut

Untuk karya yang dipatenkan pada 2006, Indonesia hanya ada 43. Malaysia memiliki 694, Filipina 145, dan Thailand lebih dari 164. Posisi publikasi ilmiah peneliti Indonesia yang terbit secara berkala internasional hanya sepertiga dibandingkan dengan Thailand atau sepersepuluh dibadingkan dengan Korea, seperlimapuluh dibadingkan dengan RRC, dan bahkan seperempat jika dibandingkan dengan Nigeria.

Ke depan penelitian yang dilakukan diharapkan bersinergi secara keilmuan, sehingga poin akreditasi bisa lebih tinggi. Selain itu, penelitian melibatkan mahasiswa yang berwujud tesis. "Dikti telah memberikan dana besar untuk penelitian. Untuk hibah penelitian bisa mencapai Rp 100 juta per dosen setiap tahun. Tapi dosen di Indonesia seperti lebih suka mengajar daripada meneliti," urai dia.

Terkait dengan hal tersebut, Dimyati yang juga menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhamamdiyah Surakarta (UMS) melakukan langkah tegas pada dosen-dosen Program Pascasarjana UMS. Jika dalam dua tahun terhitung mulai 2010 tidak pernah menjadi ketua penelitian, jam mengajar mereka akan dicabut semua.

"Saya sudah mengeluarkan Surat Keputusan (SK). Saya tak peduli itu doktor atau apa, jika tak melakukan research tak diberikan jam mengajar. Termasuk rektor. Secara struktural, rektor memang di atas saya. Tapi untuk urusan mengajar di bawah saya," ucap Dimyati sambil tersenyum. (H81-75)

Sumber : SUARA MERDEKA CETAK - Hanya 15% Pengajar Layak Disebut Dosen

2 komentar:

Robin Solala mengatakan...

Saya juga baca di kompas Om, ternyata di indonesia rasio pengajar dan siswa paling wah tetapi nampaknya belum memaksimalkan potensi diri sendiri terlebih anak didik.
Jadi pengen jadi dosen jadinya hehe

Yosafati Gulo mengatakan...

Robin, salah satu permasalahan kita di Indonesia ialah sistem pengelolaan lembaga masih berat sebelah. Lebih mengutamakan aspek formalitas daripada aspek material (subastansi). Seseorang atau lembaga yang sudah memenuhi syarat formal dianggap telah memenuhi kualifikasi, padahal tidak selalu demikian, bukan? Kenyataannya, orang atau lembaga yang terkesan kurang bermutu karena kurang memerhatikan aspek formal, melainkan aspek substansial, justru terkadang mengagetkan kita karena lebih berprestasi daripada mereka yang memenuhuhi aspek formalitas.

Seorang yang berpendidikan S2 atau S3 dengan ijazah dari perguruan tinggi ternama, tidak selalu lebih berkualitas daripada mereka yang berijazah sama atau lebih rendah dan dari perguruan tinggi tak ternama. Bagi dosen, kualitas, tentu perlu diukur dari aspek karya nyata. Bisa dari hasil penelitian dan bisa juga karya tulis. Saya kira ukuran inilah yang dipakai untuk sebutan pada berita d atas.

Nah kalau Robin berkeinginan jadi dosen, saya pikir sebuah pilihan yang baik. Tentu ada catatannya, yaitu sejak Robin ambil keputusan, ada baiknya mulai saat itu Robin terus meningkatkan diri. Selamat ya.