Oleh Yosafati Gulo
Di Indonesia, kegandrungan menggunakan gelar akademik
seperti tak terbendung. Utamanya di kalangan pegawai negeri. Kita terkadang
heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar
tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah
setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH,
S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst.
Tentu saja kalau yang bersangkutan telah belajar di UT
(Universitas Terbbuka) bisa dimaklumi. Tapi kalau di UT tidak, Perguruan Tinggi
reguler juga tidak, lalu dari mana gelar itu? Apa tidak malu menggunakan gelar
akademik tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi (PT) apa pun?
Sepertinya dengan adanya gelar di depan atau di belakang
nama, si empunya merasa lebih pintar, lebih berkualifikasi, atau lebih kompeten
daripada rekan kerjanya yang gelarnya lebih rendah atau tak punya. Maka setiap
menulis nama pun, termasuk di surat undangan kondangan, pernikahan, atau di
tembok, gelar akademik selalu dicantumkan. Tak jarang ada yang marah bila
namanya ditulis tanpa disertai gelar. Sekalipun sesungguhnya tidak relevan.
Sumber : http://newpedomanrakyat.com/2012/07/11/unsa-makassar-wisuda-150-sarjana-baru/ |
Ketentuan Undang-undang
Sudah sejak lama ada Peraturan Pemerintah tentang pemakaian
gelar akademik, termasuk lembaga yang berwenang memberikannya. Terbaru diatur
dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 28 ayat (1)
menyebutkan bahwa “Gelar akademik, gelar vokasi, atau
gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang
dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.”
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa gelar akademik tersebut hanya dibenarkan bila
diberikan oleh PT terakreditasi.
Jika ada yang nekat memakai gelar dari PT tak terakreditasi,
maka dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan
tentang ini telah ditegaskan pada Pasal 28 ayat (6) dan (7) UU No 12 tersebut.
Dikatakan, “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang
tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi,
dan/atau gelar profesi.”
Hal serupa berlaku bagi pemakai
ijazah atau sertifikat dan lembaga yang menerbitkan ijazah atau sertifikat.
Seseorang yang nekat menggunakan ijazah atau sertifikat dari PT yang tak
terakreditas atau tak berhak menerbitkannya, maka ijazah dan sertifikat itu
tidak sah. Demikian juga yang memakai gelar dan ijazah dari hasil plagiasi
dalam menulis skripsi atau tesis. Gelar dan ijazah tersebut tidak sah dan
dilarang dipakai. Sebab hal itu terkait dengan kompetensi dan kapabilitas
layanan kepada publik, utamanya kalau yang bersangkutan bekerja di sektor
publik atau yang terkait dengan kepentingan masyarakat (lihat Pasal 42, Pasal
43, dan Pasal 44 UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi).
Bukan itu saja. Perorangan yang
memakai gelar yang tak legal itu serta lembaga yang menerbitkannya, dapat
ditindak secara pidana. Pasal 93 UU No 12 tersebut menegaskan, bahwa perseorangan, organisasi, atau
penyelenggara PT yang melanggar pasal-pasal di atas dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tidak menggambarkan Kapasitas
Mungkin ada yang bertanya, kalau tidak ditulis di depan atau
belakang nama, untuk apa susah-susah
sekolah sampai lulus PT? Pertanyaan ini tentu saja salah. Sebab orang sekolah,
belajar, bukan untuk mendapatkan gelar maupun ijazah. Tujuan orang sekolah,
belajar, adalah membentuk dan menyempurnakan diri. Ya sikap, mental,
pengetahuan, ketrampilan, maupun kepribadian secara keseluruhan. Itulah
sebabnya para ahli didik menyebut bahwa belajar itu merupakan proses yang
berlangsung terus seumur hidup. Mengapa demikian? Karena dalam kurun waktu
tertentu, tak seorang pun yang pernah mencapai kesempurnaan dalam bentuk sikap,
mental, ketrampilan, dan kepribadian.
Bahwa gelar dan ijazah perlu, tentu tak terbantahkan. Tapi
itu hanya sebatas pembuktian administasi tentang sebuah proses formal di
lembaga PT. Tak lebih dari itu. Hal ini diperlukan untuk menyatakan bahwa
seseorang telah belajar di PT A atau B. Karena itu ia diberi ijazah C atau D
dan dianggap layak atau kapabel untuk pekerjaan tertentu. Maka kalau menulis nama terkait
dengan pekerjaan atau jabatan tersebut, relevan ditambahkan gelar. Lainnya,
tentu tidak. Seorang dokter, tak relevan menulis dr di depan namanya ketika
nama-nama penyumbang sembako ditulis di Balai Desa. Lain halnya kalau ia
menulis resep untuk pasien. Gelar dr. Perlu ia cantumkan sebagai bukti
administrasi bahwa ia telah lulus dari pendidikan kedokteran dan ia dianggap
memiliki kapasitas, otoritas, keilmuan memberikan resep.
Perlu diingat bahwa gelar dan ijazah tak pernah memberikan
bukti material yang terukur tentang tingkat sikap, mental, pengetahuan,
ketrampilan, dan kematangan kepribadian seseorang. Sekalipun Anda memiliki
nilai 100 atau A untuk semua mata kuliah dengan predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, tidak akan
pernah bisa menyatakan bahwa Anda lebih sempurna daripada mereka yang hanya
lulus sekolah yang lebih rendah dari PT. Dalam bidang apa pun terkait dengan
kehidupan sosial dan pekerjaan sesuai dengan posisi masing-masing.
Banyak yang telah membuktikan hal itu. Bill Gate yang gagal
kuliah di Harvard merupakan fakta nyata yang membuktikan bahwa ia lebih hebat
dari sejumlah doktor terbaik yang pernah lulus dari Harvard. Di samping kita,
Dahlan Iksan dan Jokowi adalah orang yang membuktikan diri memiliki hampir
semua hal walaupun tidak memiliki gelar Magister atau doktor.
Maka celakalah negara kita kalau banyak pegawai negeri yang
memburu ijazah dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan posisi atau
pangkat tertentu. Bukankah ini menjadi bahan tertawaan manakala tidak dapat
mengerjakan tugas pada jabatan sesuai dengan gelar dan ijazahnya? Bukankah
tindakan ini merupakan penipuan yang sulit dimaafkan, oleh diri sendiri
sekalipun? ***
-----------------------
Tulisan di atas ditayangkan di kompasiana.com tanggal, 20 Oktober 2012. Aslinya dapat dibaca pada link ini.
2 komentar:
Iya Om bener banget.. ironinya di Indonesia marak hal payah yang macam itu..
Gejala ini merupakan pertanda bahwa bangsa kita masih lebih mementingkan formalitas daripada esensi dan kualitas.
Posting Komentar