Minggu, 21 Oktober 2012

HATI-HATI MENGGUNAKAN GELAR AKADEMIK



Oleh Yosafati Gulo

Di Indonesia, kegandrungan menggunakan gelar akademik seperti tak terbendung. Utamanya di kalangan pegawai negeri. Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst. 

Tentu saja kalau yang bersangkutan telah belajar di UT (Universitas Terbbuka) bisa dimaklumi. Tapi kalau di UT tidak, Perguruan Tinggi reguler juga tidak, lalu dari mana gelar itu? Apa tidak malu menggunakan gelar akademik tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi (PT) apa pun?


Sepertinya dengan adanya gelar di depan atau di belakang nama, si empunya merasa lebih pintar, lebih berkualifikasi, atau lebih kompeten daripada rekan kerjanya yang gelarnya lebih rendah atau tak punya. Maka setiap menulis nama pun, termasuk di surat undangan kondangan, pernikahan, atau di tembok, gelar akademik selalu dicantumkan. Tak jarang ada yang marah bila namanya ditulis tanpa disertai gelar. Sekalipun sesungguhnya tidak relevan. 
13507154521299077218
Sumber : http://newpedomanrakyat.com/2012/07/11/unsa-makassar-wisuda-150-sarjana-baru/
 Ketentuan Undang-undang

Sudah sejak lama ada Peraturan Pemerintah tentang pemakaian gelar akademik, termasuk lembaga yang berwenang memberikannya. Terbaru diatur dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa “Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.” Pada ayat (2) ditegaskan bahwa gelar akademik tersebut hanya dibenarkan bila diberikan oleh PT terakreditasi.

Jika ada yang nekat memakai gelar dari PT tak terakreditasi, maka dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan tentang ini telah ditegaskan pada Pasal 28 ayat (6) dan (7) UU No 12 tersebut. Dikatakan, “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.”

Hal serupa berlaku bagi pemakai ijazah atau sertifikat dan lembaga yang menerbitkan ijazah atau sertifikat. Seseorang yang nekat menggunakan ijazah atau sertifikat dari PT yang tak terakreditas atau tak berhak menerbitkannya, maka ijazah dan sertifikat itu tidak sah. Demikian juga yang memakai gelar dan ijazah dari hasil plagiasi dalam menulis skripsi atau tesis. Gelar dan ijazah tersebut tidak sah dan dilarang dipakai. Sebab hal itu terkait dengan kompetensi dan kapabilitas layanan kepada publik, utamanya kalau yang bersangkutan bekerja di sektor publik atau yang terkait dengan kepentingan masyarakat (lihat Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi).

Bukan itu saja. Perorangan yang memakai gelar yang tak legal itu serta lembaga yang menerbitkannya, dapat ditindak secara pidana. Pasal 93 UU No 12 tersebut menegaskan,  bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara PT yang melanggar pasal-pasal di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Tidak menggambarkan Kapasitas

Mungkin ada yang bertanya, kalau tidak ditulis di depan atau belakang nama,  untuk apa susah-susah sekolah sampai lulus PT? Pertanyaan ini tentu saja salah. Sebab orang sekolah, belajar, bukan untuk mendapatkan gelar maupun ijazah. Tujuan orang sekolah, belajar, adalah membentuk dan menyempurnakan diri. Ya sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, maupun kepribadian secara keseluruhan. Itulah sebabnya para ahli didik menyebut bahwa belajar itu merupakan proses yang berlangsung terus seumur hidup. Mengapa demikian? Karena dalam kurun waktu tertentu, tak seorang pun yang pernah mencapai kesempurnaan dalam bentuk sikap, mental, ketrampilan, dan kepribadian. 

Bahwa gelar dan ijazah perlu, tentu tak terbantahkan. Tapi itu hanya sebatas pembuktian administasi tentang sebuah proses formal di lembaga PT. Tak lebih dari itu. Hal ini diperlukan untuk menyatakan bahwa seseorang telah belajar di PT A atau B. Karena itu ia diberi ijazah C atau D dan dianggap layak atau kapabel untuk pekerjaan tertentu. Maka kalau menulis nama terkait dengan pekerjaan atau jabatan tersebut, relevan ditambahkan gelar. Lainnya, tentu tidak. Seorang dokter, tak relevan menulis dr di depan namanya ketika nama-nama penyumbang sembako ditulis di Balai Desa. Lain halnya kalau ia menulis resep untuk pasien. Gelar dr. Perlu ia cantumkan sebagai bukti administrasi bahwa ia telah lulus dari pendidikan kedokteran dan ia dianggap memiliki kapasitas, otoritas, keilmuan memberikan resep.

Perlu diingat bahwa gelar dan ijazah tak pernah memberikan bukti material yang terukur tentang tingkat sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, dan kematangan kepribadian seseorang. Sekalipun Anda memiliki nilai 100 atau A untuk semua mata kuliah dengan predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, tidak akan pernah bisa menyatakan bahwa Anda lebih sempurna daripada mereka yang hanya lulus sekolah yang lebih rendah dari PT. Dalam bidang apa pun terkait dengan kehidupan sosial dan pekerjaan sesuai dengan posisi masing-masing.

Banyak yang telah membuktikan hal itu. Bill Gate yang gagal kuliah di Harvard merupakan fakta nyata yang membuktikan bahwa ia lebih hebat dari sejumlah doktor terbaik yang pernah lulus dari Harvard. Di samping kita, Dahlan Iksan dan Jokowi adalah orang yang membuktikan diri memiliki hampir semua hal walaupun tidak memiliki gelar Magister atau doktor.

Maka celakalah negara kita kalau banyak pegawai negeri yang memburu ijazah dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan posisi atau pangkat tertentu. Bukankah ini menjadi bahan tertawaan manakala tidak dapat mengerjakan tugas pada jabatan sesuai dengan gelar dan ijazahnya? Bukankah tindakan ini merupakan penipuan yang sulit dimaafkan, oleh diri sendiri sekalipun? ***

-----------------------
Tulisan di atas ditayangkan di kompasiana.com tanggal, 20 Oktober 2012. Aslinya dapat dibaca pada link ini.

2 komentar:

Noorma Fitriana M. Zain mengatakan...

Iya Om bener banget.. ironinya di Indonesia marak hal payah yang macam itu..

Yosafati Gulo mengatakan...

Gejala ini merupakan pertanda bahwa bangsa kita masih lebih mementingkan formalitas daripada esensi dan kualitas.