Rabu, 09 Januari 2013

KACAUNYA KONSEP KEUNGAN NEGARA DALAM SEMANGAT PEMBERANTASAN KORUPSI


Oleh Yosafati Gulo

Korupsi di Indonesia tak ubahnya amuba yang terus membelah diri atau kanker ganas yang terus merambat menggerogoti tubuh bangsa. Gencarnya media cetak dan elektronik memberitakan para pejabat seperti Gubernur, Bupati/Walikota dan anggota DPR/DPRD yang dibui karena tersangkut pidana korupsi sepertinya tak cukup menyurutkan niat banyak orang untuk melakukan korupsi. 

Seiring dengan itu, semangat memberantas korupsi juga terus dipacu. Diundangkannya UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang kemudian diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, disusul UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan wujud kesungguhan pemerintah untuk memberantas korupsi.

Anehnya upaya tersebut seperti tak punya taji. Hal ini nampak dari makin meningkatnya jumlah pejabat yang terjerat korupsi. Data yang dilansir oleh situs Kementerian Dalam Negeri misalnya mencatat sampai tahun 2012 ini ada 173 Kepala Daerah dari berbagai daerah di tanah air telah tersangkut berbagai kasus korupsi. Status mereka macam-macam. Mulai dari saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpindana (http://www.setkab.go.id).  Kompas.com mencatat,  dari jumlah tersebut ada setidaknya 17 orang dari 33 Gubernur dan 138 orang Bupati/Walikota dari total 497 Bupati/Walikota di seluruh Indonesia dinyatakan terlibat korupsi.

Yang menarik, dalam kebanyakan --kalau tidak dikatakan setiap-- kasus, para penegak hukum cenderung menjerat terdakwa dengan dalih kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kasus-kasus kontrak konstruksi atau pengadaan barang.jasa pemerintah, kasus kredit macet, atau pemberian pinjaman kepada perusahaan yang dinilai mengarah pada wanprestasi (ingkar janji) atau kredit macet cenderung dijerat dengan pasal-pasal dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 2 ayat (1) UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tersebut dan sejumlah UU lain terkait dengan keuangan negara.

Pemaksaan Konsep

Yang nampak kemudian adalah terus bermunculannya dakwaan Jaksa dan keputusan hakim terhadap terdakwa secara tendensius. Semua pelanggaran dalam berbagai kegiatan pembangunan, kegiatan perbankan atau yayasan seolah dipaksa untuk dipahami hanya sebagai tindak pidana korupsi yang melulu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Konsep Wanprestasi dalam kontrak, kesalahan prosedur, atau konsep resiko bisnis dalam sebuah perseroan hampir selalu diartikan sebagai tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara.

Kasus kegagalan bangunan karena ketidaksesuaian spesifikasi dalam kontrak dengan hasil konstruksi cenderung dijadikan sebagai tindak pidana korupsi. Kasus Aulia Pohan yang menggnakan dana sengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) untuk memberikan bantuan hukum kepada empat mantan Direksi BI yang tersandung masalah hukum dijerat dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kasus pemberian kredit Bank Mandiri oleh Neloe dan kawan-kawan juga dijerat dengan UU yang sama selain pasal-pasal UU tentang Pemberantasan Korupsi.

Dasar dakwaan jaksa dan putusan hakim secara sepintas memang bisa dibenarkan. Didukung oleh rumusan pasal 1 angka 1 UU No 17 tahun 2003 yang berbunyi, “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

Dikatikan dengan wilayah keuangan negara sebagaimana dirumuskan pada pasal 2 UU No 17, konsep keuangan negara sebagai dasar para jaksa dan hakim dalam menangani perkara tampak mudah tapi sekaligus membingungkan. Disebut demikian, karena wilayah keuangan negara makin diperlebar sampai pada kekayaan pihak lain seperti milik perusahaan atau yayasan (lihat Pasal 2 huruf g, h.i UU No 17 tahun 2003).

Akibatnya para penegak hukum bisa dengan leluasa menjerat siapa saja dalam kasus apa saja yang terindikasi atau mengarah pada kerugian keuangan negara, sekalipun hal itu terjadi di luar wilayah kekuasaan pemerintah seperti dalam perseroan atau yayasan. Senjata mereka umumnya adalah rumusan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 ayat (1) UU No 31 tahun 1999 jo 20/01. Pasal 2 ayat (1) berbunyi : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 3 ayat (1) berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Dengan rumusan kedua pasal itu, sekalipun seseorang belum melakukan tindakan korupsi yang merugikan uang negara ia toh bisa dijerat. Istilah “melawan hukum” dan “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam rumusan di atas mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal dan material.

Artinya, meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan per-UU-an, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma dalam kehidupan sosial oleh Jaksa atau hakim, atau meskipun seseorang belum melakukan tindakan korupsi asalkan sudah memenuhi unsur delik formal maka perbuatan itu dapat dipidana (Nindyo Pramono, 2010:8). Akibatnya ialah, selain penerapan hukum terkesan asal-asalan, rasa keadilan dalam menerapkan hukum terabaikan.

Penataan Hukum keuangan

Untuk mengatasi kekacauan di atas, saran Arifin P. Soeria Atmadja (2009), nampaknya perlu dipertimbangkan secara serius. Beberapa di antaranya ialah, pertama, adanya kesepahaman mengenai konsep negara dan daerah sebagai badan hukum  publik yang pada saat yang sama dapat berperan sebagai badan hukum  privat. Sebagai badan hukum publik keuangan negara yang dikelola oleh negara dan daerah tunduk pada peraturan perundang-indangan yang berlaku di negara dan daerah. Keuangan negara dalam bentuk ABPN dan APBD tunduk pada UU APBN dan Perda. Keuangan negara yang dipisahkan dan dipakai untuk mendirikan usaha seperti PT umpamanya harus tunduk pada UU No 40 tahun 2007 tentang Persoroan Terbatas. Demikian pula keuangan badan atau lembaga negara yang dipisahkan untuk mendirikan yayasan, harus tunduk pada UU No 16 tahun 2001 tentang Yayasan dan UU No 28 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No 16 tahun 2001 tentang Yayasan, dst.

Kedua, adanya kesepahaman mengenai konsekuensi hukum atas tindakan pemerintah pusat dan daerah ketika memisahkan uang negara berdasarkan peraturan pemerintah mengenai penyertaan modal negara (PMN) atau daerah dalam bentuk keputusan gubernur atau bupati/walikota dan ketika uang yang sudah dipisahkan itu ditempatkan menjadi saham dalam mendirikan sebuah perseroan terbatas. Tindakan memisahkan uang negara  atau daerah menunjukkan status pemerintah sebagai badan hukum publik, sementara tindakan menempatkan uang yang dipisahkan itu dalam bentuk saham menunjukkan status pemerintah sebagai badan hukum privat. Sebagai yang demikian, konsekuensi hukum atas tindakan “memisahkan” dan “menempatkan” tersebut, termasuk jika ada pelanggaran, merupakan konsekuensi hukum publik dan privat.

Berdasarkan jalan pikiran di atas, maka kasus Aulia Pohan atau Neloe dan kawan-kawan, seharusnya tidak termasuk kerugian keuangan negara. Penggunaan uang YPPI oleh Aulia Pohan sebagai salah seorang pengurus YPPI bukanlah penggunaan uang negara, melainkan penggunaan uang yayasan; pemberian pinjaman kredit oleh Neloe dan kawan-kawan kepada CGN bukanlah meminjamkan keuangan negara, melainkan uang PT Bank Mandiri. Oleh sebab itu, jika mereka dinilai salah, maka takaran yang tepat adalah aturan hukum mengenai yayasan dan perseroan  terbatas.

Ketiga, adanya tekad pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali ketentuan perundang-undangan mengenai konsep kerugian keuangan negara. Sebab memasukkan kerugian swasta atau badan hukum privat seperti PT atau yayasan sebagai kerugian keuangan negara hanya karena pihak swasta menggunakan fasilitas pemerintah (lihat huruf i pasal 2 UU No 17 tahun 2003) adalah konsep yang bisa membahayakan negara dan menghambat perkembangan dunia usaha. Sebab dengan konsep itu, negara turut bertanggung jawab atas kekayaan swasta yang memeroleh fasilitas pemerintah. Jika pihak swasta mengalami pailit, negara turut bertanggung jawab menanggung utang pihak sawsta yang telah menggunakan fasilitas pemerintah.

Pada hemat saya, hanya dengan penataan tersebut dimungkinkan adanya kejelasan batasan keuangan negara dan keuangan swasta sehingga penanganan pelanggaran yang timbul di dalamnya sekaligus merupakan upaya menegakan hukum secara tertib. Oleh sebab  itu, upaya pemberantasan korupsi tidak merusak ketetiban dalam menegakan hukum.***

Tidak ada komentar: