Oleh
Yosafati Gulo
“Barang
siapa menginginkan harta
akan
kehilangan hartanya.”
Itulah
yang tengah dialami Inspektur Jendral Polisi Djoko Susilo
(DS). Semangatnya
untuk memiliki harta melimpah, agaknya melebihi rerata orang. Tidak saja pada
aspek keinginanya. Tapi juga dalam merebut peluang. Ia nampaknya begitu cerdas
menyusuri setiap bidang yang bersentuhan dengannya guna menumpuk harta.
Illustrasi, sumber : http://fdkm.blogspot.com/2012/04/ mampukah-indonesia-bertahan-melawan.html |
Dari
sisi itu, “usaha keras” DS dapat diacungi jempol. Hanya dalam tempo beberapa
tahun ia berhasil menebalkan pundi-pundinya sebesar ratusan miliaran rupiah. Ada
harian yang mengatakan bahwa “usaha kerasnya” itu telah
dikonversi menjadi 28 rumah mewah, 1 apartemen yang sangat mewah 'The
Peak', 3 SPBU, 4 sawah berhektar-hektar, dan 3 mobil mewah. Juru bicara KPK
Johan Budi bilang,
KPK telah menyita 20 properti milik Irjen DS, 4 mobil mewah jenis Jeep Wranglers, MPV Serena, Toyota Harier, dan Toyota Avanza. Ini, masih ditambah lagi dengan enam buah bus milik DS yang barusan disita KPK karena dinilai merupakan hasil korupsi.
KPK telah menyita 20 properti milik Irjen DS, 4 mobil mewah jenis Jeep Wranglers, MPV Serena, Toyota Harier, dan Toyota Avanza. Ini, masih ditambah lagi dengan enam buah bus milik DS yang barusan disita KPK karena dinilai merupakan hasil korupsi.
Motivasi
Orang
memburu dan menumpuk harta, tentu tidak selalu buruk. Dari sisi motivasi bisa
saja sangat baik. Mulia. Apalagi tidak melulu untuk diri sendiri. Boleh jadi
demi membahagiakan keluarga sampai ke anak-cucu. Bahkan mungkin untuk melakukan
perbuatan baik bagi sesamanya. Entah dengan menderma kepada orang miskin,
membangun fasilitas umum, menyekolahkan anak-anak terlantar, dsb.
Saya
menduga motivasi DS ada dalam salah satu atau lebih dari hal-hal di atas. Ia termotivasi
oleh impian menyejahterakan diri, memersiapkan kenyaman materi manakala
pensiun, atau mungkin menyiapkan warisan besar bagi anak-cucunya kelak.
Motivasi
semacam ini, tentu saja baik, bukan? Siapa sih yang tidak mau nyaman setelah
pensiun? Siapa yang tidak senang menyaksikan anak-cucu bahagia dengan kecukupan
materi sampai mereka beranak pinak? Barangkali hanya orang yang tidak waras
yang tidak begitu.
Sebelum
ditangkap KPK, mungkin banyak yang curiga melihat drastisnya lonjakan kekayaan
DS. Di kalangan teman-temannya mungkin ada yang
mencibir. Mungkin juga iri. Namun, apa pun kata orang, saya yakin bahwa DS pastilah diangap pahlawan oleh keluarganya.
Paling tidak, sampai detik ia ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh KPK.
Ia
dianggap Pahlawan oleh keluarga pasti bisa dimaklumi. Bukan saja karena
kedudukannya yang tinggi di jajaran Kepolisian RI, yang tentu saja mengangkat
nilai, gengsi diri dan keluarganya. Tapi dengan hartanya yang melimpah, ia bisa
memanjakan diri dengan rupa-rupa kesenangan. termasuk menikahi gadis
kesukaannya secara siri. Juga keluarganya, anak-anak, saudara, rekan-rekan
kerja, kenalan pastilah sudah turut menikmati berbagai kesenangan duniawi dari
kelimpahan materi DS.
Sayang
bahwa harta DS ternyata tidak dikumpulkan dengan cara-cara normal yang difahami
wajar oleh manusia normal. Harta yang banyak itu ternyata dikumpulkannya dari dan
lewat lorong-lorong terlarang. Ia mungkin berpikir bahwa dengan jabatannya di
Polri, mustahil ia bisa disentuh oleh KPK. Ia nampaknya lalai mengingat ungkapan,
“sepandai-pandai menyembunyikan bangkai, baunya toh keluar bersama udara.” Atau
“selincah-lincahnya tupai melompat, sekali tempo bisa terpeleset juga.”
Melawan Alam
Bisa
saja banyak pandangan mengapa Inspektur Jendral Polisi kreatif itu terpeleset.
Mungkin ada yang bilang karena ia tidak menyukuri apa yang ada. Yang lain
mungkin bilang karena DS rakus. Atau yang lain lagi bilang karena dia terlalu
sayang keluarga sehingga ia bersedia melakukan apa pun asal keluarganya bahagia.
Namun faktor
pokok menurut saya ialah karena ia berani melawan alam. Ia lupa bahwa secara alami
tiap keluarga manusia hanya butuh satu rumah. Tak perlu dua apalagi sampai 28 buah.
Itu pun, faktanya, lebih dari kebutuhan. Sebab kalau duduk atau tidur tak
mungkin semua lantai rumah. Cukup satu kursi atau ranjang di sebuah kamar.
Demikian
juga kalau pergi. Tidak perlu dua-tiga mobil sekaligus. Normalnya cukup satu saja.
Sebab tiap orang hanya butuh satu jok dalam mobil sebagai tempat duduk. Istri,
tak perlu dua atau lebih. Sebab seorang istri pun belum tentu bisa dibahagiakan
sebagaimana seharusnya. Apalagi kalau dua atau lebih.
Nampaknya,
hal-hal itulah yang tidak mau dia sadari DS. Ia mengira, ia bisa mengabaikan
alam. Ia ogah sadar bahwa memburu harta secara tak halal untuk diwariskan kepada anak-cucu, termasuk tindakan
melawan alam. Sebab tanpa warisan, aslinya, tiap manusia pasti bisa hidup.
Manusia toh selalu dianugerahkan rupa-rupa kemampuan oleh Sang Pencipta agar bisa
survive.
Kecuali
itu, DS nampaknya alpa merenungkan arti hidup. Ia meredusir makna dan tujuan
hidup sebatas harta. Ia mengira bahwa dengan banyaknya harta, maka hidupnya
lebih bermakna. Ia ogah mikir bahwa rumah-rumah yang ia beli itu sekaligus menyingkirkan
orang lain untuk mendapatkan tempat. Ia ogah peduli bahwa seandainya empat
mobilnya jalan sekaligus akan menambah kemacetan lalu lintas di jaran raya.
Akibatnya?
Ya, DS bukan hanya kehilangan apa yang diperolehnya dari lorong gelap. Harta
dari usaha jalur jujurnya pun turut menguap. Ia kehilangan kehormatan. Ia kehilangan
nilai keteladanan buat anak-anaknya dan generasi muda. Belum lagi rasa sepi
yang menunggunya di bui. Anak-istri yang disayanginya, keluagra dekat, kenalan yang
tak berdosa turut kecipratan rasa malu dan hukuman sosial.
Oleh
karena itu, agaknya tidaklah salah bila Djoko Susilo, dan “Djoko-Djoko” yang
lain perlu berpikir ulang tentang nafsu memburu harta. Saya kira ungkapan “cukupkanlah dirimu pada apa yang ada,”
adalah sebuah prinsip hidup yang layak dipraktekkan agar bisa hidup tenang. Tapi
kalau tetap saja bandel, ya, mau bilang apa lagi? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar