Sabtu, 16 Maret 2013

Ketika Djoko Susilo Melawan Alam


Oleh Yosafati Gulo
“Barang siapa menginginkan harta
akan kehilangan hartanya.”

Itulah yang tengah dialami Inspektur Jendral Polisi Djoko Susilo (DS). Semangatnya untuk memiliki harta melimpah, agaknya melebihi rerata orang. Tidak saja pada aspek keinginanya. Tapi juga dalam merebut peluang. Ia nampaknya begitu cerdas menyusuri setiap bidang yang bersentuhan dengannya guna menumpuk harta.

Illustrasi, sumber : http://fdkm.blogspot.com/2012/04/
mampukah-indonesia-bertahan-melawan.html
Dari sisi itu, “usaha keras” DS dapat diacungi jempol. Hanya dalam tempo beberapa tahun ia berhasil menebalkan pundi-pundinya sebesar ratusan miliaran rupiah. Ada harian yang mengatakan bahwa “usaha kerasnya” itu telah dikonversi menjadi 28 rumah mewah, 1 apartemen yang  sangat mewah 'The Peak', 3 SPBU, 4 sawah berhektar-hektar, dan 3 mobil mewah. Juru bicara KPK Johan Budi bilang,
KPK telah menyita 20 properti milik Irjen DS, 4 mobil mewah jenis Jeep Wranglers, MPV Serena, Toyota Harier, dan Toyota Avanza.  Ini, masih ditambah lagi dengan  enam buah bus milik DS yang barusan disita KPK karena dinilai merupakan hasil korupsi.

Motivasi

Orang memburu dan menumpuk harta, tentu tidak selalu buruk. Dari sisi motivasi bisa saja sangat baik. Mulia. Apalagi tidak melulu untuk diri sendiri. Boleh jadi demi membahagiakan keluarga sampai ke anak-cucu. Bahkan mungkin untuk melakukan perbuatan baik bagi sesamanya. Entah dengan menderma kepada orang miskin, membangun fasilitas umum, menyekolahkan anak-anak terlantar, dsb.

Saya menduga motivasi DS ada dalam salah satu atau lebih dari hal-hal di atas. Ia termotivasi oleh impian menyejahterakan diri, memersiapkan kenyaman materi manakala pensiun, atau mungkin menyiapkan warisan besar bagi anak-cucunya kelak.

Motivasi semacam ini, tentu saja baik, bukan? Siapa sih yang tidak mau nyaman setelah pensiun? Siapa yang tidak senang menyaksikan anak-cucu bahagia dengan kecukupan materi sampai mereka beranak pinak? Barangkali hanya orang yang tidak waras yang tidak begitu.

Sebelum ditangkap KPK, mungkin banyak yang curiga melihat drastisnya lonjakan kekayaan DS. Di kalangan teman-temannya mungkin ada yang  mencibir. Mungkin juga iri. Namun, apa pun kata orang, saya yakin bahwa  DS pastilah diangap pahlawan oleh keluarganya. Paling tidak, sampai detik ia ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh KPK.

Ia dianggap Pahlawan oleh keluarga pasti bisa dimaklumi. Bukan saja karena kedudukannya yang tinggi di jajaran Kepolisian RI, yang tentu saja mengangkat nilai, gengsi diri dan keluarganya. Tapi dengan hartanya yang melimpah, ia bisa memanjakan diri dengan rupa-rupa kesenangan. termasuk menikahi gadis kesukaannya secara siri. Juga keluarganya, anak-anak, saudara, rekan-rekan kerja, kenalan pastilah sudah turut menikmati berbagai kesenangan duniawi dari kelimpahan materi DS.

Sayang bahwa harta DS ternyata tidak dikumpulkan dengan cara-cara normal yang difahami wajar oleh manusia normal. Harta yang banyak itu ternyata dikumpulkannya dari dan lewat lorong-lorong terlarang. Ia mungkin berpikir bahwa dengan jabatannya di Polri, mustahil ia bisa disentuh oleh KPK. Ia nampaknya lalai mengingat ungkapan, “sepandai-pandai menyembunyikan bangkai, baunya toh keluar bersama udara.” Atau “selincah-lincahnya tupai melompat, sekali tempo bisa terpeleset juga.”

Melawan Alam

Bisa saja banyak pandangan mengapa Inspektur Jendral Polisi kreatif itu terpeleset. Mungkin ada yang bilang karena ia tidak menyukuri apa yang ada. Yang lain mungkin bilang karena DS rakus. Atau yang lain lagi bilang karena dia terlalu sayang keluarga sehingga ia bersedia melakukan apa pun asal keluarganya bahagia.

Namun faktor pokok menurut saya ialah karena ia berani melawan alam. Ia lupa bahwa secara alami tiap keluarga manusia hanya butuh satu rumah. Tak perlu dua apalagi sampai 28 buah. Itu pun, faktanya, lebih dari kebutuhan. Sebab kalau duduk atau tidur tak mungkin semua lantai rumah. Cukup satu kursi atau ranjang di sebuah kamar.

Demikian juga kalau pergi. Tidak perlu dua-tiga mobil sekaligus. Normalnya cukup satu saja. Sebab tiap orang hanya butuh satu jok dalam mobil sebagai tempat duduk. Istri, tak perlu dua atau lebih. Sebab seorang istri pun belum tentu bisa dibahagiakan sebagaimana seharusnya. Apalagi kalau dua atau lebih.
Nampaknya, hal-hal itulah yang tidak mau dia sadari DS. Ia mengira, ia bisa mengabaikan alam. Ia ogah sadar bahwa memburu harta secara tak halal untuk  diwariskan kepada anak-cucu, termasuk tindakan melawan alam. Sebab tanpa warisan, aslinya, tiap manusia pasti bisa hidup. Manusia toh selalu dianugerahkan rupa-rupa kemampuan oleh Sang Pencipta agar bisa survive.

Kecuali itu, DS nampaknya alpa merenungkan arti hidup. Ia meredusir makna dan tujuan hidup sebatas harta. Ia mengira bahwa dengan banyaknya harta, maka hidupnya lebih bermakna. Ia ogah mikir bahwa rumah-rumah yang ia beli itu sekaligus menyingkirkan orang lain untuk mendapatkan tempat. Ia ogah peduli bahwa seandainya empat mobilnya jalan sekaligus akan menambah kemacetan lalu lintas di jaran raya.

Akibatnya? Ya, DS bukan hanya kehilangan apa yang diperolehnya dari lorong gelap. Harta dari usaha jalur jujurnya pun turut menguap. Ia kehilangan kehormatan. Ia kehilangan nilai keteladanan buat anak-anaknya dan generasi muda. Belum lagi rasa sepi yang menunggunya di bui. Anak-istri yang disayanginya, keluagra dekat, kenalan yang tak berdosa turut kecipratan rasa malu dan hukuman sosial.

Oleh karena itu, agaknya tidaklah salah bila Djoko Susilo, dan “Djoko-Djoko” yang lain perlu berpikir ulang tentang nafsu memburu harta. Saya kira ungkapan “cukupkanlah dirimu pada apa yang ada,” adalah sebuah prinsip hidup yang layak dipraktekkan agar bisa hidup tenang. Tapi kalau tetap saja bandel, ya, mau bilang apa lagi? ***

Tidak ada komentar: