Oleh Yosafati Gulo
Sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan terdahulu, organ
yayasan terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas. Tulisan berikut akan
meninjau kewenangan Pengurus Yayasan secara umum dengan acuan utama
Undang-Undang Yayasan (UUY).
Posisi Ganda
Sebelum UUY, posisi Pengurus di banyak Yayasan bersifat
ganda, Pendiri sekaligus Pengurus. Dalam posisi
seperti itu, Pengurus Yayasan sering melakukan hal-hal yang melawan
hukum. Mereka mendirikan Yayasan tidak murni bermotivasi sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan. Banyak yang justru dimotivasi dan dikelola untuk mencari untung sebesar-besarnya
layaknya perusahaan, tapi dengan menghindari pajak untuk kepentingan diri
sendiri, Pendiri/Pengurus.
Illustrasi, Sumber: http://suryono-brandoi-siringo-ringo.blogspot.com/2011/11 /jalan-raya-dibangun-dengan-uang-dari.html |
Cara mereka cukup cerdas. Mereka membuat aturan dalam
Yayasan, termasuk AD/ART, untuk melindungi usaha berkedok Yayasan. Yayasan yang
bergerak di bidang pendidikan dan rumah sakit adalah dua contoh yang banyak
dibicarakan. Keduanya selalu mengekspos diri sebagai yayasan nir laba. Namun,
kenyataannya beda. Selain mengutamakan pencarian laba, mereka selalu mencari
akal menghindari pembayaran pajak. Itulah sebabnya kedua lembaga tersebut
sering jadi sasaran kritik. Mereka dinilai lebih berwarna komersial ketimbang
sosial[1].
Lebih
parah lagi yayasan yang didirikan oleh Presiden Suharto, keluarga, dan
koleganya selagi ia berkuasa. Dalam fungsi ganda Pengurus, “Perampokan” dana
dari masyarakat malahan diberi payung hukum. Contohnya Kepres No.
90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan Yang
Diberikan Untuk Pembinaan Keluarga
Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Juga Kepmenkeu No. 333/KMK.011/1978 tentang
Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (lima persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank
Milik Negara.
Dalam
Kepres No. 90 Tahun 1995 para Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi dengan laba atau penghasilan bersih di atas Rp 100
juta dinyatakan dapat[2] membantu
pembinaan Keluarga Prasejahtera dan
Keluarga Sejahtera I melalui antara lain Yayasan Dana Sejahtera Mandiri
bentukan Suharto tersebut[3].
Setinggi-tingginya 2% (dua persen) dari laba atau penghasilan setelah PPh
yang diperolehnya dalam 1 (satu) tahun pajak. Nyatanya, dana yang terkumpul itu
tidak jelas penggunaan dan pertanggungjawabannya, baik selama Suharto berkuasa
maupun setelah lengser sampai saat ini
Belajar dari gejala gila itu, maka UUY melakukan pemisahan
yang tegas tentang kedudukan dan kewenangan ketiga organ Yayasan. Pendiri atau
Pembina tidak boleh rangkap jadi Pengurus dan Pengawas. Pengurus dan Pengawas juga
begitu. Tidak boleh merangkap posisi organ lain. Di antara ketiganya ada garis
pemisah wilayah kewenangan yang dapat menjadi alat kontrol antara satu dan
lainnya.
Kepengurusan Penuh
Setelah UUY terbit, Posisi dan batas “wilayah” kerja Pengurus
menjadi tegas. Ia diadakan oleh UUY dengan tugas khusus sebagai pelaksana. Dengan
tugas itu, Pengurus tidak boleh orang yang terafiliasi[4]
dengan Pendiri atau Pembina dan Pengawas. Mereka diangkat oleh Pembina berdasarkan
kapabilitas yang dimiliki serta bermampuan melakukan perbuatan hukum[5].
Atas dasar itu, mereka diberi kepercayaan untuk melaksanakan kepengurusan
Yayasan. Ini tidak setengah-setengah, tapi kepengurusan penuh.
Hal itu sudah ditegaskan dalam pasal 35 ayat (1) dan ayat
(5) serta Penjelasan UU No 16 Tahun 2001. Dalam ketentuan itu ditekankan, bahwa
pengelolaan Yayasan dilakukan sepenuhnya oleh Pegurus. Penguruslah yang
bertanggung jawab penuh mengelola kekayaan dan pelaksanaan kegiatan Yayasan.
Pengurus pula yang diberi hak untuk mewakili Yayasan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan. Hak ini tidak dimiliki oleh Pembina dan/atau Pengawas. Pembina
hanya berhak mewakili Pembina dan Pengawas hanya berhak mewakili Pengawas.
Illustrasi, sumber : http://banjarmasin. tribunnews.com/2012/09/12/eko-sumbang-emas-pertama-bagi-kaltim |
Penegasan-penegasan tersebut mengandung banyak implikasi. Di antaranya, ialah
pertama, kegiatan pengelolaan
Yayasan dengan berbagai kegiatannya adalah urusan Pengurus. Kedua, kegiatan apa pun yang sifatnya
implementasi kebijakan Pembina adalah urusan Pengurus. Pembina dan/atau
Pengawas tidak boleh ikut campur, kecuali ada penyimpangan atau pelanggaran.
Itupun harus dilakukan secara prosedural. Sebab jika hal itu dilakukan, maka
Pembina dan/atau Pengawas yang demikian identik dengan tindakan memasuki
halaman rumah orang dengan lompat pagar. Dampak dari tindakan itu bisa
dibayangkan. Selain pengelolaan organisasi Yayasan kacau, potensi konflik,
bahkan konflik benaran, berpeluang besar terjadi.
Untuk mencagah hal itu, maka masing-masing organ haruslah
tahu diri. Pembina harus tahu batas-batas kewenangannya dan mengatur diri untuk
melaksanakan kewenangan itu. Pembina harus sadar bahwa kewenangannya terbatas pada
tataran kebijakan. Oleh karena itu, ia berkeharusan mengatur diri sebatas wilayah
itu saja. Pengurus juga demikian. Sebagai pelaksana, ia berkeharusan
melaksanakan semua kebijakan yang sudah ditetapkan Pembina.
Untuk itu, Pengurus Yayasan tidak boleh sembarangan. Syarat
utamanya adalah memiliki itikad baik. UUY mengharuskan demikian. Atas dasar
itu, dengan penuh tanggung jawab ia melaksanakan kepengurusan Yayasan. Jika
tidak, maka resiko kelalaian dan kesalahan sekecil apa pun tidak akan
ditanggungkan kepada Yayasan. Tapi pada diri Pengurus sendiri. Ini nampak dalam
ketentuan Pasal 35 ayat (5), bahwa “Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh
secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya tidak
sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan
atau pihak ketiga.”
Persoalannya ialah dalam Yayasan tertentu, sering kita lihat
atau baca adanya (para) Pembina yang merasa tidak puas dengan perannya yang
diatur oleh UUY. Dengan dalih sebagai pendiri atau representasi dari lembaga
(pada Yayasan yang didirikan oleh lembaga) ada saja di antaranya yang terlalu bersemangat mengurusi hal-hal
yang merupakan urusan Pengurus. Bahkan tidak jarang ada Pembina yang
menghalang-halangi Pengurus untuk mengimplementasikan kebijakan Pembina, yang
justru merupakan ketetapan mereka sendiri. Contoh kasus dapat dibaca di link ini.
Pengelolaan Lembaga
Pertanyaannya, kegiatan apa yang dilakukan Pengurus dalam
sebuah Yayasan? Hal ini tentu tergantung pada banyak hal. Di antaranya ialah
bidang kegiatan dan besarnya organisasi Yayasan. Yayasan yang bergerak di
bidang perawatan anak-anak terlantar umpamanya mungkin saja sebatas merawat
anak-anak itu dengan memberi makan cukup, pakaian, tempat tinggal. Mungkin juga
sampai pada pengadaan perawat dan/atau guru bila pelayanannya termasuk
pendidikan. Namun, apa pun yang dilakukannya tak terlepas dari kebijakan yang
telah ditetapkan oleh Pembina Yayasan.
Pada Yayasan sederhana seperti itu, boleh jadi Pengurus
Yayasan langsung turun tangan memandikan, mengganti pakaian, memberi makan,
mengatur jam-jam tidur, membangun sikap hidup melalui permainan atau kegiatan
belajar lain, dsb. Pada Yayasan besar dengan ratusan bahkan ribuan anak-anak
terlantar, kegiatan tersebut bisa lebih kompleks serta tidak lagi bersifat
langsung.
Hal semacam itu bisa terlihat pada Yayasan yang bergerak di
bidang Pendidikan. Dengan besarnya jumlah anak yang dilayani, maka Yayasan
umumnya mendirikan sekolah. Ada yang hanya tingkat Dasar dan Menengah, dan ada
juga yang sampai pada Perguruan Tinggi (PT). Tugas Pengurus pada Yayasan semacam
ini jelas bukan mengajar dalam kelas. Itu urusan guru atau dosen. Wilayah
tugasnya justru pada tataran pengelolaan lembaga berdasarkan norma, baik yang sifatnya
akademik maupun non akademik seperti ketenagaan, dan keuangan. Pada tahap
tertetu ia bertugas menegakkan norma yang telah ditetapkan Pembina. Pada tahap
lainnya, ia malahan menetapkan norma sekaligus mengawal pelaksanaannya sampai
pada tingkat sekolah dan/atau PT yang ia kelola.
Illustrasi, sumber : http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/ liga-dunia/10/07/23/126044-liga-champions-akan- dapat-tambahan-2-asisten-wasit |
Perlu diingat bahwa sekolah dan/atau PT dalam Yayasan semacam itu, terdapat norma lain yang
harus ditaati, yaitu ketentuan-ketentuan Pemerintah yang terkait dengan urusan akademik
dan non akademik. Penegakkan norma ini juga merupakan tanggung jawab Pengurus.
Inilah salah satu implementasi dari istilah “perbuatan hukum” sebagaimana
dikemukakan di depan.
Sebagai pelaksana misi dan bagian dari Yayasan, pimpinan
sekolah atau pimpinan PT pun secara lembagawi-organisatoris terikat pada kedua
norma tersebut. Ia tidak boleh berbuat
sesukanya, apalagi sesuka seleranya, dengan dalih bahwa sekolah atau PT
memiliki otonomi. Sebab harus disadari bahwa otonomi sekolah atau PT pada sebuah
Yayasan adalah otonomi dalam bingkai Yayasan, bukan otonomi suka-suka atau
otonomi selera. Inilah yang harus dikawal oleh Pengurus.
Artikel terkait:
[1] Hikmahanto Juwana, Pengelolaan Yayasan di Indonesia
dan RUU Yayasan, http://pascasarjana.esaunggul.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=236:pengelolaan-yayasan-di-indonesia-dan-ruu-yayasan&catid=57:artikel&Itemid=80
[2] Setahun kemudian, melalui Kepres No
92 Tahun 1996 tentang Perubahan Keputusan Presiden No. 90 Tahun 1995 Tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan
Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera 1, kata dapat diubah
menjadi wajib (lihat Pasal 2 Kepres No 92 Tahun 1996).
[3] Indra Ismawan, Harta dan Yayasan Soeharto, Kontroversi tentang
Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soharto, Medpress, Cet-2, 2008;
[4] Istilah terafiliasi menurut Penjelasan
Pasal 5 ayat (2) huruf a UU No 28 Tahun 2004 adalah hubungan keluarga karena
perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara horizontal maupun
vertikal.
[5] Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia, Jilid I, Cet. 9, Balai Pustaka, 1992 mendeskripsikan
perbuatan hukum sebagai peruatan manusia yang secara sengaja dilakukan yang
dapat menimbulkan hak dan kewajiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar