Sabtu, 17 Agustus 2013

Membabat Filsafat Hidup Koruptor

Banyak yang mengeritik DPR karena sebagian anggotanya dinilai ingkar. Ingkar hadir pada rapat paripurna, ingkar tugas dan tanggung jawabnya, ingkar janjinya ketika kampanye, ingkar keluhuran jabatan ke-DPR-an, dan banyak lagi. Para pengeritik berpikir bahwa orang yang sudah menjadi DPR serta merta bisa tampil baik seperti sering diteriakkan saat kampanye. Atau setidaknya seperti yang dideskripsikan dalam UU.

Tampaknya tidak disadari atau memang sengaja tidak mau disadari bahwa anggota DPR adalah manusia. Sebelum dan sesudah menjadi anggota DPR, mereka masih tetap sebagai manusia. Lahir-batinnya masih sama. Diri, sifat, naluri alami manusianya, ambisi-ambisi serta “mimpi-mimpinya” tentang apa saja masih sama. Kalaupun ada yang berbeda, maka perbedaan itu lebih bersifat artifisial, cover depannya saja.

Dari dulu orang sudah tahu, bahwa pohon kelapa
memang hanya berbuahkan kelapa. Hanya kelapa sesat yang dapat berbuahkan mangga atau cabe. Ayam juga begitu.  Ia hanya bisa bertelur bukan melahirkan. Ayam yang bertelur pun, hanya menghasilkan telur ayam. Tak pernah menghasilkan telur buaya atau telur bebek. Kalau ada telur cacing keluar bersamaan telurnya, barangkali karena ayamnya memang cacingan.

Bukan Ingkar

Illustrasi, Sumber: http://www.shnews.co/detile-3357-
indonesia-negara-adikaya-korupsi.html
Saya sendiri melihat bahwa kelakuan anggota DPR yang sering sikritik itu bukan ingkar. Aslinya memang begitu. Sebab ingkar itu mengandaikan bahwa anggota DPR memiliki apa yang diharapkan rakyat sebelum dipilih menjadi anggota DPR. Nyatanya tidak. Hati dan pikiran yang mereka miliki masih sama. Kalau sebelumnya “bengkok” ya tetap bengkok. Yang sehat saja, malahan bisa sakit karena terkontaminasi “virus” hedonisme zaman. Apalagi yang sakit, tentu makin sakit. Walaupun harus diakui ada juga yang tetap sehat.
Lantas kalau aslinya begitu, mau apa? Mau menghentikannya menjadi anggota DPR? Dengan cara apa?  Menarik kembali suara yang diberikan saat Pemilu? Tidak mungkin! Jalan ke situ sudah disumbat oleh Undang-undang. Hak (suara) pribadi ketika memilih anggota DPR, langsung hilang usai Pemilu. Hak itu langsung berpindah menjadi haknya partai. Oleh sebab itu, ketika anggota DPR berulah, hak untuk menghentikan mereka dari jabatan DPR bukan lagi pada rakyat. Tapi pada partai.

Lalu mengapa Partai tidak segera menarik anggotanya yang berkelakuan tak benar? Banyak sebabnya. Selain harus patuh pada prosedur hukum, Partai Politik cenderung pura-pura tidak tahu. Mengapa begitu? Mereka memiliki kepentingan besar bagi anggotanya di DPR.  Salah satunya adalah sebagai sumber dan pendulang dana. Itulah sebabnya Partai sering pasang badan melindungi anggota di DPR. Sebab tanpa anggotanya di DPR mereka bisa kehilangan banyak hal. Bukan cuma dana seperti fenomena Ahmad Fathana dan Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq. Tapi bargaining politik untuk rupa-rupa kepentingan bisa melayang juga.

Bukan Kepentingan Bangsa

Melihat kelakuan anggota DPR yang begituan, juga 298[1] kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, nampak bahwa mereka berebut jabatan sama sekali bukan untuk memerjuangkan kepentingan bangsa. Mereka mati-matian merebut jabatan DPR, DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sulit untuk tidak mengatakan bukan untuk memerjuangkan kepentingannya pribadi, keluarga dan kolega-koleganya. Ada gejala bahwa urusan bangsa bagi mereka bukan yang utama. Mungkin nomor dua atau lebih.

Kondisi ini mengingatkan saya pada pandangan para Filsuf Ionia[2] yang menguasai dunia sebelum abad keenam SM. Para filsuf Ionia sangat lekat dengan kosmologi alam(-iah) dan mitis. Ini melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam. Manusia, sebagai bagian dari alam, turut tak terlepas dari kodrat tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas ‘Dionysian’ bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman, dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan oleh hidup sebagaimana apa adanya.

Dalam pandangan itu, manusia mengelola hidup dengan mengacu pada logika kekuatan. Logika hukum dalam masyarakat pun merupakan tatanan yang dikuasai oleh logika kekuatan. Intinya, manusia melakukan sesuatu untuk memertaruhkan dua hal : bisa ada dan tetap ada (survive). Hukum bagi mereka adalah, tak lebih dan tak kurang, merupakan rumus-rumus untuk tetap survive. Sebab yang menjadi persoalan pokok bagi manusia hanya dua: ada atau lenyap.

Teori Ionia mengenai prinsip survive sebagai intisari aturan alam diapresiasi baik oleh etikawati abad ke-20, Ayn Rand, wanita Amerika kelahiran Rusia. Pokok Filsafat Rand dijuluki sebagai “Egoisme yang tidak malu-malu. Nasib dan kepentingan sesama manusia bagi Rand adalah prinsip “angkat bahu”. Bagi dia, Anda bebas, saya juga bebas. Mari kita bersaing! Siapa cerdik dan pandai, ia menang. Asumsi Rand adalah apa yang ada (what is) itulah yang menentukan apa yang seharusnya (what ought). Kalau mau survive, maka Anda harus menggunakan akal. Bukan bersemedi atau berdoa.

Secara teoritis, pandangan Ionia itu sudah lama ditinggalkan orang. Namun, dalam prakteknya ternyata masih dianut. Di antaranya ialah oleh anggota DPR, DPRD, Bupati/Walikota atau Gubernur yang menjeratkan diri pada rupa-rupa korupsi. Pendirian mereka jelas. Dalam “alam liar” seperti sekarang, hanya dua pilihan: survive atau lenyap. Dan ternyata mereka memilih “survive”. Mereka tak peduli bahwa kekayaan yang mereka curi adalah milik rakyat, bangsa dan negara.

Yang penting bagi mereka survive sampai ke anak cucunya. Survive karena tidak mau lenyap; kaya raya karena tidak mau miskin; mewariskan harta sebanyak mungkin kepada anak cucu karena tidak mau dicap gagal menggunakan kesempatan.

Sikap hidup yang begituan ternyata didukung oleh aturan hukum yang sangat longgar dan bersarnya diskresi hakim dalam menentukan hukuman koruptor. Mencuri satu atau dua miliar cukup diimbali dengan satu dua tahun penjara. Sang Hakim mungkin kecipratan juga hasil curian itu sehingga diskresi hakim dimanfaatkan secerdas-cerdasnya juga.

Aturan Baru

Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan? Tentu bisa banyak. Di antaranya, pertama, gagasan pemiskinan koruptor perlu dikukuhkan dalam sebuah peraturan per-UU-an. Isinya, antara lain, apabila nilai harta si koruptor melebihi nilai yang wajar dari gaji dan/atau hasil usaha bagi yang punya usaha ditambah warisan bagi yang punya perlu disita untuk negara. Untuk itu peran akuntan perlu dipertegas dalam aturan hukum itu.

Kedua, rumusan hukuman koruptor dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 2009 tentang korupsi perlu diklasifikasi lebih rinci. Hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dalam Pasal 2 serta hukuman penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 pada Pasal 3 perlu dirinci berdasarkan besarnya nilai nominal korupsi, caranya melakukan korupsi, dan bidang apa yang dikorupsi. Dengan begitu, korupsi 100 juta jelas beda dengan yang 200 juta, 500 juta, 1 miliar, dan seterusnya secara lebih pasti.

Variabelnya bisa ditambah lagi dengan sumber dana yang dikorupsi. Hukuman penjara bagi yang mengorupsi dana sosial dan bantuan bencana alam misalnya harus lebih berat daripada  yang lain. Variabel lainnya dikaitkan dengan besar gajinya. Kalau korupsinya 100 juta, sementara gajinya sebesar Rp 5 juta per bulan, maka hukumannya dapat dirumuskan menjadi 100 juta : 5 juta = 20 bulan. Artinya dengan nilai korupsi itu, ia perlu menjalani hukuman penjara selama 20 bulan. Lalu kalau hal itu dikembalikan, hukumannya dapat diturunkan menjadi hukuman minimal, misalnya 12 bulan.

Jangan seperti selama ini. Orang korupsi satu atau dua miliar hanya dihukum 2 tahun perjara. Lalu, kalau tidak dapat mengembalikannya hanya diberi tambahan hukuman penjara subsider beberapa bulan. Dengan model begini, jelas saja  koruptor senang. Jika gajinya hanya Rp 5 juta atau katakanlah Rp 10 juta perbulan misalnya, uang sebanyak itu mustahil dapat ia kumpulkan sampai persiun. Maka, banyak koruptor yang berpikir bahwa korupsi adalah upaya mudah untuk mengumpulkan harta. Setahun dua tahun toh tak terasa. Selain itu ada remisi. Dan yang lebih membuat mereka betah dalam penjara adalah segala rupa kebutuhan dan kesenangan duniawi toh dapat diperoleh. Tinggal bayar para sipir, termasuk Kepala Lapas yang seide, semuanya bisa diatur.

Ketiga, membatasi diskresi hakim. Caranya, ya, dengan pengetatan rincian hukuman seperti disebutkan di atas.

Rumusan Peraturan hukuman semacam itu, tentu saja tidak mudah. Perlu dikaji secara cermat dengan berbagai pertimbangan. Tapi kalau negara kita mau, diyakini bisa dibuat. Tentu dengan melibatkan ahli-ahli di bidang lain selain ahli hukum di legislatif dan di perguruan tinggi.

Persoalannya ialah apakah kita mau dan serius memberantas korupsi? Atau malah hanya perang-perangan melawan korupsi seperti sendiran Bambang Susatyo? Jika kita mau, saya kira sudah saatnya dilakukan kajian ulang terhadap UU Tindak Pidana Korupsi. Inilah antara lain cara membabat filsafat Ionia anutan hidup para koruptor. ***




[1] Jogja.tribunnews memberitakan bahwa dari dari 524 total jumlah kepala daerah di Indonesia 298 tersangkut masalah korupsi. Baik sebagai saksi, tersangka terdakwa atau terpidana korupsi. Kasus yang paling banyak mereka jeratkan diri adalah korupsi APBD menyangkut pengadaan barang dan jasa. Lihat http://jogja.tribunnews.com/2013/07/19/298-kepala-daerah-terlibat-korupsi
[2] Secara lebih lengkap, pandangan Ionia dapat dibaca pada tulisan Bernard L. Tanya, dkk dalam buku berjudul Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lntas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Cet. III April 2010.

Tidak ada komentar: