Banyak
yang mengeritik DPR karena sebagian anggotanya dinilai ingkar. Ingkar hadir
pada rapat paripurna, ingkar tugas dan tanggung jawabnya, ingkar janjinya
ketika kampanye, ingkar keluhuran jabatan ke-DPR-an, dan banyak lagi. Para
pengeritik berpikir bahwa orang yang sudah menjadi DPR serta merta bisa tampil baik
seperti sering diteriakkan saat kampanye. Atau setidaknya seperti yang dideskripsikan
dalam UU.
Tampaknya
tidak disadari atau memang sengaja tidak mau disadari bahwa anggota DPR adalah
manusia. Sebelum dan sesudah menjadi anggota DPR, mereka masih tetap sebagai
manusia. Lahir-batinnya masih sama. Diri, sifat, naluri alami manusianya,
ambisi-ambisi serta “mimpi-mimpinya” tentang apa saja masih sama. Kalaupun ada
yang berbeda, maka perbedaan itu lebih bersifat artifisial, cover depannya
saja.
Dari
dulu orang sudah tahu, bahwa pohon kelapa
memang hanya berbuahkan kelapa. Hanya
kelapa sesat yang dapat berbuahkan mangga atau cabe. Ayam juga begitu. Ia hanya bisa bertelur bukan melahirkan. Ayam
yang bertelur pun, hanya menghasilkan telur ayam. Tak pernah menghasilkan telur
buaya atau telur bebek. Kalau ada telur cacing keluar bersamaan telurnya,
barangkali karena ayamnya memang cacingan.
Bukan Ingkar
Illustrasi, Sumber: http://www.shnews.co/detile-3357- indonesia-negara-adikaya-korupsi.html |
Saya sendiri
melihat bahwa kelakuan anggota DPR yang sering sikritik itu bukan ingkar. Aslinya
memang begitu. Sebab ingkar itu mengandaikan bahwa anggota DPR memiliki apa
yang diharapkan rakyat sebelum dipilih menjadi anggota DPR. Nyatanya tidak.
Hati dan pikiran yang mereka miliki masih sama. Kalau sebelumnya “bengkok” ya
tetap bengkok. Yang sehat saja, malahan bisa sakit karena terkontaminasi
“virus” hedonisme zaman. Apalagi yang sakit, tentu makin sakit. Walaupun harus
diakui ada juga yang tetap sehat.
Lantas
kalau aslinya begitu, mau apa? Mau menghentikannya menjadi anggota DPR? Dengan
cara apa? Menarik kembali suara yang
diberikan saat Pemilu? Tidak mungkin! Jalan ke situ sudah disumbat oleh Undang-undang.
Hak (suara) pribadi ketika memilih anggota DPR, langsung hilang usai Pemilu. Hak
itu langsung berpindah menjadi haknya partai. Oleh sebab itu, ketika anggota
DPR berulah, hak untuk menghentikan mereka dari jabatan DPR bukan lagi pada
rakyat. Tapi pada partai.
Lalu
mengapa Partai tidak segera menarik anggotanya yang berkelakuan tak benar?
Banyak sebabnya. Selain harus patuh pada prosedur hukum, Partai Politik cenderung
pura-pura tidak tahu. Mengapa begitu? Mereka memiliki kepentingan besar bagi
anggotanya di DPR. Salah satunya adalah
sebagai sumber dan pendulang dana. Itulah sebabnya Partai sering pasang badan
melindungi anggota di DPR. Sebab tanpa anggotanya di DPR mereka bisa kehilangan
banyak hal. Bukan cuma dana seperti fenomena Ahmad Fathana dan Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Luthfi Hasan Ishaaq. Tapi bargaining politik untuk rupa-rupa kepentingan
bisa melayang juga.
Bukan Kepentingan Bangsa
Melihat
kelakuan anggota DPR yang begituan, juga 298[1]
kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, nampak bahwa mereka berebut jabatan sama
sekali bukan untuk memerjuangkan kepentingan bangsa. Mereka mati-matian merebut
jabatan DPR, DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sulit untuk tidak mengatakan
bukan untuk memerjuangkan kepentingannya pribadi, keluarga dan
kolega-koleganya. Ada gejala bahwa urusan bangsa bagi mereka bukan yang utama.
Mungkin nomor dua atau lebih.
Kondisi ini mengingatkan saya pada pandangan para
Filsuf Ionia[2]
yang menguasai dunia sebelum abad keenam SM. Para filsuf Ionia sangat lekat
dengan kosmologi alam(-iah) dan mitis. Ini melahirkan pandangan bahwa kekuatan
merupakan inti tatanan alam. Manusia, sebagai bagian dari alam, turut tak
terlepas dari kodrat tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas ‘Dionysian’
bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman, dan siap menghadapi nasib yang
ditimpakan oleh hidup sebagaimana apa adanya.
Dalam pandangan itu, manusia mengelola hidup dengan
mengacu pada logika kekuatan. Logika hukum dalam masyarakat pun merupakan
tatanan yang dikuasai oleh logika kekuatan. Intinya, manusia melakukan sesuatu
untuk memertaruhkan dua hal : bisa ada dan tetap ada (survive). Hukum bagi mereka adalah, tak lebih dan tak kurang,
merupakan rumus-rumus untuk tetap survive. Sebab yang menjadi persoalan pokok
bagi manusia hanya dua: ada atau lenyap.
Teori
Ionia mengenai prinsip survive sebagai intisari aturan alam diapresiasi baik oleh
etikawati abad ke-20, Ayn Rand, wanita Amerika kelahiran Rusia. Pokok Filsafat
Rand dijuluki sebagai “Egoisme yang tidak malu-malu. Nasib dan kepentingan
sesama manusia bagi Rand adalah prinsip “angkat bahu”. Bagi dia, Anda bebas,
saya juga bebas. Mari kita bersaing! Siapa cerdik dan pandai, ia menang. Asumsi
Rand adalah apa yang ada (what is) itulah yang menentukan apa yang seharusnya
(what ought). Kalau mau survive, maka Anda harus menggunakan akal. Bukan
bersemedi atau berdoa.
Secara
teoritis, pandangan Ionia itu sudah lama ditinggalkan orang. Namun, dalam
prakteknya ternyata masih dianut. Di antaranya ialah oleh anggota DPR, DPRD,
Bupati/Walikota atau Gubernur yang menjeratkan diri pada rupa-rupa korupsi.
Pendirian mereka jelas. Dalam “alam liar” seperti sekarang, hanya dua pilihan:
survive atau lenyap. Dan ternyata mereka memilih “survive”. Mereka tak peduli
bahwa kekayaan yang mereka curi adalah milik rakyat, bangsa dan negara.
Yang penting bagi mereka survive sampai ke anak cucunya. Survive karena tidak mau lenyap; kaya raya karena tidak mau miskin; mewariskan harta sebanyak mungkin kepada anak cucu karena tidak mau dicap gagal menggunakan kesempatan.
Sikap
hidup yang begituan ternyata didukung oleh aturan hukum yang sangat longgar dan
bersarnya diskresi hakim dalam menentukan hukuman koruptor. Mencuri satu atau
dua miliar cukup diimbali dengan satu dua tahun penjara. Sang Hakim mungkin
kecipratan juga hasil curian itu sehingga diskresi hakim dimanfaatkan
secerdas-cerdasnya juga.
Aturan Baru
Kalau
sudah begini, apa yang bisa dilakukan? Tentu bisa banyak. Di antaranya, pertama,
gagasan pemiskinan koruptor perlu dikukuhkan dalam sebuah peraturan per-UU-an.
Isinya, antara lain, apabila nilai harta si koruptor melebihi nilai yang wajar
dari gaji dan/atau hasil usaha bagi yang punya usaha ditambah warisan bagi yang
punya perlu disita untuk negara. Untuk itu peran akuntan perlu dipertegas dalam
aturan hukum itu.
Kedua,
rumusan hukuman koruptor dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 2009 tentang
korupsi perlu diklasifikasi lebih rinci. Hukuman minimal 4 tahun dan maksimal
20 tahun dalam Pasal 2 serta hukuman penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20
pada Pasal 3 perlu dirinci berdasarkan besarnya nilai nominal korupsi, caranya
melakukan korupsi, dan bidang apa yang dikorupsi. Dengan begitu, korupsi 100
juta jelas beda dengan yang 200 juta, 500 juta, 1 miliar, dan seterusnya secara
lebih pasti.
Variabelnya
bisa ditambah lagi dengan sumber dana yang dikorupsi. Hukuman penjara bagi yang
mengorupsi dana sosial dan bantuan bencana alam misalnya harus lebih berat
daripada yang lain. Variabel lainnya
dikaitkan dengan besar gajinya. Kalau korupsinya 100 juta, sementara gajinya
sebesar Rp 5 juta per bulan, maka hukumannya dapat dirumuskan menjadi 100 juta
: 5 juta = 20 bulan. Artinya dengan nilai korupsi itu, ia perlu menjalani
hukuman penjara selama 20 bulan. Lalu kalau hal itu dikembalikan, hukumannya
dapat diturunkan menjadi hukuman minimal, misalnya 12 bulan.
Jangan
seperti selama ini. Orang korupsi satu atau dua miliar hanya dihukum 2 tahun
perjara. Lalu, kalau tidak dapat mengembalikannya hanya diberi tambahan hukuman
penjara subsider beberapa bulan. Dengan model begini, jelas saja koruptor senang. Jika gajinya hanya Rp 5 juta
atau katakanlah Rp 10 juta perbulan misalnya, uang sebanyak itu mustahil dapat
ia kumpulkan sampai persiun. Maka, banyak koruptor yang berpikir bahwa korupsi
adalah upaya mudah untuk mengumpulkan harta. Setahun dua tahun toh tak terasa. Selain itu ada remisi. Dan yang lebih membuat mereka betah dalam penjara adalah segala rupa kebutuhan dan kesenangan duniawi toh dapat
diperoleh. Tinggal bayar para sipir, termasuk Kepala Lapas yang seide, semuanya bisa diatur.
Ketiga,
membatasi diskresi hakim. Caranya, ya, dengan pengetatan rincian hukuman
seperti disebutkan di atas.
Rumusan
Peraturan hukuman semacam itu, tentu saja tidak mudah. Perlu dikaji secara
cermat dengan berbagai pertimbangan. Tapi kalau negara kita mau, diyakini bisa
dibuat. Tentu dengan melibatkan ahli-ahli di bidang lain selain ahli hukum di
legislatif dan di perguruan tinggi.
Persoalannya
ialah apakah kita mau dan serius memberantas korupsi? Atau malah hanya
perang-perangan melawan korupsi seperti sendiran Bambang Susatyo? Jika kita
mau, saya kira sudah saatnya dilakukan kajian ulang terhadap UU Tindak Pidana
Korupsi. Inilah antara lain cara membabat filsafat Ionia anutan hidup para
koruptor. ***
[1] Jogja.tribunnews memberitakan
bahwa dari dari 524 total jumlah kepala daerah di Indonesia
298 tersangkut masalah korupsi. Baik sebagai saksi, tersangka terdakwa atau
terpidana korupsi. Kasus yang paling banyak mereka jeratkan diri adalah korupsi
APBD menyangkut pengadaan barang dan jasa. Lihat http://jogja.tribunnews.com/2013/07/19/298-kepala-daerah-terlibat-korupsi
[2] Secara lebih lengkap,
pandangan Ionia dapat dibaca pada tulisan Bernard L. Tanya, dkk dalam buku
berjudul Teori Hukum, Strategi Tertib
Manusia Lntas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Cet. III April 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar