Rabu, 18 Desember 2013

Mengapa Jilbab Polwan Perlu Disoal?




Sejak beberapa bulan lalu, jilbab di kalangan Polisi wanita (Polwan) gencar dibicarakan. Banyak yang menginginkan agar Polwan segera berjilbab, tapi ada juga yang keberatan. Nampaknya sulit mencapai kata sepakat tentang boleh-tidaknya dan tepat-tidaknya Polwan berjilbab saat bertugas. Alasannya macam-macam, tergantung siapa yang bicara dan titik tolak pandangannya atas jilbab.

Polwan Berjilbab ©2013 Merdeka.com
Terus terang, saya tidak anti jilbab. Memakai jilbab juga bagus. Wanita yang memakai  jilbab, bukan saja tampak anggun, tetapi sekaligus memberi kesan bahwa pemakainya adalah orang yang taat beragama, agama Islam. Pertanyaannya, mengapa pakaian mulia itu disoal? Apa yang salah dengan jilbab?


Konteks Pakaian

Di kalangan Kepolisian, dualisme sikap terhadap jilbab cukup kentara. Wakapolri sebelumnya, Komjenpol, Nanan Sukarna dan Wakapolri sekarang, Oegroseno, Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Kombes Pol Agus Rianto dan Kepala Divisi humas Polri Brigjen Polisi Ronny Frengky Sompie umpamanya  menolak karena belum ada aturan hukum.
Bagi Nanan, Kepolisian harus berdiri di atas semua golongan. Para Polwan seharusnya sudah tahu aturan pakaian seragam Polisi. Kalau ada yang memaksa memakai jilbab, sebaiknya keluar dari institusi kepolisian, kata Nanan (SP, 15 Juni 2013).
Sikap tersebut, mewakili pandangan yang menyatakan bahwa  jilbab adalah atribut khusus wanita beragama Islam. Karena itu konteks pemakaiannya semestinya lokal, privat, atau terbatas pada konteks keagamaan (Islam) saja dan pergaulan sosial sehari-hari. Polisi sebagai abdi Negara dituntut tampil dalam konteks dan atribut Negara tanpa diembel-embeli atribut Islam atau agama lain yang hidup di Indonesia.
Pandangan tersebut bertolak dari prinsip bahwa institusi apa pun beserta orang-orang yang ada di dalamnya memiliki konteksnya sendiri-sendiri yang tidak boleh dicampur-adukkan dengan konteks yang lain.
Sebut misalnya konteks Presiden. Seorang Presiden adalah Presiden di Negaranya saja. Ia bukan Presiden di negara lain. Gubernur Jokowi hanyalah Gubernur di DKI Jakarta, bukan Gubernur DIY atau Papua atau Gubernur Indonesia (he he mana ada Gubernur Indonesia). Jika ia lelaki, si Presiden juga bukan Presiden di rumahnya atau kampungnya. Di rumah ia suami dari istrinya (bukan bagi istri orang lain he he) dan ayah dari anak (-anak)-nya.
Di partai politik juga demikian. Seragam Merah PDIP adalah seragam dalam konteks ke-PDIP-an. Bukan dalam konteks sembahyang, pesta, atau lainnya. Jokowi sebagai Gubernur DKI, aparatur, pejabat Negara, tidak akan pernah (dan memang tidak dibenarkan) memakai seragam merah darah itu sehari-hari di kantor Gubernur. Juga pada saat menjalankan tugas Pemda DKI.  Sebab selain tidak sesuai dengan konteks Negara, di sana ada orang yang bukan anggota PDIP. Mereka tentu tidak suka kalau atribut PDI-P dibawa-bawa dalam konteks Pemerintahan DKI.
Agaknya inilah yang membuat Wakapolri Komjenpol Oegroseno berang kepada Polwan yang nekat memakai jilbab. Dikatakannya, Polwan yang nekat memakai jilbab agar pidah saja ke Aceh. Pernyaan ini sempat membuat angota Kompolnas Hamidah Abdurrachman kecewa (http://nasional.inilah.com). Namun, apa yang dikemukakan lulusan Akpol angkatan 1978 bukanlah pertanda ketidaksetujuan pemakaian jilbab. Beliau hanya meminta bersabar selagi aturan digodog.
Sebagian (besar) yang mendukung penyegeraan Polwan memakai jilbab adalah Pemimpin dan atau sebagian umat Islam. Di kalangan pejabat negara, DPR, dan Kompolnas juga banyak. Alasan mereka umumnya terkait dengan agama anutan si pemakai.
Dukungan atas pemakaian jilbab tidaklah salah. Siapa pun pastilah senang dan bangga kalau atribut agamanya dapat diangkat menjadi atribut Negara. Kalau pun ada yang  keberatan, ada kemungkinan karena prinsipnya bernegara sama dengan sikap Nanan Sukarna. Atau mungkin karena belum ada aturan hukumnya saja. Pada prinsipnya, orang semacam itu setuju bila aturan hukum sudah ada. Utamanya mengenai keseragaman model (Merdeka.com, 06/12/2013).
Mengganggu keutuhan NKRI
Belum jelas kapan aturan tersebut terbit. Namun, jika aturan itu benar-benar diterbitkan, dan pemakaian jilbab dijadikan salah satu atribut Polwan,  tidak berarti masalah ke-jilbab-an selesai. Aturan dan jilbab, yang dalam kacamata Islam baik, mengandung sejumlah persoalan.
Pertama, melegalkan pemakaian jilbab sebagai seragam istitusi Polisi dan Istitusi apa pun identik dengan upaya islamisasi atribut Negara. Hal ini memang baik bagi pandangan Islam, tetapi tidak bagi penganut agama lain. Dengan jilbab, identitas penganut agama Islam di kalangan Polisi mekin dikuatkan. Sikap persaudaraan sesama Polwan seagama pun bisa makin kokoh. Tapi bersamaan dengan itu, penjilbaban Polwan akan menyuburkan eksklusivisme Islam, bahkan cenderung menajamkan perbedaan yang ada, antara yang bergama Islam dan bukan.
Kedua, mengangkat aturan Agama Islam menjadi aturan Negara pastilah mengundang pertanyaan anak-anak bangsa lain di luar penganut Islam. Apakah itu bukan upaya sistematis untuk menghilangkan identitas kemajemukan bangsa Indonesia? Bukankah upaya itu merupakan Islamisasi Negara secara pelan-pelan yang pada gilirannya akan mengganggu keutuhan kita ber-NKRI dalam konteks Bhineka Tunggal Ika?
Ketiga, pemakaian jilbab bahkan pakaian apa pun bukan merupakan jaminan baiknya kinerja. Malahan  bisa sebaliknya. Lebih-lebih kalau jilbab yang dimaksud adalah jilbab benaran dengan model longgar dan menutup seluruh tubuh, kecuali mata, sebagaimana difahami dalam Islam.
Di samping itu, dengan kentaranya perbedaan antara yang berjilbab dan tidak, antara penganut Islam dan bukan, di kalangan Polwan bisa muncul sikap superior dan inverior. Yang berjilbab menganggap diri super dan lainnya di- (ter-) sisihkan. Ini bisa berefek pada pelayanan kepada masyarakat yang intinya bermuara pada diskriminasi.
Jika Negara ini masih menghendaki keutuhan NKRI, maka usul saya ialah penonjolan segala macam atribut berbau agama dalam semua institusi Negara sebaiknya dicegah. Kita perlu terima kenyataan bahwa Negara adalah sebuah payung untuk semua yang melindungi kepentingan semua untuk menyejahterakan semua. Kita perlu sadari bahwa kemajemukan adalah fakta ilahi sekaligus duniawi yang perlu dikelola demi kebaikan bersama.***

Tidak ada komentar: