Sejak beberapa bulan lalu, jilbab di kalangan Polisi wanita (Polwan)
gencar dibicarakan. Banyak yang menginginkan agar Polwan segera berjilbab, tapi
ada juga yang keberatan. Nampaknya sulit mencapai kata sepakat tentang
boleh-tidaknya dan tepat-tidaknya Polwan berjilbab saat bertugas. Alasannya macam-macam,
tergantung siapa yang bicara dan titik tolak pandangannya atas jilbab.
Polwan Berjilbab ©2013 Merdeka.com |
Terus terang, saya tidak anti jilbab. Memakai
jilbab juga bagus. Wanita yang memakai
jilbab, bukan saja tampak anggun, tetapi sekaligus memberi kesan bahwa
pemakainya adalah orang yang taat beragama, agama Islam. Pertanyaannya, mengapa pakaian
mulia itu disoal? Apa yang salah dengan jilbab?
Konteks Pakaian
Di kalangan Kepolisian, dualisme sikap terhadap jilbab cukup kentara. Wakapolri sebelumnya, Komjenpol, Nanan Sukarna dan Wakapolri sekarang,
Oegroseno, Bagian
Penerangan Umum (Kabag Penum) Kombes Pol Agus Rianto dan Kepala Divisi humas Polri Brigjen Polisi Ronny Frengky Sompie umpamanya menolak karena belum ada aturan
hukum.
Bagi Nanan, Kepolisian harus berdiri di atas
semua golongan. Para Polwan seharusnya sudah tahu aturan pakaian seragam
Polisi. Kalau ada yang memaksa memakai jilbab, sebaiknya keluar dari institusi
kepolisian, kata Nanan (SP, 15 Juni 2013).
Sikap tersebut, mewakili pandangan yang menyatakan
bahwa jilbab adalah atribut khusus wanita
beragama Islam. Karena itu konteks pemakaiannya semestinya lokal, privat, atau terbatas
pada konteks keagamaan (Islam) saja dan pergaulan sosial sehari-hari. Polisi
sebagai abdi Negara dituntut tampil dalam konteks dan atribut Negara tanpa
diembel-embeli atribut Islam atau agama lain yang hidup di Indonesia.
Pandangan tersebut bertolak dari prinsip bahwa
institusi apa pun beserta orang-orang yang ada di dalamnya memiliki konteksnya
sendiri-sendiri yang tidak boleh dicampur-adukkan dengan konteks yang lain.
Sebut misalnya konteks Presiden. Seorang
Presiden adalah Presiden di Negaranya saja. Ia bukan Presiden di negara lain.
Gubernur Jokowi hanyalah Gubernur di DKI Jakarta, bukan Gubernur DIY atau Papua
atau Gubernur Indonesia (he he mana ada Gubernur Indonesia). Jika ia lelaki, si
Presiden juga bukan Presiden di rumahnya atau kampungnya. Di rumah ia suami dari
istrinya (bukan bagi istri orang lain he he) dan ayah dari anak (-anak)-nya.
Di partai politik juga demikian. Seragam Merah
PDIP adalah seragam dalam konteks ke-PDIP-an. Bukan dalam konteks sembahyang,
pesta, atau lainnya. Jokowi sebagai Gubernur DKI, aparatur, pejabat Negara,
tidak akan pernah (dan memang tidak dibenarkan) memakai seragam merah darah itu
sehari-hari di kantor Gubernur. Juga pada saat menjalankan tugas Pemda
DKI. Sebab selain tidak sesuai dengan
konteks Negara, di sana ada orang yang bukan anggota PDIP. Mereka tentu tidak
suka kalau atribut PDI-P dibawa-bawa dalam konteks Pemerintahan DKI.
Agaknya inilah yang membuat Wakapolri Komjenpol
Oegroseno berang
kepada Polwan yang nekat memakai jilbab. Dikatakannya, Polwan yang nekat memakai
jilbab agar pidah saja ke Aceh. Pernyaan ini sempat membuat angota Kompolnas Hamidah
Abdurrachman kecewa
(http://nasional.inilah.com). Namun, apa yang dikemukakan lulusan Akpol angkatan
1978 bukanlah pertanda ketidaksetujuan pemakaian jilbab. Beliau
hanya meminta bersabar selagi aturan digodog.
Sebagian (besar) yang mendukung penyegeraan
Polwan memakai jilbab adalah Pemimpin dan atau sebagian umat Islam. Di kalangan pejabat negara, DPR,
dan Kompolnas juga banyak. Alasan mereka umumnya terkait dengan agama anutan si
pemakai.
Dukungan atas pemakaian jilbab tidaklah salah. Siapa
pun pastilah senang dan bangga kalau atribut agamanya dapat diangkat menjadi
atribut Negara. Kalau pun ada yang keberatan,
ada kemungkinan karena prinsipnya bernegara sama dengan sikap Nanan Sukarna. Atau mungkin karena belum
ada aturan hukumnya saja. Pada prinsipnya, orang semacam itu setuju bila aturan hukum
sudah ada. Utamanya mengenai keseragaman model (Merdeka.com, 06/12/2013).
Mengganggu keutuhan NKRI
Belum jelas kapan aturan tersebut terbit. Namun, jika aturan itu benar-benar diterbitkan, dan pemakaian jilbab dijadikan salah satu atribut Polwan, tidak berarti masalah ke-jilbab-an selesai. Aturan
dan jilbab, yang dalam kacamata Islam baik, mengandung sejumlah persoalan.
Pertama, melegalkan pemakaian jilbab sebagai seragam istitusi Polisi dan
Istitusi apa pun identik dengan upaya islamisasi atribut Negara. Hal ini memang
baik bagi pandangan Islam, tetapi tidak bagi penganut agama lain. Dengan jilbab, identitas
penganut agama Islam di kalangan Polisi mekin dikuatkan. Sikap persaudaraan sesama Polwan seagama pun bisa makin kokoh. Tapi bersamaan dengan itu,
penjilbaban Polwan akan menyuburkan eksklusivisme Islam, bahkan cenderung menajamkan
perbedaan yang ada, antara yang bergama Islam dan bukan.
Kedua, mengangkat aturan Agama Islam menjadi aturan Negara pastilah
mengundang pertanyaan anak-anak bangsa lain di luar penganut Islam. Apakah itu
bukan upaya sistematis untuk menghilangkan identitas kemajemukan bangsa
Indonesia? Bukankah upaya itu merupakan Islamisasi Negara secara pelan-pelan
yang pada gilirannya akan mengganggu keutuhan kita ber-NKRI dalam konteks Bhineka Tunggal Ika?
Ketiga, pemakaian jilbab bahkan
pakaian apa pun bukan merupakan jaminan baiknya kinerja. Malahan bisa sebaliknya. Lebih-lebih kalau jilbab yang dimaksud adalah
jilbab benaran dengan model longgar dan menutup seluruh tubuh, kecuali mata, sebagaimana
difahami dalam Islam.
Di samping itu, dengan kentaranya perbedaan antara yang
berjilbab dan tidak, antara penganut Islam dan bukan, di kalangan Polwan bisa
muncul sikap superior dan inverior. Yang berjilbab menganggap diri super dan
lainnya di- (ter-) sisihkan. Ini bisa berefek pada pelayanan kepada masyarakat
yang intinya bermuara pada diskriminasi.
Jika Negara ini masih
menghendaki keutuhan NKRI, maka usul saya ialah penonjolan segala macam atribut berbau agama dalam
semua institusi Negara sebaiknya dicegah. Kita perlu terima kenyataan bahwa
Negara adalah sebuah payung untuk semua yang melindungi kepentingan semua untuk
menyejahterakan semua. Kita perlu sadari bahwa kemajemukan adalah fakta ilahi
sekaligus duniawi yang perlu dikelola demi kebaikan bersama.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar