Sehari setelah pelantikan sampai saat ini, berondongan
kritik ke arah Jokowi nyaris tak henti. Mirip ISIS (The Islamic
State of Iraq and Syria) dengan senapan
laras panjangnya yang mengelilingi korban lalu memberondongnya dengan timah
panas.
Illustrasi: http://www.inilah-salafi-takfiri.com/ |
Sebelum pengumuman kabinet, sasaran tembak ada dua. Pertama, pengumuman menteri dianggap
terlalu lama. Banyak yang berharap, nama-nama menteri mestinya diumumkan sehari
setelah pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai Presiden dan
Wakil Presiden (Wapres). Alsannya, jauh
hari sebelumnya Jokowi sudah berjanji langsung bekerja. Pada saat pelantikan pun,
Jokowi berkali-kali menekankan kata: “kerja, kerja, dan kerja!”
Kedua, pelibatan
KPK dan PPATK dalam proses penentuan nama-nama Menteri. Kritik ini tidak hanya
diarahkan ke Jokowi. Tetapi juga ke KPK dan Abraham Samad.
Menurut mereka, Jokowi tidak seharusnya melibatkan KPK dan
PPATK dalam menentukan menteri. Itu hak prerogatif Presiden. Abraham Samad juga
tidak layak berkata bahwa nama-nama yang diberi tanda stabillo kuning dan merah
tidak boleh jadi menteri. Dengan pernyataan itu, Abraham Samad dinilai
melanggar hukum, telah memasuki wilayah politik, bahkan merampas hak prerogatif
Presiden.
Ada yang bilang, untuk mencari informasi tentang calon
menteri tak perlu diketahui umum. Lebih baik minta BIN (Badan Intelijen Negara)
atau siapa saja yang bisa mengumpulkan informasi akurat secara diam-diam. Cara
ini memang tidak salah, tetapi bukan pula cara satu-satunya.
Dalam diskusi lawyer club di TV One, 26 Oktober 2014, ada yang
bertanya sinis, “Untuk apa menteri
bersih? Bisa saja ia bersih saat direkrut, tetapi waktu menjadi menteri dia toh
bisa korupsi. Seharusnya nama-nama yang ada diangkat saja. Nanti kalau terbukti,
korupsi biar diciduk KPK dan menterinya diganti,” kilah si pembicara.
Kritikan Kulit Luar
Bagaimana setelah pengumuman kabinet? Sama saja. Berondongan
kritik malahan berkembang. Selain bergeser, yang disasar makin meluas. Banyak
hal disoroti dalam Kabinet Kerja. Dinilai belum sesuai dengan janji Jokowi
sebelumnya tentang kemandiriannya memilih dan menentukan siapa-siapa yang masuk
dalam kabinet.
Ada yang bilang pengaruh Megawati Sukarno Putri dalam
menentukan menteri masih sangat kuat; Penggabungan kementerian perhungan dalam
kemaritiman, atau dihilangkannya bidang ekonomi kreatif dari kepariwisataan
tidak tepat. Yang lebih serius beberapa menteri dikatakan bukan cuma tidak
tepat, tetapi tidak kompeten di bidangnya.
Belakangan, kritik terus mengiringi setiap tindakan Jokowi.
Keberaniannya mengurangi subsidi BBM umpamanya malahan membuat sebagian besar
anggota DPR dari kubu KMP menggalang dukungan hak interpelasi. Bagi mereka,
upaya Jokowi mencari solusi defisit anggaran sebesar Rp 241,5 triliun,
mengalihkan pemborosan subsidi BBM ke sektor produktif merupakan pelanggaran
hukum, karena dinilai bertentangan dengan UU No 23 Tahun 2014 jo UU No 12 Tahun
2014 tentang APBN. Padahal, jika UU APBN itu dibaca baik-baik, tak satu pun
ayat yang menunjukkan pelanggaran atas tindakan Jokowi.
Terus terang, saya tidak alergi kritik. Kritik sangat
diperlukan untuk meluruskan yang bengkok. Ilmu pengetahuan sendiri berkembang
karena kritik. Namun, kritik yang tidak didasarkan pada konsep, prinsip, teori,
bahkan filosofi cenderung menyesatkan.
Contohnya, waktu enam hari yang dipakai untuk menentukan
menteri, sama sekali tidak prinsip. Tidak lebih penting dibandingkan lima tahun
atau 1.820 hari masa kepemimpinan Jokowi-JK, dihitung dari 26-10-2014 (pengumuman Kabinet Kerja) s/d 20-10-2019.
Lagi pula, menteri yang diidealkan Jokowi bukan cuma pekerja
keras, cekatan, dan kapabel. Tetapi harus bersih dari “penyakit korupsi”. Ini
artinya, selain butuh waktu untuk mendapatkan informasi detail, peran KPK dan
PPATK adalah keharusan. Saran asal angkat menteri, lalu diganti manakala
terbukti korupsi, bukanlah solusi. Kabinet Indonesia Beratu Jilid II sudah
membuktikan hal itu ketika tiga orang menterinya terjerat kasus korupsi.
Yang mengherankan, kritik tersebut lebih banyak menyoroti
kulit luar. Bukan substansi. Lebih heran lagi karena bukan cuma dikemukakan
oleh elit-elit politik. Tetapi juga beberapa akademisi. Sementara rakyat
banyak, malahan setuju dengan langkah Jokowi. Hal penting bagi rakyat, adalah
pemerintahan Jokowi-JK bisa lebih baik. Kepentingan rakyat dalam segala
aspeknya harus bisa dilindungi oleh negara.
Takaran Kritik
Pada hemat saya, mengkritisi Kabinet Kerja Jokowi-JK harus
didasarkan pada dua takaran, yaitu takaran tujuan dan kedua takaran proses.
Takaran tujuan didasarkan pada apa yang telah ditetapkan oleh Jokowi-JK sebagai
target-target kerja kabinet selama lima tahun pemerintahan.
Target-target itu meliputi
semua aspek pembangunan sebagaimana dijabarkan rinci oleh Jokowi-JK dalam
beberapa kali debat Capres-cawapres. Bambang Soesatyo (SM, 29/10/2014) mencontohkan janji kepada semua elemen masyarakat seperti
kepada para guru, anak usia sekolah, nelayan, petani, pelaku ekonomi kreatif,
komunitas pekerja atau buruh serta komunitas pengusaha dalam dan luar negeri. Yang
lebih utama adalah target untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim.
Takaran proses didasarkan pada ketentuan hukum. Sebagai
negara hukum, program kerja kabinet sebagai upaya untuk mewujudkan target-target
tersebut sebelumnya dan bagaimana mengimplementasikannya harus didasarkan pada
ketentuan hukum. Baik berupa UU yang telah ditetapkan oleh DPR, maupun PP yang
ditetapkan Presiden dan Permen yang ditetapkan oleh para menteri, serta
ketentuan lain yang lebih operasional.
Kalau mau negara ini baik, maka ada keharusan bagi siapa
saja yang hendak mengkritisi pemerintahan Jokowi-JK berdasarkan dua takaran
tersebut. Tanpa itu, kecenderungan yang muncul adalah bicara asal bicara atau
kritik asal kritik atau bicara yang remeh-temeh tanpa signifikansinya dalam
upaya pembangunan bangsa dalam konteks NKRI, Pancasila, UUD NRI 1945, dan
Bhineka Tunggal Ika. ***
_________
_________
Edisi cetak tulisan di atas dapat dibaca pada harian Analisa Medan, edisi 3 Desember 2014. Linknya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar