Selasa, 24 Februari 2015

Jumlah Pimpinan KPK



Catatan:
Tulisan ini sudah dimuat di harian Suara Merdeka edisi Jumat, 20 Februari 2015 dengan judul "Jumlah Pimpinan KPK".


Pokok gugatan Komjen Budi Gunawan (BG) kepada KPK adalah jumlah pimpinan KPK --yang hanya empat orang-- ketika menetapkan statusnya menjadi tersangka tindak pidana korupsi dan gratifikasi dinilai tidak sah. Menurut pengacaranya, penetapan status BG tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 ayat (5) yang menegaskan bahwa pimpinan KPK harus bekerja secara kolektif. 

Menurut mereka, KPK juga melanggar keputusan MK No 49/PUU-XI/2013 tanggal 14 November 2013 tentang bunyi Pasal 21 ayat (5) UU KPK tersebut. Istilah bekerja secara kolektif dalam putusan MK ditafsirkan sebagai keharusan bagi pimpinan KPK memenuhi jumlah 5 (lima) orang dalam setiap pengambilan keputusan. Penafsiran inilah yang membuat mereka ngotot bahwa penetapan status BG oleh KPK tidak sah.

Pandangan itu didukung juga oleh dua ahli yang didatangkan oleh kubu BG, yaitu Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LLM dan Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa, S.H., M.H., keduanya dosen Universitas Padjadjaran, dalam keterangan mereka pada sidang praperadilan tanggal 12 Februari 2015. 


Mereka sepertinya lupa bahwa penekanan ketentuan Pasal 21 ayat (5), yang juga menjadi fokus putusan MK bukan soal jumlah, tetapi makna dari istilah “kolektif kolegial”. Dalam penjelasan ayat (5), istilah “bekerja secara kolektif” itu sama sekali tidak menyinggung keharusan 5 orang pimpinan setiap pengambilan keputusan. Fokus ketentuan itu ialah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan KPK. 

Frase “harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama” mengandung arti boleh lima (lengkap) dan boleh kurang tetapi harus lebih dari satu orang. Agaknya, prinsip inilah yang diterapkan pimpinan KPK ketika menetapkan BG sebagai tersangka. Bahkan mungkin salah satu dasar pemikliran dari putusan MK menolak uji materi atas Pasal 21 ayat (5) tersebut.

Ada beberapa konsekuensi hukum yang pasti muncul jika persetujuan 5 orang pimpinan KPK dijadikan syarat wajib dalam setiap pengambilan keputusan. Di antaranya, ialah pekerjaan KPK mustahil lancar, dan ada kemungkinan muncul imunitas hukum yang tak perlu.

KPK tidak Bisa Bekerja Lancar

Bisa diambil contoh apa yang dikemukakan Chatarina M Girsang ketika menanggapi penjelasan Prof. Romli. Dalam nada bertanya Chatarina mencontohkan salah seorang pimpinan KPK sedang di luar negeri atau di dalam pesawat sehingga tak bisa dihubungi. Di sisi lain empat pimpinan KPK lainnya harus segera memutuskan menaikkan status seseorang hasil tangkap tangan karena dalam ketentuan undang-undang hanya diberi waktu 1x24 jam. Dalam keadaan seperti itu, pimpinan KPK mau tidak mau mengambil keputusan kendati jumlahnya hanya empat atau tiga.

Ini pula yang didukung oleh keterangan Zainal Arifin Mochtar, saksi ahli yang didatangkan KPK dari FH UGM. Dikatakannya, “Dalam konteks struktur pasal-pasal di UU KPK, mustahil menganggap pimpinan KPK itu harus lima orang,” ujarnya seperti dikutip media.

Apa yang dikemukakan Zainal, ternyata itulah yang terjadi dalam tubuh KPK sejak Desember 2014. Pimpinannya hanya 4 orang karena masa jabatan Busro Muqqodas berakhir. Saat itu Presiden SBY sudah menyerahkan dua nama calon pengganti Busyro ke DPR. Namun, DPR memutuskan untuk memilihnya bersamaan di akhir tahun atau sekaligus menyeleksi empat calon pimpinan lainnyayang masa tugasnya berakhir pada 10 Desember 2015.

Keputusan tersebut menunjukkan bahwa DPR pun tidak menempatkan faktor jumlah 5 orang sebagai conditio sine qua non dalam mengambil keputusan oleh pimpinan KPK. Yang utama adalah terterapkannya prinsip kehati-hatian melalui putusan kolektif kolegial itu. DPR nampaknya sadar bahwa jika selalu mematok jumlah 5, maka selain KPK tidak bisa bekerja secara lancar, aturan semacam itu cenderung membuat hukum dan KPK tidak bisa bekerja sehingga koruptor dan mafia makin leluasa.

Immunitas hukum

Hal berikutnya ialah konsekuensi dari ketentuan Pasal 36 huruf b. Pasal ini menegaskan bahwa “pimpinan KPK dilarang menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan.”

Ini artinya jika ada pelaku yang memunyai hubungan keluarga dengan salah seorang pimpinan KPK, secara otomatis pimpinan yang bersangkutan tidak boleh menangani perkara tersebut. Ada dua konsekuensi yang pasti timbul. Pertama, KPK pasti tidak dapat mengambil keputusan untuk menangkap dan/atau menetapkan status pelaku karena jumlah pimpinannya kurang dari 5 orang. 

Kedua, secara tidak langsung memberikan imunitas hukum kepada orang yang ada hubungan keluarga dengan pimpinan KPK. Sebab dengan ketentuan itu, empat atau tiga pimpinan KPK pasti tidak bisa berbuat apa-apa. Jika setelah “merampok” uang negara misalnya, pelaku melarikan diri ke luar negeri, KPK tidak bisa mengeluarkan permintaan cekal karena jumlah pimpinan yang dibolehkan menangani kasus tidak pernah 5 orang.

Inikah yang dikehendaki oleh para profesor hukum, yang disebut ahli di praperadilan BG dan bersengkongkol dengan para pengacara BG? Apakah para ahli hukum di Tanah Air, termasuk Hakim Tuggal Sarpin Rizaldi sudah tak punya nalar dan nyali lagi untuk menegakkan kebenaran hukum? Saya harap tidak! ***

Tidak ada komentar: