Catatan:Tulisan ini sudah dimuat di harian Suara Merdeka edisi Jumat, 20 Februari 2015 dengan judul "Jumlah Pimpinan KPK".
Pokok
gugatan Komjen Budi Gunawan (BG) kepada KPK adalah jumlah pimpinan KPK --yang
hanya empat orang-- ketika menetapkan statusnya menjadi tersangka tindak pidana
korupsi dan gratifikasi dinilai tidak sah. Menurut pengacaranya, penetapan
status BG tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 ayat (5) yang menegaskan
bahwa pimpinan KPK harus bekerja secara kolektif.
Menurut
mereka, KPK juga melanggar keputusan MK No 49/PUU-XI/2013 tanggal 14 November
2013 tentang bunyi Pasal 21 ayat (5) UU KPK tersebut. Istilah bekerja secara
kolektif dalam putusan MK ditafsirkan sebagai keharusan bagi pimpinan KPK
memenuhi jumlah 5 (lima) orang dalam setiap pengambilan keputusan. Penafsiran
inilah yang membuat mereka ngotot bahwa penetapan status BG oleh KPK tidak sah.
Pandangan
itu didukung juga oleh dua ahli yang didatangkan oleh kubu BG, yaitu Prof. Dr.
Romli Atmasasmita, S.H., LLM dan Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa, S.H., M.H.,
keduanya dosen Universitas Padjadjaran, dalam keterangan mereka pada sidang
praperadilan tanggal 12 Februari 2015.
Mereka
sepertinya lupa bahwa penekanan ketentuan Pasal 21 ayat (5), yang juga menjadi fokus
putusan MK bukan soal jumlah, tetapi makna dari istilah “kolektif kolegial”. Dalam
penjelasan ayat (5), istilah “bekerja secara kolektif” itu sama sekali tidak
menyinggung keharusan 5 orang pimpinan setiap pengambilan keputusan. Fokus
ketentuan itu ialah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan
diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan KPK.
Frase
“harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama” mengandung arti boleh lima
(lengkap) dan boleh kurang tetapi harus lebih dari satu orang. Agaknya, prinsip
inilah yang diterapkan pimpinan KPK ketika menetapkan BG sebagai tersangka.
Bahkan mungkin salah satu dasar pemikliran dari putusan MK menolak uji materi
atas Pasal 21 ayat (5) tersebut.
Ada
beberapa konsekuensi hukum yang pasti muncul jika persetujuan 5 orang pimpinan
KPK dijadikan syarat wajib dalam setiap pengambilan keputusan. Di antaranya,
ialah pekerjaan KPK mustahil lancar, dan ada kemungkinan muncul imunitas hukum yang
tak perlu.
KPK tidak Bisa Bekerja Lancar
Bisa
diambil contoh apa yang dikemukakan Chatarina M Girsang ketika menanggapi
penjelasan Prof. Romli. Dalam nada bertanya Chatarina mencontohkan salah
seorang pimpinan KPK sedang di
luar negeri atau di dalam pesawat sehingga tak bisa dihubungi. Di sisi lain
empat pimpinan KPK lainnya harus segera memutuskan menaikkan status seseorang
hasil tangkap tangan karena dalam ketentuan undang-undang hanya diberi waktu
1x24 jam. Dalam keadaan seperti itu, pimpinan KPK mau tidak mau mengambil
keputusan kendati jumlahnya hanya empat atau tiga.
Ini
pula yang didukung oleh keterangan Zainal Arifin
Mochtar, saksi ahli yang didatangkan KPK dari FH UGM. Dikatakannya, “Dalam
konteks struktur pasal-pasal di UU KPK, mustahil menganggap pimpinan KPK itu
harus lima orang,” ujarnya seperti dikutip media.
Apa
yang dikemukakan Zainal, ternyata itulah yang terjadi dalam tubuh KPK sejak
Desember 2014. Pimpinannya hanya 4 orang karena masa jabatan Busro Muqqodas
berakhir. Saat itu Presiden SBY sudah
menyerahkan dua nama calon pengganti Busyro ke DPR. Namun, DPR memutuskan untuk
memilihnya bersamaan di akhir tahun atau sekaligus menyeleksi empat calon
pimpinan lainnyayang masa tugasnya berakhir pada 10 Desember 2015.
Keputusan
tersebut menunjukkan bahwa DPR pun tidak menempatkan faktor jumlah 5 orang
sebagai conditio sine qua non dalam
mengambil keputusan oleh pimpinan KPK. Yang utama adalah terterapkannya prinsip
kehati-hatian melalui putusan kolektif kolegial itu. DPR nampaknya sadar bahwa
jika selalu mematok jumlah 5, maka selain KPK tidak bisa bekerja secara lancar,
aturan semacam itu cenderung membuat hukum dan KPK tidak bisa bekerja sehingga
koruptor dan mafia makin leluasa.
Immunitas hukum
Hal berikutnya
ialah konsekuensi dari ketentuan Pasal 36 huruf b. Pasal ini menegaskan bahwa
“pimpinan KPK dilarang menangani perkara
tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan.”
Ini
artinya jika ada pelaku yang memunyai hubungan keluarga dengan salah seorang
pimpinan KPK, secara otomatis pimpinan yang bersangkutan tidak boleh menangani
perkara tersebut. Ada dua konsekuensi yang pasti timbul. Pertama, KPK pasti tidak dapat mengambil keputusan untuk menangkap
dan/atau menetapkan status pelaku karena jumlah pimpinannya kurang dari 5
orang.
Kedua, secara tidak langsung
memberikan imunitas hukum kepada orang yang ada hubungan keluarga dengan
pimpinan KPK. Sebab dengan ketentuan itu, empat atau tiga pimpinan KPK pasti tidak
bisa berbuat apa-apa. Jika setelah “merampok” uang negara misalnya, pelaku
melarikan diri ke luar negeri, KPK tidak bisa mengeluarkan permintaan cekal karena
jumlah pimpinan yang dibolehkan menangani kasus tidak pernah 5 orang.
Inikah
yang dikehendaki oleh para profesor hukum, yang disebut ahli di praperadilan BG
dan bersengkongkol dengan para pengacara BG? Apakah para ahli hukum di Tanah
Air, termasuk Hakim Tuggal Sarpin Rizaldi sudah tak punya nalar dan nyali lagi
untuk menegakkan kebenaran hukum? Saya harap tidak! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar