Catatan; Tulisan di bawah adalah naskah asli sekaligus asrip dari tulisan yang dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, edisi 6 Desember 2014. Linknya ini.
--------------------------
Jumlah anggota DPR yang mendukung
penggunaan hak interpelasi (HI) atas kebijakan pemerintah mengurangi subsidi
BBM terus bertambah. Banyak media mewartakan, tanggal 25/11/2014 ada 157 orang.
Tanggal 27/11/2014, melonjak lagi menjadi 202 orang. Bambang Soesatyo dari
Fraksi Golkar bahkan mengklaim telah mencapai 325 orang. Semua pendukung
berasal dari anggota KMP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 165
ayat (1) Tata Tertib DPR Tahun 2014, jumlah tersebut jauh di atas syarat
minimal sebanyak 25 orang. Itu artinya pengusul hak interpelasi (PHI) yakin bahwa
Bamus, disusul rapat paripurna DPR setuju, lalu memanggil Presiden Jokowi untuk
memberikan keterangan tentang kebijakan tersebut.
Menggebunya semangat mereka menggunakan HI bertolak dari anggapan
bahwa kebijakan mengurangi subsidi BBM sudah menyimpang, melanggar UU APBN 2014. Menurut mereka UU APBN telah menegaskan bahwa menaikkan harga
(baca: mengurangi subsidi) BBM hanya boleh dilakukan jika harga minyak dunia
naik. Nyatanya, harga sedang turun, tapi Jokowi malah menaikkan harga.
Benar bahwa Jokowi telah mengemukakan kepada publik nilai
pemborosan APBN pada subsidi BBM, dan bahwa hampir 70% subsidi itu dinikmati
masyarakat mampu. Demikian pula rencana pengalihan dana subsidi ke sektor
produktif seperti pembangunan infrastruktur, pertanian, kesehatan untuk
masyarakat golongan bawah. Namun, hal tersebut tidak pernah dikomunikasikan
kepada DPR. Bagaimana pengalokasian, pengelolaan dan rincian penggunaan dananya
dinilai tidak jelas dan beroptensi koruptif.
Dengan alasan itu, mereka berkesimpulan bahwa penggunaan HI
layak digunakan. Kebijakan Jokowi tersebut dinilai telah memenuhi ketentuan
Pasal 79 ayat (2) UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 jo Pasal 164 ayat (2) Tata
Tertib DPR, yang menyatakan bahwa: “...hak DPR untuk meminta keterangan kepada
Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Target Pengusul Interpelasi
Berdasarkan UU MD3 dan Tatib
DPR, penggunaan HI tidak salah. Merupakan hak melekat dalam diri setiap anggota
DPR untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap kebijakan eksekutif. Oleh karena
itu, jika Presiden telah memberikan
keterangan dan/atau jawaban, dan keterangan dan/atau jawaban tersebut diterima
oleh DPR berdasarkan ketentuan UU dan Tatib DPR, maka usul HI dinyatakan berakhir
dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali.
Persoalannya, apakah hal itu
mungkin dalam kegaduhan politik seperti sekarang? Nampaknya sulit. Pertama, penyelesaian konflik antara
KMP dan KIH yang belum tuntas cenderung mendorong pengambilan keputusan yang
tidak didasarkan pada musyawarah mufakat, akal sehat, tetapi dengan adu kuat, voting.
Kedua,
yang sangat bersemangat mengusulkan HI adalah anggota DPR dari kubu KMP, yang nota bene sebagian besar di
antaranya masih menyimpan dendam politik kepada Jokowi.
Dengan demikian, ada kemungkinan
bahwa HI hanyalah dijadikan titik pijak oleh KMP. Target mereka yang
sesungguhnya adalah HI dapat berlanjut pada penggunaan hak menyatakan pendapat
(HMP), bahkan pemakzulan Presiden Jokowi.
Dengan target tersebut, mereka pasti
berupaya keras mengegolkan usul HI menjadi HI DPR dan mematahkan setiap keterangan
dan/atau jawaban Presiden, serta membuktikan bahwa kebijakan mengurangi subsidi
BBM merupakan pelanggaran hukum. Dengan begitu, mereka bisa menggunakan senjata
Pasal 79 ayat (3) atau ayat (4) UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 bahkan Pasal 7A
UUD 1945 tentang pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden.
Berakhir Sia-Sia
Pernyataannya, mungkinkah mereka
berhasil? Secara kuantitatif bisa ya. Dengan adanya 353 orang anggota DPR dari
kubu KMP, upaya mengegolkan HI menjadi HI DPR bahkan menolak keterangan
dan/atau jawaban Presiden Jokowi sangat mungkin. Jumlah tersebut melebihi syarat
pada Pasal 165 ayat (3) Tatib DPR, yaitu dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota
DPR (560 orang), dan keputusan dapat diambil apabila disetujui oleh lebih dari 1/2
jumlah yang hadir. Dengan kata lain, peluang KMP untuk mendikte keputusan DPR
di bagian ini sangat besar.
Kendati demikian, “nafsu” untuk
meneruskan HI ke penggunaan hak lainnya, apalagi niat memazulkan presiden ada
hadangan substansi persoalan dan ketentuan hukum yang tidak dapat didikte oleh
KMP. Pertama, alasan pengajuan
interpelasi seperti dikemukakan di depan tampak sangat lemah. Masih berkutat pada
tataran opini, dugaan, bahkan rasa curiga.
Langkah Jokowi untuk mencari
solusi defisit anggaran negara sebesar Rp 241,5 triliun dan rencana pengalihan
dana subsidi ke sektor produktif yang sering dikemukakan beliau kerpada publik,
belum dapat dibantah dengan analisis data oleh PHI.
Kedua, anggapan bahwa kebijakan itu
melanggar UU APBN sulit dibuktikan. Dalam UU APBN, baik No 23 tahun 2014 maupun
UU No 12 Tahun 2014, tak satupun ayat yang menyebutkan syarat bahwa menaikkan
harga BBM hanya boleh dilakukan apabila harga minyak dunia naik. Pasal 14 UU No
23 yang disebut-sebut mengharuskan
presiden meminta persetujuan DPR, malahan sudah dihapus pada UU No 12, UU
perubahan atas UU No 23.
Ketiga, ketentuan pasal 178 ayat (3) Tatib
DPR pasti memaksa KMP agar berhenti pada tahap penggunaan HI. Usul penggunaan
HMP menjadi HMP DPR hanya mungkin tercapai apabila rapat paripurna DPR dihadiri
paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota, dan keputusan diambil apabila disetujui
paling sedikit 2/3 dari jumlah Anggota yang hadir.
Itu artinya, meskipun semua
anggota DPR dari kubu KMP hadir dan sepakat penggunaan HMP, persyaratan 2/3
dari jumlah anggota DPR tidak terpenuhi. Lagi pula, anggota DPR dari kubu KIH
tentu tidak mau terjebak, sehingga pada rapat tersebut dipastikan mereka akan
mangkir.
Dari situ nampak bahwa sekalipun
PHI mampu menggiring keputusan DPR menggunakan HI dan menempuh serangkain
proses kegiatan interpelasi, hasil akhir dapat diduga; mentok pada rapat
paripurna yang menyatakan menerima atau menolak keterangan dan/atau jawaban
presiden atas materi yang dipersoalkan. Jika keterangan presiden diterima, maka
HI akan berakhir dengan sendirinya. Jika ditolak, upaya meneruskan ke hak
berikutnya pun akan terjegal dengan syarat kehadiran.
Pertanyaan
saya, apakah penggunaan HI masih perlu diteruskan? Bukankah hal itu suatu
kesia-siaan yang tidak perlu bagi pekerjaan pemerintah dan DPR sendiri?
Bukankah lebih baik bila DPR menggunakan waktu, energi, pikirannya untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri dan membuat legislasi untuk memerlancar pekerjaan
pemerintahan Jokowi-JK? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar