Sabtu, 28 Februari 2015

Kesia-siaan Hak Interpelasi



Catatan; Tulisan di bawah adalah naskah asli sekaligus asrip dari tulisan yang dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, edisi 6 Desember 2014. Linknya ini.
--------------------------

Jumlah anggota DPR yang mendukung penggunaan hak interpelasi (HI) atas kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM terus bertambah. Banyak media mewartakan, tanggal 25/11/2014 ada 157 orang. Tanggal 27/11/2014, melonjak lagi menjadi 202 orang. Bambang Soesatyo dari Fraksi Golkar bahkan mengklaim telah mencapai 325 orang. Semua pendukung berasal dari anggota KMP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 165 ayat (1) Tata Tertib DPR Tahun 2014, jumlah tersebut jauh di atas syarat minimal sebanyak 25 orang. Itu artinya pengusul hak interpelasi (PHI) yakin bahwa Bamus, disusul rapat paripurna DPR setuju, lalu memanggil Presiden Jokowi untuk memberikan keterangan tentang kebijakan tersebut.

Menggebunya semangat mereka menggunakan HI bertolak dari anggapan bahwa kebijakan mengurangi subsidi BBM sudah  menyimpang, melanggar UU APBN 2014.  Menurut mereka  UU APBN telah menegaskan bahwa menaikkan harga (baca: mengurangi subsidi) BBM hanya boleh dilakukan jika harga minyak dunia naik. Nyatanya, harga sedang turun, tapi Jokowi malah menaikkan harga.
Benar bahwa Jokowi telah mengemukakan kepada publik nilai pemborosan APBN pada subsidi BBM, dan bahwa hampir 70% subsidi itu dinikmati masyarakat mampu. Demikian pula rencana pengalihan dana subsidi ke sektor produktif seperti pembangunan infrastruktur, pertanian, kesehatan untuk masyarakat golongan bawah. Namun, hal tersebut tidak pernah dikomunikasikan kepada DPR. Bagaimana pengalokasian, pengelolaan dan rincian penggunaan dananya dinilai tidak jelas dan beroptensi koruptif.
Dengan alasan itu, mereka berkesimpulan bahwa penggunaan HI layak digunakan. Kebijakan Jokowi tersebut dinilai telah memenuhi ketentuan Pasal 79 ayat (2) UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 jo Pasal 164 ayat (2) Tata Tertib DPR, yang menyatakan  bahwa:  “...hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Target Pengusul Interpelasi
Berdasarkan UU MD3 dan Tatib DPR, penggunaan HI tidak salah. Merupakan hak melekat dalam diri setiap anggota DPR untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap kebijakan eksekutif. Oleh karena itu,  jika Presiden telah memberikan keterangan dan/atau jawaban, dan keterangan dan/atau jawaban tersebut diterima oleh DPR berdasarkan ketentuan UU dan Tatib DPR, maka usul HI dinyatakan berakhir dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali.
Persoalannya, apakah hal itu mungkin dalam kegaduhan politik seperti sekarang? Nampaknya sulit. Pertama, penyelesaian konflik antara KMP dan KIH yang belum tuntas cenderung mendorong pengambilan keputusan yang tidak didasarkan pada musyawarah mufakat, akal sehat, tetapi dengan adu kuat, voting.  Kedua, yang sangat bersemangat mengusulkan HI adalah anggota DPR dari kubu  KMP, yang nota bene sebagian besar di antaranya masih menyimpan dendam politik kepada Jokowi.  
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa HI hanyalah dijadikan titik pijak oleh KMP. Target mereka yang sesungguhnya adalah HI dapat berlanjut pada penggunaan hak menyatakan pendapat (HMP), bahkan pemakzulan Presiden Jokowi.
Dengan target tersebut, mereka pasti berupaya keras mengegolkan usul HI menjadi HI DPR dan mematahkan setiap keterangan dan/atau jawaban Presiden, serta membuktikan bahwa kebijakan mengurangi subsidi BBM merupakan pelanggaran hukum. Dengan begitu, mereka bisa menggunakan senjata Pasal 79 ayat (3) atau ayat (4) UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 bahkan Pasal 7A UUD 1945 tentang pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden.
Berakhir Sia-Sia
Pernyataannya, mungkinkah mereka berhasil? Secara kuantitatif bisa ya. Dengan adanya 353 orang anggota DPR dari kubu KMP, upaya mengegolkan HI menjadi HI DPR bahkan menolak keterangan dan/atau jawaban Presiden Jokowi sangat mungkin. Jumlah tersebut melebihi syarat pada Pasal 165 ayat (3) Tatib DPR, yaitu dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR (560 orang), dan keputusan dapat diambil apabila disetujui oleh lebih dari 1/2 jumlah yang hadir. Dengan kata lain, peluang KMP untuk mendikte keputusan DPR di bagian ini sangat besar.
Kendati demikian, “nafsu” untuk meneruskan HI ke penggunaan hak lainnya, apalagi niat memazulkan presiden ada hadangan substansi persoalan dan ketentuan hukum yang tidak dapat didikte oleh KMP. Pertama, alasan pengajuan interpelasi seperti dikemukakan di depan tampak sangat lemah. Masih berkutat pada tataran opini, dugaan, bahkan rasa curiga.
Langkah Jokowi untuk mencari solusi defisit anggaran negara sebesar Rp 241,5 triliun dan rencana pengalihan dana subsidi ke sektor produktif yang sering dikemukakan beliau kerpada publik, belum dapat dibantah dengan analisis data oleh PHI.
Kedua, anggapan bahwa kebijakan itu melanggar UU APBN sulit dibuktikan. Dalam UU APBN, baik No 23 tahun 2014 maupun UU No 12 Tahun 2014, tak satupun ayat yang menyebutkan syarat bahwa menaikkan harga BBM hanya boleh dilakukan apabila harga minyak dunia naik. Pasal 14 UU No 23 yang disebut-sebut mengharuskan  presiden meminta persetujuan DPR, malahan sudah dihapus pada UU No 12, UU perubahan atas UU No 23.
Ketiga, ketentuan pasal 178 ayat (3) Tatib DPR pasti memaksa KMP agar berhenti pada tahap penggunaan HI. Usul penggunaan HMP menjadi HMP DPR hanya mungkin tercapai apabila rapat paripurna DPR dihadiri paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota, dan keputusan diambil apabila disetujui paling sedikit 2/3 dari jumlah Anggota yang hadir.
Itu artinya, meskipun semua anggota DPR dari kubu KMP hadir dan sepakat penggunaan HMP, persyaratan 2/3 dari jumlah anggota DPR tidak terpenuhi. Lagi pula, anggota DPR dari kubu KIH tentu tidak mau terjebak, sehingga pada rapat tersebut dipastikan mereka akan mangkir.
Dari situ nampak bahwa sekalipun PHI mampu menggiring keputusan DPR menggunakan HI dan menempuh serangkain proses kegiatan interpelasi, hasil akhir dapat diduga; mentok pada rapat paripurna yang menyatakan menerima atau menolak keterangan dan/atau jawaban presiden atas materi yang dipersoalkan. Jika keterangan presiden diterima, maka HI akan berakhir dengan sendirinya. Jika ditolak, upaya meneruskan ke hak berikutnya pun akan terjegal dengan syarat kehadiran.
Pertanyaan saya, apakah penggunaan HI masih perlu diteruskan? Bukankah hal itu suatu kesia-siaan yang tidak perlu bagi pekerjaan pemerintah dan DPR sendiri? Bukankah lebih baik bila DPR menggunakan waktu, energi, pikirannya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan membuat legislasi untuk memerlancar pekerjaan pemerintahan Jokowi-JK? ***

Tidak ada komentar: