Oleh
Yosafati Gulö
Pilkada
seretantak, 9/12/2015, tinggal beberapa hari lagi. Hajatan demokrasi itu
melibatkan 269 daerah, yaitu 9 provinsi, 36
kota, dan 224 kabupaten) atau 53% dari total 537 jumlah propinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia. Dari jumlah itu, 23 di antaranya ada di Sumut.
Makin
dekat pelaksanaan Pilkada, pengelompokan pendukung Pasangan Calon Gubernur, Bupati/Walikota
(selanjutnya ditulis Paslon) makin kentara. Sepintas, para pendukung terbagi
menurut banyaknya Paslon. Sepintas juga, mereka memiliki motivasi yang sama dan
pandangan yang sama terhadap Paslon yang didukungnya.
Mirip
iklan kecap, tiap Paslon bagi pendukungnya adalah nomor satu. Paling unggul di
berbagai aspek dibandingkan pihak kompetitor. Mulai dari visi-misinya, strategi
implementasikan visi-misi, bahkan yakin akan munculnya kejayaan daerah bila Paslonnya
menjadi kepala daerah. Bagi mereka, Paslon yang dijagokan tak ubahnya dewa
penyelamat tanpa cacat. Orangnya jujur, tulus, berintegritas, pemimpin yang
demokratis-manusiawi, sangat peduli kepada rakyat, ramah, dan seterusnya.
Apakah
ini salah? Tentu saja tidak. Ini hal yang wajar dalam persaingan politik. Malahan
aneh kalau ada pendukung yang berbeda, apalagi bertentangan pandangan dengan
Paslon. Lebih aneh lagi kalau mereka menilai jagonya berkapasitas sama atau
lebih rendah dari Paslon kompetitor.
Pertanyaannya,
apakah kriteria yang dipakai untuk mengatakan visi-misi Paslon A lebih baik
dari B atau kepribadian dan kepemimpinan Paslon A lebih baik dari B? Apa benar motivasi
Paslon memang mau membangun daerah sehingga segala upaya dikerahkan untuk
meraih jabatan kepala dan wakil kepala daerah? Apa benar para pendukung
memiliki kehendak yang sama dengan Paslon?
Kepentingan Masyarakat
Secara
normatif, semua jabatan eksekutif, mulai dari lurah/kepala desa sampai presiden,
tak terkecuali jabatan yudikatif dan legislatif, diadakan untuk tujuan:
kepentingan rakyat. Siapa pun pejabat pada jabatan itu, termasuk Paslon yang
berlaga tanggal 9 Desember 2015, dituntut mengorientasikan diri, visi-misi, dan
programnya untuk mewujudkan kepentingan rakyat. Jargon politiknya adalah
membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Inilah yang menjadi kriteria
utama bagi Paslon pada level mana pun.
Mengapa
harus kepentingan rakyat? Alasannya cuma satu: Negara, propinsi,
kabupaten/kota, sampai lurah dan desa, dibentuk atau didirikan bukan untuk
pendiri atau pejabat yang diberi kuasa menjalankannya. Melainkan untuk rakyat. Ini
perintah konstitusi, UUD 1945. Hal ini pula yang dijabarkan dalam keseluruhan
UU, lembaga, dan jabatan, di bidang apa pun.
Pada
titik ini, Paslon dituntut paham benar konstitusi dan alur berpikir peraturan
per-UU-an sampai pada Perda. Juga diharuskan paham kondisi daerah dengan
rupa-rupa potensi maupun masalah-masalah dasar yang dihadapi daerah. Dengan kombinasi
cara berpikir deduktif-induktif, Paslon menyusun visi-misi dan program sebagai
refleksi keadaan daerah sekaligus merupakan cerminan kehendak konstitusi.
Itu
artinya, visi-misi dan program yang ditawarkan Paslon tidak sekedar pernyataan bombastis
dan daftar keinginan yang disusun semalam. Melainkan lebih merupakan pernyataan
filosofi dari hasil kajian empirik sehingga bisa dilaksanakan, diwujudkan dalam
dan selama periode kepemimpinannya, dan merupakan jawaban atas masalah daerah.
Tanpa
kemampuan itu, Paslon cenderung terjebak pada hal-hal fragmatis sekedar menarik
simpati rakyat. Paslon malahan mungkin lebih banyak meniru apa yang sudah
dilakukan di daerah lain karena dinilai berhasil. Atau mungkin mengumbar janji
“bangun ini, bangun itu, gratis ini, gratis itu”, tanpa argumen mendasar yang
merupakan refleksi dari masalah dasar daerah.
Studi Komprehensif
Menemukan
masalah dasar mustahil dengan kira-kira atau angan-angan Paslon. Hanya mungkin
dengan studi berdasarkan prosedur dan kriteria-kriteria ilmiah. Baik yang dilakukan
sendiri atau orang lain, maupun oleh lembaga penelitian serta studi-studi yang
dilakukan oleh perguruan tinggi.
Sejauh
ini, jarang ditemukan Paslon yang menyusun visi-misi dengan cara seperti itu.
Kecenderungan yang terus menggejala ialah menduplikasi atau meniru hal-hal yang
dinilai berhasil di daerah lain.
Dengan begitu,
mudah ditebak apa yang kelak akan terjadi. Setelah Paslon terpilih dan bekerja
sebagai kepala daerah, program kerja pemerintahan menjadi tak terarah, sulit
diukur, dan mudah berubah.
Parahnya
lagi kalau dana yang dikeluarkan selama kampanye relatif besar dan merupakan pinjaman
atau “sumbangan” pengusaha yang sebetulnya diberikan karena pamrih tertentu. Belum
lagi bila para pendukung turut minta imbalan karena merasa berjasa
mengantarkannya menjadi kepala daerah. Mungkin minta proyek, atau minta jabatan
bagi diri sendiri, saudara, atau anaknya dalam jajaran pemerintahan.
Akibatnya,
perhatian sang kepala daerah bukannya mengurusi kepentingan rakyat. Malahan ia sibuk
mencari dana untuk mengganti pinjaman. Entah dengan mengambil jatah pada tiap proyek,
minta upeti kepada setiap pegawai yang naik pangkat atau promosi jabatan. Ia
juga sibuk mengutak-atik jabatan untuk mengakomodasi permintaan para pendukung.
Inikah
yang dikehendaki dari Pilkada?***
Catatan: tulisan ini telah dimuat di harian analisa Medan, tanggal 1 Desember 2015. Linknya klik di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar