Sampah Plastik (http://nasional.republika.co.id/) |
Pengetahuan saya tentang plastik nyaris nol. Tidak
mengerti asal-muasalnya, mengolahnya, termasuk daur ulang. Juga efek persisnya
bagi kesehatan bumi, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.
Yang saya tahu, plastik ada di mana-mana. Bentuk fisiknya
banyak, dan pasti pernah dipakai oleh siapa pun untuk aneka kepentingan. Tak
peduli jabatannya apa. Entah presiden, gubernur sampai ketua RT; pengusaha,
manejer sampai pesuruh; anggota DPR, politisi, penegak hukum, akademisi,
peneliti, artis, tukang omong, tukang tulis, ulama, pendeta, maupun PSK
berbandrol Rp 100 juta atau yang berbandrol Rp 100 ribu sekali bercinta. Tak
peduli orang baik-baik, santun, ramah, tegas, atau orang jahat, kasar, liar, bahkan
teroris. Pun laki-laki dan perempuan tulen, LGBT, pasti pernah, atau malah selalu, memakai
plastik.
Singkatnya, semua sekat primordial di kalangan manusia mati
kutu di hadapan plastik. Rontok dihancur-leburkan olehnya. Semua menerimanya
secara tulus ikhlas penuh sukacita. Semua penganut agama sah dan tak sah, orang
dari latar belakang budaya, dan wanra kulit apa saja merasa oke. Tak ada klaim-klaim
seperti biasanya. Tak ada yang bilang jijik atau muak-mual plastik. Tak ada
yang bilang plastik najis atau haram. Mirip sikap welcome terhadap oksigen, udara dan air bersih, sinar matahari. Cocok
di hati semua orang, dicintai semua orang.
Belakangan, cinta tersebut disoal. Tampaknya kebablasan. Sudah
melampaui batas-batas kewajaran cinta normal. Pemakaian plastik yang terus
bertambah makin mengkuatirkan. Pasalnya, sampah plastik tidak mudah diurai.
Alam butuh ratusan atau ribuan tahun (ini kata para ahli lho) untuk mengurainya
menjadi tanah. Ini sangat berbahaya. Resikonya bagi kesehatan bumi, manusia,
hewan, dan tumbuhan tak terkirakan. Bisa menamatkan sejarah manusia di bumi
seperti hanya LGBT ketika yang kawin mawin hanya sesama sejenis.
Inilah yang diwanti-wanti sejak lama oleh pegiat lingkungan.
Soalnya dari seluruh sampah plastik yang ada di
laut dunia, 10 persennya disumbangkan oleh Indonesia, tulis beberapa media.
Indonesia juara dua setelah China, penyumbang sampah plastik dunia. Namun tidak
usah menaikkan bendera Merah Putih seraya menyanyikan lagu Indonesia Raya ya.
Berita tersebut bukan isapan jempol. Faktanya terpampang di
depan mata. Datanglah ke supermarket atau toko apa pun. Nyaris semua barang kebutuhan
manusia, hewan dan tumbuhan umumnya dikemas dengan plastik. Di hampir setiap
rak dengan barang apa saja, kemasannya plastik. Tengok bahan keperluan dapur,
perawatan diri, perawatan rumah, kendaraan, sampai penyubur tanah, nyaris sama.
Dikemas dalam plastik, plastik, dan plastik!
Sialnya, kita manusia Indonesia kerap suka berpikir sempit.
Pintar tapi bodoh. Pintar berkata-kata, berceramah, tapi bodoh ketika
bertindak. Bijak dalam bersikap tapi sembrono dalam kelakuan. Alhasil, usai
memakai isi plastik, plastiknya kita buang sembarangan. Ini terjadi di
mana-mana. Tak jarang kita dibuat geleng-geleng kepala menyaksikan pengendara
atau penumpang mobil mewah membuka kaca mobil, lalu seenaknya membuang bekas
kemasan air minumannya, berupa gelas atau botol di jalan raya.
Mengapa
geleng-geleng?
Karena dalam benak orang normal, pemilik mobil seperti itu
bukan sembarangan. Mungkin berpendidikan, berwawasan lingkungan, suka keberbersihan
dan kesehatan. Tapi nyatanya, tidak. Kelakuannya primitif. Mirip penghuni hutan
yang biasa buang apa saja sesukanya, termasuk hal yang selalu dibuangnya di kamar
kecil pagi hari. Sisi kelakuan inilah yang menambah kekuatiran terhadap
penggunaan plastik. Syukur masih ada pemulung dan tenaga cleaning service.
Mereka masih bisa memungut atau membuangnya di TPA.
Pada titik ini kebijakan pemerintah tentang plastik berbayar
seharga Rp 200 per kantong jadi menarik dibahas.Kebijakan ini masih uji coba,
ujar Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, pada saat persemian Minggu,
21 Februari 2016 di kawasan Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Uji coba
berlaku enam bulan di DKI dan di lebih 20 kota lainnya di Indonesia. Setelah itu dievaluasi, dikaji, dan kalau oke
baru diberlakukan di seluruh Indonesia.
Keberhasilan program ini ditandai dengan menurunnya jumlah pemakaian
kantong plastik dan gunungan sampah plastik di TPA. Jika tidak, ada kemungkinan
harga kantong plastik dinaikkan. Bukan untuk menghimpun dana bagi CSR. Tapi
agar orang benar-benar berpikir sebelum membeli, hemat plastik. Gol akhirnya,
cuma satu: Agar semua orang ogah membeli kantong plastik. Setiap kali belanja semua
orang membawa sendiri wadah belanjaan, seperti budaya masyarakat di negara
lain.
Apakah masyarakat
langsung setuju?
Ternyata tidak. Respon masyarakat beragam. Ada yang setuju
dan ada yang tidak. Malahan ada yang bilang Presiden Jokowi tengah berkolusi
ria dengan para pengusaha toko dan produse plastik. Namun, saya tidak mau membahas
hal itu terlalu jauh. Termasuk kekuatan dan kelemahan argumen mereka yang
menentang. Saya hanya mau bilang bahwa argumen yang mencuat ada yang logis,
masuk akal sehat, tetapi banyak yang ngawur, atau tepatnya saya tidak mengerti.
Tidak paham he he.
Kalau masih tertarik membaca, dua hal berikut mungkin perlu
kita pikirkan bersama. Pertama, efek kebijakan plastik berbayar dalam upaya
mengurangi sampah plastik. Kedua, tantangan dunia akademik untuk kembali
menelusuri fenomena alam.
Untuk hal pertama, cukup dengan berhitung secara awam.
Ketika belanja di mini, super, atau hiper market sudah pasti banyak kemungkinan
yang dibeli. Mungkin beras, minyak goreng, sayur, buah, atau sabun mandi, odol,
sampho, pembersih lantai, pengharum pakaian dan ruangan, dsb. Lalu coba hitung
atau bandingkan jumlah atau volume kemasan barang dengan plastik dan kantong
plastik sebagai wadah belanjaan. Berapa persen kira-kira kantong plastik dari total
plastik? Kemungkinanya hanya nol koma sekian persen, bukan? Tidak ada
apa-apanya.
Kalau begitu apakah
kebijakan pemerintah itu tidak perlu?
Ya, tetap perlu. Untuk mengurangi sampah plastik pasti
perlu. Hanya saja efeknya sangat kecil. Pasalnya, semua plastik tadi, baik kemasan
barang maupun kantong plastik akan dibuang jadi sampah juga. Memang ada yang bisa
didaur ulang menjadi bahan karpet, keset, rumput sintetis, namun tidak semua. Ekor-ekornya
jadi sampah juga.
Efek tersebut makin tak signifikan bila dikaitkan dengan
harga kantong plastik uji coba. Harga Rp 200 per kantong, tampaknya tidak
bakalan membuat orang enggan membeli kantong plastik. Jangankan Rp 200, harga
Rp 500 atau Rp 1.000 pun mereka beli kalau butuh.
Keadaan itu makin diperparah oleh sikap primitif seperti
dicontohkan di depan dan sikap fragmatis yang kerap diperlihatkan banyak orang
Indonesia. Tak mau pusing dengan hal-hal
abstrak atau yang tidak langsung berhubungan dengan kepentingan dirinya pribadi
atau keluarganya. Jangan bicara kepada mereka dampak sampah pada masa yang akan
datang. Hal itu dinilai terlalu abstrak. Tidak menarik dan tidak penting.
Yang mereka anggap penting cuma ini: bisa hidup dan
menikmati apa yang ada. Masalah masa depan tak perlu diurus sekarang. Itu
urusan generasi mendatang. Mereka bilang kalau masalah masa depan diurus sekarang,
apakah generasi yang akan datang disuruh nganggur? Lantas, kapan bisa menikmati
hidup?
Dengan adanya pandangan seperti ini tampak bahwa efek plastik
berbayar dan upaya pengurangan penggunaan plastik kecil kemungkinan berhasil.
Paling banter, hanya berputar-putar dalam lingkungan pegiat lingkungan dan
sebagian (kecil?) anggota masyarakat idealis.
Pada titik ini kita perlu berdiskusi hal kedua. Yang
ditantang di sini adalah pihak perguruan
tinggi, LIPI, dan lembaga penelitian yang tersebar di berbagai lembaga.
Perguruan Tinggi, Ilmuwan,
Lembaga Peneliaian Ditantang
Bertolak dari ketidaktahuan, saya selalu berpikir bahwa bumi
ciptaan Tuhan ini penuh meisteri. Sebelum ilmu pengetahuan berkembang, bumi
sudah memiliki sistem jitu yang membuat semuanya berjalan normal. Apa yang
kemudian kita kenal sebagai eko sistem rupa-rupanya merupakan bagian dari
misteri yang membuat kehidupan tetap langgeng. Tanah menumbuhkan rumput dan
tanaman. Di antaranya dimakan manusia dan binatang. Para binantang ini beranak
pinak, tetapi sebagian di antaranya jadi santapan singa atau harimau. Singa
atau harimau mati, kemudian membusuk, lalu menyuburkan tanah. Demikian
seterusnya rantai makanan bagi kehidupan yang terus mengalir sampai kita saat
ini.
Benda sekuat apa pun pasti ada kelemahannya.
Sekeras-kerasnya batu, ia akan hancur pelan-pelan karena tetesan air.
Sekeras-kerasnya besi, akan lapuk juga bila digerogoti karat berkat bantuan
bakteri. Sebuas-buasnya singa atau harimau, ia akan lumpuh, bahkan bisa mati
konyol manakala para semut kecil terus berkerumun memasuki hidung, telinga,
mata, dan menggigitnya pelan-pelan. Itulah misteri sistem penguarai buatan alam.
Bagaimana dengan
plastik?
Sampai saat ini belum ada ahli yang menemukan zat yang mampu
mengurai, menghancurkan, atau meleburkan plastik menjadi tanah. Uji coba terus
dilakukan, tapi belum berhasil. Semuanya berserah pada kebaikan alam.
Sayangnya, alam butuh waktu terlalu panjang menurut ukuran hidup manusia. Terlalu
lama.
Mengingat pemakaian plastik mustahil dihentikan, saya selalu
berharap waktu yang dibutuhkan alam perlu diperndek dengan campur tangan ilmu. Pikiran
saya lantas tertuju kepada para ahli kimia. Saya bermimpi mereka terus
melakukan penelitian, trial and error
sampai mereka berteriak “Eureka!” agar misteri kebandelan plastik ini bisa
dilumpuhkan. Bisa? Saya harap ya!
Saya
yakin bahwa semua benda yang ada di bumi ini selalu memiliki
sifat berikut ini. Makin kuat dan tahan lama bila bercampur dengan zat tertentu,
dan sebaliknya, cepat rusak, hancur, bahkan hilang, bila bercampur dengan zat
tertentu pula. Nah, zat
penghancur inilah yang perlu terus dicari. Selamat bekerja para ilmuwan! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar