Selasa, 01 Maret 2016

Plastik Hancur-leburkan Sekat-Sekat Primordialisme dan Tantangannya Bagi Para Ilmuwan

Sampah Plastik (http://nasional.republika.co.id/)

Pengetahuan saya tentang plastik nyaris nol. Tidak mengerti asal-muasalnya, mengolahnya, termasuk daur ulang. Juga efek persisnya bagi kesehatan bumi, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.

Yang saya tahu, plastik ada di mana-mana. Bentuk fisiknya banyak, dan pasti pernah dipakai oleh siapa pun untuk aneka kepentingan. Tak peduli jabatannya apa. Entah presiden, gubernur sampai ketua RT; pengusaha, manejer sampai pesuruh; anggota DPR, politisi, penegak hukum, akademisi, peneliti, artis, tukang omong, tukang tulis, ulama, pendeta, maupun PSK berbandrol Rp 100 juta atau yang berbandrol Rp 100 ribu sekali bercinta. Tak peduli orang baik-baik, santun, ramah, tegas, atau orang jahat, kasar, liar, bahkan teroris. Pun laki-laki dan perempuan tulen, LGBT,  pasti pernah, atau malah selalu, memakai plastik.


Singkatnya, semua sekat primordial di kalangan manusia mati kutu di hadapan plastik. Rontok dihancur-leburkan olehnya. Semua menerimanya secara tulus ikhlas penuh sukacita. Semua penganut agama sah dan tak sah, orang dari latar belakang budaya, dan wanra kulit apa saja merasa oke. Tak ada klaim-klaim seperti biasanya. Tak ada yang bilang jijik atau muak-mual plastik. Tak ada yang bilang plastik najis atau haram. Mirip sikap welcome terhadap oksigen, udara dan air bersih, sinar matahari. Cocok di hati semua orang, dicintai semua orang.

Belakangan, cinta tersebut disoal. Tampaknya kebablasan. Sudah melampaui batas-batas kewajaran cinta normal. Pemakaian plastik yang terus bertambah makin mengkuatirkan. Pasalnya, sampah plastik tidak mudah diurai. Alam butuh ratusan atau ribuan tahun (ini kata para ahli lho) untuk mengurainya menjadi tanah. Ini sangat berbahaya. Resikonya bagi kesehatan bumi, manusia, hewan, dan tumbuhan tak terkirakan. Bisa menamatkan sejarah manusia di bumi seperti hanya LGBT ketika yang kawin mawin hanya sesama sejenis.

Inilah yang diwanti-wanti sejak lama oleh pegiat lingkungan. Soalnya dari seluruh sampah plastik yang ada di laut dunia, 10 persennya disumbangkan oleh Indonesia, tulis beberapa media. Indonesia juara dua setelah China, penyumbang sampah plastik dunia. Namun tidak usah menaikkan bendera Merah Putih seraya menyanyikan lagu Indonesia Raya ya.

Berita tersebut bukan isapan jempol. Faktanya terpampang di depan mata. Datanglah ke supermarket atau toko apa pun. Nyaris semua barang kebutuhan manusia, hewan dan tumbuhan umumnya dikemas dengan plastik. Di hampir setiap rak dengan barang apa saja, kemasannya plastik. Tengok bahan keperluan dapur, perawatan diri, perawatan rumah, kendaraan, sampai penyubur tanah, nyaris sama. Dikemas dalam plastik, plastik, dan plastik!

Sialnya, kita manusia Indonesia kerap suka berpikir sempit. Pintar tapi bodoh. Pintar berkata-kata, berceramah, tapi bodoh ketika bertindak. Bijak dalam bersikap tapi sembrono dalam kelakuan. Alhasil, usai memakai isi plastik, plastiknya kita buang sembarangan. Ini terjadi di mana-mana. Tak jarang kita dibuat geleng-geleng kepala menyaksikan pengendara atau penumpang mobil mewah membuka kaca mobil, lalu seenaknya membuang bekas kemasan air minumannya, berupa gelas atau botol di jalan raya.

Mengapa geleng-geleng?

Karena dalam benak orang normal, pemilik mobil seperti itu bukan sembarangan. Mungkin berpendidikan, berwawasan lingkungan, suka keberbersihan dan kesehatan. Tapi nyatanya, tidak. Kelakuannya primitif. Mirip penghuni hutan yang biasa buang apa saja sesukanya, termasuk hal yang selalu dibuangnya di kamar kecil pagi hari. Sisi kelakuan inilah yang menambah kekuatiran terhadap penggunaan plastik. Syukur masih ada pemulung dan tenaga cleaning service. Mereka masih bisa memungut atau membuangnya di TPA.

Pada titik ini kebijakan pemerintah tentang plastik berbayar seharga Rp 200 per kantong jadi menarik dibahas.Kebijakan ini masih uji coba, ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, pada saat persemian Minggu, 21 Februari 2016 di kawasan Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Uji coba berlaku enam bulan di DKI dan di lebih 20 kota lainnya di Indonesia.  Setelah itu dievaluasi, dikaji, dan kalau oke baru diberlakukan di seluruh Indonesia.

Keberhasilan program ini ditandai dengan menurunnya jumlah pemakaian kantong plastik dan gunungan sampah plastik di TPA. Jika tidak, ada kemungkinan harga kantong plastik dinaikkan. Bukan untuk menghimpun dana bagi CSR. Tapi agar orang benar-benar berpikir sebelum membeli, hemat plastik. Gol akhirnya, cuma satu: Agar semua orang ogah membeli kantong plastik. Setiap kali belanja semua orang membawa sendiri wadah belanjaan, seperti budaya masyarakat di negara lain.

Apakah masyarakat langsung setuju?

Ternyata tidak. Respon masyarakat beragam. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Malahan ada yang bilang Presiden Jokowi tengah berkolusi ria dengan para pengusaha toko dan produse plastik. Namun, saya tidak mau membahas hal itu terlalu jauh. Termasuk kekuatan dan kelemahan argumen mereka yang menentang. Saya hanya mau bilang bahwa argumen yang mencuat ada yang logis, masuk akal sehat, tetapi banyak yang ngawur, atau tepatnya saya tidak mengerti. Tidak paham he he.
Kalau masih tertarik membaca, dua hal berikut mungkin perlu kita pikirkan bersama. Pertama, efek kebijakan plastik berbayar dalam upaya mengurangi sampah plastik. Kedua, tantangan dunia akademik untuk kembali menelusuri fenomena alam.

Untuk hal pertama, cukup dengan berhitung secara awam. Ketika belanja di mini, super, atau hiper market sudah pasti banyak kemungkinan yang dibeli. Mungkin beras, minyak goreng, sayur, buah, atau sabun mandi, odol, sampho, pembersih lantai, pengharum pakaian dan ruangan, dsb. Lalu coba hitung atau bandingkan jumlah atau volume kemasan barang dengan plastik dan kantong plastik sebagai wadah belanjaan. Berapa persen kira-kira kantong plastik dari total plastik? Kemungkinanya hanya nol koma sekian persen, bukan? Tidak ada apa-apanya.

Kalau begitu apakah kebijakan pemerintah itu tidak perlu?

Ya, tetap perlu. Untuk mengurangi sampah plastik pasti perlu. Hanya saja efeknya sangat kecil. Pasalnya, semua plastik tadi, baik kemasan barang maupun kantong plastik akan dibuang jadi sampah juga. Memang ada yang bisa didaur ulang menjadi bahan karpet, keset, rumput sintetis, namun tidak semua. Ekor-ekornya jadi sampah juga.

Efek tersebut makin tak signifikan bila dikaitkan dengan harga kantong plastik uji coba. Harga Rp 200 per kantong, tampaknya tidak bakalan membuat orang enggan membeli kantong plastik. Jangankan Rp 200, harga Rp 500 atau Rp 1.000 pun mereka beli kalau butuh.
Keadaan itu makin diperparah oleh sikap primitif seperti dicontohkan di depan dan sikap fragmatis yang kerap diperlihatkan banyak orang Indonesia.  Tak mau pusing dengan hal-hal abstrak atau yang tidak langsung berhubungan dengan kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Jangan bicara kepada mereka dampak sampah pada masa yang akan datang. Hal itu dinilai terlalu abstrak. Tidak menarik dan tidak penting.

Yang mereka anggap penting cuma ini: bisa hidup dan menikmati apa yang ada. Masalah masa depan tak perlu diurus sekarang. Itu urusan generasi mendatang. Mereka bilang kalau masalah masa depan diurus sekarang, apakah generasi yang akan datang disuruh nganggur? Lantas, kapan bisa menikmati hidup?

Dengan adanya pandangan seperti ini tampak bahwa efek plastik berbayar dan upaya pengurangan penggunaan plastik kecil kemungkinan berhasil. Paling banter, hanya berputar-putar dalam lingkungan pegiat lingkungan dan sebagian (kecil?) anggota masyarakat idealis.
Pada titik ini kita perlu berdiskusi hal kedua. Yang ditantang di sini adalah  pihak perguruan tinggi, LIPI, dan lembaga penelitian yang tersebar di berbagai lembaga.

Perguruan Tinggi, Ilmuwan, Lembaga Peneliaian Ditantang

Bertolak dari ketidaktahuan, saya selalu berpikir bahwa bumi ciptaan Tuhan ini penuh meisteri. Sebelum ilmu pengetahuan berkembang, bumi sudah memiliki sistem jitu yang membuat semuanya berjalan normal. Apa yang kemudian kita kenal sebagai eko sistem rupa-rupanya merupakan bagian dari misteri yang membuat kehidupan tetap langgeng. Tanah menumbuhkan rumput dan tanaman. Di antaranya dimakan manusia dan binatang. Para binantang ini beranak pinak, tetapi sebagian di antaranya jadi santapan singa atau harimau. Singa atau harimau mati, kemudian membusuk, lalu menyuburkan tanah. Demikian seterusnya rantai makanan bagi kehidupan yang terus mengalir sampai kita saat ini.

Benda sekuat apa pun pasti ada kelemahannya. Sekeras-kerasnya batu, ia akan hancur pelan-pelan karena tetesan air. Sekeras-kerasnya besi, akan lapuk juga bila digerogoti karat berkat bantuan bakteri. Sebuas-buasnya singa atau harimau, ia akan lumpuh, bahkan bisa mati konyol manakala para semut kecil terus berkerumun memasuki hidung, telinga, mata, dan menggigitnya pelan-pelan. Itulah misteri sistem penguarai buatan alam.

Bagaimana dengan plastik?

Sampai saat ini belum ada ahli yang menemukan zat yang mampu mengurai, menghancurkan, atau meleburkan plastik menjadi tanah. Uji coba terus dilakukan, tapi belum berhasil. Semuanya berserah pada kebaikan alam. Sayangnya, alam butuh waktu terlalu panjang menurut ukuran hidup manusia. Terlalu lama.

Mengingat pemakaian plastik mustahil dihentikan, saya selalu berharap waktu yang dibutuhkan alam perlu diperndek dengan campur tangan ilmu. Pikiran saya lantas tertuju kepada para ahli kimia. Saya bermimpi mereka terus melakukan penelitian, trial and error sampai mereka berteriak “Eureka!” agar misteri kebandelan plastik ini bisa dilumpuhkan. Bisa? Saya harap ya!

Saya yakin bahwa semua benda yang ada di bumi ini selalu memiliki sifat berikut ini. Makin kuat dan tahan lama bila bercampur dengan zat tertentu, dan sebaliknya, cepat rusak, hancur, bahkan hilang, bila bercampur dengan zat tertentu pula. Nah, zat penghancur inilah yang perlu terus dicari. Selamat bekerja para ilmuwan! ***


Tidak ada komentar: