Presiden RI Joko Widodo |
Gerakan Sri Bintang Pamungkas
cs., yang ditangkap menjelang subuh 2/12 dapat disebuat sebagai gerakan orang-orang
yang tidak senang, atau tepatnya membenci Jokowi. Ini bukan baru. Sudah tampak
sejak Pilpres 2014. Pada awalnya, yang lebih sering muncul di publik hanya
Ahmad Dhani dan Amien Rais. Yang lainbaru terang-terangan muncul selama dua
tahun kepemiminan Jokowi-JK. Saking bencinya, dalam masa kampanye Pilrpes, Ahmad
Dhani sampai-sampai bernazar mau potong “burung” miliknya atau Amien Rais mau
berjalan kaki dari Jogja ke Jakarta apabila Jokowi-JK terpilih pada Pilpres
tersebut.
Setelah kompetisi dimenangkan
Jokowi, keduanya ternyata ingkar. Tapi tidak apa-apa. Saya mafhum. Alasannya sederhana,
pertimbangan manusiawi semata. Kasihan hidupnya dan istri mudanya, Mulan Jameela,
yang sudah capek-capek merebut dirinya dari pelukan Maia Estianty, bila barang
super berharga itu dipotong hanya karena gegabah menilai Jokowi. Mereka bisa
kehilangan gairah hidup, termasuk gairah bermusik untuk menghibur hati mereka
sendiri saat galau.
Amien Rais juga begitu. Saya
tidak tega mendesak beliau memenuhi nazar. Pasalnya, kalau beliau bisa berjalan
kaki sejauh 4 km/jam, maka untuk menempuh jarak Jogja-Jakarta yang menurut
google kira-kira 525 km, beliau butuh waktu 131, 25 jam atau 5 hari lebih
berjalan non stop. Ini mustahil. Beliau butuh istirahat, mandi, makan, Sholat, dan
tidur. Kalau berjalannya sesuai jam kerja, 8 jam perhari, maka beliau butuh waktu
16 hari lebih. Namun, karena faktor usia dan kondisi tubuh, mungkin beliau
hanya mampu berjalan 4 jam perhari, sehingga untuk sampai di Jakarta diperlukan
waktu sebulan atau lebih. Kalau ini dilakukan, sama dengan potong burung, sama
sekali tidak berguna. Sia-sia. Jauh lebih baik waktu yang sebulan itu dipakai
untuk menulis buku tentang politik yang benar, yang dapat menjadi bahan didikan
bagi generasi muda.
Tapi mungkin mereka sedikit
malu atas ucapan gegabah itu sehingga rasa dongkolnya kepada Jokowi tak bisa
surut. Tak lekang oleh panas matahari atau lapuk oleh derasnya hujan. Untuk
itu, setiap ada lobang kesempatan mereka pasti gunakan untuk melampiaskan
amarahnya kepada Jokowi. Lumayan buat menutupi rasa malu. Itulah sebabnya, ketika
ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyebut hal yang dianggap menista agama,
kendati banyak orang berhati jujur mengatakan tidak menista agama, mereka tangkap
sebagai kesempatan berlian untuk menghantam Jokowi. Alasannya, Jokowi dinilai terlalu
melindungi Ahok.
Saling Menambah Energi
“Semanghat membara” Dhani dan
Amien Rais ternyata dimiliki orang lain. Di lembaga negara, DPR RI, ada
tambahan energi dari dua wakil ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon (duo F), yang
juga sangat anti Jokowi. Dari komentar-komentar di media, tampak bahwa pandangan
duo F ini terhadap Jokowi nyaris tak ada sisi baiknya. Kebijakan apa pun yang
diambil Jokowi hampir selalu dinilai salah. Malahan mereka menyebut Jokowi
telah melakukan berkali-kali pelanggaran, menghina ulama, mencaci-maki simbol-simbol
Islam, dan melanggar hukum. Lucunya, apa yang mereka sebut pelanggaran itu
tidak mereka jadikan bahasan di DPR untuk memakzulkan Presiden.
Tambahan energi lain, atau
mungkin saling menambah energi, datang dari kelompok Sri Bintang Pamungkas (SBP),
Ratna Sarumpaet (RS), Rachmawati Sukarno Putri (RSP) cs yang juga sangat anti
Jokowi. Alasan kelompok ini, benar-benar aneh bagi publik. Mereka kerap
mengatakan bahwa pemerintahan sekarang tidak benar. Indonesia makin
terpinggirkan. Rakyat terjajah di negerinya sendiri. “Kita ini telah dijajah
oleh Asing dan Aseng. Bangsa Indonesia kini telah terpinggirkan di tanahnya
sendiri. Mulai dari sosial, politik, budaya, pertahanan, keamanan, dan
lainnya,” kata SBP pada aksi 4/11.
Kalau pernyataan itu disertai
bukti, data, mungkin banyak yang percaya. Nyatanya tidak menyebut satu data pun
tentang bidang jajah-menjajah, siapa yang menjajah, asing dan aseng yang mana, rakyat
Indonesia yang mana yang dijajah. Dengan tidak adanya data, orang lalu berpikir
bahwa SBP membual, sekedar melampiaskan sikap tidak senangnya kepada Jokowi.
Sama seperti Dhani dan Amien,
SBP memang sejak Pilpres menyimpan dendam tak beralasan kepada Jokowi. Pada acara
diskusi yang digelar oleh Progres 98, di cafe Taman Ismail Marzuki, saat
Pilpres tahun 2014, SBP
pernah berkata, “Prabowo boleh kalah, tapi Jokowi tidak boleh menang”, tegasnya
saat itu. Alasannya, di belakang Jokowi adalah para konglomerat hitam
yang sudah menghabiskan uang rakyat ratusan triliun. Bagaimana Jokowi akan
membela rakyat, jika dibelakangnya para konglomerat hitam?, tanyanya secara
retoris di depan peserta diskusi.
Tak berhenti di situ. Ketika
pasangan Jokowi-JK menang pun, SBP bilang “Tidak ada pemerintahan Jokowi.
Jokowi nggak dilantik. Harus dijatuhkan. Jokowi hasil permainan kotor,
dagang sapi dan konspirasi asing dan ‘bandit-bandit’ domestik. Jokowi
sudah dipersiapkan lama oleh mereka ini,” ujarnya menjawab pertanyaan wartawan Voaislam.
Pada kesempatan itu, SBP menyebut beberapa yang dianggapnya terlibat seperti
Presiden Obama, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, dan Presiden Cina Xi
Jinping, Sofyan Wanandi, Megawati Sukarno Putri, dan JK.
Setelah Jokowi berkuasa, apa SBP
berhenti? Tidak. Pandangannya malah makin miring terhadap Jokowi. Diidentikkan seperti
penjual kecap. Dia bilang “Jokowi berbicara bagus,
menyelesaikan swasembada beras dalam waktu singkat tetapi harga beras di
pasaran naik, petani tidak untung. Ini sama seperti penjual kecap saja,” kritik
aktivis politik Sri Bintang Pamungkas kepada wartawan intelijen (https://www.intelijen.co.id/).
Namun, kalau dirunut ke
belakang, sikap keras SBP ternyata sudah lama. Sikapnya yang kritis sekaligus gemar
menentang penguasa, sudah muncul pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Wikipedia
menulis, SBP adalah seorang tokoh pergerakan, reformis, aktivis, politikus dan
juga orator hebat dalam masa-masa akhir jabatan dan penggulingan Presiden
Soeharto. Ia juga merupakan Pendiri Partai PUDI dan juga pernah menjadi
narapidana di era Presiden Soeharto. Namun, saat Presiden Bacharuddin Jusuf
Habibie menjabat, beliau dibebaskan.
Beruntung, sikap kerasnya saat
itu cukup beralasan. Sama dengan sikap rakyat Indonesia yang sudah jijik menyaksikan
ulah Suharto dan konco-konconya dalam mengelola negara. KKN yang terus menjalar
selama kepemimpinan Suharto menjadi alasan kuat karena didukung oleh seluruh
elemen masyarakat. Di sisi ini, jasa beliau memelopori gerakan reformasi
bersama Amien Rais perlu diapresiasi.
Sikapnya terhadap pemerintahan
SBY juga begitu. SBY yang memenangkan Pilpres secara telak tak luput dari
kritik kerasnya. SBY dinilainya tak tegas. Sangat mencintai AS, menganggap AS
sebagai ‘tuannya’, dan SBY merasa bisa menjadi presiden, karena dukungan AS.
SBY memohon dukungan kepada AS. SBY menjual dirinya. Karena dalam benak SBY,
hanya dengan dukungan AS, dia bisa jadi presiden. SBY merasa, “Negara saya
Indonesia. Tapi, rumah saya AS”
Pada acara peluncuran
bukunya bertajuk “Membongkar Kebohongan Politik Pemerintahan SBY-JK”, SBP pernah
dikategorikan menghina Presiden. Pasalnya, saat itu sekelompok mahasiswa
menurunkan foto SBY-JK yang tergantung di ruangan tempat acara berlangsung. Tindakan
itu berbuntut. SBP memang tidak dibui, namun sempat diproses di Mapolda Metro
Jaya Jakarta.
Bagaimana dengan Ratna Sarumpaet?
Rasanya tidak jauh beda. Pada diskusi
ILC 27/2/2015, RS, menggambarkan negara Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi
kacau. “Ini titik paling konyol, tidak berwibawa, kehilangan harkat, kehilangan
harga diri. Itulah Indonesia sekarang” tudingnya dengan wajah marah besar. “Buat
aku, ini negara sudah tidak punya kepala negara. Nggak ada kepala negara. Mana
kepala negara? Cuma mondar-mandir. Emang kita tolol?” ujar Ratna Sarumpaet
lantang yang mendapat applause meriah.
Sama seperti Dhani dan Amien
Rais, SBP, RS, RSP melihat kasus Ahok adalah pintu masuk yang pas untuk
menyerang Jokowi. Mereka sangat paham bahwa kegagalan rencana yang berkali-kali
didiskusikan bersama Kivlan Zen, Adityawarman Thaha, Syarwan Hamid dan yang
lain sebelumnya bisa gol bersama gerakan massa besar 2 Desember 2016. Itulah
sebabnya RSP dan SBP mengatakan akan menggiring massa ke gedung DPR/MPR, lalu meminta
MPR melakukan sidang Istimewa untuk mencabut mandat Jokowi.
Harap dicatat, bahwa sebagian
besar orang-orang tersebut di atas adalah orang yang sangat dekat atau bahkan
termasuk orang Gerindra. Fadli Zon Waketum Bidang Politik Dalam Negeri dan
Pemerintahan, sedangkan RSP merupakan Waketum Bidang Ideologi. Pertanyaannya
apakah gerakan mereka merupakan gerakan Gerindra atau turut disetujui oleh
Prabowo atau tidak sama sekali, tentu tidak bisa disimpulkan begitu saja.
Keterlibatan pribadi bisa saja terlepas dari kebijakan partai. Bisa juga tidak dianjurkan
atau dilarang oleh Partai. Yang pasti, bahwa jawaban yang tepat hanya diketahui
oleh Prabowo dan pribadi-pribadi tersebut.
Melengserkan Berhasil?
Tentu saja tidak. Bangkai busuk
tetap saja bau. Mudah tercium. Orang waras pasti mengerti bahwa tudingan tanpa
bukti hanyalah bualan yang merusak, menyesatkan pikiran. Itu, dipahami betul
oleh intelijen negara dan kepolisian. Penangkapan mereka sebelum aksi 2 Desmber
dimulai merupakan bukti bahwa gerak-gerik mereka sudah lama diintip oleh
intelijen. Penangkapan dengan timing
yang tepat itu memberi pesan kepada mereka bahwa di “atas angin masih ada angin”.
Di atas kepentingan diri dan kelompok
masih ada kepentingan yang lebih besar: rakyat dan NKRI.
Mereka lupa bahwa rencana makar
di Indonesia tidak segampang memikirkannya. Kendati ada contoh pelengseran
Suharto dan Gus Dur di Indonesia, atau Presiden di negara lain yang bisa
dilengserkan karena gerakan massa, tetapi di Indonesia saat ini tidak semudah itu.
Sepanjang tidak mendapat
dukungan tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh di kalangan TNI dan Polri,
dukungan para ulama, Kyai, Ustadz, para pemimin agama dan pemimpin berbagai
Ormas, perguruan tinggi, massa
mahasiswa, para buruh, dst., rencana makar tak bakalan berhasil. Jika masih
nekat, maka gerakan itu sama dengan gantung diri.
Andaikan pun mereka hadir pada
aksi 2/12 itu, tidak gampang mereka memrovokasi massa untuk menduduki gedung
DPR/MPR. Sebab di kalangan massa yang hadir ada banyak tokoh dan peserta aksi
yang masih sangat percaya pada kepemimpinan Jokowi. Revolusi mental yang sudah
dicanangkan sejak menjadi Presiden, keseriusan memberantas korupsi, gencarnya
pembangunan di wilayah-wilayah
perbatasan, perlindungan yang terus dilakukan di perairan Indonesia, pemberian
perhatian besar bagi rakyat miskin diakui oleh rakyat lebih baik daripada
capaian pemerintah sebelumnya.
Oleh sebab itu, kalaupun tidak
ditangkap atau hadir pada aksi 2/12, dan katakanlah berhasil memprovokasi sebagian
massa, dipastikan tidak akan berakhir pada kejatuhan Jokowi. Yang paling
mungkin adalah hadang-menghadang, saling cegat, atau mungkin kerusuhan, yang berujung
pada berjatuhannya korban di kalangan massa dan aparat. Untuk menggiring semua
massa ke gedung DPR/MPR dengan tujuan menjatuhkan Jokowi, tampaknya tidak
semudah yang mereka perkirakan.
Jangan dikira bahwa pihak yang
mendukung Jokowi di kalangan yang hadir mudah dibelokkan. Jangan dikira para
pemimpin agama, kaum intelektual, dan para pemimpin ormas atau kelompok apa pun
yang hadir bisa didikte oleh provokasi. Mereka dan massanya pasti akan
berhadapan mencegat massa yang terprovokasi.
Namun, peluang itu relatif kecil.
Juga tidak serta merta menjatuhkan Jokowi. Sebab dari semua pertemuan antara
Jokowi dengan banyak pihak pasca adksi 4/11, utamanya para ulama dan para
pimpinan berbagai ormas keagamaan, serta berbagai jajaran dalam lembaga TNI sudah
ada komitmen bersama bahwa aksi 2/12 adalah super damai. Kegiatannya melulu doa
untuk negara.
Komitmen bersama tersebut tidak
mudah dibelokkan. Apalagi oleh orang yang pengarunya sudah redup dan yang sudah
lama dipahami sebagai penyebar kebencian terhadap Jokowi. Komitmen para ulama,
para pimpinan ormas keagamaan, pimpinan TNI dan Polri, jauh lebih kuat daripada
kekuatan senjata. Apalagi hanya kekuatan hasutan dengan amunisi kebencian.
Komitmen itulah yang
memustahilkan pelengseran Jokowi. Paham? *** (arsip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar