Illustrasi |
Lalu, mengapa Ahok terus disudutkan?
Ini jelas bukan melulu soal
agama. Ada banyak faktor penyebab. Tapi yang utama adalah soal “kursi”. Andaikata
hanya soal agama, saya sangat yakin bahwa para ulama manapun yang selalu
mengajarkan kebaikan, jiwa besar, kesediaan memaafkan siapa pun, lebih-lebih
untuk suatu pernyataan yang tidak sengaja menyakiti umat Islam, mustahil
dipermasalahkan dengan sebuah demo maha akbar.
Kalau pun di antara ulama
akhirnya ada yang seolah mendukung demo, boleh jadi disebabkan terlalu kerasnya
tekanan dari pihak yang sangat berpengaruh atau sekedar menjaga agar umat yang
tersinggung tidak melakukan tindakan-tindakan anarkhis.
Tekanan itu muncul karena
begitu banyak yang gelisah kalau Ahok kembali menjadi Gubernur DKI. Sebab
dengan kecemerlangan otak, kejujuran hati, dan keberanian menjegal semua orang
yang gemar memalak uang rakyat, pasti akan kehilangan “lahan” pendapatan.
Bukan itu saja. Jika Ahok
menjadi Gubernur DKI lagi, peluang beliau mewujudkan Jakarta baru yang digagas
bersama Jokowi akan makin besar. Hal tersebut, bukan saja menaikkan kelas
Jakarta dan Indonesia di mata dunia, tetapi sekaligus makin melambungkan nama
Ahok di kancah politik nasional, bahkan dunia seperti Jokowi.
Konsekuensi logisnya mudah
diduga. Di antaranya, Pertama,
beberapa partai akan meminangnya menjadi Capres pada periode 2024-2029. Kedua, bermodalkan keberhasilannya
membangun Jakarta, kemungkinan terpilih menjadi Presiden RI makin besar juga.
Ketiga, bila Ahok menjadi Presiden RI, bisa dipastikan bahwa apa
yang diterapkannya di Jakarta akan dijadikan model untuk Indonesia. Revolusi
mental ala Jokowi pasti diteruskan untuk menaikkan derajat RI di mata dunia.
Pada saat yang sama ruang gerak para koruptor atau calon koruptor, pejabat yang
suka memalak uang rakyat, uang negara, terus dipersempit. Mereka inilah yang
menghendaki tersendatnya langkah Ahok.
Keempat, bila Ahok jadi Presiden, maka yang paling terpukul adalah
Suslo Bambang Yudhoyono (SBY). Kok bisa? Apakah beliau tidak mau kalau Jakarta
dan Indonesia maju? Sama sekali bukan itu. Keinginan besar SBY agar Jakarta dan
Indonesia maju tak perlu diragukan.
Terpukulnya SBY disebabkan oleh
terlanjurnya putra kebanggaannya yang berprestasi, Agus Harimurti, melepaskan
jabatannya di TNI untuk bertarung merebut posisi DKI-1. Ya, kalau menang, tentu
tak masalah. Tapi kalau kalah, gimana? Tampaknya, inilah yang jadi ganjalan pikiran
SYB sehingga menaruh perhatian besar pada kasus Ahok.
Disodorkannya Agus bertarung pada
Pilgub DKI, bukan sekedar memenuhi tantangan Ahok agar ada partai yang
mengajukan calon hebat untuk adu program demi Jakarta. Itu hanya sampingan.
Yang utama adalah jabatan gubernur merupakan modal menjadi capres, sekaligus membuka
peluang menghadirkan kembali di Indonesia kisah keluarga Soerkarno-Megawati
atau Hafez-Ashar al-Assad di Suriah, keluarga besar Bush di Amerika Serikat dan
beberapa yang lain, yang ayah-anak sama-sama pernah menjadi Presiden di
negaranya masing-masing.
Karena Agus cerdas, SBY yakin
bahwa “mimpi” indah itu sangat mungkin
diwujudkan di Indonesia. Oleh sebab itu, usaha mengegolkan Agus menjadi
gubernur adalah syarat mutlak. Sebab, Agus butuh pengalaman pada tingkat pemerintahan
daerah sebelum berlaga di tingkat nasional.
Dukungan 300% pada demo
Pada titik ini, faktor kasus
Ahok menjadi sangat penting bagi SBY. Ungkapannya mendukung demo 300% dan pernyataan
kerasnya mendesak polisi agar segera memroses Ahok secara hukum merupakan bukti
konkret. Dikatakannya, “Kalau ingin
negara ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan, Pak Ahok mesti
diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum,"
ucap SBY pada konferensi pers di Cikeas (Kompas.com,
2/11).
Pertanyaannya, apa maksudnya
300%? Kalau mendukung penuh, mestinya hanya 100%. Seratus persen berarti 1
(100/100 = diri SBY sendiri. Ini 300%, artinya 3. Tiga di sini bisa berarti 3
diri, 3 kelompok atau 3 kekuatan. Atau merupakan
simbol dukungan penuh tiga partai pendukung Agus minus PD (PPP, PKB, dan PAN).
Bisa juga diartikan dalam bentuk lain. Misalnya dukungan diri beserta partai (PD,
PPP, PKB, dan PAN) = 1 (100%) ditambah 1 dukungan dana, gagasan, tenaga (100%),
dan ditambah 1 dukungan situasi, momentum (100%). Mana yang benar di antaranya atau
malah semua salah hanya SBY yang bisa memstikan.
Pertanyaanya, apakah SBY pribadi
dan/atau partai pendukung Agus (PD, PPP, PKB, dan PAN) memasok dana demo? Ini juga
belum terjawab. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan publik. Kalaupun ada dugaan
bahwa beliau menggelontorkan dana besar untuk membiayai demo, tidak serta-merta
benar.
Pernyataan SBY mendukung demo
300% dan desakan kerasnya kepada polisi yang bernada ancaman agar polisi segera
memroses Ahok secara hukum, memang sama dengan tuntutan yang terus teriakan
para pendemo. Namun kesamaan tersebut tidak harus diartikan sebagai indikasi
bahwa SBY membiayai demo. Bisa saja ya, tetapi bisa juga tidak. Yang penting
jangan buru-buru menghakimi sebelum ada bukti.
Apalagi hal itu sudah beliau dibantah.
“Kalau ada intelijen seperti itu berbahaya.
Menuduh kelompok, seseorang, atau parpol tertentu, seperti Demokrat adalah
fitnah. Fitnah sangat keji. Memfinah, menuduh orang atau parpol atas dasar
intelijen, sangat keji dan menghina," kata beliau. (BBC, 7/11)
Bantahan serupa, dikemukakan juga oleh Any Yudhoyono lewat istagram ketika menjawab followernya. "Saya sangat menghargai pendapatmu. 10 tahun Pak SBY
memimpin negara tidak ada DNA keluarga kami berbuat yang tidak-tidak,"
kata Ani.
"Jadi kalau ada tuduhan
kepada Pak SBY yang menggerakkan dan mendanai aksi damai 4 November lalu, itu bukan hanya fitnah yang
keji tetapi juga penghinaan yang luar biasa kepada Pak SBY," tambahnya.(Kompas.com,
7/11)
Apakah publik puas dengan bantahan SBY dan Any Yudhoyono?
Tentu saja tidak. Makin keras
SBY membantah, kecurigaan keteribatanannya mendalangi dan membiayai demo
malahan senderung meningkat. Semestinya, SBY tak perlu pakai bantah-bantahan
lewat media. Jika benar-benar tidak terlibat, segera tempuh jalur hukum. Ini
lebih bermanfaat. Pertama, pembersihan
diri dari fitnah lebih kuat. Kedua,
memberi pelajaran kepada publik agar tidak terlalu gampang melemparkan fitnahan
kepada siapa pun hanya karena grogi menghadapi ketangguhan kompetitor.
Terlepas dari benar tidaknya
informasi itu, yang jelas Ahok sudah ditetapkan menjadi tersangka. Satu tahap
harapan SBY tercapai. SBY tentu berharap agar status tersebut akan berpengaruh
buruk bagi Ahok sehingga peluangnya terpilih menjadi gubernur makin kecil.
Kalau pun terpilih, bila hakim memvonis Ahok bersalah dan berkekuatan hukum
tetap, cepat atau lambat jabatan gubernur akan dilepas juga.
Jika hal itu terjadi, tahap
kedua harapan SBY teraih. Dengan sendirinya, posisi Ahok untuk dipinang atau
maju menjadi Capres makin sempit. Sebagai terpidana, kepopuleran Ahok pun lambat
laun meredup. Ini artinya, kesempatan bagi Agus makin terbuka lebar.
Lebih-lebih kalau Agus memenangkan Pilkada 2017, jalan menuju menuju Capres
mulai terbuka. Cita-cita sang ayah, SBY, untuk mewujudkan apa yang terjadi di
Suriah, Amerika Serikat, dan beberapa lain, makin dekat.
Oleh sebab itu, di saat Ahok
terkena kasus merupakan momentum bagi SBY untuk melicinkan jalan Agus. Momentum
untuk meraih jabatan gubernur sebagai modal menjadi capres guna meraih RI-1.
Untuk itu, sekecil apa pun kesempatan dan cara perlu ditempuh. Energi partai
dan keluarga perlu dikerahkan sepenuhnya. Belum lagi dukungan jaringan di
kalangan teman-teman pensiunan TNI, bahkan TNI aktif, serta jaringan lain
selama menjabat Presiden RI ke-6, entah sebagai pendukung maupun sekaligus
menjadi relawan.
Apakah “mimpi” SBY ini dapat
menjadi kenyataan? Wait and see!.
Bagi saya, siapa pun yang
menjadi gubernur DKI atau Presiden RI kini dan mendatang perlu didukung asalkan
opsesinya melulu membangun negeri, memertahankan NKRI, dan bukan hanya
“membangun” kepentingan diri atau kelompok sendiri dengan menghalalkan segala
cara. *** (artsip)
Video dari artikel di atas di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar