Selasa, 27 Desember 2016

Mengapa SBY Sangat Berkepentingan Dengan Kasus Ahok? (Bagian-2)

Illustrasi

Lalu, mengapa Ahok terus disudutkan?
Ini jelas bukan melulu soal agama. Ada banyak faktor penyebab. Tapi yang utama adalah soal “kursi”. Andaikata hanya soal agama, saya sangat yakin bahwa para ulama manapun yang selalu mengajarkan kebaikan, jiwa besar, kesediaan memaafkan siapa pun, lebih-lebih untuk suatu pernyataan yang tidak sengaja menyakiti umat Islam, mustahil dipermasalahkan dengan sebuah demo maha akbar.
Kalau pun di antara ulama akhirnya ada yang seolah mendukung demo, boleh jadi disebabkan terlalu kerasnya tekanan dari pihak yang sangat berpengaruh atau sekedar menjaga agar umat yang tersinggung tidak melakukan tindakan-tindakan anarkhis.

Tekanan itu muncul karena begitu banyak yang gelisah kalau Ahok kembali menjadi Gubernur DKI. Sebab dengan kecemerlangan otak, kejujuran hati, dan keberanian menjegal semua orang yang gemar memalak uang rakyat, pasti akan kehilangan “lahan” pendapatan.
Bukan itu saja. Jika Ahok menjadi Gubernur DKI lagi, peluang beliau mewujudkan Jakarta baru yang digagas bersama Jokowi akan makin besar. Hal tersebut, bukan saja menaikkan kelas Jakarta dan Indonesia di mata dunia, tetapi sekaligus makin melambungkan nama Ahok di kancah politik nasional, bahkan dunia seperti Jokowi.
Konsekuensi logisnya mudah diduga. Di antaranya, Pertama, beberapa partai akan meminangnya menjadi Capres pada periode 2024-2029. Kedua, bermodalkan keberhasilannya membangun Jakarta, kemungkinan terpilih menjadi Presiden RI makin besar juga.
Ketiga, bila Ahok menjadi Presiden RI, bisa dipastikan bahwa apa yang diterapkannya di Jakarta akan dijadikan model untuk Indonesia. Revolusi mental ala Jokowi pasti diteruskan untuk menaikkan derajat RI di mata dunia. Pada saat yang sama ruang gerak para koruptor atau calon koruptor, pejabat yang suka memalak uang rakyat, uang negara, terus dipersempit. Mereka inilah yang menghendaki tersendatnya langkah Ahok.  
Keempat, bila Ahok jadi Presiden, maka yang paling terpukul adalah Suslo Bambang Yudhoyono (SBY). Kok bisa? Apakah beliau tidak mau kalau Jakarta dan Indonesia maju? Sama sekali bukan itu. Keinginan besar SBY agar Jakarta dan Indonesia maju tak perlu diragukan.
Terpukulnya SBY disebabkan oleh terlanjurnya putra kebanggaannya yang berprestasi, Agus Harimurti, melepaskan jabatannya di TNI untuk bertarung merebut posisi DKI-1. Ya, kalau menang, tentu tak masalah. Tapi kalau kalah, gimana? Tampaknya, inilah yang jadi ganjalan pikiran SYB sehingga menaruh perhatian besar pada kasus Ahok.
Disodorkannya Agus bertarung pada Pilgub DKI, bukan sekedar memenuhi tantangan Ahok agar ada partai yang mengajukan calon hebat untuk adu program demi Jakarta. Itu hanya sampingan. Yang utama adalah jabatan gubernur merupakan modal menjadi capres, sekaligus membuka peluang menghadirkan kembali di Indonesia kisah keluarga Soerkarno-Megawati atau Hafez-Ashar al-Assad di Suriah, keluarga besar Bush di Amerika Serikat dan beberapa yang lain, yang ayah-anak sama-sama pernah menjadi Presiden di negaranya masing-masing.
Karena Agus cerdas, SBY yakin bahwa “mimpi” indah itu  sangat mungkin diwujudkan di Indonesia. Oleh sebab itu, usaha mengegolkan Agus menjadi gubernur adalah syarat mutlak. Sebab, Agus butuh pengalaman pada tingkat pemerintahan daerah sebelum berlaga di tingkat nasional.
Dukungan 300% pada demo
Pada titik ini, faktor kasus Ahok menjadi sangat penting bagi SBY. Ungkapannya mendukung demo 300% dan pernyataan kerasnya mendesak polisi agar segera memroses Ahok secara hukum merupakan bukti konkret. Dikatakannya, “Kalau ingin negara ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan, Pak Ahok mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum," ucap SBY pada konferensi pers di Cikeas (Kompas.com, 2/11).
Pertanyaannya, apa maksudnya 300%? Kalau mendukung penuh, mestinya hanya 100%. Seratus persen berarti 1 (100/100 = diri SBY sendiri. Ini 300%, artinya 3. Tiga di sini bisa berarti 3 diri, 3 kelompok atau 3 kekuatan. Atau  merupakan simbol dukungan penuh tiga partai pendukung Agus minus PD (PPP, PKB, dan PAN). Bisa juga diartikan dalam bentuk lain. Misalnya dukungan diri beserta partai (PD, PPP, PKB, dan PAN) = 1 (100%) ditambah 1 dukungan dana, gagasan, tenaga (100%), dan ditambah 1 dukungan situasi, momentum  (100%). Mana yang benar di antaranya atau malah semua salah hanya SBY yang bisa memstikan.
Pertanyaanya, apakah SBY pribadi dan/atau partai pendukung Agus (PD, PPP, PKB, dan PAN) memasok dana demo? Ini juga belum terjawab. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan publik. Kalaupun ada dugaan bahwa beliau menggelontorkan dana besar untuk membiayai demo, tidak serta-merta benar.
Pernyataan SBY mendukung demo 300% dan desakan kerasnya kepada polisi yang bernada ancaman agar polisi segera memroses Ahok secara hukum, memang sama dengan tuntutan yang terus teriakan para pendemo. Namun kesamaan tersebut tidak harus diartikan sebagai indikasi bahwa SBY membiayai demo. Bisa saja ya, tetapi bisa juga tidak. Yang penting jangan buru-buru menghakimi sebelum ada bukti.
Apalagi hal itu sudah beliau dibantah. “Kalau ada intelijen seperti itu berbahaya. Menuduh kelompok, seseorang, atau parpol tertentu, seperti Demokrat adalah fitnah. Fitnah sangat keji. Memfinah, menuduh orang atau parpol atas dasar intelijen, sangat keji dan menghina," kata beliau. (BBC, 7/11)
Bantahan serupa, dikemukakan juga oleh Any Yudhoyono lewat istagram ketika menjawab followernya. "Saya sangat menghargai pendapatmu. 10 tahun Pak SBY memimpin negara tidak ada DNA keluarga kami berbuat yang tidak-tidak," kata Ani.
"Jadi kalau ada tuduhan kepada Pak SBY yang menggerakkan dan mendanai aksi damai 4 November lalu, itu bukan hanya fitnah yang keji tetapi juga penghinaan yang luar biasa kepada Pak SBY," tambahnya.(Kompas.com, 7/11)
Apakah publik puas dengan bantahan SBY dan Any Yudhoyono?
Tentu saja tidak. Makin keras SBY membantah, kecurigaan keteribatanannya mendalangi dan membiayai demo malahan senderung meningkat. Semestinya, SBY tak perlu pakai bantah-bantahan lewat media. Jika benar-benar tidak terlibat, segera tempuh jalur hukum. Ini lebih bermanfaat. Pertama, pembersihan diri dari fitnah lebih kuat. Kedua, memberi pelajaran kepada publik agar tidak terlalu gampang melemparkan fitnahan kepada siapa pun hanya karena grogi menghadapi ketangguhan kompetitor.
Terlepas dari benar tidaknya informasi itu, yang jelas Ahok sudah ditetapkan menjadi tersangka. Satu tahap harapan SBY tercapai. SBY tentu berharap agar status tersebut akan berpengaruh buruk bagi Ahok sehingga peluangnya terpilih menjadi gubernur makin kecil. Kalau pun terpilih, bila hakim memvonis Ahok bersalah dan berkekuatan hukum tetap, cepat atau lambat jabatan gubernur akan dilepas juga.
Jika hal itu terjadi, tahap kedua harapan SBY teraih. Dengan sendirinya, posisi Ahok untuk dipinang atau maju menjadi Capres makin sempit. Sebagai terpidana, kepopuleran Ahok pun lambat laun meredup. Ini artinya, kesempatan bagi Agus makin terbuka lebar. Lebih-lebih kalau Agus memenangkan Pilkada 2017, jalan menuju menuju Capres mulai terbuka. Cita-cita sang ayah, SBY, untuk mewujudkan apa yang terjadi di Suriah, Amerika Serikat, dan beberapa lain, makin dekat.
Oleh sebab itu, di saat Ahok terkena kasus merupakan momentum bagi SBY untuk melicinkan jalan Agus. Momentum untuk meraih jabatan gubernur sebagai modal menjadi capres guna meraih RI-1. Untuk itu, sekecil apa pun kesempatan dan cara perlu ditempuh. Energi partai dan keluarga perlu dikerahkan sepenuhnya. Belum lagi dukungan jaringan di kalangan teman-teman pensiunan TNI, bahkan TNI aktif, serta jaringan lain selama menjabat Presiden RI ke-6, entah sebagai pendukung maupun sekaligus menjadi relawan.
Apakah “mimpi” SBY ini dapat menjadi kenyataan? Wait and see!.
Bagi saya, siapa pun yang menjadi gubernur DKI atau Presiden RI kini dan mendatang perlu didukung asalkan opsesinya melulu membangun negeri, memertahankan NKRI, dan bukan hanya “membangun” kepentingan diri atau kelompok sendiri dengan menghalalkan segala cara. *** (artsip)


Video dari artikel di atas di sini

Tidak ada komentar: