Rabu, 18 Agustus 2010

KETIKA BALIHO BERTUTUR TENTANG INDONESIA

Oleh : Yosafati Gulo

Kompas edisi 13 Juli 2010 memuat potret jitu sebuah baliho di jalan Notoprajan, Yogyakarta. Tiang pancang baliho itu, tampaknya terambil dari bambu kering. Salah satu tiangnya dipancang berdempetan dengan tiang listrik sehigga tampak kokoh. Tepat di depan baliho turut terpotret pengendara sepeda motor. Dikemudikan oleh seorang ibu muda dengan dua anak kecil di boncengan. Ketiganya tidak memperhatikan tulisan di baliho. Tapi dua anak kecil di belakang si pengendara serentak memegang jidatnya dengan tangan kanan.

Di seberang jalan, membelakangi kamera, samar-samar terlihat dua pejalan kaki berpapasan dengan pengendara motor. Sepertinya mereka berjalan pelan menyambilkan diri membaca tulisan di baliho yang disablon dengan huruf-huruf kapital: “KORUPTOR LEBIH BERBAHAYA DARIPADA TERORIS, KORUPTOR MENJARAH MASA DEPAN ANAK BANGSA”.

Sepintas, potret baliho itu biasa. Namun, kalau dicermati serius dan direnungkan ternyata ia mengandung sejumlah makna dan pesan. Bukan saja pada makna kata-kata di baliho, tetapi melalui penampilan baliho itu sendiri si wartawan Kompas telah bertutur banyak tentang makin gilanya korupsi di Indonesia.

Pesan Tulisan

Rasanya tidak harus jadi ilmuwan, sarjana, DPR, atau pejabat. Asal bisa baca, pesan tulisan di baliho pasti dimengerti. Pembaca akan paham bahwa teroris dan koruptor punya kesamaan. Dua-duanya berbahaya, mengancam, bahkan menghancurkan kehidupan.

Kendati ada kesamaan, cara tampil dan misi keduanya beda. Teroris cenderung tampil vulgar, kasar, dan keras. Tapi, sasarannya selektif. Tidak asal babat.

Teroris mengancam, merusak, hanya pada sasaran tertentu. Ia fokus menghancurkan sebuah ideologi dan penganutnya yang diposisikan sebagai musuh sekaligus memperjuangkan ideologi yang diyakininya benar.

Dalam usahanya itu, teroris tampil dalam rupa-rupa kekerasan. Membunuh satu orang atau masal. Mengebom gedung, pesawat, kapal atau fasilitas-fasilitas umum. Tujuannya jelas : melumpuhkan kelompok, negara atau ideologi yang bertentangan dengannya guna memenangkan ideologinya.

Sebelum beraksi, para teroris sulit diidentifikasi. Dengan gaya hidup yang santun dan taat beribadah, mereka tampak seperti orang beriman. Masyarakat terkadang baru tahu ketika menyaksikan tindakan brutal atau bahkan menjadi sasaran pengeboman, pembunuhan.

Motivasi Dasar Koruptor

Koruptor lain. Dalam beraksi ia sangat halus, tidak vulgar. Cuma, sasarannya sembarangan. Tidak fokus seperti teroris. Bisa mengarah teman sendiri, kelompok sendiri, lembaga negara, swasta, saudara sendiri, atau siapa pun. Motivasi dasarnya bukan membunuh secara langsung. Tapi, mengejar materi.

Dalam bahasa kasar, motivasi, cita-cita, dan tindakan koruptor berpusat pada isi perut dan dompet. Membuncitkan perut dan mempertebal ini dompet! Intinya, duit, duit, dan duit!
Perbedaannya lainnya dengan teroris, koruptor tidak memosisikan orang lain sebagai musuh. Orang lain baginya adalah “kawan” atau dijadikan “kawan” agar ia bisa leluasa mendapatkan materi yang memiliki nilai ekonomi. Gayus dan beberapa pejabat termasuk beberapa anggota DPR yang kini tengah menikmati “penginapan” gratis di penjara telah menerapkan secara jitu cara-cara berkawan seperti itu.

Dalam aksinya, koruptor tidak mengenal istilah halal dan haram. Semua hal bisa ia dihalalkan. Jika ia pejabat, maka posisinya selalu dimanfaatkan “seproduktif” mungkin demi duit. Ia tidak pusing apakah itu merugikan orang banyak, masyarakat, dan negara. Bagi koruptor, siapa pun dan lembaga apa pun merupakan alat transportasi untuk mencapai singgasana kelimpahan materi.

Untuk memuluskan aksinya, koruptor juga tampil santun. Tutur katanya ramah dan memikat hati. Ia murah senyum dan terkesan penuh perhatian terhadap kebutuhan orang lain. Dalam menjerat mangsa, cara kerjanya halus. Mula-mula menciptakan citra dirinya sebagai dermawan, beritegritas diri tinggi, dan terpecaya. Tapi awas! Setelah dia tahu Anda yakin, ia pasti menancapkan taringnya di hati Anda guna mengeruk sebanyak mungkin materi untuk setiap urusan.

Tapi dari gaya hidup, koruptor bisa diketahui. Lebih-lebih kalau ia pejabat negara. Dalam kedudukan dan posisi dapat diperkirakan penghasilannya perbulan. Dengan gaji antara 2 juta sampai 12 juta umpamanya (seperti Gayus) mustahil bisa membangun rumah dengan nilai milyaran rupiah setelah menjadi pegawai negeri dalam beberapa tahun. Mustahil pula ia, istri atau suami dan anak-anaknya memiliki mobil mewah kalau hanya dari gaji.

Menjarah Masa Depan

Akibat ulah teroris dan koruptor tidak bisa dinilai secara matematis. Sebab tidak melulu benda bernilai ekonomi, tetapi juga nyawa dan masa depan manusia. Penabrakan pesawat di gedung WTC di Washington, Amerika Serikat, bom Bali I dan II, dan Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta beberapa waktu lalu adalah sekelumit contoh yang tidak bisa dirupiahkan dari ulah teroris dengan dampak multi dimensi.

Bagaimana dengan koruptor? Nampaknya tulisan baliho benar. Akibatnya jauh lebih berbahaya. Tidak saja mengancam kehidupan sekelompk orang atau lembaga dalam waktu tertentu. Tapi untuk seluruh anggota masyarakat, bahkan bangsa, dan negara dalam waktu yang lebih lama.

Pemberian ijin mengalihkan fungsi hutan lindung dan sawah-sawah produktif menjadi area usaha bagi pemodal oleh pejabat berwenang karena diberi segepok uang untuk membuncitkan perut telah menjarah kepentingan masa depan banyak generasi. Penilapan milyaran bahkan triliyunan rupiah pajak oleh beberapa orang yang seharusnya digunakan untuk membangun berbagai fasilitas`umum, termasuk lembaga pencerdas bangsa, lembaga pendidikan, jelas-jelas menjarah kesejahteraan masyarakat dan masa depan banyak generasi.

Coba saja hitung apa yang bisa dilakukan untuk kepentingan bangsa dari nilai korupsi sebesar Rp 1,1 triliyun di Jawa Timur sebagaimana dilansir oleh Jaringan Kerja Anti Korupsi di Jawa Timur (JKAKJ) sampai akhir tahun 2009 (Sriwijaya Post - Rabu, 9 Desember 2009). Atau uang negara sebesar Rp 444 triliyun yang diselewengkan pada tahun 2004 yang melebihi APBN sebesar Rp 370 trilyun tahun yang sama seperti dikemukakan Kwik Kian Gie, yang kemudian dirujuk oleh Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi, ketika menjadi keynote speech pada seminar nasional dan workshop antikorupsi ''Melanjutkan Dialog Menuju Indonesia Bersih'' yang diselenggarakan oleh BEM KM UGM di auditorium MM UGM Yogyakarta beberapa waktu lalu (CyberNews, 17-02-2006).

Dengan uang itu, puluhan juta anak Indonesia miskin bisa disekolahkan tanpa bayar sepeser pun atau puluhan juta pengusaha kecil bisa diberdayakan dengan latihan ketrampilan dan pemberian modal cuma-cuma oleh negara demi masa depan bangsa yang adil.

Belum lagi kalau ditambahkan nilai korupsi yang lebih kecil tapi toh bermilyar-milyar seperti diungkap media. Di Jateng, dari 2007 hingga Mei 2009, jumlah kerugian negara Rp181,5 miliar dan 5,6 juta dolar AS (Antara News, 5 Juni 2009). Yang terbaru, korupsi Kepala Kantor Wilayah Pajak Sulawesi Selatan, Barat, Tenggara Edi Setiadi sebesar Rp 2,55 miliar (Jawa Pos,28 Juli 2010). Atau ratusan milyar yang ditilap Gayus H Tambunan, termasuk yang 2 juta dollar AS yang diakui diserahkannya kepada Haposan untuk dibagi-bagikan kepada jaksa, penyidik, hakim, dan tim pengacara (Kompas com, 3-8-2010)

Jumlah tersebut makin besar bila turut dijejer nilai berbagai KKN para pejabat lain. Sebutlah misalnya yang melibatkan 6 orang Gubernur, 4 anggota DPR RI, dan 12 orang Bupati berlatar belakang Partai Golkar; 1 orang Gubernur, 3 aggota DPR RI, dan 5 Bupati berlatarbelakang Partai Demokrat; 2 Gubernur, 1 anggota DPR RI, dan 5 orang Bupati berlatarbelakang PDI Perjuangan; 4 orang anggota DPR RI berlatar belakang Partai Persatuan Pembangunan; 2 anggota DPR RI dan 2 Bupati berlatar belakang Partai Amanat Nasional, dll dengan nilai bervariasi antara ratusan juta sampai milyaran rupiah (http://kasus-korupsi.com/).

Menurut pengamatan Prof Dr Sofian Effendi, merebaknya kasus-kasus korupsi merupakan akibat dari debirokratisasi dan desentralisasi pemerintahan yang berlangsung cepat sejak bergulirnya gerakan reformasi. Tapi yang lebih merisaukan adalah apa yang dikemukakan mantan Ketua MPR RI M Amien Rais lewat bukunya berjudul “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia” (BPOST,13-05-2008). Menurut Amien Rais, pusat korupsi bahkan sarang korupsi terbesar di Indonesia adalah Istana Negara.

Lha, kalau sudah begini, lalu siapa yang diharapkan bisa mengendalikan pemberantasan penjarahan masa depan anak-anak bangsa? Presiden? Mustahil! Pusat dan sarangnya kan di Istana! Dan ini sudah terbukti. Ketika hasil kerja Pansus kasus Bank Century di DPR RI yang semula berapi-api di gedung DPR tapi berbalik 180 derajat bak es cream setelah sampai di tangan Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono.

Berharap kepada DPR RI, DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Kepala-Kepala Dinas? Rasanya sama dengan mengharapkan matahari terbit dari barat. Mustahil juga. Sebab semua lembaga itu merupakan jaring-jaring dari Istana Negara: pusat dan sarang korupsi.

Pesan Baliho

Pada titik ini, kita disadarkan oleh baliho. Baliho itu ternyata potret bangsa dan negara kita. Ia memberi pesan sempurna dalam mempersonifikasi negara, para pejabat, dan rakyat Indonesia. Tiang penyangga yang tampak kokoh menyimbolkan para pejabat mulai dari Presiden sampai pejabat paling bawah. Kokoh di penampilan dan kata-kata, tapi loyo di tindakan.

Pengendara motor dan dua anak kecil di boncengan menyimbolkan sikap kebanyakan kita yang cuek pada apa yang terjadi, kendati kita sakit kepala melihat keadaan negara. Ini disimbolkan oleh seorang anak yang memegang jidatnya di boncengan.

Pejalan kaki yang menyempatkan diri mengamati baliho menyimbolkan sikap kita yang terus terheran-heran pada ulah pejabat yang koruptor dan koruptor yang pejabat.

Ini artinya bahwa memberantas korupsi mustahil dilakukan dengan sistem yang ada. Kekuatan KPK sebagai lembaga super body dalam menangani korupsi, ICW, pers, dan LSM-LSM yang peduli akan terus jadi bulan-bulanan para pejabat di lembaga-lembaga negara lain plus pengusaha yang merasa nyaman dengan korupsi.

Alternatif yang paling mungkin menyegerakan penerapan hukuman mati bagi para koruptor. Nampaknya ini solusi terakhir. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap?

Tidak ada komentar: