Selasa, 03 Agustus 2010

MENCOBA MEMAHAMI KEMATIAN

(Tulisan ini dibuat pada hari Jumat, 30 Juli 2010. Pada hari yang sama sudah dipublikasikan di face book. Kalau hari ini muncul pada web ini semata-mata karena memang baru ada kesempatan. Jadi kalau membaca kata ‘tadi pagi’, jangan diartikan sebagai waktu pada saat Anda membaca. Tetapi diartikan sebagai pagi hari Jumat yang tersebutkan sebelumnya)

Oleh Yosafati Gulo

Tadi pagi, saya menghadiri kebaktian pemakaman Pak Arif Andreyana di Tiong Ting Salatiga. Pak Arif (demikian beliau biasa dipanggil) adalah suami Bu Raema, dosen JPBS (sekarang FBS) UKSW Salatiga. Kebaktiannya dipimpinan seorang Pendeta muda GKI Salatiga, Pdt Yefta. Tema kotbah, diangkat dari peristiwa kematian seorang anak Raja Daud yang dilahirkan Batsyeba, mantan istri Uria. Diceritakan bahwa Daud sangat sayang terhadap anak itu. Tapi karena ia lahir dari sebuah persitiwa nista di mata Tuhan, anak itu lalu ditulahi Tuhan sehingga akhirnya ia mati.

Dikisahkan bahwa sebelum mati, anak tersebut sakit parah. Daud memohon kesembuhan kepada Tuhan dengan berpuasa secara tekun selama tujuh hari. Bahkan semalam-malaman Daud tidur di lantai sebagai ungkapan penyesalannya atas dosanya kepada Tuhan. Sampai hari ketujuh, anak itu mati. Mulanya para pegawai istana takut memberitahukannya kepada Daud. Mereka kuatir Daud akan mencelakakan dirinya karena rasa kehilangan.

Dugaan pegawai Istana ternyata meleset. Setelah mengetahui bahwa anak itu telah mati, Daud tidak mencelakakan dirinya seperti dugaan pegawai Istana. Malahan ia langsung bangun dari lantai, mandi dan bertukar pakaian, lantas masuk ke rumah Tuhan untuk menyembah. Sesudah itu ia pulang ke rumahnya, lalu makan roti permintaannya.

Bagi pegawai Istana, respon Daud itu aneh. Tidak kemakan logika. Dengan sedikit takut-takut, mereka lalu bertanya, “Apakah artinya hal yang kauperbuat ini? Oleh karena anak yang masih hidup itu, engkau berpuasa dan menangis, tetapi sesudah anak itu mati, engkau bangun dan makan!” tanya mereka penuh rasa penasaran.

Apa jawab Daud? “Selagi anak itu hidup, aku berpuasa dan menangis, karena pikirku: siapa tahu TUHAN mengasihani aku, sehingga anak itu tetap hidup. Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku.”

***

Kisah di atas nampaknya mengajak kita untuk mengoreksi cara-cara kita merespon peristiwa kematian. Banyak orang sering tenggelam dalam perkabungan setelah ditinggal orang yang dikasihi. Bukan cuma menangisi berhari-hari, berminggu, berbulan, bahkan tahunan. Tapi sampai-sampai ada yang tidak memperhatikan dirinya sendiri dan akhirnya jatuh sakit.

Peristiwa kematian, memang menyedihkan. Siapa sih yang bersuka ria kalau orang yang dikasihi pergi untuk selamanya? Tentu tidak ada. Tapi mengapa harus menambah kesusahan diri berketerusan? Bukankah yang mati tetap tidak bisa kembali? Cara berpikir Daud, agaknya patut diperhitungkan. Yang mati tidak mungkin kembali. Kitalah, yang hidup, yang akan pergi menuju ke kematian.

Nampaknya perlu disadari bahwa persitiwa kematian adalah sebuah proses alami. Suatu tahap yang, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dilalui oleh setiap orang yang pernah lahir. Ada semacam siklus alami yang tidak bisa dicegah atau dihindari. Lahir dan mati adalah dua ujung pembatas dan pasti terjadi pada kehidupan. Dari sisi ini, kita, semua manusia sama. Tidak lagi ada orang Yunani atau Yahudi, beragama A atau B, berpendidikan C atau D, berambut lurus atau keriting, orang kota atau desa, dst. Yang berbeda hanyalah caranya datang dan kapan waktunya dalam hidup kita masing-masing.

Saat ini Bapak Arif Andreyana telah sampai pada ujung terakhir. Kita yang masih hidup, sesungguhnya sedang antri menuju ke arah yang sama. Tak ubahnya ketika mengantri di depan loket bank atau mengantri menunggu panggilan pemeriksaan di ruangan tunggu praktek dokter. Dalam antrian itu, saya harap semua sabar dan tertib dalam garis antrian. Jangan ada di antara kita yang main terobos, salip-salipan seperti para pengendara di jalan raya.

Selain itu, peristiwa kematian nampaknya merupakan pembuktian bahwa manusia tidak memiliki kuasa apa pun atas kehidupannya, apa lagi kehidupan orang lain. Manakala kematian menjemput, kita tidak bisa menolak. Juga tidak bisa menawarkan tebusan bagi yang lain. Atau memohon penangguhan seperti penangguhan penahanan yang biasa dilakukan kepada seseorang yang ditahan oleh polisi atau jaksa.

Dengan demikian, kematian adalah sebuah peringatan bagi kita yang masih antri. Pertama-tama agar kita terus awas bahwa apa yang kita alamai dan kita sebut hidup adalah sebuah jangka waktu. Terbatas. Berawal dan berakhir. Dalam rentang kedua ujung itu, kita perlu melakukan sesuatu yang berkmakna. Bermakna kepada siapa? Bisa saja kepada siapa saja dan untuk kehidupan.

Kedua, bahwa hidup yang ada pada kita saat ini berada di luar kendali kita. Ia bukan sebagai milik yang bisa kita atur dan rencanakan. Hidup yang saat ini ada pada diri kita adalah milik Sang Pemilik Kehidupan. Bagi yang percaya, silahkan sebut : Tuhan. Itu artinya, kalau kita masih hidup pastilah bukan karena kuasa kita atau program kita. Semata-mata karena kemurahan Sang Pemilik Kehidupan. Karena Ia masih berkenan mempercayakan, menitipkan, kepada kita sebuah kehidupan. Tiap orang diberi-Nya sama dan hanya satu.

Mau lebih dari satu? Tidak bakalan dikasih-Nya. Bukan apa-apa. Tuhan (barangkali) berpikir, ngapain dikasih dua, satu saja manusia tidak bisa urus. Tidak digunakan untuk membangun kehidupan. Malahan ada yang memakainya untuk memeras kehidupan yang lain untuk kesenangannya sendiri. Mau menyogok Tuhan? Oh oh jangan coba-coba. Tuhan tidak bisa diajak kompromi atau ber-KKN seperti para pejabat di negara kita.

Kalau demikian, selama masa mengantri ini apa yang seharusnya dilakukan? Jawabannya tentu berbeda bagi tiap orang. Nasehat untuk ini juga sudah banyak kita dengar atau baca. Karena itu saya tidak memasuki wilayah ini. Saya hanya mau mengajak kita untuk melakukan satu hal, yaitu setiap orang perlu terus mengajukan pernyataan mengapa Sang Pemilik Kehidupan, Tuhan, masih mau mempercayakan kepadaku dan kepadamu sebuah kehidupan? Apa yang Dia maui kita lakukan dalam kerangka horinzontal dan vertikal? Apa yang Tuhan kehendaki kita lakukan bagi sesama dan bagi DIA?

Dengan alur berpikir ini saya setuju dengan Paulus ketika ia berkata dalam suratnya kepada Jemaat di Roma, Roma 12 : 1, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”

Mengacu pada nasehat itu, saya setuju bahwa hidup ini tidak pantas dipakai sembarangan. Tubuh ini jangan dipakai suka-suka. Apalagi sebagai pejabat, penguasa, pemodal, lalu memakai hidupnya untuk menjarah harta bangsa dan negara yang seharusnya perlu untuk melayakkan kehidupan orang banyak. Yakinlah, itu tak perlu. Sedikitpun tidak akan mampu memperpanjang masa antrian menuju ujung kehidupan.

Paulus bilang, jadikanlah hidupmu sebagai persembahan. Ops! Tapi, jangan kepada roh-roh jahat atau nafsu-nafsu duniawi dan sejumlah keinginan daging. Bagi Paulus, ukurannya jelas: sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah!

Tentu saja bukan maksudnya tubuh kita dibakar sebagai korban seperti konsep persembahan yang sering disalahpahami. Mempersembahkan tubuh (baca:kehidupan) berarti mengelola kehidupan dalam segala aktivitasnya menjadi sesuatu yang perlu bagi yang lain. Ya sesama manusia, ya kehidupan yang lain. Karena ukurannya jelas, maka setiap kita beraktivitas, pertanyaan yang harus selalu diajukan ialah apakah aktivitas ini kudus dan berkenan kepada Allah?

Dalam pekerjaan pada posisi apa pun, kita harus selalu koreksi dengan pertanyaan tersebut. Sebelum mengeluarkan kebijakan, tanya dulu apakah kebijakan itu kudus dan berkenan kepada Allah? Kalau berniat menilap uang rakyat, me-mark up nilai proyek, mengajar asal-asalan, memberi nilai (maha) siswa, memberi tugas karyawan, dst., tanya dulu apakah tindakan itu kudus dan berkenan kepada Allah. Jika jawabnya ya, lakukanlah! Tapi kalau tidak, ada baiknya berhenti karena apa pun yang diperoleh dalam aktivitas itu tak akan pernah punya nilai sebagai sebuah persembahan yang kudus dan berkenan kepada Allah, Sang Pemilik Kehidupan.

Saya berpendapat, bahwa Pak Arif Andreyana telah berusaha melakukan hal tersebut selama hidup dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Kalau saat ini beliau kita sebut mati, pastilah bukan karena rencana atau pilihan beliau. Kemungkinan besar (saya terpaksa menguda-duga lagi karena memang tidak pernah tahu persis) karena Tuhan, Sang Pemilik hidup pak Arif menilai bahwa tugas-tugas kehidupannya sudah cukup.

Tugas yang masih sisa adalah untuk orang lain. Tugas Anda dan saya. Oleh karena itu, rasa-rasanya tak ada alasan untuk tidak merelakannya pergi. Atau memintanya kembali. Atau terus memohon agar Tuhan menahannya dalam garis antrian. Itu di luar kehendak Sang Pemberi Hidup. Yang perlu kita lakukan ialah mempersiapkan diri sebaik mungkin semasih berada dalam garis antrian. Targetnya ialah hidup kita memiliki makna sebagai persembahan kudus dan berkenan kepada Allah. Moga-moga, dengan upaya tersebut kita bisa melangkah dengan kepala tegak menemui Sang pemilik Hidup, ketika berada pada garis terdepan antrian.

Selamat Jalan Pak Arif.

Tidak ada komentar: