Jumat, 24 Juni 2011

JANGAN BERLAGAK TAHU

Oleh Yosafati Gulö

Teman saya bertutur tentang keheranannya atas sikap teman kerjanya. Temannya ini katanya, menyebalkan. Setiap bicara, apa saja, dia selalu berlagak serba tahu. Segalanya. Lebih-lebih kalau membicarakan seseorang, kejadian, atau berita media yang lagi hot, ia hampir selalu bisacara seperti tahu persis setiap detail. Teman saya menggambarkannya hampir setara dengan Maha Tahu, Sang Pencipta.

Ia bisa cerita dari A ke Z tentang seseorang. Bukan saja sifat, karakter, ambisi, kebiasaan, keburukan, kehebatan, tapi terkadang sampai ke isi perut. Kalau tidak hati-hati, ia bisa membuat citra siapa pun menjadi baik seperti malaikat atau buruk seperti Mak Lampir dalam cerita sinetron berjudul “Mak Lampir”, walaupun keadaan yang sesungguhnya beda sama sekali.

Kisah Sheng Ren Kong Zi

Mendengar tuturannya itu, saya tiba-tiba teringat kisah Sang Maha Guru bernama Sheng Ren Kong Zi yang dikisahkan Budi S. Tanuwibowo dalam bukunya berjudul “Bertambah Bijak Setiap Hari, 8 x 3 = 23!”

Al kisah, Sang guru menugaskan Yan Yuan, murid kepercayaannya, menyiapkan makanan untuk semua murid seperguruan. Saat itu, dalam sebuah perjalanan jauh, mereka sudah kehabisan bekal. Tak ada yang bisa dimakan. Padahal, mereka semua kelaparan. Beras segantang pemberian seseorang petani yang baik hati di desa terpencil yang mereka singgahi, jauh dari cukup. Karena itu, Kong Zi menyuruh si murid membuat bubur seencer mungkin agar semua bisa makan.

Sementara Sang Guru mengajar para murid lain di halaman depan, Yan Yuan membuat bubur di ruangan belakang rumah si petani. Ketika mulai masak, bubur yang sangat encer itu meluber. Tumpah di sekitar tungku. Si murid berbudi ini sedih bukan kepalang. Ia lantas mengumpulkan tumpahan bubur itu. Ditaruhnya di mangkuk lalu dimakan. Daripada mubazir, biarlah itu jadi bagiannya, katanya dalam hati.

Tidak disangka, tiba-tiba Sang Guru, Kong Zi, masuk ke ruang belakang mengecek pekerjaan Yan Yuan. Sang guru kaget. Kecewa. Tak menyangka kalau murid yang selama ini sangat dipercaya, pintar, dikasihinya ternyata curang. Ini keterluan, pikir Sang Guru. Tanpa ijin, bahkan berani mendahului Sang guru dan teman-temannya.
Syukur bahwa Sang guru bijak ini masih punya rem. Ia tidak langsung melabrak Yan Yuan. Sebagai guru yang sangat populer karena sifat bijaknya serta merta menangkap ada sesuatu dari pandangan mata Yan Yuan. Ia lalu mendekat dan meminta Yan Yuan memberi penjelasan mengapa ia makan bubur mendahului yang lain.

Mendengar apa yang sesungguhnya terjadi dari tuturan Yan Yuan, Sang guru kembali kaget. Ia sadar bahwa dirinyalah yang salah. Bukan Yan Yuan. Ia gegabah dalam menilai murid terbaiknya itu. Maka dengan jiwa besarnya, Kong Zi yang amat bijak itu langsung meminta maaf kepada Yan Yuan.

Di Balik Peristiwa

Peristiwa tersebut mengingatkan Sang Guru, dan (mungkin juga) kita semua, bahwa mendengar sesuatu dari orang lain tentang sesuatu atau seseorang, jauh dari cukup. Mendengar sendiri, juga belum cukup. Bahkan melihat dengan mata kepala sendiri pun, jika hanya sebagian, bisa menyesatkan. Juga bisa sangat berbahaya. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Maka, seorang Junzi (insan beriman dan berbudi luhur), tulis Budi S. Tanuwibowo, selalu meneliti hakikat sebuah perkara. Tidak boleh terburu-buru.

Kisah tersebut mengingatkan kita agar tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan. Tidak layak menghakimi seseorang dengan bermodalkan sepotong informasi dari orang lain. Sebab, sepotong informasi, apalagi dari orang lain, telah mengalami banyak distorsi. Apa yang didengar atau disaksikan sendiri pun tak pernah bisa utuh.

Mengapa? Karena di balik sebuah peristiwa, penampilan, atau respon seseorang atas sesuatu, ada sejumlah hal tersembunyi di belakangnya. Hal ini, lebih sering kita belum tahu. Apa yang nampak, sesungguhnya tidak memberi informasi apa-apa. Ia hanya kulit luar. Bukan hakikat. Atau Ia hanya akibat. Sebuah ujung yang muncul terkadang baru merupakan gejala, fenomena, akibat dari sebuah ujung lain, yang masih tersembunyi, yang seharusnya digali, dan diselidiki.

Itu sudah merupakan “hukum alam” yang sepatutnya disadari dan ditaati.

Melanggar prinsip ini berarti melanggar hukum alam. Dan melangar hukum alam berarti merusak hakikat. Dan ini, sekali lagi, bisa sangat berbahaya! Lebih-lebih bagi pengambil keputusan terkait dengan hidup dan masa depan seseorang atau banyak orang***

Tidak ada komentar: