Rabu, 20 Februari 2013

Menelisik Kedudukan Organ Yayasan (1)



Oleh Yosafati Gulo

Dengan terbitnya UU Yayasan (UUY)[1], keberadaan Yayasan di Tanah Air menjadi kokoh karena memiliki landasan hukum yang jelas. Dengan begitu, pendirian dan pengelolaan Yayasan diharapkan menjadi tertib dan pengelolanya tidak lagi berlindung di balik badan hukum Yayasan untuk tujuan-tujuan di luar misi sosial, keagamaan dan kemanusiaan

Hal itu sudah ditegaskan dalam Penjelasan UU No. 16 Tahun 2001 UUY. Dijelaskan bahwa UUY dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang  benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Penegasan itu bertujuan untuk mencegah berulangnya kecenderungan banyak Yayasan selama ini yang sering menjadikan Yayasan hanya sekadar topeng untuk tujuan bisnis, menghindari pajak, atau untuk memerkaya diri Pendiri, Pengurus dan Pengawas[2].

Ada banyak hal yang diatur dalam UUY. Salah satu diantaranya ialah tentang organ-organ yayasan. Sebelum UUY, organ Yayasan dikenal dengan beberapa bervariasi. Ada yang menyebutnya Pendiri dan Penyantun, Pendiri dan Pengawas, atau Pendiri dan Pengurus, atau Pendiri yang sekaligus sebagai Pengurus yang kadang-kadang disertai Pengawas khusus. Namun, dengan UUY organ Yayasan ditetapkan menjadi tiga, yaitu Pembina,  Pengurus, dan Pengawas.

Pemisahan yang tegas antara tugas dan wewenang ketiga organ tersebut serta pengaturan hubungan antara ketiga organ Yayasan bukan tanpa alasan. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan UU No 16 Tahun 2001, yaitu sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik intern Yayasan. Misalnya saja, konflik yang muncul apabila kewenangan Pembina diambil alih oleh Pengurus atau sebaliknya. Ini perlu dicegah. Sebab bila terjadi konflik, yang dirugikan bukan cuma kepentingan Yayasan, tetapi juga kepentingan pihak lain yang terkait dengan Yayasan. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing adalah keharusan mutlak bagi setiap organ agar mereka dapat memainkan peran yang sesuai dan bermanfaat bagi Yayasan. Tulisan berikut dimulai dengan mendiskusikan organ Pembina.

Organ Pembina

Sebelum UUY, istilah Organ Pembina dikenal istilah Pendiri. Ada kemungkinan bahwa istilah Pendiri diganti dengan Pembina untuk mengantisipasi kenyataan bahwa Pendiri Yayasan pada saat tertentu sudah tidak ada lagi karena meninggal dunia.[3] Untuk Yayasan baru, hampir dapat dipastikan bahwa organ Pembina adalah sekaligus Pendiri. Merekalah yang memiliki cita-cita awal dan pencetus berdirinya sebuah Yayasan. Tentu saja dengan visi dan misi yang bagi mereka sangat jelas dan bernilai untuk pembangunan kehidupan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan.

Untuk Yayasan yang sudah ada sebelum UUY, Pembina itu kemungkinan besar adalah orang baru. Sebagai orang baru, ada plus-minusnya. Bisa menjadi pemberi warna baru dalam mengembangkan Yayasan. Tapi bisa juga menjadi pemicu masalah manakala mereka tidak menghayati idealisme awal pendirian Yayasan.

Terlepas dari kemungkinan itu, UUY nampaknya berasumsi bahwa organ Pembina pastilah orang pilihan. Mereka diasumsikan mau dan mampu mengembangkan idealisme awal dari Pendiri. Itulah sebabnya Pembina diberi kewenangan yang sangat strategis. Pasal 28 ayat (1) menyatakan, “Pembina adalah organ Yayasan yang memunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-
Undang ini atau Anggaran Dasar.”

Kewenangan tersebut dijabarkan dalam Pasal 28 ayat (2) UUY dalam lima kategori, yaitu: a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar (AD); b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan Pengawas; c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan AD Yayasan; d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan e. penetapan keputusan mengenai penggabungan dan/atau pembubaran Yayasan.

Mengacu pada ketentuan itu, nampak bahwa kewenangan Pembina secara lembagawi (bukan perorangan) berada pada level kebijakan, bukan pada level operasional. Ia menetapkan garis-garis besar program, arah pengembangan, serta strategi yang dianggap sesuai dengan tujuan Yayasan. Kewenangan tersebut, nampaknya sama dengan fungsi legislatif di Negara-negara demokrasi atau MPR RI sebelum perubahan UUD 1945.

Dalam posisi yang demikian, organ Pembina tidaklah main-main. Ia berperan besar dalam menentukan kehidupan sebuah Yayasan. Akan jadi apa dan hendak dibawa ke mana sebuah Yayasan sangat tergantung pada garis-garis besar Program, kebijakan yang ditetapkan oleh Pembina. Oleh karena itu, setiap kali Pembina mengambil keputusan tidak dianjurkan asal jadi. Perlu dilakukan, selain hati-hati, semestinya didasarkan pada studi tentang apa dan bagaimana visi dan misi Yayasan diimplementasikan sesuai dengan, dan untuk menjawab, tantangan jaman. 

Berkualifikasi

Dengan tuntutan yang demikian, anggota Pembina tidak boleh sembarang orang. Pertama, bagi Yayasan baru semestinya adalah penggagas ide, pencetus visi dan misi. Dan, bagi Yayasan lama haruslah orang yang faham betul visi dan misi Yayasan. Kedua, tiap anggota Pembina semestinya merupakan pribadi pilihan dan ahli di bidang yang diperlukan oleh Yayasan. Ketiga, harus memiliki komitmen yang tinggi dalam mewujudkan dan/atau mengembangkan Yayasan.

Yayasan yang mengelola Pendidikan Tinggi umpamanya diperlukan Pembina yang ahli di bidang Pendidikan Tinggi  dengan segala seluk-beluknya. Jika Pembinanya lebih dari satu, nampaknya lebih  baik bila mereka tidak hanya berasal dari satu-dua latar belakang keahlian. Ada yang ahli di bidang Pendidikan Tinggi, ahli manajemen, ahli keuangan, ahli hukum, bahkan politik.

Sayang bahwa hal itu tidak turut diatur. UUY hanya menyatakan bahwa orang yang dapat diangkat sebagai Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai memunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.[4]

Bagi Yayasan sosial dengan kegiatan sederhana, kualifikasi pembina seperti itu barangkali dapat diterima. Sebab program dan kegiatannya tidak serumit kegiatan di bidang pendidikan tinggi.

Namun, bagi Yayasan yang mau maju, pertimbangan latar belakang anggota Pembina perlu dipikirkan. Sebab keberhasilan sebuah Yayasan tidak hanya terletak pada mulianya visi dan misinya atau tingginya komitmen pembina, tetapi juga pada kualifikasi anggota Pembinanya. Visi dan misi yang mulia bisa merosot di tangan Pembina yang tidak berkualifikasi.

"Visi dan misi yang mulia bisa merosot di tangan Pembina yang tidak berkualifikasi." 
Jika Pembinanya berkualifikasi dan berasal dari banyak latar belakang keahlian tentu berpeluang melahirkan program dan kebijakan-kebijakan berkualitas dan visioner. Ketika merumuskan garis-garis besar program dan kebijakan Yayasan misalnya, mereka dapat melakukan kajian secara komprehensif. Juga dapat menilai apakah kegiatan Yayasan dan unit-unit yang dikelola (kalau lebih dari satu unit) kelak sudah sesuai garis-garis kebijakan atau belum. Atau dapat mengkritisi laporan kegiatan Yayasan dan unit-unit yang disampaikan tiap akhir tahun.

Dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) UUY hal tersebut sudah ditegaskan. Tiap akhir tahun, ada keharusan bagi Pembina untuk melakukan evaluasi. Ini, meliputi evaluasi kekayaan Yayasan, hak dan kewajiban Yayasan tahun sebelumnya sebagai dasar pertimbangan bagi perkiraan mengenai perkembangan Yayasan untuk tahun yang akan datang.

Sayang bahwa di banyak Yayasan, kegiatan evaluasi detail sering terabaikan. Laporan tahunan Yayasan dan unit-unit yang dikelolanya sering diterima begitu saja tanpa verifikasi dan penelusuran yang memadai. Al hasil, laporan-laporan yang ada sering diwarnai mimpi tentang yang seharusnya, bukan senyatanya atau tidak berdasar fakta.

Pertanyaannya, apakah Pembina yang demikian sudah tepat? Apakah Pembina semacam itu mengetahui tepat-tidaknya pengelolaan dana dalam Yayasan dan unit-unit yang dikelolanya? Apakah ia dapat mengambil tindakan bila ada penggunaan dana yang tidak sesuai dengan apa yang mereka setujui pada awal tahun program? Ataukah para Pembina di Yayasan cukup datang tiap rapat lalu setelah membicarakan hal-hal rutin atau hal-hal yang berhubungan dengan kewenangan mereka saja? Atau malahan setelah memutuskan sesuatu, dan bila ada pimpinan unit yang merasa terusik dengan keputusan itu, kemudian membuat skenario agar Pembina menggugatnya sendiri dengan meminta rapat khusus?

Terus terang, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah Pembina di setiap Yayasan berbeda-beda. Ya latar belakang pendidikannya, ya kualitasnya, ya kepentingannya, dsb., yang belum tentu sejalan atau sama dengan visi misi Yayasan. [0207]


[1] UU Yayasan dimaksud adalah UU No 16 Tahun 2001 yang kemudian diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan PP No 63 Tahun 2008 yang kemudian diubah dengan PP No 2 Tahun 2013 tentang Perubahan PP No. 63 tentang Pelaksanaan UU Yayasan.

[2] Lihat alinea satu Penjelasan UU No 16 Tahun 2001. Lihat juga Todung Mulya Lubis dalam kolomnya di Tempoinetrakif, 18 September 2000, yang mengatakan tidak semua yayasan beroperasi seperti layaknya yayasan, yaitu sebagai organisasi nirlaba untuk tujuan-tujuan sosial. Cukup banyak terjadi penyalahgunaan yayasan karena dipakai sebagai kedok untuk melakukan berbagai bisnis, terutama yang bersinggungan dengan kekuasaan dan pemegang kekuasaan.

[3] Ais, Chatamarrasjid, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial), Cintra Aditiya Bakti, Bandung, 2002, hal 7.

[4] Pendiri Yayasan di berbagai tempat tidak selalu bersifat orang perseorangan. Di banyak Yayasan, pendiri Yayasan adalah organisasi atau lembaga seperti lembaga agama. Contonya ialah Yayasan Pendidikan Kristen yang didirikan oleh Gereja, Yayasan Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh Muhammadiyah, Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang didirikan oleh Bank Indonesia, dan sebagainya.

Tidak ada komentar: