Oleh Yosafati Gulo
Dengan terbitnya UU Yayasan (UUY)[1], keberadaan
Yayasan di Tanah Air menjadi kokoh karena memiliki landasan hukum yang jelas.
Dengan begitu, pendirian dan pengelolaan Yayasan diharapkan menjadi tertib dan pengelolanya tidak lagi berlindung di
balik badan hukum Yayasan untuk tujuan-tujuan di luar misi sosial, keagamaan
dan kemanusiaan
Hal itu sudah ditegaskan dalam Penjelasan UU No. 16 Tahun
2001 UUY. Dijelaskan bahwa UUY dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin
kepastian dan ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai
pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan
dan kemanusiaan.
Penegasan itu bertujuan untuk mencegah berulangnya
kecenderungan banyak Yayasan selama ini yang sering menjadikan Yayasan hanya
sekadar topeng untuk tujuan bisnis, menghindari pajak, atau untuk memerkaya
diri Pendiri, Pengurus dan Pengawas[2].
Ada banyak hal yang diatur dalam UUY. Salah satu diantaranya
ialah tentang organ-organ yayasan. Sebelum UUY, organ Yayasan dikenal dengan beberapa
bervariasi. Ada yang menyebutnya Pendiri dan Penyantun, Pendiri dan Pengawas,
atau Pendiri dan Pengurus, atau Pendiri yang sekaligus sebagai Pengurus yang
kadang-kadang disertai Pengawas khusus. Namun, dengan UUY organ Yayasan
ditetapkan menjadi tiga, yaitu Pembina,
Pengurus, dan Pengawas.
Pemisahan
yang tegas antara tugas dan wewenang ketiga organ tersebut serta pengaturan
hubungan antara ketiga organ Yayasan bukan tanpa alasan. Hal ini dapat dibaca
dalam penjelasan UU No 16 Tahun 2001, yaitu sebagai upaya untuk mencegah
kemungkinan terjadinya konflik intern Yayasan. Misalnya saja, konflik yang
muncul apabila kewenangan Pembina diambil alih oleh Pengurus atau sebaliknya. Ini
perlu dicegah. Sebab bila terjadi konflik, yang dirugikan bukan cuma
kepentingan Yayasan, tetapi juga kepentingan pihak lain yang terkait dengan
Yayasan. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang fungsi, wewenang, dan
tugas masing-masing adalah keharusan mutlak bagi setiap organ agar mereka dapat
memainkan peran yang sesuai dan bermanfaat bagi Yayasan. Tulisan berikut
dimulai dengan mendiskusikan organ Pembina.
Organ Pembina
Sebelum
UUY, istilah Organ Pembina dikenal istilah Pendiri. Ada kemungkinan bahwa
istilah Pendiri diganti dengan Pembina untuk mengantisipasi kenyataan bahwa
Pendiri Yayasan pada saat tertentu sudah tidak ada lagi karena meninggal dunia.[3] Untuk
Yayasan baru, hampir dapat dipastikan bahwa organ Pembina adalah sekaligus
Pendiri. Merekalah yang memiliki cita-cita awal dan pencetus berdirinya sebuah
Yayasan. Tentu saja dengan visi dan misi yang bagi mereka sangat jelas dan
bernilai untuk pembangunan kehidupan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan.
Untuk
Yayasan yang sudah ada sebelum UUY, Pembina itu kemungkinan besar adalah orang
baru. Sebagai orang baru, ada plus-minusnya. Bisa menjadi pemberi warna baru
dalam mengembangkan Yayasan. Tapi bisa juga menjadi pemicu masalah manakala
mereka tidak menghayati idealisme awal pendirian Yayasan.
Terlepas dari kemungkinan itu, UUY nampaknya berasumsi bahwa organ Pembina pastilah orang pilihan. Mereka diasumsikan mau dan mampu mengembangkan idealisme awal dari Pendiri. Itulah sebabnya Pembina diberi kewenangan yang sangat strategis. Pasal 28 ayat (1) menyatakan, “Pembina adalah organ Yayasan yang memunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-
Undang ini atau Anggaran
Dasar.”
Kewenangan
tersebut dijabarkan dalam Pasal 28 ayat (2) UUY dalam lima kategori, yaitu: a. keputusan
mengenai perubahan Anggaran Dasar (AD); b. pengangkatan dan pemberhentian
anggota Pengurus dan Pengawas; c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan
AD Yayasan; d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan;
dan e. penetapan keputusan mengenai penggabungan dan/atau pembubaran Yayasan.
Mengacu
pada ketentuan itu, nampak bahwa kewenangan Pembina secara lembagawi (bukan
perorangan) berada pada level kebijakan, bukan pada level operasional. Ia
menetapkan garis-garis besar program, arah pengembangan, serta strategi yang
dianggap sesuai dengan tujuan Yayasan. Kewenangan tersebut, nampaknya sama
dengan fungsi legislatif di Negara-negara demokrasi atau MPR RI sebelum
perubahan UUD 1945.
Dalam
posisi yang demikian, organ Pembina tidaklah main-main. Ia berperan besar dalam
menentukan kehidupan sebuah Yayasan. Akan jadi apa dan hendak dibawa ke mana
sebuah Yayasan sangat tergantung pada garis-garis besar Program, kebijakan yang
ditetapkan oleh Pembina. Oleh karena itu, setiap kali Pembina mengambil
keputusan tidak dianjurkan asal jadi. Perlu dilakukan, selain hati-hati, semestinya
didasarkan pada studi tentang apa dan bagaimana visi dan misi Yayasan
diimplementasikan sesuai dengan, dan untuk menjawab, tantangan jaman.
Berkualifikasi
Dengan
tuntutan yang demikian, anggota Pembina tidak boleh sembarang orang. Pertama, bagi Yayasan baru semestinya
adalah penggagas ide, pencetus visi dan misi. Dan, bagi Yayasan lama haruslah orang
yang faham betul visi dan misi Yayasan. Kedua,
tiap anggota Pembina semestinya merupakan pribadi pilihan dan ahli di bidang
yang diperlukan oleh Yayasan. Ketiga,
harus memiliki komitmen yang tinggi dalam mewujudkan dan/atau mengembangkan
Yayasan.
Yayasan
yang mengelola Pendidikan Tinggi umpamanya diperlukan Pembina yang ahli di
bidang Pendidikan Tinggi dengan segala
seluk-beluknya. Jika Pembinanya lebih dari satu, nampaknya lebih baik bila mereka tidak hanya berasal dari
satu-dua latar belakang keahlian. Ada yang ahli di bidang Pendidikan Tinggi, ahli
manajemen, ahli keuangan, ahli hukum, bahkan politik.
Sayang
bahwa hal itu tidak turut diatur. UUY hanya menyatakan bahwa orang yang dapat
diangkat sebagai Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan
dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai
memunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.[4]
Bagi Yayasan sosial dengan kegiatan sederhana, kualifikasi pembina seperti itu barangkali dapat diterima. Sebab program dan kegiatannya tidak serumit kegiatan di bidang pendidikan tinggi.
Namun,
bagi Yayasan yang mau maju, pertimbangan latar belakang anggota Pembina perlu
dipikirkan. Sebab keberhasilan sebuah Yayasan tidak hanya terletak pada
mulianya visi dan misinya atau tingginya komitmen pembina, tetapi juga pada
kualifikasi anggota Pembinanya. Visi dan misi yang mulia bisa merosot di tangan
Pembina yang tidak berkualifikasi.
"Visi dan misi yang mulia bisa merosot di tangan Pembina yang tidak berkualifikasi."
Jika
Pembinanya berkualifikasi dan berasal dari banyak latar belakang keahlian tentu
berpeluang melahirkan program dan kebijakan-kebijakan berkualitas dan visioner.
Ketika merumuskan garis-garis besar program dan kebijakan Yayasan misalnya,
mereka dapat melakukan kajian secara komprehensif. Juga dapat menilai apakah
kegiatan Yayasan dan unit-unit yang dikelola (kalau lebih dari satu unit) kelak
sudah sesuai garis-garis kebijakan atau belum. Atau dapat mengkritisi laporan kegiatan
Yayasan dan unit-unit yang disampaikan tiap akhir tahun.
Dalam
Pasal 30 ayat (1) dan (2) UUY hal tersebut sudah ditegaskan. Tiap akhir tahun,
ada keharusan bagi Pembina untuk melakukan evaluasi. Ini, meliputi evaluasi
kekayaan Yayasan, hak dan kewajiban Yayasan tahun sebelumnya sebagai dasar
pertimbangan bagi perkiraan mengenai perkembangan Yayasan untuk tahun yang akan
datang.
Sayang
bahwa di banyak Yayasan, kegiatan evaluasi detail sering terabaikan. Laporan
tahunan Yayasan dan unit-unit yang dikelolanya sering diterima begitu saja
tanpa verifikasi dan penelusuran yang memadai. Al hasil, laporan-laporan yang
ada sering diwarnai mimpi tentang yang seharusnya, bukan senyatanya atau tidak
berdasar fakta.
Pertanyaannya,
apakah Pembina yang demikian sudah tepat? Apakah Pembina semacam itu mengetahui
tepat-tidaknya pengelolaan dana dalam Yayasan dan unit-unit yang dikelolanya?
Apakah ia dapat mengambil tindakan bila ada penggunaan dana yang tidak sesuai
dengan apa yang mereka setujui pada awal tahun program? Ataukah para Pembina di
Yayasan cukup datang tiap rapat lalu setelah membicarakan hal-hal rutin atau
hal-hal yang berhubungan dengan kewenangan mereka saja? Atau malahan setelah
memutuskan sesuatu, dan bila ada pimpinan unit yang merasa terusik dengan
keputusan itu, kemudian membuat skenario agar Pembina menggugatnya sendiri
dengan meminta rapat khusus?
Terus
terang, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, saya tidak tahu. Yang saya tahu
adalah Pembina di setiap Yayasan berbeda-beda. Ya latar belakang pendidikannya,
ya kualitasnya, ya kepentingannya, dsb., yang belum tentu sejalan atau sama
dengan visi misi Yayasan. [0207]
[1] UU Yayasan dimaksud adalah UU No 16 Tahun
2001 yang kemudian diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.
16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan PP No 63 Tahun 2008 yang kemudian diubah
dengan PP No 2 Tahun 2013 tentang Perubahan PP No. 63 tentang Pelaksanaan UU
Yayasan.
[2] Lihat alinea satu Penjelasan UU No 16 Tahun
2001. Lihat
juga Todung Mulya Lubis dalam kolomnya di Tempoinetrakif, 18 September 2000, yang
mengatakan tidak semua yayasan beroperasi seperti layaknya yayasan, yaitu sebagai
organisasi nirlaba untuk tujuan-tujuan sosial. Cukup banyak terjadi
penyalahgunaan yayasan karena dipakai sebagai kedok untuk melakukan berbagai
bisnis, terutama yang bersinggungan
dengan kekuasaan dan pemegang kekuasaan.
[3] Ais, Chatamarrasjid, Badan Hukum Yayasan
(Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial), Cintra
Aditiya Bakti, Bandung, 2002, hal 7.
[4] Pendiri Yayasan di berbagai tempat tidak
selalu bersifat orang perseorangan. Di banyak Yayasan, pendiri Yayasan adalah
organisasi atau lembaga seperti lembaga agama. Contonya ialah Yayasan
Pendidikan Kristen yang didirikan oleh Gereja, Yayasan Pendidikan Muhammadiyah
yang didirikan oleh Muhammadiyah, Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia
yang didirikan oleh Bank Indonesia, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar