Minggu, 21 Oktober 2012

JOKOWI-AHOK, SIMBOL KEMENANGAN KREATIVITAS



Oleh Yosafati Gulo

Pikada Gubernur (Pilgub) DKI barusan saja usai. Nampaknya perhitungan cepat tidak meleset. Sebentar lagi, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahya Purnama (Jokowi-Ahok) sebagai pemenang Pilgub dikukuhkan secara legal berdasarkan fakta. 

Yang menarik, perhatian masyarakat terhadap Pilgub itu begitu besar. Bukan cuma di DKI, tapi nyaris di seluruh Indonesia. Dibandingkan dengan Pilgub di tempat lain, perhatian terhadap Pilgub DKI dapat dikatakan istimewa. Mirip dengan perhatian masyarakat terhadap pemilihan presiden. Hal tersebut dapat diketahui melalui berita di berbagai media online dan media cetak di Tanah Air. Banyak yang menulis, menganalisis, tentang dua pasangan yang bersaing di putaran kedua. Sampai ke desa-desa di berbagai wilayah juga menjadi bahan obrolan. Tapi simpati terbesar tertuju pada pasangan Jokowi-Ahok.

13486624232005965332
Jokowi-Ahok (sumber: http://gosipindonesia.com/pilgub-dki-lagu-indonesia-raya-bergema-di-markas-kemenangan-jokowi-ahok/)
 
Mengapa bisa begitu? Ada banyak sebab. Beberapa di antaranya, ialah, fenomena Jokowi-Ahok yang hanya didukung oleh dua Parpol versus Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang didukung segerombolan partai besar memang menarik perhatian. Banyak yang ingin tahu strategi apa yang diterapkan Jokowi-Ahok dalam pertarungan tak seimbang itu.  Sama seperti pertaruangan Daud dan Goliat. 

Kedua, kesadaran politik masyarakat makin maju. Anggota masyarakat kian paham calon-calon pemimpin ideal, yang dapat dipercaya mewakili diri dan kepentingannya. Umbar janji, sudah tak mempan lagi. Isu Sara (Suku Agama Ras dan Antargolongan) yang coba digaungkan ternyata tak bertaji lagi. Masyarakat sadar bahwa yang dipilih bukanlah pimpinan etnis atau agama, tapi pimpinan untuk semua dalam konteks negara pluralis.

Ketiga, penilaian terhadap calon sudah bergeser. Saat ini, masyarakat tidak melihat figur dari apa yang diomongkan. Entah itu janji masa depan yang indah atau prestasi yang dipoles narasi. Masyarakat lebih melihat fakta dan rekam jejak sang calon, cara-cara sang calon dalam menyikapi dan merespon masalah yang timbul selama skampanye, dan cara mereka menyosialisasikan diri kepada masyarakat. 

Tiga Titik Kemenangan

Rekam jejak, cara merespon masalah, dan cara sosialisasi diri nampaknya merupakan tiga titik kemenangan Jokowi-Ahok. Mereka tak perlu teriak siapa mereka, apa yang sudah dilakukan, atau apa yang akan mereka berikan kepada rakyat DKI. Prestasi mereka sebelumnya sebagai walikota dan Bupati sudah menjawab semuanya. 

Tanpa Jokowi teriak, “saya memerhatikan kepentingan rakyat,” dari berita prestasinya di Solo orang tahu dan percaya bahwa Jokowi memang begitu. Ia tak perlu bilang, “saya memerhatikan nasib PKL,” sebab fakta atas sistem kerjanya menata PKL di solo yang semula semrawut menjadi rapi lebih nyaring dari bunyi sirene atau suaranya yang ngebas.

Ahok juga begitu. Ia tak perlu teriak, “Saya anti rasialis!,” sebab fakta tindakannya di Belitung telah menjadi spanduk hidup yang terbentang sampai ke Jakarta. Tak perlu disembunyikan fakta bahwa ia memang etnis Cina dan beragama Kristen, sebab ia sudah tunjukan bahwa etnisitas dan agamanya tak pernah menghambatnya untuk memosisikan siapa pun secara terhormat sama seperti dirinya. Ia sadar poll bahwa yang namanya manusia pasti punya rasa dan kebutuhan nyata: Sakit kalau dicubit, sedih kalau dihina, lapar kalau tidak makan, atau lega kalau diberi minum.

Maka, kampanye bagi pasangan ini tidak seperti pasangan lain. Mereka tidak memerlukan spanduk atau baliho. Mereka hanya butuh menunjukkan wajah dan baju kotak-kotak. Nama mereka sudah lama dikenal. Itulah sebabnya selama kampanye, mereka ogah melakukan pendekatan top-down atau pendekatan partai yang sudah lazim. 

Mereka memilih menemui rakyat di pasar atau di daerah-daerah kumuh. Mereka tak gentar menghadapi rival yang didukung banyak partai. Sebab mereka tahu bahwa partai itu benda mati yang tak punya suara. Yang punya suara adalah individu. Dalam konteks pemilihan langsung, nilai suara setiap individu sama. Entah ia tukang sapu, pesuruh, pedangan asongan, maupun artis atau Presiden sekalipun.
Atas pandangan itu, Jokowi-Ahok merasa yakin menang kontes. Sekalipun seribu partai bersekutu menghadang, tapi kalau semua individu anggota partai memilih mereka, partai toh tak beda dengan macan ompong.

Kreativitas

Beda dengan pasangan lain, pasangan Jokowi-Ahok ditandai dengan baju kotak-kotak yang khas. Banyak yang  tak mengira bahwa baju sederhana itu mampu bicara” banyak. Sederhana tapi sakti sebagai sebuah simbol kreativitas. Ia bukan cuma mampu mendongkak popularitas Jokowi-Aho di mata pemilih. Ia malah menjadi sebuah simbol filosogi dan gerakan ekonomi kerakyatan.

Efek baju ini sendiri tidak melulu untuk Jokowi-Ahok. Selama masa kampanye, kehadiran baju itu, ternyata memberikan efek ekonomi secara nyata. Pabrik kain mendapat peningkatan produksi kain kotak-kotak. Para agen, penjual kain meteran, para sales, tukang jahit, dan banyak lagi, ternyata mendapat peningkatan order, dan tentu saja rejeki. Ini pun tidak hanya di DKI. Turut menjalar juga di seantero negeri, bahkan sampai di manca negara.

Teman saya bilang, “Selain Dahlan Iksan, Jokowi-Ahok adalah fenomena kreativitas. Baru menjadi peserta Pilgub saja, mereka mampu menggebrak dua hal penting. Mengoyak kebuntuan “ideologi” SARA dan memberi ilustrasi kreatif dalam membangun ekonomi. Apalagi nanti kalau sudah menjabat, peluang mereka berbuat banyak hal di DKI lebih besar.” Mendengar ini, saya hanya mangut-manggut.

Yang jelas, fenomena tersebut menurut hemat saya, adalah sebuah pelajaran yang patut ditiru secara kreatif. Kalau hendak menjadi pemimpin, lakukan persiapan dengan kerja baik, jujur, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Sebab anda menjadi pemimpin berarti anda memimpin kepentingan rakyat, bukan kepentingan anda sendiri seperti banyak kita saksikan selama ini. ***

Tulisan di atas ditayangkan di Kompasiana.com tanggal 26 September 29012. Dapat dibaca pada link ini.

Tidak ada komentar: